Tomodachi no Imouto ga Ore ni Dake Uzai [Light Novel] - Jilid 1 Bab 5 - Lintas Ninja Translation

[Peringatan 15+ Ke Atas!]

Bab 5
Adik Temanku Tukang Ngintip

Bel berbunyi di seluruh gedung, menandakan berakhirnya hari sekolah.

Beberapa siswa-siswi bergegas menuju pintu, sangat gembira karena bebas dari sekolah buat satu hari lagi. Beberapa lainnya mengangkat bahu mereka, bersemangat buat pergi ke luar ruangan buat mengikuti ekskul mereka. Beberapa menatap tembok, karena telah membuat pilihan yang sulit buat tetap tinggal di rumah dan mengerjakan PR. Dan seorang putri kecil duduk dengan lesu di meja di sebelah mejaku.

Aku memutuskan buat bilang sesuatu. Aku yakin itulah yang diinginkan oleh Paman. Meskipun aku tahu kalau Mashiro akan membungkamku dengan lidahnya yang tajam itu, paling tidak aku dapat bilang kalau aku sudah mencoba.

"Hei—"

"Kamu itu bukan pacar asliku."

Aku punya lima patah kata! Enam kalau kalian menghitung "asliku" sebagai dua kata (dan aku mesti mengambil apa yang dapat aku dapatkan di sini).

Tetapi tunggu. Mashiro bilang kalau aku itu bukan pacar "aslinya". Apa itu berarti Mashiro menerimaku sebagai pacar palsunya?

"Wah! Aku tahu kalau kamu sering sekali mendapatkan para tsundere di anime dan semacamnya, tetapi Tsukinomori-san itu yang pertama yang pernah aku temui di kehidupan nyata!"

"Mungkin Tsukinomori-san cuma tidak suka jadi terlalu lengket di depan orang lain. Ah! Senang sekali melihat rasa malu tradisional Jepang pada seorang cewek akhir-akhir ini!"

"Mereka pasti sangat dekat kalau Tsukinomori-san dapat bersikap begitu jutek pada Ooboshi-kun! Lebih kayak pasutri ketimbang cuma pacar!"

Tampaknya, siswa-siswi yang masih keluar dari kelas merasa perlu memberikan komentar (yang sama sekali tidak akurat). Mereka perlu diuji, terus terang saja. Siapapun dapat melihat kalau aku dan Mashiro itu pasangan yang tidak serasi satu sama lain. Kami mungkin dapat saling menjambak (maksudku secara harfiah), dan mereka akan tetap tersenyum dan bilang betapa imutnya kami bersama.

Mashiro mundur dan mulai gelisah, pipinya memerah. Mashiro pasti juga memperhatikan semua orang.

"E-Eum, a-aku mohon... ...aku mohon berhenti menatapku..."

Mashiro bergegas mengumpulkan barang-barangnya secepat mungkin, dan tidak ada yang dapat aku lakukan selain melihatnya berlari keluar dari kelas. Saat Mashiro pergi, aku menghela napas lega.

Paling tidak, aku rasa kami akan akrab lebih baik dari ini...

"Tsukinomori-san tidak terlalu buruk," kata Ozu, mendekatiku sambil tersenyum.

"Lupakan jadi pacarnya Mashiro, aku mesti membuat beberapa kemajuan agar dapat jadi temannya yang sebenarnya terlebih dahulu. Kalau tidak, bagaimana aku dapat menjaganya?"

Andai saja aku orangnya asyik, tampan, dan/atau punya aura protagonis dalam diriku... ...Itu loh, kayak Ozu.

Meskipun, seandainya saja Ozu akhirnya mengejar Mashiro, segalanya mungkin tidak akan berakhir dengan baik. Kalau aku menyuruh Ozu menggantikanku, dan mereka benar-benar jatuh cinta, aku rasa Paman akan ngamuk. Kami bukan cuma akan kehilangan pekerjaan impian kami, tetapi aku juga akan dikucilkan dan dibenci oleh semua anggota keluarga besarku setelah kabar itu tersebar.

