Tomodachi no Imouto ga Ore ni Dake Uzai [Light Novel] - Jilid 1 Bab 9 - Lintas Ninja Translation

[Peringatan 15+ Ke Atas!]

Bab 9
Adik Temanku Iseng pada Musuh dari Pacar Palsuku!

"Cuma kita bertiga, ya? Kayaknya aku jauh lebih dibenci dari yang aku kira." Aku menengok ke arah dua orang cewek yang muncul dan menghela napas.

Kami mestinya ketemuan di pintu masuk mal, di depan patung Burung Hantu Pendendam. Saat itu pukul 13.00 siang pada hari Sabtu, dan mal itu penuh sesak dengan pembeli. Aku tidak menyangka kalau ada banyak orang di kota ini. Dua orang cewek tampak menonjol di antara keramaian dan hiruk pikuk itu. Cewek-cewek ini tidak tahu makna dari kata "efisiensi". Aku bilang pada mereka kalau kami dapat datang ke sini bersama-sama, karena kami tinggal di gedung yang sama, tetapi mereka berdua menolak.

Kohinata Iroha memakai penyuara jemala di rambut keemasannya. Mata Iroha yang besar dan kulitnya yang terekspos dengan santai membuatnya tampak hidup dan ceria.

Di sebelah Iroha berdiri Tsukinomori Mashiro, seorang cewek pemalu, yang bahunya membungkuk di tengah kerumunan. Rambut Mashiro yang berwarna biru keperakan bersinar dengan kilau hampir kayak logam, dan kulitnya sangat pucat, seakan-akan dia belum pernah terkena sinar mentari. Meskipun awal musim panas, Mashiro mengenakan kaus kaki selutut dan baju lengan panjang, seakan-akan berusaha melindungi dirinya dari dunia luar.

Ozu dan Ibu Sumire tidak muncul, dasar para b*jingan itu. Ozu rupanya sedang menonton presentasi soal teknologi asing yang tidak dapat ia alihkan dari pandangannya. Ibu Sumire bilang kalau beliau sedang mempersiapkan diri buat konvensi doujinshi berikutnya dan beliau perlu "belajar" dengan menonton lebih banyak anime shota.

Aku tidak dapat menang. Tidak melawan kekuatan gabungan dari presentasi teknologi dan para bocil. Aku rasa mereka memang bukan temanku. Aku memang menduga kalau Ozu mengira ia sedang bersikap halus dengan menolak, tetapi ternyata bukan begitu. Ozu mungkin mau aku dan Iroha menghabiskan waktu berdua saja. Tetapi mengapa? Kami bahkan tidak berpacaran. Ozu benar-benar menggonggong di pohon yang salah, dan kalaupun tidak, itu merupakan rencana yang tidak masuk akal.

Karena Mashiro juga ada di sini.

Kedua orang cewek itu berdiri bersebelahan dengan kaku, tidak satu pun dari mereka yang berbicara satu sama lain. Itu tampak canggung sekali. Aku telah mengirim pesan pada Ozu sampai menit terakhir, mencoba buat membuatnya datang, tetapi keterlambatanku membuat hal ini terjadi. Aku menyunggingkan senyuman di wajahku, berharap keberadaanku akan membantu melancarkan segalanya.

"Apa kabar."

"Ada apa, Aki-senpai?! Kamu lama sekali! Apa kamu tidak tahu kalau membuat seorang cewek menunggu itu tidak sopan?"

"Matilah saja sana di dalam api," tambah Mashiro.

"Mengapa kalian cuma sinkron dalam hal melecehkanku?"

Kalian tidak akan menyangka kalau mereka telah mengabaikan satu sama lain sampai aku muncul. Paling tidak kali ini, Mashiro terdengar agak kurang agresif saat dia menyuruhku mati di dalam api... ...Aku rasa.

"Aku sudah bilang kalau aku akan terlambat, bukan?"

Tadi malam di pesta, aku akhirnya mendapatkan ID LIME Mashiro. Saat aku melirik ke layar ponsel pintar Mashiro dan menyadari kalau aku merupakan teman pertamanya, jantungku terasa sakit buatnya. Mashiro mungkin cuma membuat akun dengan terburu-buru saat aku memintanya.

Pokoknya, intinya yaitu aku memperingatkan mereka kalau aku akan terlambat, karena aku sibuk mencoba meyakinkan Ozu buat membatalkan presentasi bodohnya.

"Aku tidak peduli. Aku benci menunggu," kata Mashiro sambil memelototiku.

Ada kata itu lagi. "Benci." Mungkin, mungkin saja, "berteman dengan mereka berdua" dan "punya harga diri" merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Namun, aku belum mau menyerah.

"Bioskopnya ada di lantai atas, bukan?"

Aku cukup percaya diri dengan rencana hari ini. Pertama, kami akan menonton film di bioskop mal, "TOKO Cinema." Lalu kami akan mendiskusikan film tersebut dan makan makanan sampah (junk food) di pujasera lantai dua. Setelah itu, kami akan berkeliling toko-toko dan mencari pakaian atau aksesoris, atau kami akan pergi ke arkade.

Pada saat kami selesai, kami yakin akan jadi para sahabat! Paling tidak aku harap begitu, tetapi aku masih tidak tahu bagaimana aku dapat lebih dekat dengan mereka berdua. Mungkin cukup dengan membuat Iroha melihat kalau kami lebih dekat dari yang dia kira.

"Karena semua orang yang akan muncul sudah ada di sini —Aw! Apa yang kamu lakukan?!"

"Apa lagi dong! Aku cuma bergandengan tangan denganmu, kayak teman-teman biasanya!" Seringai Iroha.

"Mungkin teman-teman cewek biasa! Ini aneh sekali buat teman-teman lawan jenis!"

"Bagaimana aku bisa tahu? Aku cuma pernah punya teman-teman cewek! Aku tidak tahu berapa banyak sentuhan kulit yang boleh dilakukan dengan teman-teman cowok!"

"Hen-Hentikan itu!"

Iroha mengisyaratkan padaku dengan pipi kucing Cheshire. Bahwa Iroha mengenakan pembungkus atas kali ini tidak terlalu berpengaruh saat aku masih dapat merasakan lekukan lembut gunungnya di lenganku!

Tidaklah adil buat Iroha untuk melakukan trik kotor kayak gini! Tentu saja, aku dapat mengetahui naluri cowokku buat meredamnya, dan kalau ini bukanlah waktu atau tempat buar terangsang, tetapi aku tidak tahu berapa lama aku dapat bertahan... ...dan itu membuatku takut.

Yang dapat aku lakukan cuma memelototi gremlin nakal ini yang mencoba memanipulasi kepekaanku yang suci, tetapi aku membutuhkan sesuatu yang lebih buat menarikku menjauh dari daya tarik gunung Iroha yang menggoda.

Tidak disangka, kayaknya ada seseorang yang mengindahkan panggilan batinku.

"He-Hei."

Mashiro mencengkeram lenganku yang lainnya, wajahnya memerah karena malu. Maaf, tidak ada kelembutan sama sekali yang keluar dari "gunung" Mashiro. Yang aku rasakan cuma bahan pakaian Mashiro yang halus.

Perasaan lembut kulit Mashiro yang menempel pada tubuhku, menenangkan libidoku, dan aroma wangi kayak susu yang tercium darinya, sangat menenangkan, kayak aku sedang ditidurkan di atas awan yang nyaman oleh angin sepoi-sepoi.

Apa yang sedang mereka lakukan?!

Aku dapat merasakan orang-orang di sekeliling kami menatap ke arah cowok yang menggandeng seorang cewek cantik di masing-masing lengannya. Aku mencoba melepaskan Mashiro, rasa malu mencakar perutku.

"A-Ayolah, gaes..."

"Inilah apa yang... ...dilakukan oleh 'teman-teman', bukan?" Tanya Mashiro.

"Ini benar-benar bukan begitu!"

"Te-Tetapi Iroha-chan melakukannya. Jadi aku juga mesti melakukannya."

Apa yang mesti aku bilang pada hal itu?

Tidaklah adil buatku untuk menolak Mashiro, sementara aku membiarkan Iroha terus menempel padaku (yang aku lakukan bukan karena pilihanku). Wajah Mashiro memerah, dan Iroha berpegangan pada lenganku, seolah-olah dia sedang berkompetisi di Kejuaraan Nasional Memeluk Lengan. Aku mau bilang pada Mashiro, kalau dia boleh melepaskan lenganku kalau itu terlalu memalukan, tetapi mungkin bukan itu masalahnya di sini. Yang dapat aku lakukan cuma menyerah dan membiarkan Mashiro berpegangan padaku, juga, sementara sisi lainnya memantul ke arahku.

"Haha! Lihatlah dirimu, Aki-senpai! Kamu punya harem sendiri! Kapan anime-mu mulai tayang, ya?!"

(TL Note: Diumumkan sejak 2021, baru tayang 4 Oktober 2025.)

Iroha tidak berhenti tertawa, memegangi perutnya dengan tangan yang bebas.

"Da-Dasar cewek s*alan!"

"Hen-Hentikan itu! Perutku sampai sakit!" Lolong Iroha.

"Ini bahkan tidak lucu! Kamu tahu ini tampak aneh, bukan? Jadi lepaskan! Jangan bilang kamu tidak masalah dengan orang-orang yang menatapmu?"

baca-imouza-jilid-1-bab-9-bahasa-indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

"Rasa maluku sendiri merupakan harga kecil yang mesti aku bayar agar membuatmu mengubah wajah jutekmu itu!"

Euh! Bagaimana kalau seseorang dari sekolah melihat kita? Atau lebih buruk lagi, bagaimana kalau kita bertemu dengan Tsukinomori-san? Aku mencoba buat menyingkirkan mereka begitu kemungkinan-kemungkinan itu muncul di kepalaku, tetapi mereka berdua menempel di kepalaku bagaikan lem. Yang dapat aku lakukan cuma menggeliat tidak berdaya. Iroha menyeringai, sebelum mengacungkan jarinya ke udara.

"Okelah kalau begitu! Mari kita pergi!"

***

"S*alan. Sudah lama sekali aku tidak pernah kalah..."

Aku berdiri di depan mesin tiket bioskop, menundukkan kepalaku.

Untungnya, kedua tanganku sudah bebas. Tatapan cemburu dan curiga telah mengikuti kami sampai ke bioskop, di mana Iroha memutuskan buat membuat kesepakatan denganku. Kalau aku membayar tiket, berondong jagung, dan jus, Iroha akan melepaskanku.

Aku langsung menggigitnya. Kalau tidak, aku pasti sudah membentak. Pertama-tama, karena aku bergaul dengan sepasang cewek, aku berharap buat membayar sesuatu paling tidak. Aku cuma berharap itu tidak terjadi sebagai hasil dari rencana Iroha.

"Film apa yang mau kalian tonton?"

Iroha dan Mashiro menatap layar elektronik yang menampilkan film-film yang ditawarkan. Mereka berdua berpikir sejenak sebelum...

"Namanya!"

"Jaws Klasik: Ikan Hiu yang Menari dengan Anggun Mengikuti Iramanya Sendiri!"

"Kalian punya selera yang sangat berbeda, ya?"

"Film pilihanku soal seorang cewek dan seorang cowok di sisi yang berbeda dari sebuah perang yang bertukar tubuh! Mereka mesti mencoba membawa perdamaian ke negeri mereka, dan lalu mereka jatuh cinta pada akhirnya! Film ini menghasilkan > 20.000.000.000 yen di kantor tiket dan jadi sangat hits! Setiap pasangan kekasih mesti menonton film ini!"

"Lucu, aku tidak melihat ada pasangan kekasih di sini."

"Lebih baik lagi kalau kita pergi cuma sebagai teman-teman! Kamu dapat melihat-lihat dan jadi kayak: 'Hei, aku jadi satu-satunya cowok di sini yang tidak berpacaran! Perwakilan dari Brigade Selamanya Sendiri!"

"Kamu benar-benar tidak terlalu memikirkanku, ya?"

Mashiro melangkah maju. "Film arustama itu membosankan. Sekarang inilah musimnya ikan hiu!"

"Kalau film pilihanmu memang bagus, mengapa tidak sepopuler film pilihanku? Aku yakin kalau itu film sampah!"

"Kamu tidak paham, Iroha-chan. Pikirkan Sutradara-Sutradara miskin yang mencurahkan hati dan jiwa mereka demi membuat film-film berperingkat B, yang performanya kurang bagus cuma karena anggarannya rendah."

"Tidak ada yang memaksa mereka buat membuat film-film itu!"

Secara pribadi, aku tidak peduli dengan apa yang kami tonton, tetapi cewek-cewek itu terus berdebat.

"Apa, jadi kamu lebih suka menonton sesuatu di mana mereka dapat menghabiskan uang sebanyak yang mereka mau, bahkan tanpa berpikir panjang? Hal-hal kayak gitu sudah terlalu banyak diproduksi, belum lagi robot!"

"Ayolah Mashiro-senpai, berhentilah memaksakan pandangan hipster-mu pada kita semua!"

"Okelah, kalau begitu. Bilang padaku apa yang bagus dari 'Namanya'? Kamu cuma menganggap itu bagus karena itulah yang dibilang orang lain!"

"Apa, sekarang kamu mau mengada-ada sesuatu? Mari kita pergi, kalau begitu! Hanya saja, jangan menangis padaku saat kamu kalah! Aku sudah menonton banyak film berhari-hari, loh!"

"Yoi," aku mengiyakan. "Iroha menyelinap ke rumahku dan menggunakan akun langgananku."

"Apa yang jadi punyanya Aki-senpai itu jadi punyaku juga! Karena itulah!" Jelas Iroha.

Mashiro bergerak-gerak. "Kamu menonton film di... ...Kamar Aki? Sepanjang... ...Sepanjang waktu?"

"Yoi! Hampir kayak, setiap hari!"

"Hentikan, Iroha."

Mashiro itu orang yang tertutup sampai saat ini, dan dia mungkin cukup peka soal itu. Diingatkan kalau orang lain sedang bersenang-senang di luar sementara Mashiro tidak tahan buat meninggalkan rumah pasti menyakitkan. Aku juga benar: Mashiro menatap lantai, wajahnya pucat. Aku tidak dapat membiarkan Iroha terus melecehkan Mashiro kayak gini.

"Kalian tidak perlu bertengkar. Ada cara sederhana buat menuntaskan ini."

"Benarkah?" Tanya Iroha.

"Yoi." Aku berdehem. "Kita semua dapat menonton film yang kita mau, dan ketemuan di sini setelahnya. Jenius, bukan?"

Merupakan hal yang wajar buat setiap orang buat punya selera yang berbeda-beda, dan tidak ada alasan buat siapapun buat berkompromi dengan cara ini. Rencanaku merupakan solusi sempurna buat ketidakefisienan kalau semua orang diseret ke pilihan yang disukai satu orang.

Baik Mashiro maupun Iroha tidak bilang apa-apa sebagai tanggapan atas saranku yang luar biasa.

"Tidak ada yang keberatan, begitu ya. Oke, sekarang mari kita—"

"Tunggu dulu!"

"Iya, tunggu sebentar!"

"Ada apa?"

"Apa kamu bercanda?! Siapa sih yang mengajak teman-temannya ke bioskop dan lalu memutuskan buat berpisah?! Orang bodoh, itulah orang yang melakukan itu!"

"Matilah sana kamu di dalam api, tetapi belajarlah dulu bagaimana jadi seorang cowok sejati."

Ucapan kasar Iroha yang memekakkan telinga dan sindiran pedas Mashiro yang digabungkan sudah cukup buat membuatku hancur berkeping-keping. Aku harap mereka akan memberikan kritik yang membangun, alih-alih cuma melontarkan hinaan...

Pada akhirnya, kami melakukan pemungutan suara, dan akhirnya kami memilih buat menonton "Namanya." Film ini punya segalanya: Senjata, emosi, ledakan, romansa, jeritan ngeri. Film ini berlangsung selama dua jam lebih, dan saat film berakhir, bahkan Mashiro tampak kayak sedang bersenang-senang. Iroha tampak sangat puas saat menonton ini, tetapi aku terlalu menikmati segalanya sampai-sampai tidak menggangguku.

Kami bertiga menuju ke pujasera buat menyantap makan siang dan mendiskusikan film tersebut. Kami memutuskan buat memulai dengan mencari bangku. Tempat itu memang sangat ramai, tetapi kami akhirnya berhasil masuk dan mendapatkan meja buat empat orang di dekat jendela.

"Bolehkah aku kembali sebentar lagi? Aku minum terlalu banyak soda kola!" Umum Iroha.

"Kamu mesti pipis?"

"Itu dia, kamu sudah resmi jadi cowok yang terburuk!"

"Seriusan? Setiap orang pasti pernah pipis. Cewek-cewek terlalu sensitif soal hal semacam itu."

"Eh, sebenarnya, kamu terlalu santai soal itu! Mau ikut denganku, Mashiro-senpai?"

"A-Aku tidak apa-apa, terima kasih."

"Kayaknya kamu punya kandung kemih yang lebih besar dariku. Oke deh, kalau begitu, sampai jumpa sebentar lagi!" Iroha pun bergegas pergi.

Jadi tidak masalah membicarakan kebiasaan pipis Mashiro, tetapi kebiasaan pipis Iroha tidak tersentuh?

Saat Iroha pergi, Mashiro mengeluarkan sesuatu yang terdengar kayak helaan napas lega.

"Iroha membuatmu gugup?"

"Iya. Aku masih perlu membiasakan diri dengan Iroha-chan."

"Sama. Iroha memang agak menyebalkan." Aku tersenyum kecut.

"Bukan begitu. Aku tahu kalau Iroha-chan tidak bermaksud jahat atau semacamnya. Aku cuma belum terbiasa berurusan dengan orang-orang pada umumnya."

Aku dan Mashiro jadi lebih akrab sejak pesta penyambutannya. Mashiro tidak keberatan kalau aku berbicara dengannya lagi, dan benar-benar memperlakukanku kayak manusia sekarang, meskipun dia masih melontarkan pertahanannya saat aku bertindak terlalu jauh. Aku rasa sebagian besar dari hal itu bermuara pada fakta bahwa kami merupakan sepupu, sehingga tidak perlu waktu lama buat kami buat melanjutkan apa yang telah kami lakukan. Butuh waktu lebih lama sampai Mashiro merasa nyaman dengan anggota Aliansi lainnya. Terutama Iroha: Dari segi kepribadian, dia dan Mashiro sangat bertolak belakang.

"Jujur saja, aku rasa kebanyakan orang mengalami kesulitan dengan Iroha," kataku.

"Tidak, bukan itu yang aku maksud." Mashiro menatap pangkuannya, dan saat dia berbicara lagi, suaranya tegang. "Iroha-chan mengingatkanku pada... ...beberapa cewek dari sekolah lamaku."

Aku dapat melihat kesedihan di wajah Mashiro saat kenangan menyakitkan itu datang kembali. Cewek-cewek itu merupakan alasan Mashiro menutup diri.

"Aku memang tidak akan bertanya soal masa lalumu. Tetapi kalau kamu mau membicarakannya, aku akan mendengarkan." Aku mencondongkan tubuhku ke depan dengan penuh harap.

Tidak peduli betapa beratnya ajang itu, aku siap buat mendengarkannya. Aku melihatnya sebagai salah satu tugasku sebagai pacar palsu Mashiro.

Mashiro tetap diam. Bibir Mashiro terkatup rapat, dan dia tampak kayak hampir menangis. Buatku, Mashiro tampak kayak sedang berusaha mencari-cari kata-kata yang tepat, tetapi butuh waktu lama.

"Hah?! Tsukinomori-san, apa itu kamu?"

Keheningan itu dipecahkan dengan paksa. Mashiro gemetaran, dan darah mengalir dari wajahnya saat ekspresinya menegang. Aku belum pernah melihat Mashiro kayak gini sebelumnya, bahkan saat aku ketemuan dengannya di toilet.

Mashiro tidak tampak marah atau kesal... ...malahan, Mashiro tampak takut.

"Eh! Dan kamu bersama seorang cowok!"

"Jadi, kamu bahkan tidak dapat berangkat ke sekolah, tetapi kamu dapat jalan-jalan buat berkencan kayak gini tanpa masalah? Astaga, haha!"

Itulah sepasang cewek remaja yang rendahan. Yang satu tidak lebih dari sekadar dandanan menor, lengkap dengan rambut pirang yang diwarnai. Yang satunya lagi berambut hitam, dan sekilas memang tampak kayak cewek yang terhormat, tetapi dia tidak berusaha keras buat menyembunyikan cemoohan di wajahnya.

Aku langsung tahu kalau itu merupakan kabar buruk. Mereka mulai mengerumuni Mashiro.

"E-Eum..." Mashiro tergagap.

"Hei, bicaralah atau kami tidak dapat mendengarmu!"

"Apa cowok ini pacarmu, ya?" Cewek berambut pirang itu membungkuk buat mengamatiku tanpa menghormati ruang privasiku.

Kulit coklat palsunya setengah tersembunyi di balik lapisan riasan yang tidak rata. Aku memang tidak tahu apa dia mau tampil alami atau glamor, tetapi bagaimanapun juga, itu tidak berhasil. Aroma wangi yang menyengat (mungkin parfum) menyergap hidungku.

"Astaga! Cowok itu sangat sempurna buatmu!" Cewek itu tertawa. "Cowok itu tampak kayak menghabiskan seluruh waktunya mengurung diri di kamar membaca buku-buku anime itu! Aku yakin cowok itu juga terobsesi dengan idola!"

"Mereka sama otakunya satu sama lain!"

Apa wajar buat orang-orang untuk berbicara begitu buruk soal orang lain tepat di depan wajah mereka? Kalau kayak gini keadaan mereka sekarang, aku merasa ngeri membayangkan masa depan mereka. Beberapa orang dapat bertahan hidup cuma dengan menggunakan penampilan mereka, tetapi kedua orang ini bahkan tidak punya hal itu.

Cuma perlu sekali melihat cara Mashiro gemetar dan mundur buat mengetahui kalau mereka merupakan cewek-cewek yang biasa merundungnya.

Mengapa? Apa jangan-jangan mereka cemburu pada Mashiro? Mungkin kecantikan alami Mashiro yang membuat mereka melihatnya sebagai musuh. Bukannya sekolah mereka mestinya bergengsi? Aku tidak menyadari kalau orang-orang kayak gini bersekolah di sekolah semacam itu dalam kehidupan nyata. Paling tidak, aku belum pernah melihat mereka di anime atau manga. Aku rasa waktu telah berubah. Aku cuma dapat melihat mereka dengan rasa iba di mataku.

"Hei. Cowok ini mulai membuatku kesal, menatap kita kayak gitu."

"Cowok ini mungkin cuma merasa kesal karena kita menebak betapa menyedihkan hobinya! Memangnya mengapa? Kalian pikir kalian dapat menang melawan kami dengan kekuatan Dewa dan anime?!"

"Astaga, diamlah! Cowok itu memang tampak kayak anak macam itu!"

Aku memang tidak tahu soal Dewa atau anime, tetapi tidak ada yang dapat menghentikanku buat menghajarnya. Dan aku pun melakukannya, tepat di tengah-tengah wajahnya yang sedang tertawa. Seakan-akan itu belum cukup buruk, wajahnya yang penuh dengan mekap terpelintir di bawah tinjuku dan hidungnya bengkok ke satu sisi. Aku terus meninju wajahnya yang berdarah bahkan saat dia terjatuh ke lantai, cuma berhenti buat melayangkan pukulan ke arah temannya yang berteriak di sebelah kami. Aku meninju dan meninju mereka, cuma berhenti saat mereka sudah tidak dapat bergerak lagi.

Bukannya bakat imajinasi merupakan hal yang luar biasa?

Cuma dengan melihat teror di mata Mashiro, aku mau membungkam mereka secara nyata, tetapi sayangnya moral masyarakat tidak mengizinkan hal itu. Itu tidak dianggap sebagai pembelaan diri kalau kita membela diri cuma dengan kata-kata.

Aku tidak mau berakhir di penjara, cuma karena cewek-cewek ini saat ini menguasai kami. Bagaimanapun juga, merekalah yang akan berakhir di tempat sampah masyarakat di masa depan. Aku memutuskan buat sedikit lebih beradab dalam menyikapi segalanya.

"Hei. Pernah dengar hal kecil yang disebut 'tidak menyebalkan'?"

"Hah? Apa yang kamu bicarakan?"

"Eh, lihat, Tsukinomori-san! Pasti enak punya pacar yang selalu mendukungmu, ya?"

Meskipun cewek berambut pirang itu tampak gelisah pada saat ini, temannya tidak melambatkan langkahnya. Butuh lebih dari sekedar melotot buat membuatnya berhenti. Yang satu ini disebut sebagai hama. Tiba-tiba, dia mengubah topik obrolan.

"Hei, jadi apa pacarmu sudah tahu?"

"Ah, iya! Apa pacarmu sudah baca cerita kecilmu, ya?"

Mashiro mendongak kaget. Ada lebih dari sekedar rasa takut di mata Mashiro saat ini.

"Ja-Jangan bicarakan hal itu sekarang..." Pinta Mashiro dengan suara serak.

"Apa? Aku tidak dapat mendengarnya!"

"Jadi pacarmu belum tahu, ya? Dan ini merupakan rahasia? Ups! Maaf karena sudah memberi tahunya!"

Mereka berdua kembali tertawa terbahak-bahak. Aku dapat merasakan emosi yang gelap dan tidak enak di dalam diriku, seakan-akan akulah yang sedang mereka tertawakan. Kalau aku merasa seburuk ini, seberapa buruk lagi perasaan Mashiro? Karena berpikir kayak ginilah cara mereka memperlakukan Mashiro setiap hari. Tiba-tiba aku menyadari kalau Mashiro tidak benar-benar pemalu atau berkemauan lemah. Bahkan anak yang paling kuat pun akan berhenti mau berangkat ke sekolah kalau diperlakukan kayak gini.

Aku memang tidak tahu apa yang mereka maksud dengan ceritanya Mashiro, tetapi itu pasti berhubungan langsung dengan ketidakhadirannya. Aku memang penasaran, tentu saja, tetapi ada hal yang lebih penting buat diurus saat ini.

"Hentikan." Aku memelototi mereka dengan kekuatan dan otoritas sebanyak yang dapat aku kumpulkan.

Biasanya, aku berusaha menghindari konflik, karena hal itu mengganggu cara efisien yang aku sukai dalam menjalani kehidupan. Kali ini, aku bersedia membuat pengecualian.

"A-Ayolah, mengapa kamu mesti begitu serius?"

Kali ini, mereka berdua goyah. Bahkan sepasang b*bi kayak mereka punya naluri buat mengetahui kapan mereka dalam bahaya.

"Suara kalian, wajah kalian, kepribadian kalian... ...semua hal soal kalian menyedihkan. Jadi pergilah. Sekarang."

"A-Apa yang kamu tahu?! Menurutmu kamu hebat, otaku?!"

"Kami punya banyak teman, loh! Orang-orang yang kuat, jauh lebih kuat darimu!"

"Iya? Iya, kami juga. Mau mengadu mereka satu sama lain?"

Aku tidak berbohong. Mungkin aku agak memutarbalikkan fakta. Tetapi bisakah kalian memberiku sesuatu yang lebih menakutkan ketimbang seorang ibu guru yang menghabiskan seluruh waktu luangnya buat menggambar shota dan tante-tante?

"Ka-Kamu mau, ya?" Desak salah satu cewek.

"He-Hei, mungkin kita mesti berhenti. Bagaimana kalau cowok itu bersama dengan tipe yang benar-benar seram? Ia tampak serius!"

Cewek-cewek itu mundur selangkah saat warna merah di wajah mereka memudar. Aku senang karena mereka lebih takut padaku ketimbang yang semestinya.

Jujur saja, aku harap kalau aku dapat memprovokasi mereka buat menyerangku, dan setelah itu aku punya alasan buat memanggil polisi, tetapi kayaknya itu tidak perlu.

"I-Idih. Aku tidak percaya kalau cowok itu menganggap kita begitu serius!"

"Ayolah, mari kita pergi saja. Aku bahkan tidak mau melihat wajah cowok ini lagi."

Dan cuma pergi saja yang mereka lakukan.

"Senang karena kita dapat menyingkirkan mereka. Kamu tidak apa-apa, Mashiro?" Setelah aku yakin cewek-cewek itu benar-benar pergi, aku mengalihkan perhatianku pada Mashiro yang duduk di sebelahku.

Mashiro tidak menjawab. Sebaliknya, Mashiro duduk di sana sambil gemetaran. Mashiro pasti sangat ketakutan. Selain menanyakan apa Mashiro tidak apa-apa, aku tidak tahu apa lagi yang dapat aku lakukan dalam situasi kayak gini. Mungkin kalau aku selancar Paman, aku dapat merangkul Mashiro dengan lancar, tetapi tidak.

Itu kayak yang biasanya Iroha. Aku tidak punya petunjuk pertama soal cewek-cewek itu.

"Mereka itu cewek-cewek yang memaksamu keluar dari sekolahmu yang lama, bukan?"

"Iya..."

"Cerita apa yang mereka maksud?"

Aku memang masih waspada buat menggali terlalu banyak soal masa lalu Mashiro, tetapi aku merasa jawaban dari pertanyaan itu akan membantuku buat mendukungnya.

"Maafkan aku."

Sesaat kemudian, Mashiro melompat dari bangkunya dan berlari menjauh.

"Hei!" Aku mengulurkan tanganku buat menangkap Mashiro, tetapi jari-jariku tidak dapat menyentuhnya.

Mashiro bergerak jauh lebih cepat ketimbang saat aku mengejarnya kemarin. Mengapa Mashiro pergi sendiri kalau cewek-cewek itu masih berkeliaran? Jawabannya sederhana: Mashiro lebih suka mengambil risiko ketemuan dengan mereka lagi ketimbang membicarakan soal "cerita" itu.

Pada saat itulah Iroha kembali.

"Apa yang terjadi, Aki-senpai?"

"Apa kamu melihat cewek-cewek itu barusan?"

"Aku memang melihat mereka, iya, tetapi aku tidak dapat memahami apa yang kalian bicarakan. Mereka tampak agak bodoh, dan lalu saat mereka pergi, Mashiro-senpai berlari pergi—"

"Bagus. Aku tidak perlu menjelaskannya lagi."

Aku tidak menyangka kalau ini mestinya jadi hari yang asyik dan memperkuat ikatan di antara kami.

Aku tidak dapat membiarkan Mashiro berkeliaran sendirian. Mashiro jelas terguncang, dan aku mau mengetahui akar masalah Mashiro agar aku dapat membantu.

Kayaknya aku tidak sendirian dalam perasaanku.

"Mari kita cari Mashiro-senpai, Aki-senpai!"

"Oke. Aku akan naik ke lantai ini, dan kamu turun ke bawah."

"Baik Tuan!"

Kami segera mulai bekerja.

***

Mashiro tidak dapat ditemukan di manapun.

Aku menjelajahi setiap sudut di setiap lantai, tetapi tidak sekali pun aku melihat sekilas rambut keperakan Mashiro. Mungkin Mashiro melesat ke dalam lift saat aku menaiki eskalator.

Mestikah aku berbalik buat jaga-jaga kalau-kalau aku kehilangan Mashiro?

Tidak, tidak ada gunanya. Iroha sudah mencari di lantai bawah. Aku mesti menyerahkan hal itu pada Iroha, dan fokus mencari di lantai atas.

Mengejar Mashiro kayaknya sudah jadi tren yang biasa aku lakukan saat ini. Berapa kali Sang Putri Salju berencana buat melarikan diri dariku?

Aku berlarian ke depan, keringat mengucur deras di punggungku dan keluhan-keluhan bergema di dalam benakku.

Tetapi Mashiro masih belum ditemukan. Aku telah mencari di setiap sudut tempat ini. Ke mana saja Mashiro dapat pergi?

Tidak ada gunanya mencari secara acak.

Itulah kesimpulan yang akhirnya aku dapatkan. Aku berhenti dan mulai berpikir dengan hati-hati.

Aku sudah terbiasa mengejar Mashiro sekarang. Apa ada petunjuk dari pengalaman masa laluku yang dapat aku gunakan buat mencari tahu ke mana Mashiro pergi? Buat melarikan diri dariku pada hari sebelumnya, Mashiro berlari melalui beberapa jalan kecil. Lalu, Mashiro berlarian ke pinggir sungai.

Mashiro berlari ke dalam lorong-lorong; Lorong-lorong itu gelap. Mashiro lalu naik ke pinggir sungai, yang agak lebih tinggi.

Di manakah tempat tertinggi dan tergelap di mal ini?

Bioskop.

Apa Mashiro menyelinap ke salah satu teater?

Tunggu, bukannya ada film yang mau Mashiro tonton?

Aku mulai menyadari mengapa film kayak gitu sangat menarik buat Mashiro.

Aku benar, bukan, Mashiro?

Mashiro mungkin sedang menikmati menyaksikan manusia-manusia bodoh berteriak minta ampun saat nyali dan darah mengalir di wajah mereka saat ini.

***

"S*alan! S*alan! S*alan!"

"Gah!"

"Astaga!"

"Tidak!"

Saat aku berjalan ke dalam teater yang gelap, aku dapat mendengar jeritan orang Amerika Serikat yang kebingungan dan kasar bercampur dengan raungan yang mengerikan dan meronta-ronta putus asa saat mereka berjuang demi mempertahankan hidup mereka.

Itulah teater kecil, yang mungkin cuma dapat memuat ± 💯 orang. Bahkan saat itupun, tempat itu praktis sepi, tanpa ada suara reaksi pada teriakan mengerikan di layar. Setelah serangan selesai, para karakter dihadiahi istirahat sejenak, diiringi dengan lagu pengiring yang terlalu damai, mengingat apa yang barusan mereka alami. Para karakter berdiskusi dan meratapi betapa menakutkannya kejadian itu, dan betapa bahagianya mereka masih hidup.

"Bagaimana filmnya?" Bisikku.

"Bagus," jawab Mashiro dengan suara pelan, tanpa melihat ke arahku.

"Kamu tampak sangat menikmatinya."

"Cewek yang barusan wafat merupakan seorang pemandu sorak. Dia menggertak otaku di sana."

"Orang-orang kayak gitu memang selalu jadi yang pertama mati. Mereka pantas mendapatkannya juga."

"Iya, memang pantas." Senyuman kecil muncul di wajah Mashiro.

Aku mengalihkan perhatianku ke layar. Ada seorang cewek berambut pirang yang aku berani bertaruh dia akan dimakan berikutnya, seorang cowok otaku yang mungkin akan selamat, seorang cewek Tionghoa, dan seorang cowok kulit hitam yang santai. Itulah kelompok pahlawan film horor yang paling standar.

Film berganti ke adegan yang tidak ada gunanya, yaitu kelompok itu berkeliling dengan mobil, dengan musik yang tidak pernah berhenti. Mashiro membuka mulutnya, seakan-akan dia sudah tahu kalau perjalanan dengan mobil ini tidak ada gunanya dan akan berlangsung paling tidak selama lima menit atau lebih. Aku dapat mengetahui kalau ini bukanlah rodeo film berbasis ikan hiu pertama Mashiro.

"Mengapa kamu ada di sini?"

"Buat menonton film ini."

"Maksudmu menguntitku?" Mashiro berhenti. "Maafkan aku karena aku selalu bersikap jahat."

Mashiro merengut seakan-akan marah pada dirinya sendiri.

"Itu jauh lebih baik ketimbang memendamnya di dalam hati. Suka atau tidak suka, kita tetap terjebak dalam 'pacaran', jadi curahkan saja semuanya padaku kalau kamu mau."

"Aki..."

"Kamu mau berpaku pada cewek-cewek itu tadi, bukan? Bilang pada mereka buat mengurus saja urusan mereka sendiri dan tinggalkan kamu sendirian. Bilang pada mereka buat berhenti menguntitmu dan kalau mereka mau membencimu, mereka dapat menyimpannya buat diri mereka sendiri. Benar begitu bukan?"

"Iya." Angguk Mashiro, masih memegangi lututnya. Anting-anting Mashiro yang berbentuk kerang bergetar mengikuti gerakannya. Senyuman kecil dan mengejek terbentuk di wajah Mashiro. "Dulu, aku... ...agak takut pada orang-orang, aku rasa. Aku tidak berani menatap mata mereka, atau bahkan berbicara dengan mereka. Aku belum pernah punya teman, dan selalu menyendiri."

Lanjut Mashiro, bilang kalau saat itulah rumor dimulai. Rumor yang bilang kalau Mashiro merasa lebih baik ketimbang orang lain. Mashiro semakin terisolasi, dan meskipun sulit, dia tetap bersekolah karena menghormati biaya yang dikeluarkan orang tuanya.

"Ke-Kehidupan sangat sulit buatku saat itu, sehingga aku mulai menulis cerita buat melarikan diri. Biasanya aku menulis di rumah, tetapi kadang-kadang aku menulis secara diam-diam saat aku sendirian di kelas. Lalu cewek-cewek itu memergokiku sedang melakukan itu suatu kali, dan mulai menyebarkan ceritaku." Suara Mashiro mulai gemetaran.

Itu pasti momen yang mengubah segalanya. Saat itu keberanian Mashiro hancur, dan dia tidak dapat lagi menghadapinya dengan berangkat ke sekolah setelah berjuang begitu lama.

"Aku tidak mau ada orang yang tahu soal ceritaku. Semua orang bilang kalau aku ini penyendiri, aku memang menyedihkan... ...Rasanya memang mengerikan. Aku juga punya harga diri, loh. Aku memang tidak jago dalam segala hal, terutama dalam hal kebahagiaan dan sebagainya, tetapi bahkan kata-kata mereka tetap menyakitkan..." Mashiro membenamkan wajahnya ke dalam lututnya, bahunya bergetar saat dia mulai menangis.

Aku dapat bersimpati. Mashiro mau melindungi harga dirinya. Makanya Mashiro menangis. Mashiro takut tampak lemah.

Buat Mashiro, seluruh orang di sekelilingnya kuat. Dalam benaknya, Mashiro merupakan satu-satunya orang yang lemah di dunia ini. Entah secara sadar atau tidak, begitulah cara Mashiro memandang sesuatu.

"Begini, aku ini suka cerita. Terutama cerita yang membuat kita melupakan dunia nyata."

"Apa?"

"Ada seseorang yang aku kenal yang mulai menulis buat melarikan diri dari kenyataan. Dia itu seorang profesional sekarang, dan aku merupakan penggemar beratnya. Namanya Makigai Namako-sensei. Apa kamu mengenal Makigai-sensei?"

"A-Ah, eum... ...Iya... ...Maksudku..."

"Iya, Makigai-sensei itu cukup terkenal di kalangan otaku, bukan? Makigai-sensei merupakan salah satu pendatang baru terbaik di UZA Bunko!"

Ditambah lagi, karena beberapa alasan, Makigai-sensei memutuskan buat bergabung dengan tim pengembangan gim kami.

"Aku ingat dalam salah satu kata penutup, Makigai-sensei bilang kalau dia menulis demi melepaskan diri dari kenyataan buruknya. Itu benar-benar melekat padaku. Kamu penasaran mengapa?"

"Me-Mengapa?"

"Karena aku dapat bersimpati dengan cerita Makigai-sensei 💯%."

"Hah?" Mashiro menatapku, bingung.

"Nilai-nilai yang diwakili dalam cerita itu benar-benar beresonansi denganku. Karakter-karakter memuakkan yang tidak dapat puas cuma dengan kemenangan; Mereka perlu menghancurkan kehidupan para 'pecundang' di sekitar mereka juga... ...Hal ini mengingatkanku soal bagaimana masyarakat, dan betapa frustrasinya terkadang."

"Kamu juga berpikir begitu, Aki?"

"Iya, dan aku yakin banyak orang lain yang juga berpikir begitu. Makanya buku itu laku keras."

Aku memang sesekali membaca, tetapi aku cukup berhati-hati dengan apa yang aku baca. Aku tidak mau membuang-buang waktuku buat membaca sesuatu yang tidak berharga.

Buku ini sangat berharga. Buku ini beresonansi denganku sampai ke inti hatiku, dan aku mendapati diriku berhubungan dengan pengarangnya lebih dari yang lain. Mendapati buku yang tepat terkadang bagaikan menemukan jarum di tumpukan jerami, tetapi meskipun begitu aku tidak menyerah buat membaca sama sekali. Hal ini benar-benar menunjukkan bahwa Makigai Namako-sensei sebagai seorang pengarang telah berhasil memikatku, saat aku merupakan seorang pembaca yang tidak terlalu suka membaca dan kebanyakan menganggap kalau waktu yang aku habiskan buat membaca merupakan waktu yang sia-sia. Aku terus menyanyikan pujian buat Mashiro, tetapi dia menyelaku.

"O-Oke. Aku paham, jadi kamu dapat berhenti sekarang." Wajah Mashiro memerah padam, entah mengapa, sampai ke ujung telinganya.

"Maaf, aku rasa aku agak terbawa suasana. Kamu tahu sesuatu? Aku rasa pengarangnya agak mengingatkanku padamu. Aku tahu kalau Makigai-sensei itu seorang pria, jadi kamu mungkin berpikir kalau ini berbeda, tetapi dia juga menulis demi melarikan diri dari kenyataan, dan dia menulis sesuatu yang berhubungan dengan banyak orang. Aku cuma bilang kalau tidak ada yang memalukan kalau kamu menulis cerita. Orang inilah buktinya."

"Aku tidak tahu... ...Makigai-sensei menggunakan nama pena, bukan? Jadi Makigai-sensei pasti merasa malu. Makanya Makigai-sensei menyembunyikan identitas aslinya."

"Tentu saja, mungkin Makigai-sensei merasa malu. Tetapi itu tidak menghentikan banyak orang, kayak aku, buat menghargai dan menerima karya Makigai-sensei."

"Ah..." Mashiro mengangkat tangannya buat menyentuh salah satu anting kerangnya, wajahnya agak memerah. Seketika itu juga, Mashiro mulai mengerutkan keningnya. "Kamu memang tidak apa-apa, Aki. Tetapi Iroha-chan... ...Buatku, Iroha-chan itu sama saja kayak mereka..."

"Cewek-cewek yang melecehkan kita barusan?"

"Iya. Maaf, aku tahu kalau ini tidak adil buat dibilang. Iroha-chan cuma mengeluarkan... ...aura yang sama, aku rasa. Aku agak merasa kayak kami tidak akan pernah dapat akur..."

Aku dapat memahaminya. Cara Iroha mengisengiku mungkin mirip dengan cara cewek-cewek di sekolah mengisengiku, terutama caranya yang suka menggangguku tanpa mempedulikan perasaanku. Siapa pun yang melihat Iroha melakukan hal itu akan mengira kalau dia sedang merundungku.

"Aku mulai kepikiran, kalau aku berteman dengan Iroha-chan, mungkin dia akan mulai mengisengiku kayak gitu juga. Hal itu membuatku terdiam dan mau menjauh dari Iroha-chan."

"Kamu tidak perlu khawatir soal itu."

"Apa?"

Aku meletakkan tanganku di atas kepala Mashiro, yang gemetaran seiring dengan suaranya.

"Tentu saja, Iroha memang menyebalkan, tetapi dia tidak kayak para perundung itu."

"Tetapi—"

"Aku rasa Iroha tidak akan begitu, tetapi kalau dia bilang atau melakukan sesuatu yang menyakitimu, kamu mesti memberi tahuku. Aku akan menghabisi Iroha sampai dia hancur."

"Aki..."

"Jadi tidak usah khawatir, oke? Iroha memang menyebalkan, tetapi dia bukanlah orang jahat. Maksudku, aku tahan dengan Iroha, dan aku tidak tahan dengan apapun yang membuang-buang waktuku. Meskipun Iroha itu adik dari sahabatku, kalau dia benar-benar seburuk itu, aku akan menghindarinya dengan cara apapun."

Tidak usah khawatir, Mashiro. Tetaplah bersama kami.

Aku mengulurkan tanganku ke arah Mashiro. Selama beberapa saat, Mashiro tidak bilang apa-apa, cuma menatap tanganku. Lalu...

"Oke."

Mashiro mengulurkan tangannya yang gemetaran, dan meletakkannya di atas tanganku.

Aku dan Mashiro meninggalkan bioskop sebelum film selesai, dan turun ke lantai satu. Aku mengirim pesan saat bertemu dengan Mashiro buat memberi tahu Iroha, tetapi dia belum melihatnya. Iroha mungkin masih sibuk mencari. Iroha pasti sangat khawatir. Semakin cepat kami dapat menemukan Iroha dan memberitahukan kalau Mashiro selamat, semakin bagus.

Aku mengedarkan pandanganku ke sana ke mari, berpegangan pada tangan Mashiro yang tegang di sampingku. Luasnya tempat ini benar-benar tidak membantu kami menemukan Iroha. Rambut keemasan Iroha yang mirip dengan warna yang digemari anak-anak SMA saat ini, dan tidak kayak Mashiro, Iroha sulit dikenali di tengah keramaian. Saat itulah, aku mendengar suara tawa yang membuatku terpaku.

Di sana, di bangku di bawah tangga, duduklah dua orang cewek SMA. Di depan mereka, ada cewek ketiga dengan rambut pirang yang sedang mengobrol dengan mereka. Mereka bertiga merupakan sumber tawa. Kayak yang dapat kalian tebak, kelompok itu terdiri dari dua orang perundung Mashiro dan Iroha. Sambil menarik Mashiro ke dalam bayang-bayang, aku mendengarkan dengan seksama obrolan mereka.

"Hei, apa kamu itu temannya Tsukinomori-san atau semacamnya?"

"Teman? Mustahil!" Tawa Iroha.

"Ah, iya! Begitu, Tsukinomori-san itu bersama pacarnya!"

"Ah? Pacarnya, ya?" Seringai Iroha pada kedua orang cewek itu.

"Tuh kan? Mereka itu sama saja. Iroha-chan juga mulai benar-benar menyukai omongan mereka..." Mashiro berbisik dari belakangku.

"Entahlah. Mari kita terus menyaksikan." Aku mengangguk pada kelompok cewek-cewek itu saat Mashiro mengerjap ke arahku dengan bingung.

"Ah, jadi kalian berdua itu pecundang yang mencoba menghalangi jalan mereka?" Seringai Iroha tidak goyah.

"Apa?" Cewek-cewek itu melongo ke arah Iroha.

Begitu juga dengan Mashiro. Kayaknya tidak ada yang tahu apa yang sedang dipermainkan Iroha kecuali aku dan dia sendiri.

"Jadi, biar aku luruskan ini. Mashiro-senpai, yang cantik, sedang berkencan dengan pacarnya yang mengagumkan. Lalu dua orang cewek b*jingan jelek muncul, dan memutuskan buat membuang-buang waktu mereka dengan mengganggu beberapa orang yang berada beberapa tingkat di atas mereka? Apa aku tidak salah paham?"

"Iya, aku rasa itu agak tidak adil. Kalian tidak akan mendapatkan apa-apa dalam kehidupan, sementara orang-orang ini yang sebenarnya pantas mendapatkan sesuatu akan melangkah lebih jauh, ya?" Iroha menumpahkan seluruh isi hatinya, bahunya terangkat.

Cewek-cewek itu merengut ke arah Iroha dan melompat dari bangku. "Apa-apaan ini?! Kamu mencoba memulai sesuatu?!"

Iroha menusukkan jarinya ke dada mereka dan mendelik sambil mendekatkan wajahnya ke wajah mereka.

"Tutuplah mulut kalian, bukalah telinga kalian. Main-main dengan banteng, kamu akan kena tanduknya, br*ngsek." Nada bicara Iroha yang gelap dan mengancam, bergemuruh bagaikan bos mafia dalam film kriminal.

Sangat jauh berbeda dari suara Iroha yang biasanya yang lembut dan manis. Kalau kalian menutup mataku, aku tidak akan tahu kalau itu merupakan Iroha. Aku juga tidak akan dapat melihat sorot mata Iroha yang menakutkan yang membuat bulu kudukku merinding.

"A-Apa yang Iroha-chan lakukan?" Tanya Mashiro.

"Itu merupakan trik khusus yang Iroha simpan di lengan bajunya. Itu memang cuma gertakan, tetapi itu sangat efektif."

Iroha merupakan senjata rahasia Aliansi Lantai 05: Cewek yang punya (mungkin lebih dari) sejuta suara. Pria, wanita, dan apapun di antaranya dan di luar itu, tidak masalah. Iroha menyuarakan setiap karakter terakhir dalam gim kami, di antaranya yaitu seorang preman kuat yang menaklukkan negara yang dipenuhi pembunuh.

Untunglah aku bilang pada cewek-cewek ini sebelumnya kalau aku punya "teman" yang kuat, karena itu membuat aksi Iroha semakin meyakinkan. Cewek-cewek itu jatuh ke belakang, menatap Iroha dengan ketakutan.

"Tung-Tunggu... ...A-Apa kamu salah satu teman dari pacarnya Tsukinomori-san?"

"Aku tidak tahu Tsukinomori-san terlibat dengan tipe-tipe orang yang galak kayak gitu!"

Iroha berjongkok di depan mereka dan melanjutkan dengan nada mengancam. "Aku tahu apa yang kalian berdua lakukan pada Mashiro-senpai. Sampah macam kalian mestinya dibakar, bukannya berjalan-jalan dan berpura-pura jadi manusia."

"A-Aku kira kalau kamu tadi bilang kalau kamu itu bukan temannya Tsukinomori-san!"

"Aku memang bukan temannya Mashiro-senpai. Belum, lebih tepatnya. Tetapi itu tidak berarti apa-apa," geram Iroha mengancam. Aku dapat melihat tato geng di lengan Iroha. "Kalian membuatku kesal. Kalian, dan kepribadian kalian yang menyebalkan. Semoga saja pondasi tango di wajah kalian cocok dengan darah. Lebih baik gertakkan gigi kalian!"

baca-imouza-jilid-1-bab-9-bahasa-indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

"Euh!"

"Ma-Maafkan... ...Maafkan kami! Kami mohon... ...Kami mohon jangan..." Cewek-cewek itu memejamkan mata mereka dengan ketakutan saat Iroha mengangkat tinjunya.

"Sudah cukup."

Aku meraih pergelangan tangan Iroha buay menghentikannya. Iroha berbalik dan menatapku dengan terkejut. Aku menegang. Meskipun aku tahu itu cuma pura-pura, sorot mata Iroha sangat mengerikan.

"Ma-Maafkan kami!" Cewek-cewek itu masih terengah-engah dan mencicit ketakutan.

Mereka jatuh ke lantai karena lega begitu mereka menyadari kalau aku menghentikan Iroha. Aku menatap mereka. Aku tidak perlu berusaha buat membuat tatapanku jadi sinis; aku yakin penghinaan yang aku rasakan pada mereka sudah cukup jelas.

"Sudah aku bilang kalau jangan macam-macam dengan kami. Jangan pernah tunjukkan wajah kalian di depan Mashiro lagi. Kalau kalian melihat Mashiro di jalan, tinggalkan dia sendiri. Aku tidak akan memaksa kalian buat meminta maaf atau mengubahnya jadi apapun, asalkan kalian berjanji buat memperlakukan Mashiro kayak orang asing mulai sekarang. Oke?" Yakinku buat membuatnya kedengaran kayak aku membantu mereka.

Mengingat bagaimana mereka merundung Mashiro, mereka pantas mendapatkan perlakuan yang lebih keras dariku. Namun, mereka sudah sangat ketakutan, jadi mungkin tidak akan ada bedanya.

Cewek-cewek itu mengangguk putus asa, wajah mereka seputih seprai.

"Bagus. Itu mengakhiri negosiasi. Sekarang pergilah."

"Ba-Baik Tuan!"

"Maafkan kami!"

Mereka terhuyung-huyung berdiri dan bergegas pergi dengan kaki terhuyung-huyung. Segera setelah mereka tidak tampak, ketegangan di lengan Iroha mengering.

"Waktu yang tepat, Aki-senpai. Aku agak khawatir tadi!" Iroha ambruk ke lantai, kelelahan, semua jejak persona menakutkannya telah hilang.

"Kamu mestinya tidak melakukan hal semacam itu sendirian. Kalau kamu benar-benar meninju mereka, kamu akan tamat."

"Iya, karena aku tidak dapat bertarung buat hal yang sia-sia! Beruntungnya kalian muncul sebelum mereka tahu."

"Euh. Kamu tidak dapat mengharapkanku buat datang menolongmu setiap saat, loh."

Meskipun Iroha bersuara sangat meyakinkan, dia tidak lebih kuat dari rata-rata anak SMA yang lemah. Kalau cewek-cewek itu tahu, mereka akan dengan mudah mengalahkan Iroha dengan jumlah. Cuma ada satu alasan mengapa Iroha bersedia mengambil risiko sebesar itu.

"Mereka benar-benar membuatmu kesal, ya?"

"Ya iyalah. Maksudku, mereka merundung seseorang buat menyembunyikan diri mereka, dan lalu melanjutkan kehidupan mereka seakan-akan mereka tidak menghancurkan kehidupan orang lain? Itu menjijikkan. Aku selalu menahan diri sebelumnya, karena aku tidak mau menimbulkan masalah. Tetapi kemudian, saat aku bersamamu, aku tidak perlu khawatir dengan apa yang dipikirkan orang lain, bukan? Dan itu berarti aku dapat lolos dari ancaman kekerasan!"

"Kamu cuma bisa lolos karena aku di sini buat membereskannya setelahmu!"

"Aku kira kamu bilang kalau tidak apa-apa menyerahkan hal semacam itu padamu?"

"I-Iya, mungkin memang begitu... ...Pokoknya, Mashiro. Bagaimana menurutmu? Inilah Iroha yang sebenarnya."

"Hah?" Kata Iroha sambil memanggil dari belakang bahuku ke dalam bayang-bayang.

Mashiro terhuyung-huyung, dan saat itu Iroha sedikit meringis. "Eh ah! Kamu melihat semua itu? Ma-Maaf karena aku mencoba buat bersikap sok keren dan semacamnya..."

"Aku yang mestinya meminta maaf," kata Mashiro.

"Kamu? Mengapa?"

"Aku kira... ...Aku kira kalau kamu sama saja kayak mereka. Tetapi—"

"Kamu salah sangka."

"Iya."

Godaan Iroha, yang ditakuti Mashiro, ternyata tidak berbahaya. Saat Iroha benar-benar marah, kita sudah tahu. Iroha akan mengerahkan seluruh kemampuan aktingnya buat berubah jadi hal yang paling kita benci atau paling kita takuti, lalu menggunakannya buat menyiksa kita. Saat itulah kita tahu kalau Iroha benar-benar menginginkan kita.

Pelecehan Iroha padaku setiap hari cuma sebagian kecil dari kemampuannya. Karena itu, sisi mengerikan Iroha ini bukanlah sesuatu yang perlu kita khawatirkan.

Karena Iroha punya hati yang baik.

Iroha itu bukan tipe orang yang memusuhi seseorang tanpa alasan yang kuat, dan aku yakin Mashiro pun memahami hal itu.

Meskipun masih agak kaku, sekujur wajah Mashiro bersinar dengan senyuman. "Maukah kamu... ...jadi temanku?"

"Hei! Aku baru saja akan menanyakan hal yang sama!" Kikik Iroha.

Dan begitulah cara Mashiro jadi teman dari adiknya temanku. Itu memang bukan pertanda baik buat kualitas kehidupanku, sih...

***

Murasaki Shikibu-sensei: Ibu penasaran bagaimana kabar mereka?

OZ: Ibu khawatir, bukan?

Murasaki Shikibu-sensei: Mereka berdua itu tipe dasar karakter pemotong kue. Iroha-chan yang ceria, dan Mashiro-chan yang murung dan antisosial. Mereka sangat menarik, tetapi dengan cara yang sangat berlawanan. Itu berarti mereka mungkin akan berselisih dalam banyak hal, bukan?

OZ: Tidak usah khawatir. Karena mereka berlawanan, itu berarti ada titik tengah yang bagus di antara mereka. Begini, bagaikan kegelapan yang terus ditahan oleh si ceria di dalam dirinya, atau cahaya yang menunggu buat dilepaskan oleh si murung. Di situlah mereka dapat saling berhubungan satu sama lain. Begitulah cara Aki menyatukan kita semua, seolah-olah kita mengorbit di sekelilingnya. Aku yakin Aki juga akan melakukannya kali ini.

Murasaki Shikibu-sensei: Tetapi tetap saja, itu berarti Akiteru-kun punya pesaing lain buat jadi pacarnya...

OZ: Semoga saja pertempuran itu merupakan pertempuran yang penuh dengan senyuman dan pelangi, bukannya saling marah-marah. Itu akan asyik.

Murasaki Shikibu-sensei: Wkwk! Ibu barusan kepikiran begitu.

Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F

←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama