[Peringatan 15+ Ke Atas!]
"Semuanya sudah siap? Buat perilisan karakter dan rute baru!"
"Buat perilisan!" Sorak kami saat suara denting gelas memenuhi udara.
Saat itu hari Jum'at malam. Kami berempat, cowok dan cewek, merayakannya di ruang tamu apartemenku yang punya tiga buah kamar tidur.
Meja bundar berkapasitas enam orang yang aku beli buat ajang kayak gini dipenuhi dengan makanan dan minuman. Daging sapi panggang buatan sendiri, piza yang kami pesan, s*ke Shimane yang mahal, w*ski berusia 20 tahun, dan botol-botol soda kola dan teh ulong. Itulah pesta yang cocok buat seorang Raja.
Bahkan ada sebuah kue di kulkas yang dibuat oleh pembuat kue terbaik di toko roti yang dikelola oleh salah satu teman Ibu Sumire. Pembuat kue itu pernah belajar di Prancis.
Kami mengadakan pesta kayak gini setiap pekan. Inilah pesta "Entah Bagaimana, Kita Selamat dari Pekan yang Melelahkan Ini, Jadi Mari Kita Gunakan Kesempatan Buat Mengatur Ulang dan Bersiap Demi Bertahan Hidup Lagi". Iya, itulah nama resmi ajang ini.
Ibu Sumire meneguk racikan m*ras mewah beliau yang terdiri dari soda kola dan w*ski sebelum menghela napas puas.
"M*ras ini pasti akan terasa lebih enak setelah tenggat Ibu tuntas!"
"Aku benar-benar mengira kalau Ibu tidak akan berhasil kali ini," hela napasku.
Kantung mata yang ada di bawah mata Ibu Sumire yaitu hasil dari begadang semalaman cuma buat menyelesaikan ilustrasi terkutuk itu. Catatan tambahan: Aku cuma benar-benar kejam pada beliau saat beliau tertinggal. Pada saat kayak gini, aku mesti ingat kalau beliau itu ibu guruku.
"Ibu itu bau alk*hol!" Kikik Iroha mendengar Ibu Sumire. "Berapa banyak yang Ibu minum sebelum datang ke sini?"
"Mengapa Ibu mesti mengingat hal kayak gitu? Maksud Ibu, apa Ibu ingat berapa banyak yang sudah Ibu minum dalam kehidupan kita, Iroha-chan?"
"M*buk itu hal yang tidak boleh buatku, ingat?! Aku ini belum tua kayak Ibu!"
"Ibu juga belum tua! Bahkan belum 30 tahun, asal kalian tahu saja ya!"
"Oke deh, kalau Ibu bilang begitu! Kalau Ibu memang sudah setua itu, aku tidak akan menggoda Ibu, bukan? Jadi, saat aku berhenti, saat itulah Ibu mesti takut! Ngomong-ngomong, apa Ibu mau minum yang lain?"
"W*dka di atas batu!" Ibu Sumire menyerahkan gelas beliau yang kosong pada Iroha, yang mulai mengisinya dengan rapi.
Melihat betapa santunnya Iroha pada orang yang lebih tua, semakin tampak jelas betapa tidak sopannya dia padaku.
"Daging sapi ini enak! Apa kamu yang membuatnya, Aki?" Tanya Ozu.
"Iya, aku menemukan sebuah tips daring soal cara menyiapkannya dengan penanak nasi."
"Kamu jago mengurus rumah, ya? Gini loh, ini bahkan lebih lezat ketimbang yang kamu dapatkan di restoran."
"Ayolah, berhentilah bersikap seakan-akan kamu tahu segalanya soal memasak. Pikirkanlah mereka yang bekerja selama bertahun-tahun, cuma buat bilang kalau hasil masakanku lebih lezat."
Aku dan Ozu mengunyah makanan sambil melihat Iroha dan Ibu Sumire mengobrol. Aku tidak percaya kalau Ozu terkesan dengan potongan daging sapi murah yang aku beli di toko. Ozu benar-benar jago memujiku buat hal-hal terkecil.
"Bagus sekali. Membuatku iri pada Iroha juga. Setelah kalian berdua menikah, Iroha akan dapat makan kayak gini setiap hari!"
"Kamu bisa jaga saja si Iroha. Aku mungkin akan wafat karena stres pada usia 30 tahun kalau aku mesti tinggal bareng Iroha."
"Memalukan. Aku berharap kalau aku dapat menjodohkan Iroha dengan seseorang yang punya 1.000.000.000 bakat kayak kamu. Buat hilangkan kekhawatiranku, loh."
"Aku sudah bilang kalau aku tidak sehebat kamu. Pemrogram lain mana pun pasti akan kesulitan buat menyiapkan perilisan tepat waktu."
"Terutama dengan ilustrasi yang masuk pada menit-menit terakhir. Untungnya, aku sudah menyiapkan program itu sehingga komputer Ibu Kageishi mengirimkan ilustrasi beliau saat pewarnaannya tuntas. Pada saat aku memasukkannya ke dalam gim, beliau sudah tertidur lelap karena kelelahan."
"Maaf, bagaimana sebenarnya cara kerja program itu?"
"Ah, gini loh. Aku cuma kepikiran kalau itu akan berguna, jadi aku membuat sesuatu yang ceroboh."
"Aku rasa mestinya aku tidak bertanya..."
Ada beberapa hal yang berada di luar jangkauan pemahaman kita sebagai manusia biasa.
Ozu dapat membaca dan menulis bahasa pemrograman seakan-akan ia terlahir dengan kemampuan tersebut. Ozu selalu sangat jago dalam hal angka dan perhitungan. Ozu itu siswa terbaik di SD kami dalam Olimpiade Matematika, dan ahli matematika yang memberikan komentar soal keseluruhan ajang bilang padaku kalau Ozu dengan mudah masuk dalam 10 besar dunia.
"Jujur saja, kemampuanku tidak terlalu mengesankan," lanjut Ozu.
"Jangan terlalu merendah. Aku tidak tahu siapapun yang mendekati level pemrogramanmu."
"Tentu, tetapi tidak ada gunanya keahlian yang kamu punya kalau kamu tidak tahu cara menggunakannya dengan benar. Kamulah yang membuatku berada di jalan ini, dan kamulah alasan aku bersenang-senang saat ini, dan alasanku meminum bandrek di sini, yang cukup enak. Makanya kamu lebih mengesankan buatku."
"Jangan mulai mengungkit-ungkit masa lalu lagi sekarang..."
"Kamu cuma malu, bukan?" Tawa Ozu, meneguk sisa bandrek yang sedikit lebih lezat ketimbang biasanya.
Aku tidak mau berpikir terlalu keras soal masa lalu Ozu, dan tentu saja aku tidak mau menggalinya sekarang. Itu cuma kisah soal ikan besar yang terkurung di kolam kecil yang merupakan sistem pendidikan nasional kita, dan menderita karenanya.
"Ngomong-ngomong, di mana Makigai-sensei?" Tanya Ozu tiba-tiba.
Aku segera membuka ponsel pintarku, mendapati akun Makigai Namako dengan foto profil teripang chibi (kebetulan, 'Namako' juga bermakna 'Teripang'), dan menunjukkan pada Ozu pesan-pesannya.
"Makigai-sensei punya tenggat novel yang akan datang, jadi dia bilang dia tidak dapat datang."
Akulah Direktur Aliansi Lantai 05. Ozu itu pemrogramnya dan Ibu Sumire itu illustratornya, tetapi ada satu anggota lagi yang memainkan peran besar dalam tim pengembang gim kami. Seseorang yang sangat berpengaruh, sehingga merupakan sebuah keajaiban kalau dia memutuskan buat bergabung dengan tim kami saat tidak ada seorang pun yang pernah mendengar soal kami, dan kami tidak punya anggaran iklan buat mengubahnya.
Makigai Namako-sensei.
Seorang pengarang novel ringan yang karyanya memenangkan hadiah pertama dalam kompetisi UZA Bunko tiga tahun lalu. Karya tersebut lalu jadi sebuah seri yang terjual > 3.000.000 kopi, meluncurkan karier Makigai dengan debut yang spektakuler.
Ada sesuatu soal kecerdasan sarkastik dalam tulisan Makigai-sensei, dan wawasannya yang aneh soal makhluk laut. Yang membuat banyak orang terkesan yaitu gaya Makigai-sensei yang mengasyikkan dan inovatif, serta bagaimana dia mengembangkan karakter utamanya. Meskipun serialnya sangat populer, Makigai-sensei tetap menolak berkali-kali buat mengadaptasinya ke dalam serial manga ataupun anime.
Entah bagaimana, kami berhasil mendapatkan rincian kontak buat Shakespeare modern ini, dan sekarang dapat berkomunikasi dengan penulis misterius ini secara daring. Aku juga merupakan penggemar Namako-sensei, setelah benar-benar terpikat pada karakter dan kisah-kisahnya yang unik.
Aku menyelipkan rincian kontakku dan permintaan agar Namako-sensei menulis skenario kami di sudut beberapa surat penggemar yang aku kirimkan, karena aku rasa tidak ada salahnya. Aku melakukan apa yang aku bisa agar membuatnya tidak mencolok sehingga penyuntingnya tidak akan menghentikannya, dan kemudian, dengan keajaiban, aku mendapat tanggapan.
Sekarang Makigai-sensei ada di grup obrolan Aliansi Lantai 05, dan kami berbicara dengannya dengan santai kayak orang lain. Meskipun aku belum pernah ketemuan langsung dengan Makigai-sensei, dari suaranya saat menelepon, dia terdengar kayak cowok ramah berusia 20-an.
"Makigai-sensei belum pernah menggunakan tenggat sebagai alasan buat melewatkan pesta," komentar Ozu.
"Hei, kamu benar. Makigai-sensei selalu mengetik dengan penuh semangat setiap kali dia bergabung dengan kita."
Ini mungkin saat yang tepat buat menyebutkan kalau Makigai-sensei bergabung dengan pesta-pesta ini secara virtual, melalui obrolan suara.
"Mungkin itu cuma alasan saja. Menurutmu, apa pacarnya Makigai-sensei sudah putus atau bagaimana?"
"Aku merasa Makigai-sensei lebih memprioritaskan pesta ini ketimbang pacarnya... ...Tetapi terserahlah. Aku rasa cara orang dewasa tidak dapat dimengerti oleh kita anak-anak."
"Kalian bicara yang tidak-tidak soal Ibu?!" Kecam Ibu Sumire. "Mau Ibu mengalami kehancuran di sini, sekarang juga?!"
Ibu Sumire pasti sudah mendengar kata "dewasa". Bukan berarti aku pribadi berpikir beliau berhak menggunakan kata itu buat mendeskripsikan diri beliau sendiri.
"Tidak, kita sedang berbicara soal Makigai-sensei. He-Hei, menjauhlah dariku! Kita baru saja berada di sini, dua detik! Sudah berapa banyak yang Ibu minum?!"
"Ibu sedang bersenang-senang sekarang! Ayolah, Tuan Akiteru, ini saatnya kamu menjaga Ibu sekarang! Ibu merasa semua memerah..."
"Ibu tahu kalau aku melaporkan ini Ibu akan dipecat, bukan? He-Hei, hentikan itu! Iroha! Apa yang kamu tuangkan itu pada beliau?!"
"Tidak ada," jawab Iroha sambil mengangkat bahu. "Ibu Sumire-chan cuma mengusap botol itu dariku. Mungkin beliau sudah minum sekitar 10 gelas w*dka."
"Kamu pasti bercanda. Ibu dapat minum R*sputin di bawah meja dengan itu!"
"Tenanglah! Ibu Sumire-chan menyiram babak kedua dengan cairan ini." Iroha mengocok sebotol cairan bening di depanku.
Itu, kalau Ibu Sumire menyiramnya, aku rasa itu... ...Itu bukan air, bukan?
"Bukannya itu s*ke?!"
"Wah, semuanya berputar di sekitar Ibu! Tuan Akiteru, kamu tampak kayak anak yang lebih muda! Seorang shota yang cantik..."
"Aku mohon, simpan halusinasi Ibu sendiri."
"Ah! Seorang shota yang tsundere! Ibu tidak dapat tahan lagi!" Ibu Sumire mulai mendorong wajah beliau yang memerah ke tubuhku bagaikan kucing yang sedang m*buk.
Kalian mungkin penasaran mengapa seorang remaja cowok kayak aku tidak sedikitpun senang dengan ibu guru seksi yang sangat menggoda ini. Jawabannya sederhana saja. Bau alk*hol menutupi bau feromon yang mungkin aku dapatkan.
Sudah biasa mendengar kisah soal cowok yang mengambil keuntungan dari cewek dalam keadaan kayak gini, tetapi aku tidak pernah paham itu. Siapa yang mau menyentuh seseorang yang benar-benar tidak waras?
Tentu saja, kulit Ibu Sumire juga lembut, begitu juga letak gunung beliau, tetapi selain itu, aku tidak merasakannya sama sekali.
"Ah, kamu sangat imut! Tetapi ada sesuatu yang kurang, loh? Ah! Lihat! Ada shota lain di sana!"
"A-Aku?" Ozu menatap Ibu Sumire dengan tatapan kosong. Tidak mengherankan. Aku juga belum pernah mendengar ada shota yang bersekolah di SMA negeri.
"Iya! Kamu punya rambut yang terang, dan kamu sangat lembut! Sama kayak Pangeran Kecil! Ke marilah..."
"Eh... ...oke, aku rasa."
"Jangan, Ozu! Mundurlah! Kamu akan—"
Ibu Sumire menarik lengan Ozu, dan aku mendapati wajahku terbenam di dada Ozu.
"Iya, sempurna! Sekarang kita punya shota yang sangat jutek, Tuan Akiteru, yang dihibur oleh Pangeran Ozuma-kun!"
Terdengar suara klik dan napas yang berat saat Ibu Sumire bergeser ke belakang dan mengambil foto kekacauan yang campur aduk karena kedua tubuh kami terhimpit.
"OzuAki!" Iroha menangis kegirangan. "S*alan, Ibu benar-benar tahu cara memilih pasangan yang bagus, Ibu Sumire-chan!"
"Bagus, bukan? Ibu tidak tahan lagi! Ah! Ibu butuh minum lagi!"
Cewek-cewek itu tertawa satu sama lain. Inilah mengapa Ibu Sumire bukanlah pem*buk yang asyik.
Ini bukan pertama kalinya Ibu Sumire bilang kalau kami itu "para shota". Ini juga bukan pertama kalinya beliau berhasil membuatku dan Ozu berpose memalukan demi kenikmatan khayalan beliau.
Kami bilang pada Ibu Sumire berulang kali kalau tidak ada apa-apa di antara kami dan kalau hal itu sangat menyebalkan, tetapi saat beliau meminum alk*hol, kapal beliau berlayar lagi. Minuman tersebut melucuti cat tipis pada bagian luar beliau buat menunjukkan warna asli beliau. Dalam hati beliau, beliau mengirim kami ke tempat yang keras, dan akan lebih senang lagi kalau kami masih bocil.
Aku kira setiap orang berhak atas khayalannya masing-masing. Tetapi saat ibu guru kalian terangsang oleh kalian dengan teman sekelas kalian yang lain, itu lebih dari sedikit mengkhawatirkan.
"Maaf, Ozu. Mereka selalu kayak gini." Aku duduk tegak lagi, beringsut menjauhi Ozu.
"A-Aku tahu. Jangan khawatirkan hal itu."
"Tidak ada yang mengganggumu, ya? Kamu boleh marah, loh."
"Aku memang paham, sih, tetapi aku rasa Ibu Sumire tidak bermaksud apa-apa dengan itu." Ozu mengangkat bahunya, pipinya agak memerah. Tentu saja karena pencahayaan di dalam kamar.
"Apa-apaan ini?! Kembalilah ke atas Ozuma-kun! Berikan lagi yaoi yang masih di bawah umur itu! Ayolah!"
"Bagaimana kalau Ibu kembali ke dunia nyata sebelum polisi memborgol Ibu, hah?"
Ibu Sumire menjerit bagaikan katak yang tercekik dan jatuh ke lantai saat aku memberi beliau sebuah pukulan di leher beliau buat mengukurnya. Beliau segera bangkit, melihat sekeliling kamar dengan bingung.
"Di-Di mana Ibu?"
"Di tengah-tengah melakukan pelecehan seksual yang menyedihkan pada siswa-siswa Ibu."
"Apa? Siswa-siswa 3 Dimensi Ibu? Idih, mustahil," kata Ibu Sumire mengantuk.
"Seandainya saja aku dapat mengosongkan ingatanku semudah Ibu." Aku tidak mau mengganggu Ibu Sumire lebih jauh, dan berdehem keras-keras.
"Oke, gaes, aku punya pengumuman. Pengumuman yang serius," kataku.
Kamar jadi hening, suasana pesta tersapu oleh ketegangan yang dingin. Bahkan Iroha pun diam. Iroha dapat jadi serius kalau dia mau, sama kayak anggota lain di sini. Bekerja keras dan bermain keras merupakan bagian dari moto Aliansi Lantai 05. Aku menyapu pandanganku ke wajah-wajah di kamar itu dan mulai.
"Aku mau bicara soal penghuni baru, Tsukinomori Mashiro."
Aku langsung menjelaskan semua yang telah terjadi sampai saat ini. Soal kesepakatan yang aku buat dengan Ayahnya, soal jadi pacar palsunya, bagaimana Mashiro membenciku, dan bagaimana dia sekarang tinggal di apartemen sebelah dan mungkin sedang mencari awal yang baru.
Lebih dari itu, aku menjelaskan bagaimana Mashiro tampak tidak bersenang-senang di sekolah, dan bagaimana aku mau memperbaikinya.
"Aku mau Mashiro bergabung dengan kelompok kita. Mungkin aku ikut campur, dan mungkin Mashiro bahkan tidak mau, tetapi aku tahu ada alasan mengapa Ayahnya memintaku buat menjaganya, dan aku rasa ini mungkin alasannya, jadi... ...Maukah kalian membantuku?"
Hening. Tidak ada seorang pun yang menatapku. Sebaliknya, mereka menundukkan kepala mereka, seakan-akan mereka sedang berpikir. Jam dinding terus berdetak, semakin keras oleh keheningan. Satu, dua, tiga, empat, lima...
"Pfft!" Aku rasa aku tidak perlu memberi tahu kalian, tetapi itu Iroha. "Gini loh, kamu selalu bilang kalau kamu cuma peduli pada efisiensi dan dirimu sendiri, tetapi kamu masih peduli pada orang lain kayak gini!"
"Iya, memang kayak kamu yang selalu melakukan hal kayak gini," Ozu setuju. "Baik hati, tetapi tegas. Kadang-kadang sulit buat mengikutinya, sebenarnya. Aku rasa kamu itu bukti kalau pria kaleng pun terkadang bisa punya hati."
"Ibu menyukai ide itu. Mashiro-chan butuh tempat di mana dia dapat jadi dirinya sendiri. Ibu yakin itu juga yang dia mau," kata Ibu Sumire.
"Jadi, apa rencananya, Senpai?"
"Aku mau mengadakan pesta penyambutan buat Mashiro."
"Kayak yang ini?" Tanya Ozu.
"Iya, kita akan mengundang Mashiro ke salah satu dari pesta ini, dan memengaruhinya dengan obrolan kita yang aneh."
"Apa menurutmu Mashiro-senpai akan datang?" Kata Iroha.
"Memang tidak, sih, tetapi karena itulah aku punya rencana. Dan aku butuh bantuan kalian buat itu."
"Ah, kedengarannya sangat asyik! Mari kita lakukan! Beri kami pengarahan, Bos! Dengan rinci! Sampai ke yang paling bawah!"
"Sekarang dengarkan baik-baik..."
Temboknya cukup tebal sehingga kami tidak berisiko didengar, tetapi aku merendahkan suara buat berjaga-jaga, menjelaskan rencana itu pada mereka. Aku tahu kalau itu rencana yang tidak masuk akal, dan tidak punya peluang buat berhasil... ...kalau bukan kami yang melaksanakannya. Yang lain tidak mengomentari absurditasnya. Mereka jelas memikirkan hal yang sama denganku.
"Astaga! Kedengarannya sangat asyik!" Seru Iroha.
"Entahlah, Dek, itu mungkin terlalu berat buat aku lakukan, tetapi akan aku lihat apa yang dapat aku lakukan."
"Akan ada hadiah buat Ibu, bukan?" Tanya Ibu Sumire.
Aku mengabaikan Ibu Sumire.
"Jadi sudah beres. Jum'at depan, jam 20.00 malam. Jangan sampai terlambat." Kami saling berpandangan dan mengangguk. "Kita akan tunjukkan pada Mashiro seberapa besar kemampuan kita buatnya!"
Bersama-sama, Aliansi Lantai 05 bersorak gembira.
Saatnya mengundang Mashiro ke pesta Jum'at malam kami.
Sabtu. H-6 sebelum pesta.
Aku membunyikan bel pintu.
Tidak ada respons.
Aku membunyikannya dua kali lagi.
Masih tidak ada respons.
Aku membunyikannya lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan lagi dan la—
"Hen-Hentikan. Apa yang kamu lakukan sepagi ini di hari Sabtu?" Pintu istana akhirnya terbuka, menampakkan Putri Mashiro yang mengantuk dan mengenakan piyama serta rambut acak-acakan.
"Mau datang ke rumahku hari Jum'at depan buat berpesta?" Aku memberi Mashiro senyuman termanisku.
"Pergilah!"
Minggu. H-5 sebelum pesta.
Klik.
"Hah?"
Klik, klik, klik.
"Kok belnya tidak berfungsi, sih? Aneh."
Klik, klik, klik, klik, klik, klik, klik, klik, klik, klik, klik, klik, klik, klik, klik.
Mustahil, Mashiro mencabut belnya...
Berani-beraninya Mashiro belajar dari pengalaman? Kalau aku tidak dapat membuat Mashiro membukakan pintu, mustahil aku dapat mengundangnya ke pesta.
Aku memutuskan buat meninggalkannya buat hari ini.
Cuma bercanda.
Sebagai gantinya, aku mengambil 30 buah poster yang aku cetak soal pesta itu dan memasukkan seluruhnya ke dalam kotak surat Mashiro.
Senin. H-4 sebelum pesta.
"Bolehkah aku bicara denganmu?"
Aku mencoret-coret sebuah halaman di buku catatanku, mengernyitkan jidat, dan melemparkannya ke Mashiro yang duduk di sebelah mejaku. Aku melihat Mashiro cemberut saat dia membacanya sebelum mengalihkan perhatiannya kembali ke papan tulis.
Setelah beberapa saat, Mashiro tampak berubah pikiran. Menuliskan sesuatu di catatan itu, Mashiro merobeknya dan melemparkannya kembali ke arahku dengan tujuan yang kayaknya tidak peduli apa itu mengenai wajahku atau tidak.
"Ada apa dengan semua poster itu kemarin? Apa kamu mencoba melecehkanku?"
"Kalau kamu membacanya, kamu akan tahu kalau aku mencoba mengundangmu ke sebuah pesta."
"Memasukkan sampah ke dalam kotak suratku bukanlah hal yang mengundang, dan... ...sudahlah. Tinggalkan aku sendiri."
"Ngomong-ngomong, apa ID LIME-mu? Akan lebih mudah kalau aku dapat mengirim pesan padamu ketimbang mesti menulis catatan."
"Tidak usah. Sampai jumpa."
Iya, paling tidak, aku sudah mencoba.
Kayaknya penc*likan paksa akan jadi satu-satunya cara buat mengeluarkan Putri Salju dari bentengnya yang tidak tertembus. Aku tidak akan khawatir. Aku masih punya waktu buat membuat ini berhasil.
Selasa. H-3 sebelum pesta.
"Jadi, ngomong-ngomong, soal hari Jum—"
"Jangan bicara padaku di dalam kelas."
Rabu. H-2 sebelum pesta.
"Jadi, ngomong-ngomong, soal hari Jum—"
"Jangan bicara padaku di lorong. Dan juga, berhentilah menguntitku."
Kamis. H-1 sebelum pesta.
"Jadi, soal hari Jum—eh, besok, aku rasa..."
Tidak ada reaksi.
"Aku akan mengadakan pesta penyambutan buatmu. Kita akan memesan piza, membeli minuman... ...Ibu Sumire akan jadi satu-satunya yang minum alk*hol, tentu saja. Karena kamu itu tetanggaku, aku rasa kita dapat mencoba bergaul, loh?"
"Dengarkan..."
Sebuah respons! Akhirnya, setelah sekian lama! (Iya, berhari-hari.)
"Ini mungkin tempat terburuk yang dapat kamu pilih buat mengajak seorang cewek."
Euh. Apa salah kalau kita mencoba mengajak seorang cewek di depan toilet? Aku berharap kalau aku menangkap Mashiro saat kebutuhannya paling tinggi, dia akan lengah dan secara tidak sengaja bilang iya.
Area itu semakin ramai, dan semakin banyak orang yang mulai menyaksikanku mencoba menghentikan cewek ini masuk ke toilet. Aku dapat merasakan tatapan curiga mereka di bagian belakang leherku. Cuma masalah waktu saja sebelum seseorang berlari dan memanggil Bapak-Ibu Guru.
Aku memutar tumitku dan berjalan pergi. Semua orang teralihkan dengan itu, mungkin.
Pada akhirnya, meskipun aku mencoba lagi dan lagi buat mengajak Mashiro, tidak ada yang berhasil menariknya menjauh dari komitmennya buat menyendiri.
***
Saat itulah malam sebelum pesta. Sepulang sekolah, aku mampir ke pasar swalayan terdekat.
Makanan tampak muncul di troliku saat aku mendorongnya. Sumbernya? Iroha, tentu saja, yang mengambil barang di kiri, kanan, dan tengah.
Wortel, bawang merah, kentang, daging dan lauk pauk, serta beberapa botol teh dan air. Juga, tumpukan makanan ringan, yang aku yakin cuma sesuai dengan selera Iroha dan bukan selera orang lain.
"Aku tidak sabar menunggu pesta besok!" Kata Iroha, sambil melemparkan senyuman polosnya padaku.
Iroha masih mengenakan seragamnya, dan hari ini, tidak memakai penyuara jemala (atau kancingnya yang terbuka, dalam hal ini). Iroha masih punya aura gaya soal dirinya, tetapi secara keseluruhan dia memberikan aura sempurna sebagai seorang k*cung Bapak-Ibu Guru.
Segalanya tampak sangat palsu buatku.
"Kamu dapat jadi dirimu sendiri, loh? Kamu tidak perlu bertingkah manis cuma karena ada banyak orang di sekitar."
"Senpai yang konyol. Aku mendapatkan diskon dan sebagainya dengan cara ini! Yang berarti kamu dapat membayar lebih sedikit juga."
"Aku rasa begitu..."
Aku melihat pesta-pesta ini sebagai cara buat berinvestasi dalam hubunganku, dan aku tidak mau mengeluarkan biaya. Meskipun begitu, memangkas sedikit biaya di sana-sini, tidak ada salahnya juga.
Namun, datang berbelanja dengan Iroha dalam Mode K*cung Bapak-Ibu Guru-nya bukanlah cara yang tepat buat mendapatkan diskon, sih.
"Astaga! Kalian berdua tampak imut sekali kayak biasanya!"
"Halo!" Iroha menyapa Bibi-Bibi yang sedang membagikan sampel gratis.
"Astaga, kamu selalu sopan sekali, Iroha-chan! Kamu benar-benar beruntung dengan Iroha-chan, Aki-kun!"
"Be-Benar, tetapi kami tidak benar-benar—"
"Tidak perlu malu-malu, Sayang!" Kata Bibi-Bibi itu sambil menepuk-nepuk pundakku dengan ramah.
Inilah makanya aku tidak suka datang ke sini bareng Iroha. Aku juga sering berpapasan dengan Iroha di sini, yang tidak mengherankan karena kami tinggal di gedung yang sama. Pada awalnya, kami memutuskan buat berkeliling toko bersama-sama, cuma karena kami berada di sana pada waktu yang sama, tetapi pada suatu ketika, kami akhirnya datang ke sini bersama-sama.
Sayangnya, hal itu membuat para Bibi-Bibi yang bekerja di sini (dan telah bekerja di sini selama beberapa tahun) percaya kalau kami itu pasangan muda yang suka berbelanja bersama.
Tetapi tunggu, masih ada lagi!
"Jadi sosis-sosis ini berasal dari Jerman atau semacamnya?" Tanya Iroha.
"Itu benar. Sosis-sosis itu tebal dan berair, dengan tekstur yang bagus. Ini, cobalah!"
"Wah, ini lezat sekali! Benda lengket apa yang ada di dalamnya?" Iroha menggigit sosis itu dengan antusias.
Aku memeriksa bungkusannya buat memastikan kalau Iroha tidak sedang mencoba membuat eufemisme yang tidak jelas, dan merasa lega saat mendapati ada saus keju di dalamnya. Namun, hal itu tidak menghentikan Iroha buat menoleh ke arahku sambil tersenyum terselubung.
"Mau mencobanya, Senpai? Ini, A'!" Iroha mengulurkan tusuk gigi ke arahku.
"Sudahlah."
"Tidak perlu malu-malu!" Ulang Bibi-Bibi Pramuniaga itu.
Iroha terkikik saat aku mendorong tangannya, tersenyum bagaikan seorang istri pada suaminya yang pemarah. "Ups!"
"Ah, betapa kejamnya kamu pada pacarmu, Aki-kun! Kamu mestinya memperlakukan Iroha-chan dengan lebih hati-hati!"
Tunggu sebentar.
Begitulah, Bibi-Bibi yang tidak ada hubungannya ini mencampuri hubungan yang bahkan tidak ada. Ini terjadi setiap kali aku bereaksi dingin pada godaan Iroha. Aku cuma tidak paham. Mungkin memang kayak ginilah pasangan yang tampak oleh orang lain. Bukan berarti aku ahli dalam topik pasangan, sih.
Sungguh sangat menyebalkan bagaimana semua orang memutuskan kalau kami itu pasangan. Kalau aku mencoba menyangkalnya, mereka cuma menyuruhku buat berhenti jadi pemalu. Fakta tidak punya tempat dalam khayalan pasca-kebenaran mereka.
Karena tidak mau pergi berbelanja dengan Iroha berduaan, aku mengajak Ozu juga.
"Tidak usah, terima kasih. Jadi obat nyamuk kelihatannya tidak bagus."
Ozu menyerah. Entah mengapa, Ozu mendapat kesan kalau aku senang ditemani oleh Iroha.
Bagaimanapun, saat aku sibuk dengan monolog batin ini, masih ada sosis yang disodorkan ke wajahku.
Iroha menatapku di balik uap yang mengepul dari daging asap yang harum, matanya berbinar-binar.
"Apa kamu tidak akan memakannya, Senpai?"
"Tidak. Ayolah."
"...Ah." Iroha memalingkan wajahnya, sedih.
Tangan Iroha yang memegang sosis terkulai. Mata pramuniaga wanita itu terdiam. Seakan-akan mereka dapat merasakan kecanggungan di udara, para pembeli yang lewat melirik ke arah kami, meskipun mereka dengan cepat kehilangan minat begitu mereka melihat tidak ada hal menarik yang terjadi.
Keheningan yang tidak tertahankan terus berlanjut, cuma dipecahkan oleh rintihan pelan Iroha.
"Euh, oke! Aku akan memakan sosisnya!" Aku mengulurkan tanganku dengan gusar, tidak tahan lagi.
Iroha menggelengkan kepalanya, memeluk bantalan yang empuk itu di dekat jantungnya. "Tidak apa-apa... ...Maafkan aku karena terlalu memaksa."
"Ti-Tidak, aku memang mau, kok."
"Be-Benarkah? Kalau begitu... ...Aku mau kamu tunjukkan padaku. Aku mau kamu memohon sosis ini dari lubuk hatimu yang paling dalam. Sampaikan keinginanmu padaku kayak kamu sedang dalam rapat bisnis."
Berani-beraninya cewek s*alan ini! Apa Iroha sadar kalau kami sedang berada di depan umum sekarang? Dan Iroha bahkan memelankan suaranya agar Bibi-Bibi Pramuniaga itu tidak mendengarnya. Di balik kedok Iroha yang manis dan polos, aku dapat melihat seringai paling jahat di wajahnya.
Aku tidak mau menyerah pada Iroha. Tetapi aku juga tidak dapat memarahi Iroha di tempat yang ramai kayak gini.
"Ah, aku mau sekali makan sosismu. Aku mau itu dari lubuk hatiku yang paling dalam."
"Aku sudah bilang buat mengencangkan suaramu."
"Menurut survei yang aku lakukan, dan ditanyakan padaku, 98% aku mau makan sosis itu, dan 84% aku mau kamu menyuapi sosis itu padaku. Tidak dapat membantah angka-angka itu, bukan?"
Menghadapi temuan ilmiahku yang mencengangkan, Iroha menepukkan kedua tangannya ke mulutnya dan membuang mukanya. Aku dapat melihat sekujur tubuh Iroha gemetaran. Jadi Iroha menertawakanku sekarang, bukan?
Aku tidak akan melupakan ini dengan terburu-buru.
"O-Oke, kamu melakukannya dengan baik. Aku tidak menyangka kalau kamu akan melakukannya," kikik Iroha.
"Permisi, Bibi," kataku pada Bibi-Bibi Pramuniaga itu. "Lihat bagaimana Iroha menertawakanku? Apa Bibi belum paham sekarang? Sebenarnya, Iroha benar-benar bukan—"
"Selamat datang! Apa kalian mau mencoba sosis keju spesial kami hari ini?"
S*alan! Bibi-Bibi itu terlalu mementingkan sosis-sosis itu, beliau merindukan Iroha yang menunjukkan sifat aslinya! Mengapa beliau tidak dapat mencampuri urusan kami saat itu benar-benar penting?! Atau apa Iroha punya semacam medan kekuatan yang membuatnya tidak tampak setiap kali dia mau jadi keledai?
Aku mengunyah sosis sambil mengutuk langit di atas.
"Bagaimana menurutmu, Senpai?"
"Lezat sekali."
"Ah! Aku tahu kalau kamu suka sosis! Aku suka kalau kamu berhenti bersikap keras kepala!" Iroha menyeringai padaku saat Bibi-Bibi Pramuniaga itu tidak melihat.
"Kesukaanku pada daging tidak membuatmu jadi kurang menyebalkan." Daging yang lembut membelai lidahku merupakan satu hal yang tidak dapat aku keluhkan saat ini. Aku cuma membenci cara Iroha membual soal itu. "Dan juga, berhentilah bilang kata 'suka'. Kamu tidak menyukai apapun dariku."
"Tetapi aku memang menyukaimu! Itu bukan sesuatu yang dapat aku bilang pada sembarang orang, loh!"
"Kamu itu kayak kebalikan dari dia. Kamu tahu soal itu?"
"Hah? Maksudmu Mashiro-senpai?"
"Iya. Yang Mashiro bicarakan cuma betapa dia membenciku. Iya, saat Mashiro bicara sama sekali, itu saja."
Iroha bilang kalau dia menyukaiku padahal tidak ada yang lebih jauh dari kebenaran itu menyebalkan, begitu juga Mashiro yang bilang kalau dia membenciku padahal aku tidak melakukan apapun buat pantas dibenci olehnya. Seandainya saja aku dapat jadi seorang cewek yang duduk di tengah-tengah, tetapi takdir jarang berbaik hati.
"Ah, aku jadi ingat! Mashiro-senpai masih belum bilang kalau dia akan datang ke pesta, bukan?" Tanya Iroha sambil mengulurkan tangan buat mengambil sekaleng jus tomat dari rak yang tinggi.
"Tidak."
Aku meminta Ozu dan Ibu Sumire buat membantuku dalam pesta dan segala sesuatunya. Sementara itu, Iroha bertugas memasak dan menyiapkan lauk-pauk buat kami. Satu-satunya hal yang menghambat kami yaitu kegagalanku buat membuat Mashiro tertarik buat datang.
"Mashiro mengabaikanku kapanpun dia bisa. Aku tidak tahu apa yang dapat aku lakukan."
Iroha bersenandung sambil terus melompat mengambil jus.
"Gini loh, Senpai, mungkin kamu terlalu baik pada Mashiro-senpai."
"Hah?"
"Aku tahu rencanamu itu buat jadi sangat menyebalkan, tetapi aku tahu kalau kamu dapat jadi jauh lebih menjengkelkan ketimbang yang aku lihat... ...Grr."
Tidak peduli berapa kali pun Iroha melompat, dia tetap tidak dapat mengambil jus tomatnya. Iroha memelototi rak paling atas, seakan-akan rak itu bertanggung jawab atas semua masalah kehidupannya.
"Kamu selalu mengangguku dan yang lainnya. Ingat saat kamu mencoba mengajak kami bergabung dengan Honeyplace Works?"
"Iya. Itu karena itulah pilihan terbaik buat kita semua. Aku mesti gigih dengan hal itu."
"Iya, dan pada akhirnya kamu yang meyakinkan kami semua, bukan? Rasanya kayak... ...kamu tahu apa yang kami kuasai, atau apa yang kami semua mau dalam kehidupan kami tanpa perlu bertanya."
"Aku cuma tidak suka kalau orang-orang dipaksa buat berubah atau melepaskan sesuatu demi menyesuaikan diri dengan standar orang lain. Maksudku, bayangkan kalau kalian punya cita-cita, atau bakat tertentu yang tidak dapat kalian manfaatkan karena lingkungan kalian tidak mengizinkannya. Itu sangat bodoh."
"Iya, dan saat kami semua mengkhawatirkan kalau cita-cita kami tidak realistis, kamu membantu kami buat keluar dari situ dan menyadari kalau kami dapat menggapai apa yang kami mau. Makanya kamu itu Produser terbaik di dunia. Oke..." Iroha melakukan lompatan terakhir dan mengulurkan tangannya sejauh yang dia bisa. Kali ini, jus tomat itu berhasil masuk ke tangan Iroha. "Iya! ...Ah... ...Ah!"
Iroha gagal melakukan pendaratan. Iroha kehilangan keseimbangan, mulai goyah, dan hampir menabrak rak. Meskipun Iroha membuatku kesal, aku tidak akan membiarkannya jatuh. Aku melingkarkan tanganku di sekitar perut Iroha buat menahannya di tempat.
"Hati-hati, Dasar Bodoh!"
"Haha! Terima kasih!" Seringai Iroha padaku, sambil memegang kaleng jus tomat di dekat jantungnya. "Tetapi seriusan, kamu menyelamatkan kami dari membuat kesalahan serius saat kami meninggalkan sekolah. Makanya Abang juga sangat menyukaimu. Aku tahu kalau kamu agak khawatir kalau Mashiro-senpai tidak mau berteman, atau kalau kamu terlalu kuat, tetapi jujur saja aku rasa nalurimu benar dalam hal ini. Lagipula, mereka selalu benar."
"Jadi maksudmu aku mesti mengerahkan segala kemampuanku? Iya, aku rasa aku agak menahan diri sebelumnya..."
Aku kepikiran kalau pendekatan yang tenang dan masuk akal pada segalanya akan berjalan lebih lancar, tetapi mungkin aku tidak benar-benar memanfaatkan bakatku dengan sebaik-baiknya. Aku sadar sekarang kalau membiarkan Mashiro memutuskan buat bergabung dengan kami sendiri tidak akan berhasil. Asalkan aku yakin kalau ini merupakan jalan yang tepat buat Mashiro, akulah yang mesti memberikan yang terbaik buat menunjukkan hal itu. Mashiro membutuhkan ini. Mashiro membutuhkan persahabatan kami agar punya masa depan yang lebih cerah. Kalau aku mesti mengganggunya secara ekstra keras buat sementara waktu demi mewujudkannya, maka biarlah.
Aku teringat saat aku menyarankan pada anggota Aliansi Lantai 05 yang lainnya agar kami mengincar pekerjaan di Honeyplace Works. Ozu dan Ibu Sumire menatapku kayak orang gila. Mereka bilang kalau itu mustahil, tetapi saat aku meyakinkan mereka kalau inilah yang terbaik buat kita semua, mereka akhirnya setuju.
Pertama-tama, ada Ozu, seorang cowok dengan bakat luar biasa, tetapi cuma dapat berkomunikasi dengan sekelompok kecil orang. Orang-orang itu yaitu aku, keluarganya, dan manusia dengan tingkat kecerdasan tertentu.
Lalu ada Ibu Sumire, seorang wanita yang secara alami kreatif dan suka menggambar sejak kecil. Meskipun beliau itu seorang ilustrator berbakat, beliau dipaksa buat jadi seorang ibu guru karena mengajar merupakan pekerjaan yang selalu dilakukan oleh keluarganya.
Karena aku meyakinkan Tsukinomori-san dan menyingkirkan semua rintangan demi menggapai cita-cita mereka, mereka sekarang dapat tawaran tanpa syarat buat bergabung dengan Honeyplace Works. Mereka bahkan tidak perlu mengikuti tes buat itu. (Bagus buat mereka.)
Mempertimbangkan usaha keras yang aku lakukan buat itu, tidak heran kalau Iroha mengira aku menahan diri dengan Mashiro selama sepekan terakhir ini. Setelah Iroha stabil, aku melepaskan Iroha dan mengambil sekaleng jus tomat darinya.
"Terima kasih, Iroha. Kamu telah membuka mataku."
"Iya! Aku suka kalau kamu serius! Aku tidak sabar buat melihat apa yang akan terjadi!" Iroha melemparkan seringai sinis dan penuh keceriaan padaku. Dan buat kali ini, aku menyeringai balik pada Iroha.
Persiapkan dirimu, Mashiro. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian, meskipun kamu akhirnya membenciku lebih dari siapapun. Aku akan menunjukkan cara yang paling efisien buat berteman dan menjalani kehidupan sekolah yang asyik dan bahagia!
Aku akan iseng pada Mashiro mulai sekarang.
***
"Kayaknya kamu benar-benar bersemangat sekarang," kata Ozu. "Aku tidak sabar buat melihat ide apa yang akan kamu keluarkan!"
"Aku tidak tahu seberapa jauh aku dapat melakukannya, tetapi kamu dapat bertaruh kalau aku akan berusaha sekuat tenaga!"
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F
Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F