"Menurutmu, apa ada cara agar aku dapat membuat Mashiro, paling tidak mau berbicara denganku?" Tanyaku.

"Entahlah... ...Maksudku, pendapat Tsukinomori-san soalmu kayaknya tidak akan berubah buatku."

Mudah buat Ozu untuk bilang begitu. Ozu belum pernah ketemuan dengan seorang cewek yang membencinya dalam kehidupannya.

"Maksudku... ...Aku rasa bukan masalah besar buatku kalau Mashiro membenciku," kataku.

Mungkin bukan masalah besar, tetapi tetap saja menyakitkan. Aku mungkin dapat mengatasinya kalau harus, tetapi aku tidak mau. Dan mungkin akan lebih mudah buat Mashiro kalau dia juga agak lebih santai.

"Aku rasa aku akan memikirkannya nanti dan pulang saja sekarang. Mau ikut denganku, Ozu?"

"Tidak bisa, maaf. Ketua OSIS mau ketemuan denganku."

"Ah, iya deh, Tuan Populer."

"Bukan kayak gitu. Dia cuma mau aku melakukan beberapa tugas buatnya. Aku terlalu pengecut buat membuatnya jatuh cinta padaku."

"Kamu? Pengecut? Waktu SD, tentu saja, tetapi sekarang?"

"Iya, terserahlah, yang mau aku bilang yaitu aku tidak dapat pulang bersamamu hari ini. Maaf, Bang."

"Itu tidak apa-apa, santai saja. Sampai jumpa nanti."

Ozu akhirnya melakukannya. Ozu mendapatkan rute Ketua OSIS yang sulit dipahami.

"Tentu. Tidak sabar buat memilah-milah petisi yang dia punya buatku."

Dan Ozu tetap saja bebal saat membicarakannya.

(TL Note: Ngaca bang!)

Aku menahan napas dalam hati saat Ozu meninggalkan ruangan dengan melambaikan tangannya ke arahku. Kayaknya aku akan pulang sendirian hari ini. Tidak masalah. Aku cuma akan berjalan pulang sambil mengecek perkembangan gim kami di toko aplikasi.

Aku baru saja ganti sepatu dengan sepatu luar ruanganku di dekat rak sepatu, saat...

"Gah!"

"Tebak siapa!"

Seseorang menabrakku dari belakang. Mengapa aku pura-pura tidak tahu siapa orangnya? Cuma ada satu orang yang aku kenal yang menganggap hal semacam ini dapat diterima secara sosial.

"Ah, aku tahu! Itu cewek yang suaranya paling tidak suka aku dengar: Iroha!" Seruku.

"Aku akan pura-pura tidak dengar sebagian besar dari itu!" Tawa Iroha berdering di udara. Dan saat aku bilang "berdering," maksudku kayak salah satu lonceng gereja yang menghebohkan itu, bukan lonceng kecil yang biasa digunakan kepala pelayan.

Panas tubuh Iroha hampir terasa berlebihan saat menempel di punggungku. Meskipun Iroha tidak memakai parfum, ada aroma harum di sekelilingnya yang membuat denyut nadiku naik secara alami. Aku berdehem buat mencoba tetap tenang.

"Apa maumu?" Tanyaku. "Dan juga, lepaskan."

"Kamu tampak sangat sedih!" Kata Iroha. "Jadi aku mau menghibur Senpai yang sangat istimewa dengan pelukan yang sangat istimewa!"

"Aku tidak butuh pelukan yang sangat istimewa. Lepaskan saja."

"Hmmm... ...Apa kamu yakin?"

"Mengapa aku mesti tidak yakin?"

Aku sudah tahu kalau Iroha sedang merencanakan sesuatu. Bibir Iroha melengkung, seakan-akan tanggapan bingungku yaitu hal yang dia tunggu-tunggu.

"Tidak bisakah kamu merasakannya?" bisik Iroha di telingaku. "Semuanya lembut dan bulat dan bergoyang-goyang di punggungmu?!"

"Itu cuma gunungmu, bukan? Aku sudah... ...Tunggu..."

"Kayaknya kamu sudah dapat menebaknya!"

Iroha langsung menangkap sedikit kekakuan pada ekspresiku. Suara Iroha jadi semakin melengking saat dia terus menggodaku.

Apa Iroha benar-benar serius sekarang?

Karena aku belum pernah diperkenalkan dengan sentuhan (suka sama suka) dari seorang cewek, yang ada di dalam benakku cuma rumor.

Aku sudah tahu kalau kantung daging bulat yang konyol yang kalian lihat di anime tidaklah realistis, dan kalau dalam kehidupan nyata, pembungkus atas* yang kaku cuma akan menghalangi kalau kita kebetulan menyentuh gunung cewek berpakaian. Dunia 3 Dimensi sering kali mengecewakan dalam hal ini.

(TL Note: Penutup gunung.)

Maksudku yaitu bahwa gunung yang tertutup jarang selembut yang kalian duga (atau harapkan). Satu-satunya pengecualian yaitu kalau cewek itu tidak mengenakan pembungkus atas. Atau tidak mengenakan apapun.

"Coba tebak, Senpai! Aku lupa mengenakan pembungkus atas hari ini! Dan juga, dan juga! Kemejaku sama sekali belum dikancingkan!"

"Omong kosong. Aku tidak mudah tertipu kayak yang kamu pikirkan, loh! Lagipula, mengapa kamu membuka kancing kemejamu di tengah-tengah sekolah?" Aku berhasil tersedak, suaraku yang kering bergetar.

Dengan posisi Iroha yang menekan punggungku kayak gitu, aku tidak punya cara buat berbalik dan memverifikasi klaimnya.

"Gunungku jadi semakin besar, makanya! Dan kemejaku jadi sangat ketat! Aku cuma meregangkan tubuhku sedikit dan seluruh kancingnya terlepas! Ups!"

"Ti-Tidak, gunungmu tidak..."

"Yah-hah! Kalau kamu berhasil melepaskanku sekarang, kamu akan melihat gunungku juga!"

Iroha terdengar terlalu senang dengan hal ini.

"Ini tidak lucu!" Kataku.

"Aku serius!" Kikik Iroha. "Eh, aku tidak mau ada yang melihat, jadi aku mesti memelukmu erat-erat!"

"Aktingmu perlu diperbaiki."

Ini semua karena Iroha sudah tahu dari panggilan telepon Paman kalau aku akan dapat masalah kalau aku punya pacar.

Iroha masih tidak mau melepaskanku, dan itu benar-benar mulai membuatku kesal. Selain itu, mustahil Iroha benar-benar menekan gunungnya yang terbuka ke punggungku. Benar begitu bukan? Iroha cuma bercanda. Aku dapat melepaskan Iroha tanpa masalah, dan cuma kebohongannya yang akan tampak oleh semua orang.

Iya, Iroha pasti mencoba menipuku.

💯 %.

Kecuali...

Oke, jadi aku tidak akan jatuh hati pada bagian di mana Iroha bilang semua kancing kemejanya terlepas. Itu sangat konyol. Tetapi kalau gunung Iroha benar-benar keluar, dan aku mendorongnya, bagaimana kalau ada siswa-siswi yang lewat melihatnya? Bukannya aku peduli, karena itu memang kesalahan Iroha sendiri, tetapi... ...tetapi dia itu adiknya temanku. Kalau Iroha terjebak dalam semacam skandal karena hal ini, itu akan berdampak buruk pada Ozu juga.

Terlepas dari hal lain, aku mau Iroha berhenti menempel padaku. Kalau seseorang melihatku dengan seorang cewek setengah terbuka di punggungku (yang mestinya bukan pacarku), aku akan punya banyak penjelasan yang mesti aku lakukan. Dan kalau Paman mengetahuinya, aku akan dipanggang habis-habisan. Aku mesti melakukan sesuatu buat mengatasi situasi ini secepat mungkin.

"Haha! Aku menangkapmu sekarang! Tetapi tidak usah khawatir! Aku akan tetap melepaskanmu kalau kamu memintanya dengan benar!" Seru Iroha.

"Kamu yang meminta ini."

"Hah?"

"Aku melakukan ini demi kita berdua! Dan ini tidak sesulit yang kamu bayangkan!"

"Ha-Hah?! Tung-Tunggu, Apa —Ah!"

Dengan sedikit mencondongkan tubuhku ke depan, aku menyelipkan lenganku di belakang kaki Iroha dan berpegangan erat. Aku lalu berdiri, mengerahkan tenaga sebanyak mungkin ke dalam kakiku. Iroha terangkat ke atas punggungku sambil terus berpegangan pada leherku.

Aku sekarang menggendong belakang Iroha dengan benar.

"He-Hei, Senpai, apa yang kamu lakukan? Tu-Turunkan aku!"

"Itu lebih baik ketimbang mengeluarkan gunungmu, bukan? Atau itu cuma kebohongan belaka?"

Iroha tidak menjawab, tetapi mulai menggerutu dengan frustrasi. Aku dapat mendengar, ketimbang melihat, raut wajah Iroha yang tidak puas.

"A-Apa kamu benar-benar yakin mau melakukan ini? Siapapun yang melihat kita akan berpikir kalau kita ini pasangan yang menjijikkan."

"Aku tidak peduli."

Saat berikutnya, Iroha menjerit saat aku berlari keluar dari aula pintu masuk dan berlari menuju rumpun semak-semak terdekat. Aku terus berjalan tanpa ragu-ragu.

"Apa kamu serius sekarang?! Berhentilah bersikap biasa-biasa saja soal ini!" Bentak Iroha.

"Aku cuma mengambil rute yang paling kecil kemungkinannya buat ketahuan. Aku biasanya tidak memberi tahu siapapun soal rute ini, jadi kamu mesti menganggap dirimu beruntung."

"Hah?! Sejak kapan kamu tahu soal rute ini?!"

"Aku selalu tahu. Apa kamu lupa bagaimana aku mencoba hidup seefisien mungkin?"

Aku telah menguji semua rute yang dapat aku temukan buat pulang ke rumah, segalanya atas nama efisiensi. Membiasakan diri dengan semua rute yang dapat aku tempuh cuma akal sehat. Setiap cara yang dapat aku tempuh dari rumah ke sekolah, dan bahkan sampai ke ruang kelas, terpatri dalam otakku.

Rute yang kami tempuh sekarang itu rute yang paling sepi dari kesibukan sepulang sekolah, dan rute yang paling kecil kemungkinannya buat ketahuan.

"Begini, kamu mungkin lebih aneh dari yang aku pikirkan," kata Iroha.

"Tidak, aku cukup normal."

"Diamlah. Orang normal tidak memetakan setiap rute perjalanan pulang —gahah!"

"Berhentilah berteriak, Dasar Bodoh! Orang-orang mungkin akan melihat kita. Pegangan yang erat dan jangan sampai jatuh."

Berkat kecepatanku yang tepat waktu, Iroha tidak dapat menyelesaikan hinaannya.

Aku mesti mengakui, Iroha jauh lebih enteng ketimbang yang aku duga, mengingat yang dia lakukan cuma makan, tidur, dan bermalas-malasan. Namun meskipun begitu, Iroha masih dalam kondisi yang cukup sehat. Mungkin itu semua berkaitan dengan kurangnya massa yang memenuhi tengkorak Iroha. Iya, itu akan jadi eksperimen sains yang menarik.

"Hah? Apa kamu bilang sesuatu?"

Kedengarannya kayak Iroha mencoba berbicara, tetapi aku tidak dapat menangkap apa yang dia bilang, mungkin karena aku sibuk berlari secepat mungkin agar tidak ketahuan. Rasanya kayak aku berlari lebih cepat dari angin pada saat itu.

baca-imouza-jilid-1-bab-5-bahasa-indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

"A-Aku bilang kalau aku menyerah! Ka-Kamu boleh menurunkanku sekarang!" Tangis Iroha.

Akhirnya, aku paham apa yang Iroha bilang. Kami berada di jalan sempit di belakang sekolah, dan aku melambat buat berbelok di sebuah tikungan. Iroha telah melepaskan leherku dan sekarang merengek dan memukulkan tinjunya ke punggungku. Aku menoleh ke arah Iroha dari balik bahuku.

"Apa tidak ada sesuatu yang mau kamu bilang padaku terlebih dahulu?" Tanyaku.

"...Ma-Maafkan aku."

"Minta maaf karena apa?"

"Ma-Maafkan aku karena pura-pura kalau seluruh kancing kemejaku terlepas dan kemejaku terbuka..."

"Dan?"

"Dan-Dan maafkan aku karena mencoba buat mengganggumu."

"Cewek pintar."

Puas, aku melepaskan Iroha tanpa pikir panjang. Iroha segera meluncur ke tanah, mendarat dengan punggungnya.

"He-Hei!"

"Rasakan rasa sakit di pinggulmu? Kayak gitulah rasanya berurusan denganmu hampir setiap hari."

"Begitukah cara Ibumu mengajarimu memperlakukan seorang cewek?! Tidak heran cewek-cewek tidak menyukaimu!"

"Ah, menangislah." Iroha cemberut padaku sambil mengusap-usap punggungnya yang sakit. Kejutan, kejutan, kemeja Iroha terkancing dengan sempurna. Meskipun aku tidak akan dapat melihat gunung Iroha, berkat seluruh cobaan ini, roknya tersingkap dan memperlihatkan pahanya yang tebal. Aku segera memalingkan wajahku.

Kadang-kadang aku berharap kepribadian Iroha cocok dengan tubuhnya yang bagus. Paling tidak dengan begitu aku tidak perlu merasa jijik kalau mengakui kalau dia itu cukup menarik.

"Euh! Aku tidak percaya kalau aku digendong di usia ini! Kamu beruntung tidak ada yang melihat kita!"

"Ah, jadi kamu punya rasa malu! Aku baru tahu."

Wajah Iroha yang cemberut masih merah karena malu. Iroha pasti merasa lebih malu ketimbang yang dia coba tunjukkan.

"Begini, biasanya aku berharap kalau kamu akan membuat beberapa komentar kasar soal bagaimana kamu menikmati berada begitu dekat denganku atau semacamnya..."

"A-Aku tidak pernah..."

"Tetapi ternyata memperlakukanmu kayak anak kecil cukup efektif. Sekarang, mari beri Ayah pelukan yang erat—"

"Hentikan! Apa kamu mau aku menangis?!"

"Aw, kamu selalu jadi bayi yang cengeng!"

"Hentikan!" Jerit Iroha, suaranya menusuk telingaku.

Iroha menggeliat dan berguling di tanah dengan kesakitan, memegangi kepalanya. Aku menemukan sesuatu yang bagus di sini.

"Ibu masih memperlakukan kami kayak anak kecil, sampai kami masuk SMA... ...dan sekarang kamu memberiku kilas balik yang sangat menjijikkan!" Jelas Iroha.

"Iya, sekarang kamu cuma membuatku merasa tidak enak. Aku mesti bertanggung jawab dengan wawasan yang baru aku temukan ini..."

"Ka-Kamu akan menyesali ini! Aku kalah kali ini, tetapi aku akan membalaskan dendamku!"

"Tentu, cobalah keberuntunganmu kapanpun kamu mau. Mengakalimu tidak akan berhasil."

Aku tidak tahu mengapa Iroha memutuskan kalau kami tiba-tiba berada dalam suatu persaingan, tetapi terserahlah. Iroha akhirnya berdiri, sambil menggerutu.

"Aku tidak percaya kalau aku kalah, setelah aku bersusah payah tidak mengenakan pembungkus atas."

"Hah? Tetapi segalanya cuma lelucon, bukan? Jadi apa yang barusan kamu bilang?"

"Aku bilang kalau 'Aku sudah kalah'."

"Tidak, maksudku setelah itu."

"'Mesti lewat seluruh masalah itu'?"

"Ayolah, deh..." Aku menyela sendiri. "Terserahlah. Aku tahu apa yang aku dengar. Aku cuma mau berpura-pura kalau aku tidak mendengarnya."

Aku berputar-putar, tidak tahan lagi melihat tatapan bingung di mata Iroha. Mengapa aku jadi begitu bingung sekarang, setelah semua yang barusan terjadi?

Jadi Iroha benar-benar... ...tidak mengenakan pembungkus atas?

Itu masuk akal. Gunung Iroha terasa cukup lembut, sih. Apa Iroha benar-benar melakukan sejauh itu?

Iya, aku tahu kalau Iroha mengenakan kemeja, tetapi... ...dia masih menempelkan gunungnya padaku, bukan?

Mungkin aku meremehkan kemampuan cewek ini.

Aku akan bilang ini lagi. Iroha datang ke sekolah, dan menghabiskan sepanjang hari tanpa mengenakan pembungkus atas, cuma buat berusaha membuatku bereaksi dengan menekan gunungnya ke punggungku.

Tetapi itu tidak masuk akal sama sekali! Kecuali...

Mungkin... ...Mungkin saja...

Iroha membenciku lebih dari yang aku pikirkan!

Lagipula, siapa lagi yang akan Iroha jadikan korban keisengan? Iroha sangat membenciku, dia bersedia menggunakan setiap aset kewanitaannya buat melawanku. Apa yang telah aku lakukan sampai-sampai aku layak mendapatkan ini?! Lucu juga, karena kalau tidak begitu jelas karena kebencian, kalian dapat salah mengira itu sebagai tanda kasih sayang.

"Iroha... ....Kamu benar-benar hebat, loh?"

"Hah?"

Saat Iroha mengerjap ke arahku dengan kebingungan, aku merasakan diriku naik ke tahap pencerahan yang baru.

Dengan Iroha yang tidak lagi berada di punggungku, aku tidak lagi mengkhawatirkan tatapan orang lain saat kami berjalan pulang. Aku berjalan di sepanjang trotoar sementara Iroha berjalan dengan hati-hati di sepanjang trotoar, tangannya terentang buat keseimbangan.

"Hei, dapatkah kamu membantuku?" Tanyaku.

"Tentu saja, terserah apapun maumu, Abang Perjaka."

"Ah? Apa kamu mau aku gendong kayak gitu lagi?"

"Tidak! Jangan, aku mohon! Aku cuma bercanda!"

Sudah aku duga. Senjata yang aku punya ini sangat kuat.

Meskipun Iroha cemberut pada awalnya, dia kayaknya menyadari kalau aku akan menanyakan sesuatu yang serius. Ekspresinya menegang. "Bantuan apa ini?"

"Tidak ada orang yang semenyebalkan kamu, jadi aku memutuskan kalau kamu itu orang yang tepat buat aku mintai bantuan..."

"Oke, itu kasar."

"...Aku penasaran apa kamu tahu bagaimana caranya berteman dengan cewek yang benar-benar menyebalkan."

Ada jeda.

"Hah?" Iroha terdiam, seakan-akan dia tidak paham pertanyaan itu. "Ha-Hah? Apa kamu... ...Apa sedang kamu naksir sama seseorang, Senpai?"

Suara Iroha bergetar, kayak Presiden Amerika Serikat saat mengetahui kalau Bumi sedang diserang oleh alien (tentu saja, aku berbicara soal film). Wajah Iroha bahkan kehilangan warnanya.

Mengapa Iroha menatapku kayak gitu? Meskipun aku memang menyukai seseorang, apa itu hal yang buruk?

"Tidak, bukan begitu..."

Aku mulai menjelaskan bagaimana aku melakukan berbagai hal di belakang layar demi masa depan Aliansi Lantai 05. Aku bercerita soal misi yang aku terima dari Tsukinomori-san, dan bagaimana aku sekarang mesti pura-pura jadi pacarnya Mashiro. Aku memasukkan fakta kalau Ibu Sumire telah diminta buat mengawasi Mashiro, karena Mashiro punya banyak hal yang terjadi sebelum dia pindah. Aku bilang pada Iroha kalau aku mau paling tidak jadi temannya Mashiro kalau aku bisa, yang akan punya efek tambahan buat membantunya punya kehidupan sekolah yang asyik dan memuaskan.

Hanya saja saat aku menjelaskannya, aku baru menyadari betapa konyolnya semua itu. Pada awalnya, Iroha bingung, tetapi dia segera memahami maksudku.

"Astaga, Senpai, kamu benar-benar suka mencampuri urusan orang lain, ya?"

"Cuma demi kepentinganku sendiri, ingat itu. Aku tidak melakukan ini demi orang lain."

"Namanya Mashiro-senpai, bukan? Ini bukan kayak kamu benar-benar mesti jadi temannya, bukan?"

"Aku rasa tidak, tetapi aku akan merasa agak tidak enak kalau Mashiro berakhir kesepian. Aku rasa kamu akan menyebutku sebagai sok pahlawan."

"Iya, itulah yang kami sebut sebagai kepo! 'Kepo' itu hal yang buruk, sih." Kikik Iroha, seolah-olah terhibur dengan ingatan yang baru saja digali.

"Apapun itu, aku tidak tahu mesti memulai dari mana. Mashiro langsung memotong obrolanku setiap kali aku mencoba buat berbicara dengannya."

"Maksudku, iya, kamu memang berpapasan dengan Mashiro-senpai menggunakan toilet saat pertama kali bertemu. Jadi aku tidak terkejut."

"Aku tahu, dan aku merasa tidak enak karena itu."

"Iyalah, aku akan khawatir kalau kamu tidak merasa tidak enak," kata Iroha, meskipun dia tidak tampak menentangnya.

Itulah bagian lain dari kepribadian Iroha (Gini loh, selain "cewek yang sangat menyebalkan"). Tidak peduli apapun yang kalian lakukan, Iroha tidak akan pernah menggali terlalu dalam atau mengkritik kalian. Saat aku bercerita soal kesalahanku di toilet, Iroha langsung menertawakannya. Beranikah aku bilang begitu, inilah sisi lain dari Iroha yang mungkin aku sukai. Iroha mudah diajak bicara dan bersenang-senang, dan aku mungkin akan melakukannya lebih sering kalau dia tidak begitu menyebalkan. Aku rasa aku tidak bisa mendapatkan hal yang aku mau dari Iroha.

"Jadi, kamu mendapati seorang cewek tsundere yang tertutup dan punya lidah yang tajam. Aku tahu tipe cewek kayak gitu dari gim H." Iroha mengangguk pelan.

"Tidak, kamu tidak tahu. Atau memang mestinya tidak. Kamu belum berusia 18 tahun."

"Ayolah, santai saja. Gim H sangat populer di kalangan segala usia akhir-akhir ini! Tidak semua dari gim H mesti berusia 18 tahun ke atas, loh!"

"Kedengarannya kayak kabar hoaks buatku."

"Bukan! Ini disebut kemajuan budaya!" Seringai Iroha. "Pokoknya, serahkan saja padaku!"

Iroha menangkupkan tangannya pada gunungnya yang tidak tertopang, yang bergoyang-goyang sedikit. "Tidak usah khawatir, Senpai! Aku akan ajarkan padamu semua yang perlu kamu ketahui buat memecahkan masalah kecil ini!"

***

"Jadi gunung Iroha menyentuhmu? Apa aku mesti menghajarmu?"

"Tung-Tunggu, kamu tidak paham, Ozu. Aku tidak melakukan apa-apa!"

"Memang benar, sih, tetapi aku tidak peduli kalau kamu yang melakukannya. Iroha dapat melakukan apa yang dia mau, loh? Aku ini bukan tipe cowok yang terobsesi dengan adikku."

"Kalau begitu mengapa aku dapat merasakan haus darahmu lewat panggilan telepon ini?!"

"Ah, hanya saja kamu sedang membual padaku sekarang soal seorang cewek yang memegang gunungnya di punggungmu. Aku rasa semua cowok mau meninju wajahmu."

"Begini, aku agak senang aku tidak duduk di sebelahmu sekarang..."


Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F

←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama