Tomodachi no Imouto ga Ore ni Dake Uzai [Light Novel] - Jilid 1 Bab 8 - Lintas Ninja Translation

[Peringatan 15+ Ke Atas!]

Bab 8
Aku dan Teman-Temanku Iseng pada Mashiro agar Kami Dapat Membantunya

Hari ini merupakan hari Jum'at, hari H pesta penyambutan Mashiro.

Aku mencoba berbicara dengan Mashiro kapanpun aku bisa. Jam pelajaran pertama, jam pelajaran kedua, jam pelajaran ketiga, jam pelajaran keempat, jam istirahat makan siang... ...tetapi setiap kali Mashiro mengabaikanku, memasang penghalang A.T. yang tidak dapat dipecahkan di antara kami.

Akhirnya, hari itu pun berakhir. Saat jam pelajaran berakhir, aku menoleh ke arah meja Mashiro, tetapi dia sudah membereskan barang-barangnya dan menghilang dari kelas. Jelas sekali, Mashiro sudah menduga-duga kalau aku akan mengejarnya.

"Apa semuanya sudah siap di sisi kalian?" Tanyaku pada Ozu, yang sedang menyiapkan laptopnya di meja di belakang mejaku.

Ozu menyeringai ke arahku. "Semua baik-baik saja di sini. Meskipun aku cukup yakin dipaksa membuat program kayak gini dalam waktu kurang dari sepekan melanggar undang-undang ketenagakerjaan."

"Aku cuma bertanya karena aku tahu kalau kalian cukup bagus buat menanganinya. Kalian sudah menyelesaikannya kemarin, bukan?"

"Iya... ...dengan mengorbankan beberapa waktu tidur kami." Tambah Ozu sambil menguap.

"Tidak usah khawatir, kalian dapat meminta bantuanku kapanpun kalian mau buat hal ini. Bersabarlah denganku buat saat ini, oke?"

"Tentu saja, Ketua."

Aku mengeluarkan ponsel pintarku dan membuka LIME sebelum memulai panggilan grup dengan semua orang.

"Operasi PT siap dilaksanakan," umumku. "Ambil posisi, gaes."

"Siap, Pak!" Jawab Iroha, Ozu, dan Ibu Sumire serentak.

Aku segera beranjak dari bangkuku dan mengejar Mashiro. Aku melesat menyusuri lorong, nyaris terpeleset beberapa kali, dan menerjang menuruni tangga sebelum akhirnya mendapati Mashiro di pintu masuk sekolah.

Aku segera beranjak dari bangkuku dan mengejar Mashiro. Aku melesat menyusuri lorong, nyaris terpeleset beberapa kali, dan menerjang menuruni tangga sebelum akhirnya mendapati Mashiro di pintu masuk sekolah.

"Mashiro!"

"A-Ah! Apa yang kamu lakukan?! Mengapa kamu mengejarku?"

"Aku mau bicara padamu!"

"A-Aku sudah bilang kalau aku tidak akan pergi ke pesta bodoh kalian!"

"Ah, jadi kamu ingat kalau hari ini hari H-nya ya? Aku kira kamu tidak tertarik."

"Aku... ...Aku tidak bilang hari ini. Lagipula, kamu sudah menggangguku soal hal itu sepanjang pekan, jadi tentu saja aku ingat..."

"Aku rasa begitu. Iya, tidak usah khawatir, oke? Kamu mesti jadi orang yang mengambil keputusan pada akhirnya. Aku tidak akan memaksamu kalau kamu tidak mau ikut."

"...Suer?"

"Suer suer."

"Entahlah apa aku dapat percaya itu." Mashiro berhenti sejenak. "Kalau kamu tidak mau memaksaku pergi, mengapa kamu mengejar-ngejarku?"

"Ini bukan soal pestanya. Aku cuma mau berjalan pulang bersamamu."

Seketika itu juga, mata Mashiro menyipit bagaikan kucing kecil yang sedang mengangkat pahanya. Mengingat bagaimana aku memperlakukan Mashiro selama sepekan ini, aku mestinya tidak terkejut betapa waspadanya dia padaku.

"Maksudku, kita tinggal di gedung yang sama, bukan? Masuk akal kalau kita pulang bersama."

Aku benar-benar tidak meminta banyak di sini. Tentunya Mashiro dapat menghiburku sekali ini saja? Aku dapat paham mengapa Mashiro merasa sulit buat menghadiri pesta dengan sekelompok orang asing, tetapi berjalan bersama denganku mestinya tidak jadi masalah besar. Itu cuma perubahan kecil pada rutinitas harian Mashiro. Maksudku, ayolah. Buat menolak hal kayak gini, Mashiro pasti benar-benar membenciku, lebih dari siapapun di seluruh planet ini, dan aku ragu—

Begitu Mashiro memakai sepatunya, dia langsung bergegas pulang.

Aku... ...Aku rasa segalanya jauh lebih buruk ketimbang yang aku kira?

Aku berdiri di sana dengan kaget selama beberapa saat, lama setelah Mashiro menghilang dari pandanganku.

Aku berdiri di sana dengan kaget selama beberapa saat, lama setelah Mashiro menghilang dari pandanganku.

Kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak dapat memikirkan apapun yang telah aku lakukan pada Mashiro yang tidak terlalu menjengkelkan, jadi mungkin aku memang sudah menduga hal ini.

Kalau saja ini merupakan novel ringan komedi romantis, aku mungkin akan mendapati diriku memikirkan, sesuatu kayak gini pasti akan berakhir dengan sendirinya. Tetapi lalu aku ingat kalau Ozu, bukan aku, yang memegang kekuatan aneh di telapak tangannya.

Cewek-cewek dalam kehidupanku semuanya sangat membenciku. Bahkan cewek-cewek yang tidak pilih-pilih pun menghindariku bagaikan wabah.

Jadi, kalau aku mau memecahkan masalah ini, aku benar-benar mesti memberikan segalanya. Dan memberikan yang terbaik yaitu sesuatu yang aku, Ooboshi Akiteru, sangat kuasai.

"Kamu tidak akan lolos semudah itu, Mashiro! Aku akan berjalan pulang bersamamu apapun yang terjadi!" Teriakku sambil mengejar Mashiro.

***

"Mengapa... ...Mengapa... ...Mengapa kamu mengikutiku?!" Tanya Mashiro dengan napas terengah-engah.

"Jangan terlalu percaya diri! Aku cuma mau pulang ke kamarku."

"Kamu akan pulang ke 'kamarmu' sambil... ...sambil berlarian kayak... ...orang gila!"

Aku dan Mashiro berlomba lari di trotoar, dengan napas yang terengah-engah. Pada awalnya, Mashiro dapat mengungguliku dengan mudah, tetapi dia merupakan orang yang tertutup sampai pekan lalu. Tidak lama kemudian, Mashiro terengah-engah, dan langkahnya jadi berat. Lalu ada aku, yang berolahraga setiap hari. Mustahil Mashiro dapat mengalahkanku dalam hal stamina. Aku mengulurkan tanganku buat meraih Mashiro, tetapi gagal.

"A-Aku... ...akan... ...pergi... ...ke... ...arah yang lain!" Mashiro melesat ke jalan belakang, memaksaku buat berhenti mendadak.

"Tung-Tunggu sebentar!" Teriakku.

"Tuh kan! Kamu memang mengikutiku!"

"Memangnya mengapa kalau aku mengikutimu?! Memangnya menguntit itu suatu kejahatan?!"

"Jadi kamu mengakuinya!" Teriak Mashiro ke arahku, terus berjalan melalui jalan belakang yang sempit.

Mashiro terus berlari dan berlari, mendorong kardus-kardus dan sampah yang menghalanginya. Kardus-kardus dan isinya berserakan di jalan di depanku, menghalangi langkahku. Sementara itu, aku mengarahkan pandanganku pada Mashiro dan terus mengejarnya, mengabaikan seekor kucing hitam yang ekornya tidak sengaja aku injak dalam prosesnya.

"A–... ...Apa peduli kalian... ...soalku, sih? Ka-Kalian tidak perlu aku... ...buat bersenang-senang di pesta kalian! Aku... ...Aku tidak dapat menerobos masuk saat... ...saat kalian sudah begitu dekat!"

"Siapa... ...Siapa lagi yang akan kamu ajak bicara?!"

Aku mendengar Mashiro terkesiap.

"Apa kamu pernah bicara dengan orang lain selain aku selama sepekan terakhir ini? Ada 40 orang anak di kelas kita, loh! Berapa banyak orang yang sudah kamu ajak bicara?"

"Ber-Berhenti... ...Berhenti melecehkanku!"

Aku sudah tahu kalau itu merupakan pertanyaan yang kejam buat ditanyakan. Aku sudah tahu jawabannya itu nol besar, dari seluruh waktu yang aku habiskan buat memburu Mashiro pekan ini. Namun, tujuan dari pertanyaan kejamku bukan cuma buat membuat Mashiro kesal.

"Apa buat kehidupan kayak gini kamu pindah sekolah? Bukan begitu, bukan?!"

"Ka-Kamu tidak tahu apa yang kamu bicarakan!"

"Dengar, maafkan aku atas apa yang terjadi di restoran. Aku akan meminta maaf sebanyak mungkin. Aku bahkan akan berlutut dan memohon maaf, kalau kamu mau! Kamu bahkan boleh mengingatkanku soal hal itu setiap hari selama sisa hidupku. Aku akan mentraktirmu makanan manis, atau mentraktirmu makan siang, atau apapun yang kamu mau. Aku tidak akan memintamu buat memaafkanku, dan aku tidak peduli kalau kamu membenciku selamanya, tetapi..." Aku menarik napas dalam-dalam. "Berhentilah membohongi semua orang dengan berpura-pura kalau kamu bahagia dengan kehidupanmu kayak sekarang ini!"

Ada jeda. Aku memang melihat tubuh Mashiro gemetaran. Tetapi tetap saja, Mashiro tidak menoleh. Mashiro menggelengkan kepalanya dan terus berlari. Tidak lama kemudian, kami sudah keluar dari jalan setapak dan kembali ke jalan raya. Aku terus mengejar Mashiro, yang terjun ke lautan mobil dan meneriakkan permintaan maaf pada para sopir yang melontarkan makian padanya. Aku terus mengejar dan mengejar sampai kami berakhir di pinggir sungai.

Jelas sekali kalau Mashiro tidak dapat berpikir jernih pada saat ini. Mengapa lagi Mashiro memilih buat berlari mendaki lereng?

"Dan... ...kena kamu!"

Saat mencapai puncak lereng, Mashiro tersandung, dan akhirnya aku berhasil menyusulnya.

Kegembiraan atas kemenanganku dengan cepat dihancurkan oleh kenyataan yang terjadi.

"Hah?"

"Ah!"

Mashiro berhenti secara tiba-tiba, dan di situlah aku, menerjang ke arahnya dengan kecepatan penuh. Mustahil tubuh Mashiro yang mungil dan feminim akan mampu menahan tubuhku, yang punya seluruh massa pria dewasa.

Segala sesuatu yang lain soal situasi ini yaitu s*al, sih.

"Euh! Gah! Dari mana datangnya air ini? Pipa saluran pembuangan s*tan?" Aku terbatuk-batuk dan meludah.

Mashiro duduk dan tergopoh-gopoh di sampingku. "A-Aku basah kuyup!"

"Mashiro, apa kamu... ...ti... ...dak apa-apa?"

"Hah? Ada apa, Aki?" Tanya Mashiro, setelah menangkap celah aneh dalam suaraku.

Sesaat kemudian, Mashiro paham.

Kalian juga sudah tahu, bukan? Apa yang terjadi kalau seseorang terjatuh ke sungai? Kalau belum, duduklah karena aku akan memberi tahu kalian.

Seragam Mashiro benar-benar basah kuyup dan melekat erat pada tubuhnya di bawahnya. Paha Mashiro yang bulat, kaus kakinya, rambutnya yang indah, kulitnya yang putih pucat... ...Tetesan kecil air menetes dari setiap inci tubuh Mashiro bagaikan salju yang mencair di pagi yang dingin. Aku tahu kalau aku mencoba jadi puitis di sini, tetapi jujur saja, cuma ada satu kata buat menggambarkannya:

Seksi.

Maaf kalau agak kasar, tetapi memang tidak ada kata lain buat itu. Mungkin aku cuma merasa lega karena kami keluar tanpa cedera. Biasanya, ekspektasi sosial akan mencegah pikiran-pikiran semacam itu muncul ke permukaan, tetapi saat ini aku tidak punya kekuatan buat menahannya. Mashiro sangat cantik secara misterius saat itu, sehingga rasanya tanganku akan langsung menembus tubuhnya kalau aku mencoba menyentuhnya. Aku tidak dapat memalingkan wajahku dari Mashiro.

Mashiro mungkin menyadari keadaan seragamnya yang setengah transparan. Kulit Mashiro yang putih memerah bagaikan apel beracun, dan bibirnya mulai gemetaran.

"Ber-Berhenti... ...Berhenti menatapku, Dasar M*sum!"

"Maafkan aku! Kamu tampak sangat seksi sekarang!"

"Seriusan?! Itukah alasanmu?!"

Mashiro memang ada benarnya. Aku benar-benar tidak perlu mengakuinya dengan lantang. Mashiro bergegas mundur, air memercik di sekitar kakinya saat dia pergi. Sementara itu, Mashiro berusaha menutupi tubuhnya dengan kedua tangannya. Namun, Mashiro tidak berhasil, karena tekanan air yang deras mulai menghambat gerakannya.

"Hati-hati!" Teriakku, melesat ke depan dan menangkap tubuh Mashiro yang bergoyang-goyang.

Tubuh kami yang basah saling berdempetan, dan wajah kami cuma berjarak beberapa sentimeter. Aku merasakan jantungku mulai berdebar-debar, dan aku mesti memalingkan wajahku buat menghindari kesalahan sosial lainnya.

"Bilang padaku kapan aku dapat melepaskannya," kataku. "Aku tidak berencana buat memelukmu selamanya."

"O-Oke..." Mashiro membuang wajahnya.

Entah rencanaku buat meyakinkan Mashiro kalau aku tidak sedang melakukan hal yang lucu-lucu berhasil, atau dia cuma merasa malu. Apapun itu, ketegangan di tubuh Mashiro dengan cepat mengendur saat dia mengizinkanku buat menopangnya. Saat Mashiro kembali stabil, dia menghela napas lega.

"Kamu dapat melepaskannya sekarang."

"Oke. Jangan jatuh lagi, oke?"

"...Oke."

Mashiro masih agak goyah saat kami berjalan kembali ke atas lereng, jadi aku terus mengulurkan tanganku buat berjaga-jaga. Saat kami melewati pagar dan kembali ke wilayah yang sudah kami kenal, kami berdua menjatuhkan diri ke tanah, kelelahan.

"Ini merupakan hari terburuk yang pernah ada."

"Setuju."

"Kita pasti benar-benar tampak kayak pasangan sekarang, ya? Kita bahkan sama-sama tampak 'basah kuyup'." Aku tidak bermaksud apa-apa. Itu cuma hal pertama yang terlintas di dalam benakku, setelah aku dapat melihat dengan jelas keadaan kami.

Dan kemudian, Mashiro mulai terkikik.

baca-imouza-jilid-1-bab-8-bahasa-indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

"Apa kamu bercanda? Penampilan ini tidak akan pernah cocok!"

"Mungkin ini merupakan cara Dewa buat memberkati hubungan palsu kita."

"Lebih kayak Setan."

"Hah? Kalau Setan mengejar kita, aku rasa sebaiknya kita berdoa saja. Mungkin Dewa dapat menjadikannya sebagai 'kenangan indah' buat kita."

"Aku tidak akan terlalu berharap. Kutukan tidak akan hilang begitu saja dalam semalam," gumam Mashiro. Tiba-tiba saja, Mashiro tampak sangat sedih. Kayak seorang cewek yang bersembunyi dari orang tuanya yang sedang marah di pojok ruangan yang gelap.

"Aku rasa tidak. Lagipula, mengapa kamu begitu yakin tidak mau datang ke pesta?"

Kalau sebelumnya Mashiro tidak tampak kesepian, sekarang dia benar-benar kesepian.

Mashiro telah bekerja sangat keras demi meyakinkan ayahnya buat memindahkannya ke sekolah baru, dan, jauh dari berteman, dia bahkan tidak tampak bersenang-senang di kelas. Meskipun Mashiro bilang padaku kalau dia baik-baik saja, mustahil aku dapat mempercayainya pada saat ini. Ingat, Ozu mestinya yang jadi sang protagonis yang bebal, bukan aku.

Makanya aku mesti bertanya pada Mashiro. Meskipun aku tahu kalau ini merupakan subjek yang sensitif, namun aku tidak dapat membiarkan Mashiro tinggal dalam kesendirian kayak gini. Aku tahu kalau Mashiro yang asli pasti bersembunyi di bawah permukaan.

"Kamu benar-benar keras kepala, loh, melakukan semua ini cuma demi aku. Aku rasa kamu perlu memeriksakan kepalamu."

"Jadi aku yang aneh, ya? Dengar, meskipun kamu pura-pura jadi normal di kelas, saat ini kamu tampak sama berantakannya denganku."

"Aku tidak benar-benar berusaha menyembunyikan bagian diriku yang itu di sekolah. Tetapi aku merasa kayak melihat sisi lain dari dirimu sekarang. Teman-temanmu pasti juga kayak gitu..."

Apa yang Mashiro maksud dengan "teman-teman" yaitu anggota Aliansi Lantai 5 lainnya? Aku mau bertanya mengapa Mashiro mengungkit-ungkitnya sekarang, tetapi aku ragu-ragu, dan Mashiro melanjutkan sebelum aku sempat menyuarakan pertanyaanku.

"Maafkan aku, Aki. Itu bukan kamu. Aku tidak membencimu, sungguh. Jadi aku mohon jangan membenciku juga."

"Apa yang membuatmu berpikir kalau aku ini membencimu? Meskipun aku rasa melegakan mendengarmu tidak membenciku." Aku tersenyum canggung, menyadari kalau ada air mata yang menggenang di mata Mashiro.

Aku sudah tahu kalau ada sesuatu di masa lalu Mashiro yang sulit dia bicarakan. Makanya aku bertekad buat menghindari kata-kata atau tindakan apapun yang akan memaksa itu muncul ke permukaan, meskipun aku terus-menerus melecehkan Mashiro. Tetapi sekarang, Mashiro mencoba buat berbicara. Mashiro mencoba keluar dari cangkangnya, dengan kekuatannya sendiri.

"Eum... ...sebenarnya... ...Aku takut."

"Takut?"

"Takut kalau aku tidak dapat bergaul dengan teman-temanmu. Takut kalau mereka tidak menyukaiku dan mulai mengabaikanku, dan lalu kamu akan mulai mengabaikanku juga... ...Aku tahu kalau ini aneh, tetapi..."

"Itu benar-benar dapat dimaklumi."

"Hah?"

Aku paham sepenuhnya, dan aku mau Mashiro tahu itu. "Kamu sibuk dengan semua hal soal pasangan palsu ini, jadi mungkin kamu belum menyadarinya, tetapi pada dasarnya 99% dari kelas sudah mengabaikanku. Aku tahu bagaimana rasanya tidak tampak."

"A-Apa? Tetapi..." Mata Mashiro terbelalak tidak percaya.

"Mereka tidak melakukannya dengan maksud jahat, atau semacamnya. Aku cuma tidak menonjol. Nilaiku biasa-biasa saja, penampilanku biasa-biasa saja. Aku cuma tidak terlalu menarik. Aku ini biasa-biasa saja."

"Itu tidak benar! Kamu itu Ketua Aliansi Lantai 05!"

"Ah, kamu sudah dengar soal kami?"

Apa aku sudah pernah menyebutkan nama kami pada Mashiro?

"Itu, eh, aku... ...Ayah yang memberi tahuku," kata Mashiro.

"Ah, benar. Masuk akal."

Tsukinomori-san sangat menyayangi putrinya kayak beliau menyayangi para wanita. Aku tidak terkejut kalau Paman tidak keberatan melanggar beberapa perjanjian kerahasiaan saat berbagi hal-hal soal kehidupannya dengan Mashiro. Bukan berarti kami punya perjanjian dengan Paman.

"Ka-Kamu membuat gim yang sangat menarik, bukan? Ayah bilang kalau kamu sudah menghasilkan banyak uang, padahal kamu masih SMA."

"Kami membagi keuntungannya," jelasku, "Dan sebagian besar digunakan buat membuat gim berikutnya. Aku itu tidak sekaya yang kamu kira."

"Tetapi tetap saja, kamu bertanggung jawab atas sebuah tim pengembang gim! Dan orang-orang dari segala usia juga memainkannya! Itu... ...Itu sangat luar biasa. Kamu pasti sangat populer!"

"Tidak ada yang berteriak-teriak mau berteman dengan seorang pengembang gim, loh. Lagipula, kami belum memberi tahu siapapun di sekolah."

Mashiro mengerutkan jidatnya ke arahku. "Mengapa tidak? Apa kamu... ...Apa kamu takut mereka akan mengejekmu karena itu?"

"Bukan begitu. Aku cuma tidak mau seluruh perhatian. Kalau tidak, aku mungkin akan jadi besar kepala." Jujur saja, aku dapat melihat hal itu terjadi.

"Tetapi bukannya kamu mau kemenangan?"

"Tentu saja aku mau kemenangan. Aku juga manusia kayak orang lain." Perhatian dan validasi merupakan sesuatu yang diinginkan seluruh orang di dunia ini, dan tidak tampak membuatku bahagia. "Kayak yang aku bilang, aku tidak mau besar kepala. Aku mungkin akan membuang begitu banyak waktuku buat bermandikan perhatian dan menyombongkan diri, sehingga lebih baik kalau aku merahasiakannya. Akan lebih efisien kalau memanfaatkan waktu itu buat hal-hal yang penting, bukan?"

Mashiro menatapku sejenak, merenungkan jawabanku.

"Kamu memang aneh," akhirnya Mashiro memutuskan, tersenyum lebih cemerlang ketimbang sebelumnya.

"Jadi kamu benar-benar tidak mau ikut?"

Aku dan Mashiro berjalan pulang bersama, pakaian kami yang basah kuyup oleh air membuat kami tampak kayak Hansel dan Gretel versi pang. Kami akhirnya sampai di lobi gedung apartemen kami.

Mashiro menatapku sekilas sebelum menggelengkan kepalanya. "Maafkan aku... ...Aku menghargai undangannya, sih."

"Mereka itu orang-orang yang baik, sungguh. Mereka akan memastikan kamu merasa diterima dan sebagainya."

"Aku tahu, aku cuma ... ...tidak akan merasa nyaman."

"Itu sepadan, aku rasa. Oke, kamu menang. Aku tidak akan memaksamu lagi."

Kami melangkah masuk ke dalam lift yang sudah menunggu dan diam sepanjang perjalanan.

Pada akhirnya, aku tidak berhasil membujuk Mashiro. Mashiro jauh lebih pendiam ketimbang yang aku sadari, bahkan takut buat berkenalan, apalagi berteman. Baru beberapa hari sejak kami bertemu kembali, jadi mungkin agak naif kalau aku mengira Mashiro akan membuka diri padaku secepat itu.

Kami bahkan akhirnya jatuh ke sungai dan tertawa bersama, tetapi Mashiro masih belum siap buat mengesampingkan ketakutannya. Aku tahu kalau Mashiro terluka, tetapi meskipun aku berpikir kalau bersama orang lain merupakan yang terbaik, aku memutuskan buat menghormati keputusan Mashiro buat saat ini.

"Sampai jumpa, kalau begitu." Mashiro berbalik buat kembali ke kamarnya saat lift tiba di lantai lima.

Mashiro berhenti sejenak. "Oke."

Aku melihat Mashiro berjalan terhuyung-huyung menuju Kamar 501, kamar yang berada tepat di sebelah kamarku, tidak bergerak sampai dia tiba di depan pintu.

"Hah? Apa aku lupa mengunci pintu tadi pagi?" Mashiro menatap gagang pintunya dengan bingung.

"Ada apa?"

"Ah, eum... ...Pintuku tidak terkunci. Itu aneh."

"Apa menurutmu ada yang mendobrak masuk?"

"A-Aku tidak yakin..." Mashiro menatapku dengan cemas.

Ini merupakan pertama kalinya Mashiro tinggal sendirian, dan dia masih belum terbiasa dengan rumah barunya. Mendapati pintu Mashiro tidak terkunci secara tiba-tiba di atas semua itu pasti sangat menakutkan. Mungkin tidak masalah kalau ternyata Mashiro memang lupa menguncinya, tetapi bagaimana kalau pelakunya itu perampok? Dan bagaimana kalau perampoknya masih berada di dalam?

Warna merah mengering dari wajah Mashiro. Aku penasaran, apa ketakutan yang sama sedang membanjiri kepala Mashiro saat ini.

"Mari kita lihat. Tidak usah khawatir, aku akan masuk bersamamu."

"Oke..."

Aku memposisikan diriku di depan Mashiro buat berjaga-jaga, dan melangkah masuk ke dalam apartemennya yang gelap. Kami melepaskan sepatu kami sebelum masuk lebih dalam. Kami berdua merayap ke depan, hampir berpegangan satu sama lain.

Apartemen itu sangat hening, tanpa ada sedikit pun aktivitas. Langkah kaki kami seolah-olah bergemuruh membentur dinding meskipun kami melangkah dengan ringan. Jantungku berdegup kencang di setiap langkah, dan aku dapat merasakan peluh membasahi jidatku. Mashiro berpegangan pada kemejaku kayak anak yang tersesat yang mencari induknya.

Bersama-sama, kami berhenti di depan pintu ruang tamu. Aku menatap Mashiro. Mashiro menelan ludahnya sebelum mengangguk ke arahku. Aku meraih gagang pintu itu, lalu mengayunkan pintu dengan kekuatan penuh dan mendorong Mashiro masuk ke dalam.

"Hah?"

"Aku memang tidak akan mencoba meyakinkanmu lagi."

Mashiro berbalik dan menatapku, bingung.

"Tetapi aku juga tidak akan menghormati perasaanmu!" Seringaiku pada Mashiro dengan segala kedengkian seorang pembunuh berantai yang menyaksikan kematian saingannya, yang kini siap buat menggantikannya sebagai Dewa di dunia yang baru.

Dor!

Sesaat kemudian, suara tembakan terdengar di udara.

Cuma bercanda. Itu bukan suara tembakan.

Mashiro berdiri sambil kebingungan di tengah kamarnya, saat peluru — maksudku, konfeti — menghujani dirinya.

"Selamat datang di lantai lima!"

'Selamat datang, Mashiro-chan!' Teriak spanduk yang terpampang di dinding ruang tamu. Berbagai macam teh dan alkohol berjejer di meja makan. Ada jus, makanan yang dapat dibawa pulang, dan sepanci besar kari sayur buatan Iroha yang harum. Sebagai pelengkap, Iroha, Ozu, dan Ibu Sumire berdiri mengelilingi meja dengan jagung berondong yang baru saja meledak.

Aku telah mengantarkan Mashiro langsung ke tangan penyihir lapar yang sedang menunggu di rumah roti jahe yang lezat. Gretel yang malang mungkin tidak menyangka kalau abang kesayangannya akan membawanya pada ajalnya.

"Apa... ...Apa semua ini?" tanya Mashiro.

baca-imouza-jilid-1-bab-8-bahasa-indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

"Sudah aku bilang kalau kami merencanakan Pesta Penyambutan buatmu, bukan?"

"Aku memang tahu itu, tetapi... ...mengapa kalian ada di sini? Kalian menerobos masuk ke apartemenku?"

"Percayalah padaku, aku sudah beri tahu Iroha setiap hari betapa besarnya kejahatan pembobolan kamar apartemen," kataku.

"Maksudmu—"

"Tetapi ini lain. Kita tidak masuk ke mana-mana. Inilah kamar apartemenku."

"Apa? Tidak. Ini kamar apartemenku."

"Ah? Apa kamu bahkan baca pelat pintunya?" Tanyaku.

"Aku tidak punya pelat pintu. Lagipula aku baru saja pindah ke sini."

"Makanya begitulah mengapa sangat mudah buat menipumu. Yang mesti aku lakukan yaitu mengambil pelat pintu dari kamar apartemenku."

"Tetapi... ...Tetapi ini..."

"Lihatlah. Apa begini penataan perabotannya? Apa kamu pernah berada di ruangan ini sebelumnya?"

"Tidak..." Mashiro mengakui setelah jeda.

"Yang Mulia, suka-suka Anda sajalah."

"Tetapi aku yakin kalau aku datang lewat pintuku sendiri!" Protes Mashiro.

Sudah waktunya buat memberi Mashiro petunjuk lain.

"Kok kamu ingat pintu mana yang jadi pintumu?"

"Iya, itu yang paling ujung di lorong."

"Benar. Manusia mengenali dan mengingat lokasi mereka berdasarkan lingkungan di sekitar mereka."

Ingatan Mashiro mengenai tempat ini masih samar-samar. Meskipun Mashiro sudah terbiasa setelah datang dan pergi berkali-kali, pada saat ini dia masih menggunakan informasi dasar buat menemukan jalannya.

"Kamu ingat kalau kamar mana yang jadi kamarmu karena kamar itu ada di ujung lorong."

"Tentu saja. Pintu di ujung. Pintu yang barusan aku lewati!"

"Tunggu sebentar! Kamu tidak melewati pintu di ujung. Kalau tidak, kamu tidak akan berada di kamar ini. Kesaksianmu bertentangan dengan bukti-bukti yang ada."

Mashiro masih tampak sangat bingung. Aku tidak menyalahkan Mashiro.

"Kemarilah dan lihatlah." Aku menuntun Mashiro ke lorong lagi.

Saat kami membuka pintu apartemenku, tidak ada apapun kecuali tembok kokoh di sebelah kiri kami. Mashiro mengerutkan jidatnya melihat itu sementara aku mengulurkan tanganku ke arahnya. Detik berikutnya...

Mashiro tersentak kaget.

"Itu cuma sebuah layar. Kami memastikan tekstur dan warnanya sama persis dengan dinding, lalu kami memasangnya di sini."

"Wa-Wah. Iya... ...Kamu dapat melihat di mana itu didorong terlalu keras agar muat..."

"Ngomong-ngomong, aku mengejarmu sore ini agar aku dapat memberikan waktu pada yang lainnya buat menyiapkan semua ini."

"Kamu benar-benar memikirkan hal ini?"

"Iya. Kami sudah menyiapkan berbagai rencana cadangan, buat berjaga-jaga kalau-kalau kamu menolak, atau ada sesuatu yang tidak beres."

Kalau Mashiro menerima undangan itu, tentu saja kami tidak perlu melalui semua masalah ini. Karena Mashiro tidak menerima undangan ini, aku akhirnya mengejarnya, dan berhati-hati agar tidak membiarkannya langsung pulang ke rumah.

"Kami sudah bersusah payah mengatur ini semua, loh! Semua cuma buat mengisengimu. Permintaan Aki memang selalu gila, dan selalu dalam jadwal yang ketat."

"Namun, entah bagaimana kamu selalu berhasil. Aku rasa karena itulah kita berteman." Aku tersenyum pada Ozu, yang keluar buat bergabung dengan kami.

Ozu dapat dibilang sebagai anggota Aliansi Lantai 05 yang paling penting dalam menuntaskan hal-hal rumit kayak gini. Sebagai pemrogram, Ozu punya semua keterampilan teknis dalam grup. Cuma dalam beberapa hari, Ozu berhasil membuat program yang mampu memanipulasi gambar yang sangat mendetail, dengan menggunakan mata artistik Ibu Sumire sebagai bantuan.

"Kayaknya Operasi PT sukses besar!"

PT. Partition Trap alias Jebakan Partisi.

"Kamu akan paham begitu kamu ikut masuk. Aku berjanji kalau tidak ada satupun dari mereka yang akan mengabaikanmu."

Mashiro terlalu naif. Mashiro selalu terperangkap di dalam kepalanya, terkurung di dalam kamarnya. Sampai-sampai, Mashiro bahkan tidak dapat mengenali dinding palsu. Di mata Mashiro, dia itu sang protagonis dalam dunianya sendiri. Tidak ada pandangan orang lain yang penting buat Mashiro. Itulah yang membuat Mashiro begitu mudah terperdaya, dan kami melakukannya buarlt memberinya pelajaran sederhana: Dunia sedang tidak mengisenginya.

"Te-Tetapi... ...kamu tidak dapat mengharapkan aku berteman dengan... ...dengan orang-orang ini begitu saja."

"Ayolah, Mashiro-senpai! Anggap enteng saja... ...Wah!" Iroha, yang barusan menerobos keluar dari apartemenku buat memeluk Mashiro, disambut oleh sensasi basah. Iroha segera menarik diri. "Apa yang terjadi dengan seragammu?! Apa Aki-senpai melakukan sesuatu padamu?! Kamu dapat beri tahu kami! Kami akan jadi saksi matamu!"

"Bisakah? Tidak bisakah kamu lihat kalau aku juga basah kuyup?"

"Eh, Mashiro-senpai seorang penyembur juga, ya?!"

"Wah, minumlah. Kamu pasti haus," kataku.

Apa cewek ini tidak punya sedikit pun sopan santun?

Dan mengapa aku menanyakan pertanyaan yang sudah aku ketahui jawabannya?

"Ah, Aki-senpai-ku yang manis dan polos! Kamu itu anak musim panas yang malang! Seluruh cewek seusiaku tahu soal hal semacam itu!" Iroha mengalihkan perhatiannya pada Mashiro, memberikan tepukan kecil di ujung hidungnya. "Dengar, Mashiro-senpai! Kamu salah paham! Kami berempat sama sekali tidak berteman!"

"Apa?" Kedip Mashiro.

"Iya, aku rasa Aki-senpai dan Abang memang bertemu. Sebenarnya, mereka mungkin lebih mirip sepasang kekasih! Bukannya itu akan sangat seksi?!"

"Astaga, benar-benar seksi! Kalian punya Aki yang keren dan terkumpul sebagai bagian atas dan Pangeran Ozu sebagai bagian bawah! Ini terlalu sempurna!"

"Kembalilah ke dalam, Dasar Pemab*k. Dan juga, paling tidak tunggu sampai Mashiro tiba buat mulai minum!"

"Ayolah! Itu salahmu karena meninggalkan Ibu di kamar sendirian dengan m*ras-m*ras ini!"

Hadirin sekalian, panutan kelas kita, Ibu Sumire. Seseorang yang tidak mampu bersenang-senang tanpa dipalu.

"A-Apa maksud kalian, kalian tidak berteman? Kalian bergaul dengan sangat baik!" Protes Mashiro.

"Iya, maksudku. Aki-senpai bukanlah temanku. Aki-senpai itu temannya Abang. Dan Abang Ozuma itu bukan temanku karena Abang itu Abangku. Lalu Ibu Sumire-chan juga tidak dapat jadi temanku, karena beliau itu seorang ibu guru. Paham maksudku?"

"Benar, sama saja buatku," timpalku. "Ozu itu temanku, tetapi Iroha itu cuma adiknya Ozu. Dan pemab*k inilah alasan buatku beliau disebut sebagai ibu guru."

"Itu dia! Tahanlah orang ini!"

"Karena apa? Karena telah beri tahu yang sebenarnya?"

Iroha mendorong Ibu Sumire kembali ke dalam buat menghentikan tangisannya, lalu bilang dari balik bahu Ibu Sumire, "Kebetulan kita tinggal di lantai yang sama, jadi kita memutuskan buat sedikit bersosialisasi, loh? Itu saja. Tidak ada hubungannya dengan pertemanan."

"Benarkah? Bagaimana dengan gim yang kalian buat bersama?"

"Hah? Kamu sudah tahu soal itu?" Iroha menatapku dengan tatapan bertanya.

Aku mengangguk pada Iroha, menyadari kalau aku telah gagal memperingatkan mereka.

"Aku rasa itu masalah yang cukup besar, ya. Tetapi bukan itu alasan kita mengadakan pesta kayak gini. Kalau tidak, aku akan ditinggalkan, karena aku tidak melakukan apa-apa buat itu!"

"Itu... ...benar," kata Mashiro.

"Faktanya, aku tidak melakukan apapun demi mendapatkan undangan ini, begitu juga dengan mereka! Tidak ada satu pun dari kita yang merupakan teman atau kekasih, dan sebagian besar dari kita juga bukan keluarga. Kita semua cuma ikut-ikutan, tidak memberikan kontribusi apapun pada masyarakat saat Aki-senpai datang dan—"

"Cukup! Kamu sudah cukup bicara." Aku menampar tanganku ke mulut Iroha buat menghentikannya menjelaskan bagaimana Aliansi Lantai 05 terbentuk.

Itu sama sekali bukan kisah yang menarik, dan juga tidak ada yang perlu Mashiro ketahui.

"Pokoknya, kamu paham sekarang? Kamu itu pacar palsu Aki-senpai, dan aku itu adik dari sahabat pacar palsumu*. Itu sudah cukup buat membuatmu memenuhi syarat buat bergaul dengan kami! Kamu tidak perlu berteman dengan kami buat bergabung dengan Aliansi Lantai 05! Bahkan, kamu tidak mesti tinggal di lantai yang sama! Kami juga punya seseorang bernama Makigai Namako-sensei di kelompok kami, dan dia memang tinggal di tempat yang sangat jauh! Tetapi Makigai-sensei tetaplah salah satu dari kami!"

(TL Note: Poin ini harap ditekankan, gaes, soalnya, berpengaruh ke cerita ini ke depannya.)

Saat Iroha menyebut nama "Makigai Namako-sensei," Mashiro mengeluarkan suara aneh dan wajahnya berkerut. Mashiro pasti pernah mendengar nama itu sebelumnya kalau dia tahu soal kami sebagai sebuah kelompok. Makigai-sensei itu anggota Aliansi yang paling terkenal, karena dia bekerja di industri ini.

Ketidakhadiran Makigai-sensei tidak memengaruhi cara kami memasukkannya sebagai salah satu dari kami merupakan bukti terbesar bahwa kami tidak peduli dengan label kayak "teman."

"Apa kamu paham sekarang?"

"A-Aku tidak percaya kalian mengisengiku!"

Mashiro memang tidak salah di sana. Apa yang kami lakukan memang agak tidak adil.

"Itu berhasil, bukan?"

"Iya... ...Terima kasih." Meskipun Mashiro berusaha sekuat tenaga buat mempertahankan cemberutnya, rona bahagia di pipinya tampak jelas.

***

Pertama-tama, aku dan Mashiro mesti mandi. Kami tidak mau berpesta sambil mencium bau air sungai.

Namun, jangan salah paham, loh. Mashiro pulang ke kamarnya dan aku mandi di kamarku. Setelah aku selesai mandi dan mengganti seragamku, aku menunggu di luar sampai Mashiro kembali, dan lalu kami berdua kembali ke ruang tamu di mana semua orang berkumpul.

Kecuali mereka tidak ada di sana.

Aku dapat mendengar suara-suara yang datang dari kamar tidur terjauh di apartemenku yang terdiri dari tiga buah kamar tidur.

Mereka pasti tidak melakukan apa yang aku pikirkan...

"Semuanya telah menghilang," kata Mashiro.

"Mereka sudah masuk ke dunia orang dewasa."

"Mereka... ...apa?!"

"Ini mungkin akan jadi yang pertama kalinya buatmu, bukan? Iya, tidak usah khawatir. Aku akan mengajarkan semua yang perlu kamu ketahui."

"Tung-Tunggu sebentar! Ini terlalu mendadak!"

"Tidak usah khawatir. Kecemasanmu akan segera hilang. Mari kita pergi, oke?" Aku menggandeng tangan Mashiro dan menuntunnya ke depan.

Mashiro memang mencoba melawan, tetapi aku tidak akan melepaskannya. Sudah terlambat buat Mashiro untuk keluar sekarang. Sudah waktunya buat menjatuhkan Mashiro ke level kejorokanku.

"A-Aku mohon berhenti! Aku tidak mau... ...Maksudku, kalau cuma sama kamu, aku sih tidak keberatan, tetapi aku tidak mau... ...jadi bagian dari pesta cocok tanam kalian yang aneh!"

Aku mengabaikan permintaan Mashiro yang pelan dan tidak dapat dipahami, dan membuka pintu. Terdengar suara tubuh yang bergeser.

"Apa kabar, Aki. Kami baru saja memulainya."

"Yei! Aki-senpai sudah datang! Bercocok tanam bertiga tidak cukup, loh! Lebih banyak orang lebih bagus!"

"Jangan bilang kayak gitu! Kalian akan membuat Mashiro jadi salah paham! Ah, terima kasih atas itu, Ibu Sumire! Ron. Itu 12.000 poin buatku!"

"Mustahil!"

"Hah?" Mashiro menatap pemandangan di depannya dengan tatapan kosong.

Aku tidak tahu apa yang Mashiro duga, tetapi tampaknya bukan ini. Aku tidak dapat menyalahkan Mashiro; lagipula, siapa yang punya meja mahyong otomatis akhir-akhir ini?

"Apa yang terjadi?" Tanya Mashiro perlahan.

"Kita makan, kita minum, dan terkadang bermain mahyong!" Jelas Ibu Sumire.

"Ayo bergabunglah dengan kami! Empat orang pemain jauh lebih baik ketimbang cuma tiga orang pemain!" Kata Iroha.

"Bagaimana menurutmu, Mashiro?" Tanyaku.

"Aku... ...Aku cuma pernah main secara daring sebelumnya."

"Ah, aku juga pernah mendengarnya." Ozu menghela napas. "Siapapun yang menggunakan kalimat itu pasti akan jadi sangat jago."

"Sungguh! Ini kayak 'Iya, kamu mau kami percaya kalau kamu itu payah, bukan?" Iroha tertawa.

"Aku penasaran apa Mashiro-chan dapat mengalahkanmu, Ozuma-kun? Meskipun tidak ada yang dapat mengalahkan hadaka tanki Ibu yang super keren itu!" Seringai Ibu Sumire sambil menyingsingkan lengan baju beliau.

Ini mungkin saat yang tepat buat menunjukkan kalau Ibu Sumire itu pemain mahyong terburuk yang pernah aku lihat selama hidupku, terbukti dari bagaimana Ozu barusan memanggil beliau Ron setelah permainan beliau yang buruk.

Hal yang bagus dari Ibu Sumire sebagai pemain yaitu beliau menikmati permainan ini, tidak peduli berapa kali pun beliau kalah. Aku mendorong pundak Mashiro agar dia duduk.

Mashiro menatapku dengan mata ketakutan. "A-Aku tidak mau t*ruhan apapun..."

"Tidak usah khawatir, kita tidak melibatkan uang. Aku tidak akan pernah mengizinkan perj*dian di bawah atap rumahku!"

"Yang kita t*ruhkan itu harga diri kita!" Kikik Iroha.

Mashiro tidak tampak yakin.

"Menang itu segalanya!" Lanjut Iroha. "Ayolah, kamu dapat bermain sebagai pengganti Aki-senpai! Aki-senpai tidak akan keberatan sekali ini saja, oke?"

"Aku tidak akan keberatan, ya?" Bentakku. "Iya... ...kamu memang benar, kok."

Tidak kayak Iroha, aku tidak peduli apa Mashiro itu menang atau kalah atas namaku.

"Ayolah, bergabunglah dengan satu permainan buat memulai. Ini merupakan jenis permainan yang menunjukkan sifat asli para pemain, jadi kamu akan langsung mengenal mereka," kataku.

"Oke... ...Aku akan mencobanya." Meskipun dia masih tampak ragu-ragu, Mashiro mengulurkan tangannya buat mengambil bidak pertamanya.


Begitulah Pesta Penyambutan Mashiro dimulai dengan turnamen mahyong. Ajang ini berlangsung cukup santai, memungkinkan semua orang buat memperkenalkan diri dan mengobrol saat permainan berlangsung. Nama, minat, dan makanan favorit dibagikan di sekeliling meja. Apa yang dimulai sebagai obrolan ringan segera beralih ke topik anime larut malam, salah satu kegemaran Mashiro. Semakin banyak Mashiro mengenal lebih banyak soal orang lain, ekspresi kaku di wajahnya berangsur-angsur mengendur.

Ngomong-ngomong, Ozu secara konsisten jadi pemain terkuat di turnamen ini, menggunakan pikiran logisnya buat mengevaluasi kekuatan masing-masing tangannya. Mashiro berada di poin nol, setelah melewatkan setiap kesempatan buat mencetak angka, kemungkinan karena dia gugup bertemu dengan banyak orang. Kami tidak mengizinkan nilai negatif dalam peraturan rumah kami, jadi Mashiro berada di puncak kekalahan.

"Eh, kamu dalam masalah sekarang, Mashiro-senpai!" Kekeh Iroha. "Yang perlu aku lakukan sekarang yaitu menghancurkan Abang dan lalu aku akan menang! Buat hadiahnya, aku rasa aku akan memilih malam berdua dengan Aki-senpai! Haha, cuma bercanda! Apa aku membuatmu berharap banyak?!"

"Tidak."

"Aw, ayolah! Aku tahu kalau otak perjaka kecilmu sudah terobsesi dengan gunungku sejak hari pertama kita bertemu!"

"Diamlah dan fokuslah pada mahyong. Kalahkan Mashiro."

"Masalah besar! Mashiro-senpai belum pernah menyatakan riichi sekali pun!"

"Eum... ...Iroha-chan?" Panggil Mashiro, suaranya hampir hilang di antara suara bising ubin yang ditumpuk.

"Ada apa?"

"Apa kamu yakin kamu tidak... ...pacaran dengan Aki?"

"Apa?! Tentu saja, kami itu pacaran! Kami benar-benar jatuh cinta!"

"Hah?"

"Cuma bercanda! Kena kamu! Benar begitu, bukan?"

"Eh... Iya, kamu memang bercanda..."

Mashiro benar-benar perlu belajar buat membela dirinya sendiri...

"Hati-hati, Mashiro. Yang satu ini akan mengambil kesempatan apapun yang dia bisa agar membuatmu kesal."

"Hei! Berhentilah membuatku tampak buruk! Aku tidak akan mencoba membuat Mashiro-senpai kesal kayak kamu, jadi tidak usah khawatir!"

"Bagaimana kalau kamu juga tinggalkan aku sendirian?"

"Maaf, tidak bisa! Membuatmu kesal membuatku hidup!"

"Tidak perlu banyak-banyak, ya?" Aku menghela napas sebelum menyadari kalau Mashiro jadi sangat pendiam. "Mashiro? Ada apa?"

Mashiro benar-benar berhenti di tengah jalan saat membuang ubin, dan bahkan tampak agak marah.

"Kalian berdua sangat akur, padahal kalian tidak pacaran," kata Mashiro.

baca-imouza-jilid-1-bab-8-bahasa-indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

"Apa? Kamu cemburu?" Tanya Iroha.

"Ten-Tentu saja tidak!"

"Entahlah, kamu bertingkah aneh sekali. Lagipula, bukannya kamu berpura-pura berpacaran dengan Aki-senpai? Hal-hal semacam itu selalu berakhir dengan salah satu jatuh cinta pada akhirnya, bukan?"

Mashiro tersentak.

Aku tidak paham. Rasanya kayak Iroha melilitkan jari kelingkingnya.

Tunggu... ...Kecuali...?

"Jangan konyol! Aku tidak akan pernah jatuh cinta pada cowok m*sum kayak Aki!"

"S*alan, kamu hampir sama kasarnya dengan Aki-senpai!" Seringai Iroha.

"Hah?"

"Apa? Buat apa kamu menatapku?" Tanyaku.

"Kalau kamu bersikap kayak gitu pada Iroha-chan, maka... ...Aki, bagaimana perasaanmu pada Iroha-chan?"

"Ah, benar. Iya, perasaanku pada Iroha sama kayak perasaanmu padaku."

Yoi. Aku sangat membenci Iroha.

Mashiro menatapku dalam diam.

"Ah, sekarang aku paham!" Iroha mengamati Mashiro, ada kilatan di matanya.

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi yang pasti tampak kayak masalah. Mengapa kedua orang cewek itu saling memandang kayak gitu?

"Ah..."

"Ron."

Kata kemenangan itu keluar dari mulut Mashiro saat Iroha menjatuhkan ubin di tangannya.

"13 orang anak yatim piatu. Itu 48.000 poin."

"A-Apa?!"

"Maaf. Aku rasa sudah waktunya buat serangan balik."

"S*alan. Mendapatkan tangan yakuman sebagai pembeli, dan pada tahap ini? Itu gila!"

"Tidak! Aku barusan akan menang!" Iroha meratap, memberikan tongkat penilaiannya pada Mashiro.

Mashiro menyeringai.

Aku rasa hal-hal aneh terjadi setiap hari. Kalau Iroha benar-benar memperhatikan, mungkin dia tidak akan membuang ubin yang dibutuhkan Mashiro buat ketiga belas orang anak yatim piatu. Aku penasaran apa yang mengganggu Iroha.

***

Malam semakin larut, dan sekarang sudah lewat tengah malam.

Aku menghela napas saat melihat kamarku yang berantakan. Semua orang sudah pulang ke kamar masing-masing, meninggalkanku dengan mejaku yang dipenuhi dengan ubin mahyong, dan kaleng-kaleng serta botol-botol kosong yang berserakan di lantai.

"Tidak dapat dipercaya orang-orang biadab itu akan langsung pulang ke kamar mereka dan meninggalkanku buat membersihkan seluruh kekacauan ini..."

Mungkin ini merupakan kesalahanku karena membiarkan mereka pulang begitu saja. Ozu itu orang terakhir yang pergi, dan ia menawarkan diri buat bantu beres-beres, tetapi aku merasa tidak enak minta bantuannya sekarang karena ia telah melakukan begitu banyak tugas demi membuat Operasi PT lancar. Mashiro itu tamu kehormatan, jadi dia dapat izin. Iroha dan Ibu Sumire itu target amarahku yang sebenarnya, tetapi aku akan jadi orang bodoh kalau mengharapkan sesuatu yang lebih baik dari mereka.

Pada akhirnya, aku senang, karena segalanya berjalan lancar sesuai rencana. Ke depannya, aku berharap hal ini akan membantu Mashiro agar agak lebih terbuka, dan dia dapat bersenang-senang di tahun-tahun terakhirnya di sekolah.

Tunggu, apa yang aku bilang?

Aku barusan melakukan bantuan besar buat Tsukinomori-san.

Sebelum kalian mulai memujiku sebagai pahlawan atau orang alim, ingatlah kalau aku melakukan ini karena ini demi masa depan Aliansi Lantai 05. Mashiro mendapatkan keuntungan dari hal ini cuma bonus. Selama hal ini meningkatkan hubunganku dengan Paman, tidak masalah bagaimana hal itu mempengaruhi Mashiro (meskipun aku senang dapat membantu Mashiro, tentu saja).

Aku cuma melakukan apa yang aku lakukan demi diriku sendiri dan tim pengembanganku, dan aku melakukannya dengan wawasan penuh kalau aku berisiko menyebabkan Mashiro stres kalau terjadi kesalahan. Dengan bilang kayak gitu, aku menyadari betapa br*ngseknya aku sebagai manusia.

Aku pernah disebut tidak berperasaan sebelumnya.

Saat itu aku masih SD, dan aku sedang bertanding sepak bola dengan sekolah lain. Salah satu anggota tim kami sangat buruk, dan aku memperingatkan timku agar tidak mengoper bola padanya. Begitu Guru yang bertanggung jawab mengetahui hal itu, beliau memarahiku. Beliau bilang padaku buat memikirkan bagaimana perasaannya. Aku cuma mau menjauhkan bola darinya buat memberikan kami peluang terbaik buat menang, tetapi ternyata itu "kejam".

Lalu, anak yang bersangkutan bilang padaku kalau ia sebenarnya merasa lega karena tidak ada yang mengoper bola padanya, dan kalau ia bahkan tidak mau ikut serta dalam turnamen tersebut. Ia khawatir kalau ia akan membiarkan bola dicuri, dan mengecewakan tim atau mempermalukan dirinya sendiri.

Ia tidak mempermasalahkan hal tersebut, namun semua orang bilang kalau aku itu seorang pekerja keras.

Sejak saat itu, aku jadi tidak terlalu berpikiran sempit, dan sekarang aku dapat melihat dari mana rekan-rekanku berasal. Aku lupa kalau tindakanku dapat menyebabkan seseorang terluka. Selama segala sesuatunya berakhir kayak yang aku mau, perasaan orang lain tidak jadi masalah. Makanya mereka menyebutku "tidak berperasaan".

Aku tidak ingat kapan aku mulai memahami sudut pandang mereka, tetapi segalanya mulai masuk akal buatku pada suatu saat.

Aku rasa semua hal itu tidak terlalu penting lagi...

Pada titik ini dalam hidupku, aku berkomitmen pada gaya hidupku yang mengutamakan efisiensi maksimum. Bahkan, kalau itu berarti orang lain terluka. Karena, di sisi lain, ada orang yang diuntungkan dari pilihan hidupku.

Saat aku selesai membersihkan dan menumpuk kantong sampah di sudut ruang tamu, aku mendengar ketukan. Namun, bukan di pintu, melainkan di jendela yang mengarah ke balkon.

Orang macam apa yang mengetuk jendela di lantai lima pada malam hari begini? Bisa jadi itu perampok, atau pembuat onar lainnya.

Aku memutuskan buat mengubah ulang fungsi sapu dari alat pembersih jadi senjata, dan perlahan-lahan berjalan menuju pintu kaca yang tersembunyi di balik tirai. Suara ketukan terus berlanjut. Aku mengulurkan tanganku buat membukanya.

Aku menyibak gorden ke samping dan mendorong jendela ke luar sebelum menghantamkan sapu dengan keras ke kepala orang di luar.

"Rasakan itu!"

Terdengar suara benturan keras yang diikuti oleh jeritan. Pelaku kejahatan jatuh ke tanah, bergerak-gerak dan memegangi kepalanya.

"Astaga! Senpai macam apa yang menyerang kouhai-nya yang malang dan tidak berdaya?!"

"Ah, ternyata itu kamu, Iroha."

"Jangan bohong! Kamu sudah menduga kalau itu aku!"

"Tidak, aku tidak tahu! Aku cuma yakin 95% persen."

"Lain kali naikkan jadi 💯%, Dasar Bodoh!" Iroha membentak terlalu keras buat ukuran malam kayak gini, masih memegangi kepalanya dengan air mata berlinang. "Dan meskipun itu bukan aku, kamu tetap tidak boleh memukuli orang!"

"Ini sudah lewat tengah malam! Pelakunya bisa saja kamu atau perampok, dan dua-duanya layak buat dipukul."

"Aku menyebut itu KDRT!"

"Bukanlah rumah tangga namanya karena kamu itu orang luar dan bahkan tidak tinggal di sini. Lagipula, mengapa kamu masuk lewat balkon? Kamu tahu kalau aku punya pintu depan, bukan?"

"Ini satu-satunya caraku buat masuk tanpa ketahuan orang tuaku!"

"Iya, tetapi kalau sampai Manajer Apartemen sampai tahu, kamu akan dapat masalah lagi." Aku menghela napas.

Di antara setiap balkon di gedung ini, ada sekat yang dapat dijebol dalam keadaan darurat. Iroha telah membuat lubang di sekat antara balkon kami agar dia dapat masuk kapanpun dia mau. Lubang itu berada di bagian bawah dan Iroha biasanya menyembunyikannya di balik tumpukan kardus besar, tetapi kalau ada yang tahu, dia akan tamat. Alasan Iroha yaitu karena kamarnya berada di dekat jendela yang paling dekat dengan rumahku, jadi mengapa dia tidak boleh mampir kapanpun dia mau?

"Jadi apa maumu?" Tanyaku.

"Aku cuma mau mengobrol denganmu."

"Kamu bisa saja menetap di sini setelah pesta."

"Kalau begitu, kamu akan memintaku buat membantumu beres-beres, bukan? Tidak, terima kasih! Aku ke mari karena aku rasa kamu mungkin sudah selesai sekarang."

"Kurang lebih, iya."

"Aku akan mendengarkanmu, kalau begitu."

"Terima kasih." Seringai Iroha sambil berputar-putar sebelum mencondongkan tubuhnya ke depan di pagar balkon.

baca-imouza-jilid-1-bab-8-bahasa-indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

Aku menendang sandalku sebelum bergabung dengan Iroha. Saat itu awal musim panas, dan angin masih terasa agak dingin di malam hari. Aku melirik ke arah Iroha, yang mengenakan jaket di atas piyamanya. Iroha menggosok-gosok lengannya, seolah-olah agak kedinginan. Iroha pasti punya alasan kuat buat meninggalkan kehangatan ranjangnya yang nyaman buat mengobrol denganku.

Iroha menyandarkan dagunya pada lengannya yang terlipat di atas pagar dan menatapku ke samping.

"Kerja bagus membuat Mashiro-senpai datang ke pesta. Kamu sudah berusaha keras buat itu, bukan?"

"Aku rasa begitu."

"Kamu boleh menyentuh gunungku kalau kamu mau. Itu akan membantumu kembali bersemangat, bukan?"

"Aku tidak akan terkena pada kata-kata itu lagi."

"Oke, jadi mungkin aku tidak akan membiarkanmu menyentuh gunungku, tetapi aku mau membantu dengan cara tertentu."

"Iya, aku masih tidak percaya padamu."

"Hmf. Terserahlah kalau begitu." Iroha mendorong punggung tanganku di pagar dengan gusar. "Sudah lama sekali aku tidak melihatmu memikirkan hal kayak gitu, loh."

"Iya, aku rasa aku memang tidak baik mencampuri urusan Mashiro."

"Aku tidak bilang kalau itu buruk, Dasar Bodoh." Iroha menjulurkan lidahnya padaku sebelum mengalihkan pandangannya ke balkon di seberang rumah keluarganya. "Kamu bilang kalau Mashiro-senpai itu sepupumu, bukan?"

"Iya, dan Ayahnya merupakan orang yang sangat terkenal."

"Jadi alasanmu bersikap baik pada Mashiro-senpai itu agar kamu dapat masuk ke perusahaan Pamanmu?"

"Itu benar. Ini semua soal..."

"...Efisiensi."

(TL Note: Oke Gas?)

Aku serius. Segala yang aku lakukan buat memberikan sambutan hangat pada Mashiro di lantai lima yaitu demi kepentinganku sendiri. Aku tidak keluar buat "menyelamatkan" Mashiro atau sesuatu yang heroik kayak gitu. Operasi PT sepenuhnya demi kepentinganku dan timku. Kalau Iroha ada di sini buat menyebutku "kejam" atau "tidak berperasaan", aku dapat memahaminya.

"Kamu benar-benar baik hati, Aki-senpai."

Kata-kata Iroha yang diucapkan dengan lembut merupakan hal terakhir yang aku duga dari orang yang punya akal sehat.

"Memang benar, atau kamu pasti sudah mati. Aku pasti sudah melemparmu ke hutan buat dimakan serigala."

"Hei, aku mencoba buat serius di sini! Tidak bisakah kamu mencoba menemuiku di tengah jalan?"

"Maaf."

Kadang-kadang sulit buat mengikutinya. Kalau Iroha memarahiku karena tidak serius sudah cukup aneh.

"Kamu memang baik hati, Aki-senpai. Maksudku..." Iroha melihat sekelilingnya seakan-akan buat memastikan tidak ada orang lain yang mendengarkan dan merendahkan suaranya sebelum melanjutkan. "Kamu bahkan belum memberi tahu siapapun kalau aku ini penyulih suara Koyagi, tetapi kamu masih membiarkanku bergaul dengan semua orang."

Gim indi kami telah diunduh lebih dari satu juta kali. Kisah yang mengesankan, desain karakter yang menawan, dan mekanisme gim yang disetel dengan baik, semuanya mendapat banyak pujian, tetapi ada satu hal lagi yang membuat para pemain terkesan.

Akting suaranya. Pujian itu bersifat universal: Seluruh suara karakter sangat ekspresif dan mempesona, tetapi anehnya tidak ada satu pun dari dua puluh orang aktor yang terlibat yang mendapat pujian. Media sosial penuh dengan rumor. Mereka menggunakan aktor-aktor terkenal yang tidak mau dikreditkan. Proyek ini menggunakan pengisi suara yang tidak dikenal, namun punya masa depan yang cerah. Para pengisi suara dikumpulkan dari orang-orang yang mereka cari di jalanan, tetapi kebetulan mereka sangat berbakat. Sungguh, tidak ada habisnya rumor-rumor bodoh ini. Lagipula, mereka tidak akan pernah dapat menebaknya dengan benar, sih.

Siapa yang akan percaya kalau seluruh suara, baik pria maupun wanita, diisi oleh seorang cewek SMA?!

Meskipun aku rasa Iroha bukanlah satu-satunya penyulih suara di luar sana yang punya rentang suara yang luar biasa.

Aku teringat saat kami berada di studio rekaman yang kecil bersama-sama. Saat itu cuma ada aku, Iroha, dan Otoi-san, teknisi suara yang menandatangani perjanjian rahasia yang ketat. Aku ingat kalau aku terpesona oleh penampilan Iroha yang mengagumkan dan beragam. Iroha hampir membuatku percaya akan keberadaan karakter-karakter ini.

"Kamu benar-benar berbakat, loh."

Iroha terkikik malu-malu.

"Masalahnya yaitu egomu terlalu mudah membesar."

"Aw, ayolah! Aku butuh pujian buat berkembang!"

"Tidak, kamu itu tidak butuh itu. Kamu cukup tumbuh besar cuma dengan minum jus tomat."

Jujur saja, Iroha sama sekali tidak membutuhkanku. Iroha itu jenis pemilik bakat di mana dia terbangun suatu hari, dan tiba-tiba menyadari kalau dia sebenarnya sangat jago dalam bidang sulih suara. Aku cuma lintah darat yang ada di sana buat mengambil keuntungan dari Iroha.

"Ayolah. Aku tidak akan ada di sini tanpamu, Aki-senpai."

"Aku tidak tahu soal itu. Jujur saja, kamu mesti berterima kasih pada kepribadianmu yang ceria itu."

"Bukalah matamu, Aki-senpai. Aku cuma bersikap kayak gitu padamu dan anggota Aliansi yang lainnya."

"Benar. Di sekitar orang lain, kamu berpura-pura jadi normal."

"Di sekitar keluargaku juga."

"Aku rasa kamu benar-benar belum berubah."

"Kalau aku telah berubah, mungkin aku tidak keberatan dikreditkan sebagai pengisi suara." Iroha mengedipkan matanya ke arahku, tetapi tidak ada perasaan apa-apa di baliknya. "Orang tua kami tidak akan pernah mengizinkanku melakukan pekerjaan semacam itu. Mereka bahkan tidak mengizinkan kami punya televisi, jadi satu-satunya anime yang dapat aku tonton yaitu anime yang disiarkan secara daring."

"Apa kamu pernah mencari tahu mengapa mereka begitu menentang hal semacam itu?"

"Entahlah. Mungkin ada hubungannya dengan pekerjaan lama Ibu, tetapi Ibu belum pernah mengizinkan kami bertanya soal masa lalu Ibu. Aku memang terus menunggu kesempatan, tetapi terkadang aku rasa kesempatan itu tidak akan pernah datang, loh?"

"Benar..."

Aku tahu kalau ada semacam alasan yang rumit di balik mentalitas orang tua Iroha. Beberapa tahun yang lalu, Ozu bahkan berhenti datang ke sekolah buat sementara waktu dan sekarang, Iroha dilarang buat membuat pilihannya sendiri dalam kehidupan.

Aku tahu kalau Iroha punya bakat. Aku mau Iroha dapat melebarkan sayapnya yang indah dan terbang keluar dari sangkarnya, ke langit di mana dia mestinya berada.

Karena orang tuanya, Iroha merahasiakan peran suaranya. Iroha juga tidak bergabung dengan grup LIME Aliansi karena alasan yang sama. Bahkan Ozu mengira kalau satu-satunya alasanku bergaul dengan Iroha itu karena Iroha itu adiknya. Memang agak sulit buat mengajak Iroha masuk ke dalam pesta-pesta rutin kami tanpa ada yang curiga, sih.

"Aku, Abang, Ibu Sumire-chan... ...Kamu bekerja sangat keras demi mencoba membebaskan kami semua dari keluarga dan rantai kami..."

"Dengan memamerkan koneksiku di depan wajah kalian, ya."

"Iya, begitulah cara dunia bekerja saat kapitalisme terlibat!"

Iroha memang ada benarnya.

Seluruh anggota Aliansi memang punya bakat, tetapi bakat tersebut dibatasi oleh keluarga atau keadaan mereka, yang membuat mereka menyerah pada apa yang sebenarnya mereka mau. Akulah yang menarik mereka keluar dari lubang itu dan membiarkan mereka bersinar. Aku tidak akan membiarkan mereka menyerah pada cita-cita mereka. Tidak ada yang lebih tidak efisien, atau lebih berbahaya buat masyarakat ketimbang menjauhkan seseorang dari profesi yang sebenarnya cocok buat mereka.

Setiap anggotaku punya bakat tertentu yang cuma dapat aku cita-citakan, namun mereka hampir saja membuang segalanya. Namun aku ada di sana buat menjemput mereka, menggunakan bakat-bakat itu demi kesuksesanku pribadi. Apa yang mereka pikirkan? Menyimpan kemampuan pemrograman, menulis, menggambar, dan sulih suara yang luar biasa itu buat diri mereka sendiri merupakan tindakan yang sangat egois.

Perasaan itulah yang mendorongku buat membentuk Aliansi Lantai 05. Sekarang aku tahu betapa menjijikkan dan egoisnya aku saat itu, dan itu bukanlah sesuatu yang aku sukai buat dipikirkan. Makanya aku mencoba buat menghentikan siapapun yang membicarakan masa lalu kalau aku dapat mencegahnya. Namun, aku tidak berdaya saat mesti menghadapi seorang pengganggu yaitu Kohinata Iroha, sih.

"Aku tidak akan pernah berhenti membicarakan masa lalu, karena itulah bentuk rasa syukurku. Aku tidak mau melupakannya."

"Aku memang tahu, tetapi—"

"Iya, iya. Kamu cuma memikirkan masa depanmu sendiri, bukan?"

"Iya. Jadi kamu benar-benar tidak punya alasan buat berterima kasih padaku."

"Alasanmu itu tidak penting. Kamu telah membantuku mengetahui apa yang sebenarnya aku mau. Aku tidak peduli betapa jijiknya perasaanmu soal itu; Aku ucapkan terima kasih!"

"Jadi kamu menyelonong masuk di tengah malam cuma buat mengucapkan 'Terima kasih' buat kejutaan kalinya?"

"Kamu sudah paham!" Seringai Iroha padaku.

"Mestinya kamu tidak melakukan itu," kataku. Dan aku bersungguh-sungguh.

"Kamu mulai lagi, deh. Semuanya soal membuat Mashiro-senpai datang ke pesta demi kepentinganmu juga cuma alasan, bukan? Begini, kalau-kalau ada orang yang berani berpikir kalau kamu mungkin orang yang baik atau semacamnya."

"Kayaknya kamu dapat membaca pikiranku. Tetapi iya. Aku tidak mau pujian."

Iroha dapat mempercayai hal itu kalau itu membuatnya merasa mendingan. Itu membuatku merasa jijik buat berpikir kalau aku telah melakukan sesuatu yang murni karena kebaikan hatiku sendiri. Aku benci kalau orang lain memujiku karena sikap tidak mementingkan diri sendiri, karena itu bukanlah diriku yang sebenarnya. Iroha tahu betul akan hal ini, namun dia masih tersenyum saat dia mengangkat dirinya dari pegangan.

"Dengar, kamu dapat menggambarkan dirimu sebagai orang bodoh yang tidak pantas, tetapi aku masih dapat berterima kasih padamu, oke?"

Aku tidak menjawab.

"Aku tahu yang sebenarnya, meskipun kamu sendiri tidak mau mengakuinya. Kamu itu orang yang baik." Iroha melingkarkan lengannya di sekelilingku dari belakang dan memelukku erat-erat. Rasanya sama persis kayak saat Iroha "lupa" mengenakan pembungkus atasnya. Aku rasa Iroha tidak mengenakan pembungkus atasnya di balik piyamanya. Bukan berarti itu penting saat ini. Aku dapat merasakan diriku rileks di bawah kehangatan tubuh Iroha, dan baru sekarang menyadari betapa tegangnya aku.

Aku telah mengalami banyak hal akhir-akhir ini. Ada pertemuanku kembali dengan Mashiro dan bertahan dengan "kebenciannya" yang terus menerus padaku selama jadi pacar palsunya, dan lalu ada masalah buat membuatnya membuka diri setelah bertahun-tahun menutup diri dari dunia. Aku rasa siapapun akan kelelahan setelah mengalami semua itu.

"Hal ini sungguh membuatku merasa mendingan."

"Haha! Itulah yang mereka semua bilang di televisi saat seorang cewek memeluk mereka!"

Aku dapat merasakan tawa Iroha menghangatkan punggungku. Atau mungkin aku cuma membayangkannya.

Tidak ada satu pun dari kami yang berbicara, karena tidak ada satu pun dari kami yakin apa yang mesti kami lakukan dengan perasaan aneh di udara. Aku bahkan tidak benar-benar sadar akan sensasi lembut di gunung Iroha lagi. Sebaliknya, aku fokus pada irama lembut detak jantung Iroha, sementara detak jantungku sendiri mulai menetap pada pola yang sama dan nyaman.

Saat itu, Iroha menggumamkan sesuatu. "Aku cuma mau kamu agak lebih jujur pada dirimu sendiri, dan semua orang. Agak menyedihkan melihatmu mengunci semua perasaan ini di dalam dirimu."

"Apa maksudmu?"

"Aku tahu kalau aku ini cuma adiknya temanmu, dan itu yang membedakanku dengan teman-temanmu yang lain, tetapi... ...Aku rasa aku tidak akan keberatan kalau kamu menyebutku sebagai temanmu. Dengan begitu kita dapat bersikap baik satu sama lain tanpa latar belakang pemikiran aneh soal 'efisiensi' atau semacamnya. Kita dapat jadi... ...setara, aku rasa."

"Kamu tidak senang dengan keadaan sekarang? Maksudmu kamu mau kita lebih dekat?"

"Itu... ...Iya. Maksudku, kita bahkan tidak berada di kelas yang sama, dan..." Iroha dengan cepat memotong ucapannya sendiri. "Tunggu, siapa yang peduli mengapa?! Aku cuma bilang, berhentilah bersikap keras pada dirimu sendiri! Aku mau kamu melakukan sesuatu soal itu, oke? Karena itu sangat menjengkelkan!"

Jadi kita kembali ke penghinaan, ya?

Aku paham apa yang Iroha bilang. Sampai sekarang, aku sengaja menjaga jarak dengan seluruh anggota Aliansi selain Ozu. Aku khawatir kalau kami jadi terlalu akrab dan nyaman, aku tidak lagi dapat memimpin mereka dengan efektif. Itulah betapa kecilnya kepercayaan diriku pada kemampuanku sendiri.

Namun, sejak Mashiro muncul, hubunganku dengan seluruh orang berubah. Aku belum pernah punya seseorang yang aku biarkan cukup dekat buat jadi pacarku, tetapi aku tidak punya pilihan lain, meskipun itu merupakan hubungan palsu. Pada saat yang sama, hal itu tampaknya melemahkan hubungan yang aku punya dengan Iroha, Ibu Sumire, dan anggota lainnya.

Aku mesti menghentikan kami agar tidak menjauh, dan apa yang dibilang Iroha padaku malam ini membuktikannya.

"Iroha?"

"Apa?" Terdengar jawaban dari belakangku.

Aku tidak berencana buat mulai menggembar-gemborkan betapa aku akan jadi lebih baik mulai sekarang. Namun, paling tidak, aku tidak keberatan buat bertindak lebih kayak seorang teman ke depannya. Untungnya, besok itu hari Sabtu.

"Mau pergi berbelanja besok?"

"Hah?! Maksudmu kayak kencan?! Seorang insel kayak kamu mengajakku kencan?!"

"Kamu tahu kalau aku ini cukup dekat buat memukulmu, bukan?" Terlepas dari ancaman kekerasanku, diam-diam aku merasa lega karena Iroha sudah kembali ke dirinya yang normal. "Aku mau mengajak semua orang. Kamu dapat bergabung sebagai temanku, bukan cuma adik temanku."

***

Murasaki Shikibu-sensei: Apa pendapatmu soal ajakan AKI?

OZ: Aku akan melewatkannya.

Murasaki Shikibu-sensei: Wkwk, Ibu juga!

OZ: Aku cuma akan mengacaukan segalanya kalau aku ikut pergi, loh?

Murasaki Shikibu-sensei: Betul banget! Aki akan terjebak dengan adik teman dan pacar palsunya sendirian! Melibatkan sahabat cowoknya akan membuat suasananya jadi tidak terlalu canggung! Ibu tidak sabar menantikan itu!

OZ: Kayaknya Ibu tahu banyak soal anime harem juga, ya?

Murasaki Shikibu-sensei: Ibu tahu sedikit banyak. Pokoknya, selagi mereka jalan-jalan buat kencan yang paling aneh yang pernah ada, Ibu akan baca seluruh manga shota yang Ibu punya! Hal-hal kayak ini semakin jadi arustama dan inilah hal terbaik yang pernah ada!

OZ: Haha, bagus. Aku mungkin akan terus menontonnya di YTube atau semacamnya. Aku cuma berharap mereka bersenang-senang di luar sana.

Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F

←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama