[Peringatan 15+ Ke Atas!]
Bab 6Aku Iseng pada Putri Pamanku!
Keesokan harinya, aku memulai kehidupan baruku sebagai budak Mashiro.
Di pagi hari, aku menunggu Mashiro di gerbang sekolah. Begitu aku melihat Mashiro, aku segera meluncur buat membawakan tasnya, sambil mengibas-ngibaskan ekor (imajiner)-ku. Aku tidak mau tangan Mashiro yang halus hancur karena beratnya barang bawaan, dan aku mau membuatnya semudah mungkin buat Mashiro. Mashiro sangat berterima kasih atas bantuanku, sampai-sampai dia kehabisan kata-kata sampai ke ruang kelas.
Saat istirahat makan siang, aku berlari ke kantin sekolah buat membelikan Mashiro tiga buah nasi kepal tuna dan bawang bombay, dan beberapa teh khusus buat disiramkan ke salah satu nasi kepal tersebut kalau dia mau. Aku telah melakukan penelitian, dan tahu kalau ini merupakan beberapa makanan favorit Mashiro.
Mashiro sangat gembira, sampai-sampai dia tidak tahan buat makan atau minum.
Sepulang sekolah, aku bergegas ke meja Mashiro dan berlutut di depannya, menawarkan punggungku buat menggendongnya pulang. Mustahil aku membiarkan kaki Mashiro menyentuh lantai atau tanah yang kotor!
Sekali lagi, meskipun tabah, Mashiro sangat tersentuh oleh penampilan pengabdianku yang luar biasa, sehingga dia tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan, Mashiro tidak bilang apa-apa sepanjang hari. Sebaliknya, Mashiro berdiri di sana, gemetaran.
"I... ...Ikut... ...Ikutlah denganku!"
"Terserah Anda, Yang Mulia."
Mashiro mencengkeram tengkukku dan menyeretku ke lorong. Mashiro membawaku ke gudang di dekat tangga, di suatu tempat yang jarang dilewati orang, sebelum akhirnya menyandarkanku ke tembok.
"Mengapa kamu sangat menyebalkan hari ini?!" Mashiro menjaga suaranya tetap rendah, tetapi amarah bergemuruh pelan di setiap suku katanya.
"Haha, iya, aku rasa itu memang agak menyebalkan..."
"Kamu 'rasa'?! Aku tidak pernah mengenal seseorang yang sangat... ...sangat kelewatan kayak kamu hari ini!"
"Aku mesti jujur, aku agak meragukan diriku sendiri sepanjang waktu: 'S*alan, mungkin aku sudah kelewatan'..."
"Astaga!"
"Tetapi kamu sedang bersikap agak jahat padaku sekarang, loh? Maukah kamu mendengarkan apa yang mau aku bilang?"
Pengabdianku memang bukan tanpa alasan. Semuanya: membawakan tas Mashiro, membelikan Mashiro bekal makan siang, menawarkan diri buat mengantar Mashiro pulang... ...Semua itu merupakan ide Iroha. Itu semua merupakan bagian dari rencana buat lebih dekat dengan cewek sedingin es bernama Tsukinomori Mashiro.
Aku tahu sejak awal kalau ini akan sangat menjengkelkan, tetapi kalau aku tidak berusaha sekuat tenaga, itu cuma akan merusak kemungkinan rencana itu berhasil. Aku tidak boleh gagal di sini.
Meskipun sekitar pertengahan hari, aku sadar kalau ini mungkin gagal. Aku sadar kalau aku berada di garis batas antara budak yang menyenangkan dan penguntit yang terobsesi dan gila. Aku rasa bahkan bagian budak itu agak aneh.
Pada akhirnya, aku cuma beruntung karena apapun tindakan nyaris kriminal yang aku lakukan di dekat Mashiro, teman-teman sekelasku cuma menganggapnya sebagai tindakan cinta yang mendalam dan penuh gairah. Reputasiku sekuat titanium pada saat itu. Bahkan, mungkin mereka berada di bawah semacam hipnotis. Atau mungkin ini merupakan kesepakatan semacam Truman Show dan mereka mesti pura-pura kalau segalanya baik-baik saja dan normal.
Pokoknya, aku memberi Mashiro penjelasan lengkap soal situasi ini. Saat aku menjelaskan, amarah di mata Mashiro melunak sedikit, dan aku bahkan berani bersumpah kalau aku melihat sedikit simpati di matanya.
"Apa kamu bodoh atau semacamnya?" Tanya Mashiro.
"Mungkin saja aku ini memang bodoh."
Bagaimanapun juga, aku memutuskan kalau Iroha itu orang yang paling tepat buat membantuku. Aku masih ingat seringai bodoh di wajah Iroha saat dia memberi tahuku soal rencananya.
"Dengarkan aku, ya, Senpai! Cara pertama agar kamu disayangi dan dicintai seorang cewek yaitu dengan bersikap baik padanya!"
"Cuma itu?"
"Ten-mung-tu saja! Cewek-cewek sangat mudah buat dimengerti! Kamu cuma perlu menaburkan pesona, dan mereka akan terjaga sepanjang malam memikirkanmu! Pasti! Mungkin!"
"Kamu tidak tahu apa yang kamu bicarakan, bukan?!"
"Itu bukan salahku! Lagipula aku masih perawan yang sangat polos dan belum berpengalaman! Tetapi bagaimanapun juga, lakukan saja apa yang aku bilang, dan itu mungkin akan berhasil!"
"Bisakah kamu memberiku beberapa peluang spesifik soal itu?"
"Dengarkan, kalau menurutmu aku ini bercanda, coba saja dan kamu akan tahu dengan pasti! Tihi!"
Ternyata Iroha bicara ceplas-ceplos sepanjang waktu.
Aku mengikuti rencana Iroha dengan baik. Dan sekarang lihat apa yang terjadi. Iroha pasti orang yang sangat jenius sehingga dapat membuat orang lain bertindak kelewatan kayak dia. Itu hampir mengesankan. Hampir.
"Berlutut. Di lantai. Sekarang."
Lantai yang dingin dan keras membekukan kakiku saat hawa dingin dari tangga mendinginkan tubuhku dan tatapan dingin Mashiro membuatku mati rasa dari atas. Ada beberapa orang tingkat tinggi di kelasku yang menganggap hal ini sebagai keberkahan. Aku, dalam keberadaanku yang rendahan, cuma melihat ini sebagai sebuah penderitaan.
"Kamu sudah tahu kalau kamu itu menyebalkan, tetapi kamu malah tetap melakukannya. Apa kamu benar-benar membenciku?" Tanya Mashiro.
"Tidak, ini lebih kayak... ...Itu..."
"Apa?"
Aku dapat melihat kerutan di jidat Mashiro semakin dalam saat aku meraba-raba kata-kataku.
Bagaimana aku mesti menjelaskannya?
Aku tidak mau menyalahkan Iroha atas semua ini. Tentu saja, rencana Iroha merupakan ide paling menjengkelkan yang pernah dibuat manusia, tetapi akulah yang memilih buat melanjutkannya. Akulah yang mengganggu Mashiro hari ini, dan aku tidak akan mencari-cari alasan buat itu. Aku tidak akan menyebutkan Iroha di sini.
Tetapi tidak melibatkan Iroha membuatku tidak punya alasan. Jadi apa yang aku—
"Aw! Lihatlah pasangan yang imut itu! Apa kalian sedang bermesraan? Hah? Apa iya?!"
Itu dia. Suara melengking dan menyebalkan itu bergema dari tangga di atas kami. Aku mendongak dan melihat cewek berambut emas itu bersandar di pegangan tangga, mulutnya mengerut, dan gunungnya menjuntai ke samping.
"Mau mengejekku, Iroha?" Tanyaku.
"Tentu saja tidak! Aku cuma datang buat melihat bagaimana rencana sangat jeniusku berjalan dengan lancar!"
"Itu berjalan dengan sangat buruk, Dasar Bodoh."
"Dia bahkan membuatmu berlutut di lantai!" Kekeh Iroha. "Pasti karma karena telah mengalahkanku tempo hari!"
Berhenti tertawa!
Iroha sangat keterlaluan... ...segera setelah aku diperbolehkan bangun dari lantai.
"Siapa cewek ini?" Mashiro menyipitkan matanya ke arah Iroha dengan penuh curiga, sebuah reaksi yang masuk akal kalau aku pernah melihat hal serupa.
"Hai! Aku yang mengatur semua ini buatmu, Mashiro-senpai!"
"Hei, diamlah!" Bentakku.
"Apa? Itu memang benar, kok!"
Mungkin memang benar, sih, tetapi kamu tetap tidak boleh langsung bilang begitu.
Begitulah taktikku buat "tidak melibatkan Iroha dari hal ini" sudah kandas...
"Berhentilah berbicara di antara kalian sendiri! Itu menyebalkan, dan... ...hah?" Mashiro menatap Iroha, seolah-olah dia menyadari sesuatu. Suara Mashiro kosong dari emosi, dia melanjutkan, "Ah, begitu ya... ...Sekarang aku paham."
Hah? Apa? Mashiro tiba-tiba jadi lebih marah dari sebelumnya, tetapi aku tidak tahu mengapa. Sebelum aku sempat menebak, Mashiro memutar tumitnya dengan derit sepatunya.
"Aku mau pulang," kata Mashiro.
"He-Hei, tunggu! Ada apa?"
"Bukannya cewek ini itu kouhai imut yang sangat akrab denganmu?"
"Itu, Iroha memang seorang kouhai, tetapi dia tidak imut, dan bukan, kami itu tidak cocok. Bahkan, aku cukup yakin kalau dia itu cuma iseng padaku."
"Jadi cewek ini menggodamu?"
"A-Apa...?!"
"Kalian selalu mengolok-olokku selama ini! Kalian berdua pergi saja ke neraka sana!" Timpal Mashiro, sebelum meninggalkan kami.
Aku melihat Mashiro pergi, terkesima. Aura yang terpancar dari Mashiro seratus kali lebih dingin dari apapun yang aku rasakan selama ini. Kayaknya pemanasan global telah diperbaiki.
"Ups!" Kata Iroha, yang telah menuruni pegangan buat berdiri di sampingku. "Wah, aku rasa Mashiro-senpai benar-benar membencimu sekarang, ya?"
"Iya! Dan itu sepenuhnya salahmu!"
"Tidak dong! Ini kayak, 80% salahmu!"
"Persamaan matematika bodoh apapun yang kamu gunakan itu melenceng!"
Diam-diam, aku rasa itu cukup akurat. Yang dilakukan Iroha cuma memberiku ide. Akulah yang meminta bantuan Iroha, akulah yang melaksanakannya, dan akulah yang meraba-raba penjelasanku pada Mashiro. Tidak ada yang dapat aku salahkan selain diriku sendiri atas betapa Mashiro membenciku sekarang.
"Jadi bagaimana kamu akan keluar dari masalah ini, Aki-senpai?"
"Entahlah. Tetapi aku mesti memikirkan sesuatu..." Aku menghela napas. Aku tidak dapat membiarkan segalanya kayak apa adanya, tetapi aku juga tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. "Lagipula, aku tidak akan menemui Mashiro sampai besok. Jadi aku akan memikirkan sesuatu buat dibilang pada Mashiro malam ini."
***
"Sekarang buat televisi layar lebarnya! Ayolah, letakkan punggung kalian ke dalamnya! Tetapi hati-hati!"
"Siap, baik, Tuan!"
Kayak seluruh keputusanku dalam kehidupanku, aku memilih gedung apartemenku saat ini berdasarkan efisiensi. Saat SMP, orang tuaku dipindahkan ke luar negeri, tetapi meninggalkanku dengan anggaran yang cukup sehingga aku tidak perlu khawatir soal uang. Aku menghabiskan banyak waktu buat melihat-lihat apartemen yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki ke SMA baruku.
Aku memutuskan buat tinggal di lantai lima dan lantai tertinggi di gedung apartemen, karena itulah lantai yang paling aman dan paling tidak rentan pada kejahatan. Maka, aku pun menempati Kamar 502. Kamar 501 itu kamar paling pojok. Aku tidak memilih kamar itu, karena letaknya yang sangat dekat dengan gedung sebelah, sehingga kejahatan dan privasi akan jadi masalah. Selama tiga tahun aku tinggal di sini, tidak ada yang pernah pindah ke sana, jadi aku kira aku bukan satu-satunya yang sampai pada kesimpulan itu.
Aku senang karena aku memilih buat tinggal di sini. Aku ketemuan dengan Keluarga Kohinata yang tinggal di sebelah Kamar 503, dan Murasaki Shikibu-sensei, alias Ibu Sumire, di Kamar 504. Kebetulan sekali sebagian besar anggota Aliansi Lantai 05 berada di lantai yang sama kayak gini.
Kami sangat bahagia di surga kecil kami yang nyaman, sampai-sampai kami lupa kalau masih ada kamar yang kosong.
"Sekarang, rak buku! Kalau kalian begitu pintar, kalian mestinya sudah terbiasa mengangkatnya!"
"Siap, baik, Tuan!"
Sebuah kamar kosong yang dapat ditinggali kapan saja.
Itu memang tidak masalah, tetapi mengapa mesti kayak gini?
Saat aku pulang dari sekolah, aku disambut oleh suara-suara riang para pekerja pindahan yang berotot saat mereka mengangkut perabotan dari truk ke dalam gedung apartemen. Baru saat aku sampai di lantai lima, aku ketemuan dengan cewek yang sama yang duduk di sebelahku di sekolah.
Kami saling menatap dalam diam.
Aku tidak tahu apa yang mesti aku lakukan atau bilang, jadi otakku memutuskan buat melakukan hal yang bodoh dan bilang dengan lantang apa yang aku pikirkan.
"Mustahil... ...Kamu pasti bercanda!"
"Ah, kebetulan sekali! Hai yang ada di sana!" Iroha, yang berjalan pulang bersamaku, menjulurkan kepalanya dari belakangku. Aku dapat mendengar senyuman di wajah Iroha dari sapaannya.
Mengapa Mashiro tidak panik? Mustahil hal ini terjadi! Namun di sanalah dia, si Tsukinomori Mashiro, cewek yang sama yang berjam-jam cemberut di sampingku di sekolah, dengan cemas melihat para pengangkut barang membawa barang-barangnya ke dalam Kamar 501!
Tatapan yang Mashiro berikan padaku sekarang sangat besar.
"Apa kalian menguntitku atau semacamnya?!"
"Eh, tidak, kok. Aku memang tinggal di sini."
"Berhentilah berbohong!"
"Aku juga tinggal di sini!" Tambah Iroha dengan santainya.
"Hah?!" Alis mata Mashiro bergerak-gerak saat Iroha melompat ke depan Mashiro.
"Boleh aku bertanya. Siapa sebenarnya kamu buat Aki?"
"Aku itu adiknya Aki-senpai!"
"Aki punya seorang adik?"
"Aku itu adik temannya Aki-senpai, yang secara teknis membuatku jadi adik aslinya juga. Aku harap orang-orang akan paham itu!"
"Apa kamu bodoh atau semacamnya?"
"Ah, aduh. Cibiranmu sama sakitnya dengan cibiran Aki-senpai! Ah, ajari aku caramu, Nona Mashiro! Apa rahasianya? Makan banyak makanan pedas?"
"A-Apa ada yang pernah bilang kalau kamu itu sangat menyebalkan?" Tanya Mashiro, seakan-akan benar-benar khawatir.
Iroha terus menepuk-nepuk pundak Mashiro dengan main-main, tidak bergeming sedikitpun. Sekarang aku tidak lagi jadi sasaran, aku jadi lebih menghargai betapa menyebalkannya tingkah Iroha.
Itu pasti karena sifat ekstrover Iroha yang ditakuti. Bagaimana lagi Iroha dapat membenarkan memperlakukan seseorang yang baru saja dia temui kayak gini?
"Hentikan, Iroha. Mengapa kamu bersikap menyebalkan kayak gitu pada Mashiro? Aku kira kamu dapat bersikap normal saat kamu mau."
"Aku jago memilih waktu dan tempat, maka dari itu! Dan inilah bagaimana aku akan bertindak dengan Mashiro-senpai. Khususnya karena itu membuatmu kesal!"
Iroha punya pikiran yang satu jalur. Sayang sekali jalurnya bengkok dan butuh perbaikan.
Aku mengabaikan seringai dan acungan jempol Iroha yang tidak pantas, dan malah memutuskan buat jadi orang yang sopan di sini dan meminta maaf pada Mashiro.
"Maafkan aku, kouhai-ku ini memang sangat menyebalkan."
"Itu masalahnya cewek ini, bukan masalahmu," gumam Mashiro sambil memalingkan wajahnya yang tidak puas dariku. Sambil melirik ke arahku, Mashiro menambahkan, "Cewek ini itu adiknya temanmu, bukan? Dengan kata lain, tidak ada hubungan darah. Dengan kata lain, kamu tinggal dengan seorang cewek yang bukan kerabat. Dengan kata lain..."
"Ti-Tidak, bukan kayak gitu."
Cara kami bertindak bersama itu hasil dari kehidupan kami dalam jarak yang begitu dekat buat jangka waktu yang lama. Aku sudah lupa, bagaimana hal itu tampak buat orang luar. Ditambah lagi, kami baru saja pulang bersama dari sekolah, yang biasanya bermakna kami berencana buat nongkrong di apartemen yang sama. Dan kami berlainan jenis kelamin. Kalau kami entah bagaimana terlibat merupakan kesimpulan yang paling masuk akal buat Mashiro.
"Kami tidak tinggal bersama," kataku. "Aku tinggal di Kamar 502, dan—"
"Aku tinggal di Kamar 503!"
"Apa?" Kerjap Mashiro.
"Ozu juga tinggal di sini. Itu loh, Kohinata Ozuma, cowok di kelas kita yang selalu aku bicarakan? Ozu itu abangnya bocil ini."
"Siapa yang kamu panggil bocil?! Kasar sekali! Ayolah, kamu dapat memanggil namaku kayak yang biasa kamu lakukan! 'Iroha, Iroha kecilku yang manis'!"
"A-Apa?" Kerjap Mashiro dalam kebingungan.
Iroha memang tertawa sekarang, tetapi aku tidak tahu mengapa.
Mashiro menghindar dari kami dan bergegas buat memeriksa papan nama di luar apartemen kami.
"'Ooboshi'... ...'Kohinata'... ...Ka-Kalian tidak bohong!"
"Ngomong-ngomong, Kamar sebelah, 504, itu kamar apartemennya ibu guru kita, Ibu Kageishi Sumire."
"Me-Mengapa kalian semua tinggal di sini?" Tanya Mashiro.
"Ini cuma kebetulan yang sangat besar."
"Benarkah...?" Mashiro menyipitkan matanya dengan curiga.
Aku tidak dapat menyalahkan Mashiro. Aku akan bereaksi dengan cara yang sama kalau ternyata aku sudah mengenal semua orang di lantai yang sama di apartemen baruku.
"Hmm?" Wajah Mashiro tiba-tiba menggelap, dia menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar di bawah napasnya. "Aliansi... ...Lantai 05... ...Lantai 5? Mustahil..."
"Apa kamu barusan bilang sesuatu?"
Mashiro tidak menjawabku, malah tenggelam dalam keheningan yang serius, seakan-akan berada di ambang terobosan ilmiah yang besar. Kulit pucat di bagian belakang leher Mashiro berwarna merah muda, tetapi aku tidak tahu apa dia marah atau ada hal lain. Setelah bergumam pada dirinya sendiri selama beberapa saat, Mashiro berputar dan mengacungkan jarinya ke arah kami berdua.
"Kalian berdua itu menyebalkan. Dan kalian selalu membawa hal itu ke mana pun kalian pergi!" Mashiro berbalik membelakangi kami. "Jangan bertingkah sok akrab denganku, cuma karena kita bertetangga sekarang."
"Ini sudah agak lama, loh? Mengapa tidak berteman saja? Itu akan jadi cara... ...Gah!"
"Kulkasnya! Ayolah, angkat dengan kaki kalian!"
"Siap, baik, Tuan!"
Saat aku hendak menghentikan Mashiro buat mundur ke dalam istananya, aku dihalangi oleh barisan pria berotot. Mereka berbaris di depanku dalam satu barisan, membuatku cuma dapat melihat sekilas punggung Mashiro saat dia menghilang ke dalam Kamar 501.
"S*alan. Bicara soal waktu yang tidak tepat..."
"Ah! Orang-orang JPS sangat seksi! Apa kamu tahu kalau 90% dari mereka sangat menyukai binaraga, dan ada berbagai macam doujinshi yang populer tentang mereka? Aku sudah mencarinya!"
"Aku tidak peduli."
"Kamu cukup berotot juga, meskipun kamu tampak kayak cowok biasa saat mengenakan pakaianmu. Aku rasa aku akan melihatmu di beberapa doujinshi juga suatu saat nanti!"
"Aku juga pernah sih! Karena kamu selalu cuma mengenakan celana dalammu saat keluar dari kamar mandi! Meskipun aku melarikan diri saat kita melakukan kontak mata, aku sudah mengambil tangkapan layar yang tepat dengan otakku! Hasil tangkapan layar itulah caraku mengetahui segala rahasiamu!"
"Apa menurutmu kalau aku membenturkan kepalamu, itu akan merusak datamu?"
"Tidak, tetapi mungkin akan terasa seksi!"
"Astaga, hentikan. Dan juga, berhentilah masuk ke kamarku saat aku sedang mandi. Aku tidak tahu kalau itu kamu."
Iya, aku memang menelepon polisi saat aku mendengar seseorang memanggilku saat aku sedang bersiul sambil berkeramas. Aku bilang pada mereka kalau itu seekor kucing (karena aku kira itu kucing).
"Ah, ayolah! Kamu tidak perlu malu! Definisi pada otot selangkanganmu cukup bagus, loh!"
"Tidak juga, dan itu sudah dapat aku duga, karena aku berolahraga setiap hari. Aku masih kecil kalau dibandingkan dengan pegulat profesional atau pemain futbol."
"Iya lah, kalau kamu membandingkan dirimu dengan orang-orang kayak gitu, tentu saja kamu tampak buruk!"
Olahraga setiap hari sudah jadi kebiasaanku. Aku tidak mau menyia-nyiakan sesedikit mungkin waktuku buat berurusan dengan cedera dan penyakit. Demi mengoptimalkan penggunaan sumber daya fisikku, aku mencari segala cara demi jaga diriku tetap sehat.
Ternyata olahraga rutin dan moderat merupakan cara terbaik buat melakukannya, percaya atau tidak. Sejak saat itu, aku mulai berlatih otot setiap hari. Aku tidak mengonsumsi suplemen, membuat target, atau pergi ke gimnasium atau semacamnya, tetapi latihan harianku berarti tubuhku agak lebih berotot ketimbang rata-rata.
"Bagaimanapun, itu tidak penting saat ini. Yang penting, itu—"
"Mashiro-senpai itu kabur darimu?"
"Tidak, aku tidak mempermasalahkan hal itu. Aku sudah menduga hal itu saat kita ketemuan dengan Mashiro di sini, sebenarnya."
Aku terdiam, sebelum menyeringai. Mata Iroha membelalak.
"Hei, aku rasa kamu belum pernah sesemangat ini!"
"Tidak sejak Murasaki Shikibu-sensei mengomel di kakiku," aku setuju. "Kamu mestinya melihat raut wajah beliau..."
"A-Aku tidak tahu kalau kamu sesadis itu!"
"Bilang saja apapun, terserah yang kamu mau. Tetapi Mashiro juga tidak akan pergi dariku." Aku menggertakkan tulang-tulang jariku, menyeringai melebar.
Cuma ada begitu banyak yang dapat aku lakukan saat interaksiku dengan Mashiro terbatas di dalam kelas. Meskipun guru kami dan Paman mengingatkanku buat tetap memperhatikan Mashiro, dan bertindak sebagai pacarnya, aku tetap tidak dapat berbuat apa-apa kalau Mashiro terus menjauhiku.
Tetapi Mashiro ada di wilayahku sekarang, bagaikan lalat yang terperangkap dalam jaring perangkapku. Dan itu bukanlah salahku. Itu salah Mashiro sendiri karena pindah ke gedung yang sama. Biarkan Mashiro menyebutku menyebalkan, atau munafik. Aku tidak peduli.
"Akan aku tunjukkan pada Mashiro betapa isengnya diriku!"
"Oke, sekarang saatnya ranjangnya! Tidak akan muat di lift, jadi dorong saja lewat jendela!"
"Siap, baik, Tuan!"
Aku terkekeh di dalam hati di antara dengusan dan teriakan para pekerja.
Putri Mashiro akhirnya keluar dari istananya, dan sekarang tinggal bersama sekelompok para kurcaci kecil yang bahagia. Dan kurcaci-kurcaci inilah yang dibutuhkan Putri Salju saat ini.
Aku tidak khawatir kalau aku melangkah terlalu jauh, dan aku juga tidak siap buat mempertimbangkan sikap jutek Mashiro. Mustahil Mashiro mau sendirian.
Mustahil Mashiro mau kembali ke kehidupan lamanya, di mana dia tidak punya apapun selain kenangan kesepian karena dirundung. Mashiro telah meninggalkan rumah lamanya, yang bahkan tidak jauh dari sekolah kami, demi pindah ke sini.
Mengapa Mashiro mesti melalui semua masalah itu kalau dia tidak mau awal yang baru? Aku yakin, dengan caranya sendiri, Mashiro mau menjalani kehidupan yang asyik dan bahagia di sisa masa sekolahnya.
Cuma ada satu hal yang mesti aku lakukan sekarang. Itulah hal yang paling efisien dan efektif yang dapat aku lakukan, demi memenuhi keinginan Mashiro.
***
"Jadi pacar palsuku sekarang tinggal di sebelah rumahku, pada dasarnya," jelasku pada Ozu lewat panggilan telepon.
"Sarang harem-mu semakin ramai dari hari ke hari, ya? Waduh, 'kan aku dapat duduk dengan santai dan menyaksikan drama ini berlangsung..."
Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F