Tomodachi no Imouto ga Ore ni Dake Uzai [Light Novel] - Jilid 1 Bab 4 - Lintas Ninja Translation

[Peringatan 15+ Ke Atas!]

baca-imouza-jilid-1-bab-4-bahasa-indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

Bab 4
Guruku yang Seksi Punya Urusan dengan-Ku


"Namaku Tsukinomori Mashiro. Eum... ...A-Aku akan berada di kelas kalian mulai dari sekarang. Dan, juga, eum... ...A-Aku pacarnya Ooboshi Akiteru-kun..."

Sejak saat itu aku tahu kalau hari itu tidak akan membawa apa-apa selain masalah.

Siswi pindahan yang cantik jelita itu baru saja menyatakan dalam perkenalannya yang kesepuluh kalinya kalau kami berpacaran. Seluruh kelas menoleh ke arahku, wajah mereka mengingatkanku pada para penerjun payung yang baru menyadari kalau mereka tidak punya parasut di tengah penerbangan.

"Ooboshi... ...Seriusan?!"

"Cewek cantik kayak dia pacaran dengan... ...cowok ini?"

"S*alan! Sudah kalah di babak pertama!"

"Tunggu. Ooboshi itu siapa deh?"

Ruangan itu bukan cuma penuh dengan pertanyaan dan keraguan, tetapi juga kekesalan dalam setiap suara yang tidak salah lagi.

Dan juga, ada apa dengan orang terakhir yang tidak tahu nama teman sekelasnya sendiri? Kalau mungkin — Suzuki mengetahui hal ini, aku yakin ia akan marah!

Aku tidak dapat mempercayai perhatian yang tiba-tiba aku dapat cuma karena aku punya "pacar" sekarang, padahal aku biasa-biasa saja dalam segala hal. Orang-orang ini sungguh terlalu terobsesi dengan hal semacam itu.

"Ha-Hai, Tsukinomori-san! Aku punya pertanyaan! Di mana kamu dan Ooboshi-kun pertama kali ketemuan?"

"Hah? Ah, eum... ...Di toilet."

"Hah?"

Astaga. Aku mohon, berpikirlah sebelum berbicara.

Itu bahkan tidak benar! Kami bertemu jauh sebelum semalam! Itu loh, sekitar 10 tahun yang lalu? Mungkin gunakan otakmu yang sangat mungil itu dan berikan jawaban yang benar!

"Se-Sebenarnya, aku lupa! Jadi, eum... ...Jangan tanya aku lagi, aku mohon!"

Mashiro menundukkan kepalanya, lalu bergegas menuju bangkunya tanpa menjawab pertanyaan lebih lanjut. Gelombang gumaman kecewa melanda kelas, tetapi untungnya mereka membatalkan topik obrolan. Aku sekali lagi diingatkan akan kenyataan dari situasi ini.

Orang-orang jauh lebih masuk akal dalam kehidupan nyata ketimbang di anime, di mana mereka pasti akan mempertanyakan soal hubungan kami. Meskipun semua mata tertuju padaku selama beberapa saat, semua orang akan segera melupakan kami dan melanjutkan kehidupan mereka masing-masing.

Tentu saja, ada risiko cowok-cowok akan menaruh hati pada Mashiro, mengingat betapa imutnya dia, tetapi tidak ada dari mereka yang akan cukup bodoh buat mengganggu karena dia sudah punya pacar. Malu buat mengakuinya, alasan Paman mulai masuk akal. Aku rasa Paman tidak jadi CEO perusahaan global tanpa alasan.

Dengan anggun, Mashiro duduk di meja di sebelah mejaku, sambil menundukkan kepalanya dengan malu-malu. Bangku itu telah kosong selama beberapa waktu, dan aku tiba-tiba penasaran seberapa jauh jangkauan Paman. Mungkin Paman punya sesuatu soal Kepala Sekolah. Aku tahu kalau aku tidak mau diperas oleh orang kayak Paman.

"Kita akan melewati ini semua."

Aku melempar senyuman simpatik pada tetanggaku di sebelah. Raut gugup di wajah Mashiro menghilang begitu saja.

"Jangan bicara padaku, Cowok Toilet. Jangan kira aku akan lupa apa yang telah kamu lakukan padaku."

Tatapan Mashiro yang jutek membuatku merinding.

"Kamu melakukan tugas yang hebat saat memerankan cewek pemalu dan polos di sana. Ada apa dengan sikapmu sekarang?"

"Ah, bukan apa-apa, sungguh. Hanya saja aku membencimu dan segala sesuatu soalmu."

"Eh ...Kamu mestinya pura-pura jadi pacarku, loh."

"Ah, orang-orang bodoh ini tidak akan menyadarinya, asalkan kita menjaga penampilan saat mereka menyaksikan. Sementara itu, aku akan sangat menghargai kalau kamu meninggalkanku sendirian. Jangan sekali-kali kamu menatapku."

"I-Itu mungkin agak sulit, bukan begitu?"

Kami saling berbisik satu sama lain, cuma buat memastikan tidak ada yang mendengar kami. Mungkin akan lebih aman kalau kami pura-pura akrab, bahkan saat kami pikir tidak ada yang melihat, tetapi kayaknya Mashiro tidak mau diajak kerja sama.

"Menurut kalian apa mereka benar-benar berpacaran?"

Aku sudah dapat mendengar bisikan-bisikan meragukan dari teman-teman sekelas kami. Aku benci bilang kalau aku memang sudah bilang, tetapi...

"Tsukinomori-san tampak sangat marah! Kayaknya dia membenci Ooboshi-kun atau semacamnya!"

"Astaga, Bang, inilah mengapa kamu kalian masih perjaka! Pasangan kadang-kadang bertengkar, loh? Maksudku, orang tuamu selalu bertengkar satu sama lain!"

"Ah iya! Masuk akal. Aku rasa mereka benar-benar pasangan."

Tadi aku memang bilang berbisik, bukan? Karena aku dapat mendengar setiap kata terakhir.

Aku senang kalau mereka begitu akrab. Sama kayak Mashiro, aku mulai berpikir kalau kami benar-benar dapat menipu mereka.

Namun, meskipun kami dapat mengelabui massa, beberapa teman yang aku punya itu masalah lain. Salah satu dari mereka mencondongkan tubuh ke depan dari belakangku, berbisik ke telingaku.

"Aku tidak tahu kalau kamu punya pacar! Mengapa kamu merahasiakannya?"

"Aku akan menjelaskannya nanti, Ozu, tetapi tidak kayak yang kamu pikirkan."

"Aku rasa begitu. Tampaknya agak mencurigakan."

"Senang kalau kamu berpikir begitu. Ini menghemat banyak waktu."

"Apa ada hubungannya dengan... ...itu loh?"

"Iya."

Ozu sangat tanggap saat hal ini datang. Ozu sudah langsung tahu soal negosiasiku dengan Tsukinomori-san. Bagaimanapun, ini menyangkut masa depan Ozu juga.

Ozu itu salah satu anggota utama dalam kelompok yang aku coba masukkan ke Honeyplace Works, dan juga alasan terbesarku melakukan ini, dan tidak adil kalau aku tidak menjelaskan masalah ini dengan baik padanya. Masalahnya yaitu bagaimana aku akan menjelaskannya.

"Aku akan ceritakan lebih lanjut nanti, tetapi pada dasarnya aku cuma mesti pura-pura jadi pacarnya Mashiro."

Kayaknya itu cara yang cukup bagus buat menyimpulkannya. Ozu tertawa terbahak-bahak.

"Apa maksudnya ini? Semacam kisah komedi romantis?"

"Kata cowok yang dipanggil oleh Ketua OSIS yang sangat seksi tempo hari."

"Hah? Dia cuma mau aku memeriksa komputer OSIS karena rusak."

"Iya, tetapi dia memintamu padahal dia bisa saja meminta orang lain, atau bahkan seseorang dari kelasnya. Dia pasti tertarik padamu."

"Bodoh sekali kalau aku berharap terlalu banyak cuma karena masalah komputer."

"Bukan cuma itu saja. Bagaimana dengan cewek aneh yang berpapasan denganmu di mal di luar stasiun? Itu loh, cewek gila yang menggesek-gesekkan roti manis? Bukannya kamu sering bertemu dengannya akhir-akhir ini?"

"Aku ketemuan dengannya di stasiun beberapa hari yang lalu, aku rasa. Dia mau aku mentraktirnya roti manis."

"Bang, saat itulah kamu bilang 'iya' dan lalu kamu masuk ke rutenya."

"Bang, dia itu cegil! Dia meminta makanan padaku saat ketemuan denganku, baru satu kali sebelumnya. Tidakkah menurutmu itu sangat mencurigakan?"

"Jadi kamu tidak mentraktirnya makanan?"

"Iyalah, aku langsung melaporkannya ke polisi."

Warga negara teladan, Kohinata Ozuma.

"Bahkan protagonis Novel Visual pun tidak sebebal* itu. Kalau begini, kamu akan mendapatkan akhir yang buruk."

(TL Note: Hilih lu juga sama saja Bambang!)

"Ayolah, kamu terlalu membesar-besarkan masalah ini." Seringai Ozu padaku.

Setiap orang dalam kehidupan ini dapat dikategorikan sebagai karakter utama atau karakter sampingan.

Tidak ada keraguan dalam benakku kalau Kohinata Ozuma itu karakter utama, dan salah satu dari sedikit yang terpilih. Semua yang aku lihat selama tiga tahun yang aku habiskan di sisinya, 💯% termasuk dalam serial kisah komedi romantis.

Rasanya kayak Ozu ketemuan dengan seorang cewek seksi baru setiap pekannya, dan aku berbicara soal jenis cewek seksi yang sebagian besar dari kita cuma dapat berharap buat bertemu sekali seumur hidup, atau bahkan lebih. Mereka datang dari mana saja: di jalan, di sekolah, atau secara daring. Bukan cuma itu, tetapi sangat jelas kalau setiap orang dari mereka menyukai Ozu.

Ozu juga tidak jalan-jalan buat mencari cewek-cewek ini. Ozu tidak tertarik pada romansa. Yang Ozu pedulikan cuma hobinya sendiri kayak pemrograman, anime, dan membuat gim. Bahkan, pada dasarnya Ozu itu raja dari semua otaku. Ozu sering bertemu dengan cewek-cewek baru, secara tidak sengaja, dan ia bahkan tidak menyadarinya. Dan sekarang Ozu mencoba bilang kalau kehidupannya bukanlah sebuah kisah komedi romantis?

"Yang kamu butuhkan sekarang yaitu sosok adik yang penuh kasih sayang. Sayang sekali kamu malah punya Iroha."

"Lagipula, Iroha juga menyukaimu. Bukannya itu membuat kehidupanmu jadi kisah komedi romantis?"

"Kayak yang sudah aku bilang padamu ratusan kali, Iroha tidak menyukaiku."

Setiap cewek dalam kehidupanku sangat membenciku. Iroha melakukan yang terbaik buat membuatku menyerah di setiap kesempatan, dan aku masih tidak berani menoleh ke arah Mashiro, terutama karena aku menghargai kehidupanku.

Hubunganku dengan cewek-cewek memang cukup menyedihkan, setelah aku pikir-pikir lagi.

"Yang mau aku bilang yaitu kalau aku tidak mau mendengar kamu memanggilku dengan sebutan 'bebal' lagi," kata Ozu akhirnya.

"Terserahlah. Mungkin saat Iroha mulai bertingkah kayak anak SMA yang sedang jatuh cinta, aku akan mempercayaimu."

Aku memutuskan buat terus memantau kabar ini nanti, siapa tahu ada kabar di masa yang akan datang.

Jam pelajaran pertama berlalu dengan sangat lambat, tetapi akhirnya berlalu juga, dan tibalah waktu istirahat.

Karena Mashiro itu siswi baru, dia belum punya buku paket sendiri, jadi aku mesti berbagi buku paket dengannya. Itu tidak asyik. Setiap kali tanganku menabrak A.T. Field di sekeliling Mashiro, dia akan mulai menggeram dan memelototiku.

Mengetahui kalau lima jam pelajaran berikutnya akan lebih banyak mengalami hal yang sama, aku merasa hatiku tenggelam dalam depresi yang suram. Bukan cuma itu, stres dapat berdampak buruk pada pelajaranku sendiri, menjadikannya situasi yang merugi. Aku mulai penasaran apa melakukan semua ini demi masa depanku sepadan. Saat pikiran-pikiran suram ini menghantam pikiranku, aku melihat seorang cowok mendekat dengan senyuman yang terpampang di wajahnya. Sungguh menyeramkan. Apapun yang cowok itu mau, aku langsung tahu itu tidak bagus. Siapapun dapat menebaknya.

"'Apa kabar, Ooboshi. Aku tidak tahu kalau kamu sudah punya pacar."

"Iya..." Aku memberikan jawaban sebisaku.

"Bukannya ada kouhai imut yang selalu bersama denganmu? Aku kira dia itu pacarmu."

Sungguh seorang cowok yang lucu, bilang semua ini di depan pacarku yang "asli". Luar biasa. Aku kira beruntung pacar palsuku ini tidak merasa cemburu. Selain itu, apa yang cowok ini maksud dengan "imut"?

Aku tidak tahu apa tujuannya. Entah cowok ini cuma orang yang bodoh, atau ia mencoba menimbulkan masalah di antara aku dan Mashiro. Apapun itu, itu menjengkelkan.

"Hah? Maksudmu adiknya Ozu? Iya, aku agak mengenalnya, tetapi kami tidak terlalu dekat."

"Benarkah? Kalian bertingkah seakan-akan kalian dekat. Bukannya dia datang ke kelas cuma buat menemuimu beberapa hari yang lalu?"

"Dia butuh beberapa saran, itu saja. Sesuatu yang tidak dapat dia tanyakan pada Ozu."

"Entahlah, Bang, kayaknya agak mencurigakan buatku... ...Kayak, sangat mencurigakan."

Euh. Memangnya cowok ini siapa, bertingkah seakan-akan ini urusannya? Ini mulai membuatku kesal, jadi aku menyusun rencana buat keluar dari masalah ini secepat mungkin.

"Dengar, aku paham. Ghibah itu membuat ketagihan, dan kamu mau sebanyak mungkin yang dapat kamu dapatkan. Tetapi biar aku beri tahu kamu sesuatu."

"Iya? Apa?"

"Kamu tertarik dengan Ibu Kageishi, bukan?"

"Hah? Kok kamu tahu?"

Bang, semua orang sudah tahu.

Meskipun Ozu itu satu-satunya temanku, aku masih punya kekuatan pengamatan biasa. Tidak ada yang lebih kuat dalam masyarakat kita ini selain informasi. Aku selalu memasang telinga, karena tidak ada yang tahu kapan sesuatu akan berguna, dan itu tidak menghabiskan banyak tenaga. Namun, aku tidak akan membocorkan terlalu banyak rahasiaku, sih.

"Itulah rumor yang cukup besar, loh."

"Itu, kamu tahu bagaimana itu... ...tatapan jutek Ibu Kageishi. Rasanya, dimarahi oleh beliau sekali saja akan mengubah kehidupanmu, loh?"

"Apa kamu tidak penasaran cowok kayak apa yang Ibu Kageishi sukai?"

"Eh, aku rasa. Tetapi kayaknya aku tidak akan menanyakan beliau langsung."

"Aku sudah tahu. Aku mendengarnya dari salah satu guru lain."

"Mustahil! Kamu mesti memberi tahuku! Ayolah! Aku akan melakukan apa saja!"

Kena kamu.

Meskipun aku khawatir akan masa depannya, kalau semudah ini buat menipunya.

"Beliau menyukai cowok yang suka cowok berotot."

"Beliau... ...tadi kamu bilang apa?"

"Beliau suka cowok yang suka cowok berotot."

"Ah, benar. Maksudmu beliau suka cowok berotot."

"Tidak, tidak. Beliau menyukai cowok yang menyukai cowok berotot. Cowok yang menyukai otot pada cowok lain."

"Berotot?"

"Iya, berotot."

"Jadi maksudmu yaitu... ...kalau aku menunjukkan kalau aku benar-benar menyukai cowok berotot..."

"Hati Ibu Kageishi akan jadi milikmu."

"Iya, Bang!"

Kami melakukan tos.

Otakku sakit karena melakukan obrolan yang begitu bodoh. Meskipun itu perlu buat menjauhkan cowok ini dariku, tetap saja itu sangat menjijikkan.

Paling tidak mulai besok cowok ini akan dijauhi sebagai seseorang yang sangat tertarik pada cowok tampan, yang akan menghentikannya merangkak naik ke tangga sosial buat mencuri bangkuku.

Aku melihat cowok ini pergi saat ia kembali ke mejanya dengan sebuah doa di dalam hati.

Semoga serpihan tipis yang tersisa dari martabatmu diberkati.

Saat itulah aku merasa ada yang memperhatikanku dari meja sebelah. Seseorang yang bernama Mashiro, tentu saja. Mata Mashiro menempel padaku kayak lem. Mashiro mungkin terkejut dengan obrolan yang aku lakukan.

Aku juga terkejut, jadi aku berharap Mashiro dapat melupakannya. Aku menyampaikan pesan itu dengan tatapanku sendiri.

Mashiro langsung mencemooh dan memalingkan mukanya, yang sungguh mengejutkan... ...bukan?

Aku langsung memutuskan buat tidak akan pernah membungkuk ke tingkat itu lagi, meskipun itu buat kebaikan yang lebih besar. Bukan berarti aku mengharapkan Mashiro memperlakukanku dengan cara yang berbeda.

Ah, betapa salahnya aku.

Setelah menyaksikan apa yang Mashiro alami, sikap Mashiro padaku di jam pelajaran kedua bahkan jauh lebih buruk, yang bahkan tanpa aku sadari. Mashiro langsung mengambil buku paketku dan menggantinya dengan sebuah novel ringan, seakan-akan mengajakku buat menghibur diri sementara dia melanjutkan tugasnya.

Karena aku tidak dapat melakukan hal lain, aku membacanya, menyelesaikan semuanya pada saat jam pelajaran selesai. Itulah salah satu komedi romantis standar dengan protagonis yang bebal. Jujur saja, aku dapat mengambilnya atau meninggalkannya, tetapi aku penasaran mengapa Mashiro memilihkan buku itu buatku. Setelah jam pelajaran selesai, waktunya istirahat.

"Aku lapar. Belikan aku nasi kepal. Pastikan juga yang ada rasa ikannya."

"Hei, aku tidak menjalankan layanan pesan antar di sini."

"Kamu mestinya bersedia melakukan hal ini demi pacarmu. Atau kamu cuma mau membatalkan semuanya?"

"Oke... ...Aku akan membelikannya buatmu, Tuan Putri."

Dan aku pun berangkat buat membelikan pacar palsuku makanan. Mashiro terus mengajukan tuntutan yang tidak masuk akal, memperlakukanku kayak sampah, dan menghinaku sampai jam pelajaran ketiga.

Aku memang tahu kalau semua itu sangat canggung, tetapi bukan berarti Mashiro mesti bersikap kayak gitu padaku. Mashiro juga sangat pendiam dan imut saat kami masih muda, jadi sangat memalukan. Apa yang telah terjadi antara saat itu dan sekarang sampai-sampai Mashiro jadi kayak gini? Bahkan jam pelajaran pertama pun masih bisa ditoleransi, setidaknya. Hanya setelah jeda, suasana hati Mashiro memburuk.

Apa Mashiro cemburu karena cowok itu membicarakanku dan Iroha?

Tidak, itu mustahil.

Mungkin saja kalau Mashiro itu pacar asliku, dia akan bereaksi kayak gini, tetapi dia bukan. Ditambah lagi, ada masalah kecil, Mashiro membenciku dengan intensitas seribu mentari. Tidak ada alasan buat Mashiro untuk cemburu.

Aku tidak tahu kalau waktu yang berlalu dapat begitu brutal. Cewek kecil kayak anak anjing yang akan melenggang di belakangku ke mana pun aku pergi sekarang jadi Nyonya Muda yang kasar dengan hati batu, yang memperlakukan orang lain di sekitarnya kayak budak saat suasana hatinya berubah jadi buruk.

Mashiro sama menjengkelkannya dengan Iroha, kecuali dengan artian yang sangat berbeda. Aku tidak menantikan buat melakukan hal ini dengan Mashiro sampai wisuda. Tetapi kalau tidak, apa yang akan terjadi padaku dan teman-temanku?

Sementara aku sibuk meratapi masa depanku, waktu terus berjalan, dan tidak lama kemudian sudah memasuki jam pelajaran keempat. Saat bel berbunyi tanda dimulainya jam pelajaran, ruangan jadi hening seketika.

Itu benar. Bukan cuma Mashiro yang menuntut pemujaan tanpa batas. Saatnya buat menyambut Ratu Berbisa di ruang kelas, yang tidak diragukan lagi akan memerintah dengan tangan besi beliau yang biasanya.

Pintu pun terbuka.

Semua orang terdiam di tempat.

Bahkan hentakan tumit beliau yang keras dan sombong di lantai tidak mampu mencairkan ketegangan di ruangan itu.

Rambut beliau yang disanggul dengan sangat rapi, bergoyang-goyang di setiap langkah beliau. Ibu Kageishi Sumire mengetuk-ngetukkan tulang-tulang jari beliau ke meja guru, sebelum menyapu pandangan beliau ke seluruh ruang kelas yang hening tanpa sepatah kata pun. Siswa-siswi terdiam kaku di bawah tatapan beliau yang berbisa.

"Ibu senang kalian telah berevolusi melewati tahap monyet." Senyuman terkecil tersungging di bibir beliau saat beliau menyadari kalau beliau punya semua orang di bawah kendalinya. "Jam pelajaran dimulai sekarang. Halaman 127. Persamaan kubik."

Ibu Sumire menaruh penggaris di atas meja. 40 orang siswa-siswi di ruangan itu mengeluarkan buku paket mereka dengan serempak.

Anehnya, jam pelajaran Ibu Sumire dimulai kayak jam-jam pelajaran lainnya. Cuma pada titik inilah segalanya mulai jadi aneh.

"Oke, waktunya sesi bertanya. Kalau ada sesuatu yang tidak kalian pahami, angkat tangan kalian sekarang."

Sebuah riak menyapu kelas.

Kami sudah terbiasa dengan hal ini sekarang, karena ini sudah setengah jalan di semester pertama, tetapi pada awalnya hal ini membuat semua orang lengah. Biasanya, bapak-ibu guru akan menjelaskan isi buku paket sebelum menanyakan apa ada pertanyaan. Ibu Kageishi Sumire melakukan hal yang sebaliknya.

"Tidak ada gunanya membacakan buku paket kayak yang dilakukan bapak-ibu guru lainnya. Mereka tidak lebih baik dari perekam tip. Ibu berasumsi kalau kalian semua dapat membaca, jadi bacalah sendiri. Tugas guru itu menjelaskan apa yang belum kalian pahami."

Itulah yang Ibu Sumire bilang dalam jam pelajaran pertama kami dengan beliau. Aku ingat saat itu aku merasa terkesan; Memang terdengar kayak cara mengajar yang efektif. Namun, tentu saja, tidak semua siswa-siswi punya persiapan yang sama baiknya denganku.

Misalnya, ada seorang cowok yang serius dan berkacamata yang mengaku lupa membaca buku paket sebelum masuk jam pelajaran.

Cowok ini jelas cuma mencoba buat menyampaikan suatu hal.

Cowok ini merupakan salah satu yang paling cerdas di kelas, dan aku cukup yakin ia belum pernah melewatkan satu tugas pun dalam kehidupannya. Ia memang tidak lupa. Ia sengaja tidak membaca. Jelas sekali aksi kayak apa yang sedang ia lakukan.

"Aku cuma berharap kalau Ibu dapat mengajari kami dengan baik, bukannya menggunakan metode yang tidak lazim ini."

Itulah pemberontakan!

Ibu Sumire mengawasi cowok ini dengan hati-hati selama beberapa saat sebelum menghela napas kecil.

"Sayang sekali. Kamu mesti membacanya nanti."

Upaya pemberontakan cowok ini sama sekali tidak digubris.

"A-Aku cuma berpikir aneh saja kalau tidak mempelajari materi di jam pelajaran. Bahkan, aku belum pernah bertemu dengan ibu guru yang 'mengajar' kayak gini."

"Itu tidak mengejutkan Ibu. Ibu mendasarkan pengajaran Ibu pada nilai-nilai yang berbeda dari kebanyakan bapak-ibu guru."

"Te-Tetapi itu sembrono!" Protes cowok ini. "Kayaknya Ibu bahkan tidak mau berada di sini!"

"Ibu sembrono? Bagaimana kalau Ibu tidak mengulas materi sebelum jam pelajaran, kayak yang Ibu minta?"

Cowok ini tidak memberikan jawaban apapun buat Ibu Sumire. Ibu Sumire menganggap ini sebagai isyarat buat melanjutkan.

"Kalau kamu mau membutuhkan pegangan tangan sepanjang kehidupanmu dan berakhir dalam kemiskinan, silakan saja. Namun, Ibu tidak siap buat bertanggung jawab atas tindakanmu. Ibu akan mengajar dan membimbing siswa-siswi Ibu menuju kesuksesan dengan cara Ibu sendiri. Itulah satu-satunya tanggung jawab yang Ibu punya."

Cowok ini tidak dapat berbuat apa-apa selain menggerutu.

"Tepatilah janji kalian. Disiplinkanlah diri kalian. Laporkanlah kesalahan kalian pada atasan kalian dengan segera. Ini semua merupakan kualitas yang akan kalian butuhkan di dunia nyata. Kalau kalian tidak mempelajarinya sekarang, masa depan kalian akan sangat suram."

"N-Ngh..."

"Ingatlah itu kalau kalian punya harapan buat berhasil dalam kehidupan kalian. Sekarang duduklah."

"I-Iya, Ibu..."

Cowok ini merosot kembali ke bangkunya. Tidak ada kilau kepercayaan diri pada mata dibalik kacamata itu sekarang. Sementara itu, Ibu Sumire tetap fasih kayak biasanya. Ibu Sumire tidak menarik tinju beliau saat mesti mendukung argumen beliau.

"Oke. Pertanyaan selanjutnya."

Ketegangan di dalam kelas tetap tinggi selama jam pelajaran berlangsung. Satu jam pelajaran terasa kayak dua jam, bahkan mungkin tiga jam, hingga akhirnya bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi.

"Waktunya sudah habis. Bacalah sampai halaman 135 buat pertemuan berikutnya. Sampai jumpa."

Seketika itu juga, suasana beku di dalam ruangan mulai mencair.

Ibu Sumire mengemasi bahan-bahan materi yang ada di depannya dan berjalan menuju pintu. Namun, sebelum beliau membukanya, beliau berbalik dan melihat ke arahku. Ada riak keterkejutan di seluruh ruangan saat siswa-siswi berbalik buat melihatku. Aku dapat merasakan 39 pasang mata yang penuh rasa penasaran membakar kulitku.

Aku mulai terbiasa dengan hal semacam ini.

"Ooboshi-kun. Temui Ibu di Ruang BK saat makan siang."

"Mengapa?" Tanyaku.

"Buat membahas tugas, tentu saja," Ibu Sumire menjelaskan dengan suara pelan, sementara pada saat yang sama menatap tajam ke arahku.

"Ah. Tentu saja."

"Jangan sampai terlambat."

Dengan beberapa hentakan keras dari sepatu hak tingginya, Ibu Sumire menghilang. Kelas tetap hening sampai suara langkah kaki Ibu Sumire benar-benar menghilang.

"Kamu akan baik-baik saja, Ooboshi?"

"Hah? Mengapa?"

Ternyata Takahashi yang berbicara, seorang siswa yang tidak banyak bicara denganku. Bahkan, namanya mungkin bukan Takahashi sama sekali. Meskipun Takahashi duduk jauh dari kebanyakan anak-anak populer, ia tetaplah salah satu dari mereka.

"Ibu Sumire mau menemuimu di Ruang BK sendirian. Kamu pasti telah melakukan sesuatu yang besar!"

Aku cuma berharap orang-orang tidak menggangguku, meskipun aku tidak dapat menyalahkan mereka karena penasaran.

Ruang BK terkenal sebagai bagian paling berbahaya di wilayah Ibu Sumire. Siswa-siswi yang gagal atau berulang kali terlambat dipanggil ke sana buat "dididik ulang.". Mustahil buat melihat ke dalam ruangan dari luar, jadi apa yang sebenarnya terjadi selama sesi ini tidak dapat diverifikasi. Meskipun begitu, aku dengar rumor soal seorang cowok yang masuk dengan rambut mohak dan penuh tindikan, tetapi keluar dengan kepala plontos dan mata yang berkaca-kaca.

Bukan cuma dibilang kalau Ibu Sumire menyimpan segala macam peralatan "latihan" di sana, tetapi ruangan itu benar-benar kedap suara dan memblokir segala jenis sinyal internet. Aku tidak akan terkejut kalau Ibu Sumire mengatur agar dia dapat mengklaim hak ekstrateritorial buat menanggapi setiap tuduhan yang muncul.

Tidak heran kalau Ratu Berbisa sendiri yang memanggilku ke sana menimbulkan kehebohan. Tetapi itu tidak terlalu jadi masalah buatku secara pribadi.

"Iya... ...beliau mungkin sudah menyiapkan g*ilotin, siap buat mem*nggal kepalaku," jawabku dengan santainya.

"Mengapa kamu tidak panik?"

"Karena butuh lebih dari itu ketimbang memb*nuhku," kataku, berdiri dari bangkuku.

"Kamu yakin akan baik-baik saja?" Tanya Ozu dari belakangku.

"Kamu juga, Ozu? Tidak usah khawatir, aku tidak akan lama."

"Ka-Kalau kamu bilang begitu." Ozu memberiku senyuman cemas yang sulit disembunyikan dan melambaikan tangannya yang gemetar padaku.

Sementara itu, aku mempersiapkan diri buat berperang.

Aku tidak sabar menunggu Ratu Berbisa menunjukkan kemampuannya.

***

"Permisi."

Aku mengetuk pintu tiga kali dengan salam yang sopan. Aku lalu menunggu suara lembut dari dalam buat memberiku izin masuk sebelum membuka pintu.

Hal pertama yang aku perhatikan saat masuk yaitu adanya patung banteng kuningan: seekor banteng yang benar-benar kurang ajar. Aku mau sekali dis*ksa oleh benda itu. Kappa. Banteng kurang ajar merupakan salah satu alat peny*ksaan paling kejam sepanjang sejarah. Kalau Komite Sekolah mengetahui hal ini, sekolah akan mengalami kesulitan buat menjelaskannya.

Itu bukan satu-satunya alat peny*ksaan yang menjulang di ruangan itu. Bukan cuma itu, lampu-lampu di ruangan itu juga mati, membuat semuanya jadi suram kecuali lilin kuno dan nyala apinya yang berkedip-kedip.

Ibu Kageishi Sumire berdiri di ujung ruangan seakan-akan tidak ada yang salah, tepat di depan bangku terdakwa.

"Kamu datang lebih awal. Kamu pasti sudah tidak sabar menunggu eks*kusi," kata Ibu Sumire.

"Aku tidak suka membuang-buang waktu, sekecil apapun itu."

Aku mengabaikan tawa Ibu Sumire sambil berjalan, lalu duduk di bangku. Saat berikutnya, sebuah suara retakan yang mengental menembus udara saat beliau membanting tumit beliau ke tanah.

"Maafkan Ibu, Tuan Akiteru!"

Ibu Sumire bertumpu pada tangan dan lututnya, membanting kepalanya ke bawah dengan sangat keras sampai-sampai membuat lantai penyok. Kalau kalian mencari frasa "permintaan maaf" dalam kamus bahasa Jepang, kamu mungkin akan menemukan gambar yang sama persis dengan adegan ini.

"Kayaknya Ibu memahami beratnya kejahatan Ibu, Murasaki Shikibu-sensei."

"Ma-Matamu... ...begitu dingin!"

"Tentu saja. Aku sangat menantikan eks*kusi Ibu sehingga aku datang secepat mungkin."

"Te-Tetapi Ibu sangat sibuk dengan ujian, sehingga Ibu tidak punya waktu buat membuat ilustrasi!"

"Sibuk, ya? Kalau begitu, mengapa aku dengar kalau Ibu menonton 'My Honey' secara simultan?"

"I-Ibu diizinkan punya hobi!"

"Aku penasaran apa Ibu dapat memenuhi tenggat kalau aku menghancurkan parabola Ibu."

"A-Apa?! Tidak! Ibu mohon! Ibu butuh anime buat hidup!"

"Ibu benar. Aku tidak akan bertindak sejauh itu... ...Aku penasaran apa yang akan dipikirkan oleh teman-teman di kelas kalau mereka melihat Ibu kayak gini."

Ibu Kageishi Sumire. Juga dikenal dengan nama penanya: Murasaki Shikibu-sensei.

Ratu Berbisa, yang berkhotbah pada siswa-siswi beliau soal betapa pentingnya buat berhasil di masyarakat, juga seorang ilustrator yang tidak pernah berhasil menepati tenggat sepanjang kehidupan beliau.

Ini mungkin saat yang tepat buat menyebutkan kalau semua alat peny*ksaan ini sebenarnya merupakan replika detail yang Ibu Sumire gunakan sebagai referensi buat gambar beliau. Semua itu ada di sini agar beliau dapat menggambar di tempat kerja; tanpa sepengetahuan pihak sekolah, tentu saja.

"'Kalau kalian para b*bi tidak tahu cara membaca jam, Ibu sarankan kalian buat mengemasi barang-barang kalian dan segera pergi dari sini. Ingat itu?'"

"Hngh..."

"'Setiap manusia dimulai sebagai b*bi yang tidak berharga. Begitu kalian belajar menari mengikuti irama masyarakat, kalian akan jadi seekor m*nyet. Kalian masih jauh buat jadi manusia seutuhnya.'"

"Hnghngh..."

"'Tepatilah janji kalian. Disiplinkan diri kalian. Laporkan kesalahan kalian pada atasan kalian dengan segera. Kalau kalian tidak mempelajari ini dari sekarang, masa depan kalian akan sangat suram."

"Maafkan Ibu! Maafkan Ibu, maafkan Ibu, maafkan Ibu! I-Itu semua cuma pura-pura! Ibu cuma bermain-main! Ibu tidak melakukannya karena Ibu mendambakan kekuasaan atau apapun, Ibu bersumpah!" Ratu Berbisa meratap dengan air mata mengalir di pipi beliau dan ingus menetes dari hidung beliau.

Aku benar-benar hampir saja mengambil foto dan mengirimkannya ke obrolan grup kelas.

Obrolan grup yang aku tidak jadi bagian di dalamnya...

Ibu Sumire mesti menghitung bintang keberuntungan beliau karena aku tidak punya teman.

"Ibu berbicara cukup banyak di depan kelas, bukan?"

"Ibu itu seorang guru!" Protes Ibu Sumire. "Sudah jadi tugas Ibu buat bersikap tegas! Ibu tidak mau semua anak bandel dan anak nakal menyadari kalau mereka dapat mendorong Ibu! Kewibawaan Ibu dapat runtuh!"

"Apa yang membuat Ibu berpikir kayak gitu? Kelas kita cukup santai, loh."

"Itu terjadi di hampir semua manga yang punya protagonis seorang guru!"

"Benar, di manga, mungkin..."

Manga-manga itu membutuhkan kelas yang gila buat membuat alurnya menarik. Meskipun aku ragu menjelaskan hal ini pada Ibu Sumire akan berhasil, mengingat beliau tampaknya percaya kalau manga itu sumber informasi yang berkualitas sejak awal.

"Dan aku rasa aku benar-benar menyukai gaya mengajar Ibu..."

Aku tidak melihat ada gunanya ibu guru yang cuma menyalin isi buku paket ke papan tulis. Akan jauh lebih baik kalau ibu guru yang menyuruh siswa-siswi membaca terlebih dahulu di depan kelas. Setelah itu, kita dapat bertanya pada ibu guru soal apapun yang kita butuhkan, ketimbang meminta mereka mengulang informasi yang sudah tersedia buat kita. Itu jauh lebih efisien.

Aku cuma berharap kalau aku mengakui kalau aku menyukai Ibu Sumire tidak akan kembali dan menggigitku suatu hari nanti.

"Ngomong-ngomong," lanjutku, "sudah berapa banyak gambar yang Ibu kerjakan? Aku mau laporan perkembangannya."

"Ah, eum. Itu..." Ibu Sumire mengeluarkan sebuah tablet PC dan melemparkan senyuman termanis beliau padaku. "Ibu sudah melakukan banyak hal!"

Layarnya kosong.

"Sudah cukup. Masuklah ke dalam banteng."

"Tidak! Jangan banteng!"

"Ibu belum melakukan apa-apa! Ibu cuma punya sketsa kasar sekarang! Bagaimana Ibu pikir ini akan tuntas?!"

"Ini bukan kesalahan Ibu!" Rengek Ibu Sumire. "Ibu cuma punya kasus kehabisan ide seni!"

"Kalau begitu, Ibu mesti memberi tahu kami! Jangan menunggu sampai terlambat!"

"Tetapi Ibu tidak dapat bilang kalau Ibu sedang berjuang! Itu akan merusak citra baik Ibu!"

"Ibu bahkan tidak punya citra yang baik buat dirusak!"

"Aduh! Aduh! Aw! Maafkan Ibu! Ibu mohon hentikan! Jangan titik-titik tekanan Ibu! Ah! Ah! Ibu akan istirahat!"

Aku menusukkan jariku tepat di tempat yang paling sensitif buat Ibu Sumire. Beliau menjerit dan terkesiap sebelum jatuh ke lantai. Pinggul beliau bergerak-gerak saat beliau menopang diri beliau dengan merangkak. Sementara itu, ekspresi wajah beliau tidak kalah dengan heroin h mana pun.

Ngomong-ngomong, Ibu tahu titik-titik tekanan yang ada di pundak Ibu?

Di situlah aku mendorong. Ini bekerja lebih baik dari yang aku duga. Dalam usahaku buat menjaga tubuhku bekerja seefisien mungkin, aku sudah menguasai seluruh titik tekanan manusia.

"Aku tidak merasa kalau ada orang yang percaya inilah apa yang Ibu mau."

"E-Euh... ...Ja-Jangan beri tahu... ...mereka..."

"Aku rasa aku mestinya sudah tahu sejak kita ketemuan pertama kali..."

Aku menatap guru di lantai di bawahku, dan memulai perjalanan menyusuri jalan kenangan.

***

Semuanya berawal saat Liburan Musim Panas tahun lalu.

Pada hari itu, ramalan cuaca mengumumkan kalau Jepang secara resmi mengalami gelombang panas terburuk dalam beberapa tahun terakhir.

Aku sangat mempercayainya, sambil menggerutu karena kepanasan dan duduk di kereta api buat pergi ke Tokyo Big Sight. Aku sedang dalam perjalanan menuju Comiket, sebuah acara yang punya sejarah panjang dan dipenuhi oleh berbagai macam bakat.

Tujuanku yaitu berburu Ilustrator di sana. Aku dan Ozu telah menyempurnakan pengaturan dasar gim kami, dan kami sekarang mencari orang-orang yang dapat membantu menyempurnakannya dengan skenario dan ilustrasi.

Iya, aku tahu kalau aku mungkin menggigit lebih banyak ketimbang yang dapat aku kunyah. Lagipula, aku masih seorang siswa SMA. Profesional kayak apa, atau bahkan semi-profesional, yang akan mempercayaiku?

Aku tetap berkeliling dari satu stan ke stan lainnya, membagikan kartu namaku pada siapapun yang tampak menarik, meskipun jelas mereka mengira kalau aku cuma bermain-main atau semacamnya dari tatapan yang aku dapatkan.

Dua hari pertama memang gagal, tetapi itu tidak membuatku berhenti mencoba buat hari ketiga. Setelah 78x ditolak, akhirnya aku ketemuan dengan Ibu Sumire.

Saat itu di sebuah stan yang menjual doujinshi yang didasarkan pada pertunjukan shounen populer. Sampul buku-buku itu menggambarkan cowok-cowok bocil yang dipermainkan oleh wanita-wanita yang mengg*irahkan. Sebagai cowok berdarah merah kayak aku, aku merasa terkejut melihat cowok-cowok itu dalam situasi yang provokatif. Namun, meskipun aku tidak menyukai materi tersebut, aku sudah dapat merasakannya, cuma dengan melihat cowok-cowok yang tampak realistis ini dengan pasangan mereka yang lebih tua.

Orang-orang ini punya bakat.

Aku mencari nama kelompok dan ilustratornya di sana-sini, tetapi yang aku dapatkan cuma halaman web kelompoknya, dan tidak ada yang menunjukkan kalau karya beliau digunakan atau dijual dalam kapasitas resmi apapun.

Dengan kata lain, barang-barang yang ada di kios tersebut merupakan punya beliau sendiri. Beliau belum punya kontrak dengan peritel atau perusahaan resmi dan cuma merupakan kelompok independen. Jantungku mulai berdegup kencang.

Tidak terbayangkan kalau kelompok yang begitu berbakat ini belum dilirik oleh siapapun!

Pameran ini benar-benar penuh dengan seniman-seniman yang terampil.

"Permisi. Apa ilustrator buat manga-manga ini ada di sini?" Aku buru-buru bertanya pada pramuniaga.

Aku tidak yakin apa dia seorang kosplayer yang beliau sewa, atau cuma teman beliau. Dia melirik ke belakang dengan gugup.

"E-Eum, ada seseorang... ...seseorang yang mau ketemuan denganmu..." Panggilnya dengan takut-takut.

"Seorang dari penerbit?" Wanita itu berbalik. "Aku tersanjung, namun..."

Saat Ibu Sumire melihat wajahku, beliau terdiam. Aku juga terdiam.

Siapa sangka Guru Matematika yang paling ditakuti di sekolah kami ternyata menggambar manga er*tis yang menampilkan cowok-cowok SMP dan perempuan yang lebih tua (yang, setahuku, dapat jadi guru mereka)?

***

"Tentu saja Ibu belum punya pengalaman profesional; Sebagai seorang ibu guru, Ibu tidak diizinkan punya pekerjaan sampingan. Jujur saja, itu sudah agak samar kalau Ibu menghasilkan uang dari doujinshi sejak awal."

"O-Oke, Ibu tidak dapat memberikannya secara gratis! Pasar doujinshi dapat runtuh! Sangat penting buat menghargai orang lain dalam perdagangan, loh, terutama di ajang kayak gitu!"

"Paling tidak bagian dari kepribadian Ibu itu mengagumkan."

Hal ini juga menunjukkan rasa percaya diri yang tinggi. Keyakinan kalau karya Ibu Sumire terlalu bagus buat diberikan secara cuma-cuma. Kebetulan, aku setuju dengan beliau di sana.

Kualitas er*tika shota "Murasaki Shikibu-sensei" memang luar biasa tinggi. Itulah jenis karya yang aku harapkan buat dilihat di sampul majalah manga dewasa. Aku tidak habis pikir, mengapa ilustrator yang begitu berbakat melakukan pekerjaan yang sangat tidak bermanfaat, kayak "Ibu Guru Matematika SMA."

"Aku masih merasa sangat beruntung dapat ketemuan dengan Ibu di sana. Aku berhasil mendapatkan seorang ilustrator yang sangat berbakat darinya. Dan, karena Ibu menolak, aku dapat saja menunjukkan pada semua orang, hasil karya Ibu."

"Euh... ...Siswa hina dina macam apa yang memeras ibu gurunya sendiri?"

"Ibu yang mengambil risiko besar sejak awal, meskipun aku mesti memuji Ibu karena tidak melanjutkan dan mendaftar ke Penerbit manapun. Kalau ada orang yang tahu apa yang Ibu lakukan, tamatlah riwayat Ibu."

Pada siang hari, Ibu Sumire itu seorang Ibu Guru Matematika.

Pada malam hari, Ibu Sumire menggambar H shota.

Yang lebih buruk lagi, sebagian besar kisah dalam manga-manga tersebut melibatkan ibu guru yang mer*yu siswa-siswa beliau yang polos. Siswa-siswa beliau berkisar dari siswa SD sampai SMP, tetapi itu tidak membuat keadaan jadi lebih bagus.

"Dan yang lebih parah lagi, ternyata Ibu tinggal di lantai yang sama di gedung apartemenku!"

"Ini memang kutukan!" Ratap Ibu Sumire. "Pertama Ibu mesti berurusan denganmu di sekolah, dan sekarang kamu bahkan mencampuri kehidupan rumah tangga Ibu!"

Nama kelompok kami, Aliansi Lantai 05, berasal dari fakta kalau sebagian besar anggota kami tinggal di lantai yang sama di gedung apartemen yang sama, secara kebetulan. Cuma penulis skenario utama, Makigai Namako-sensei, yang tinggal cukup jauh. Sebenarnya ada sebuah apartemen gratis di lantai itu, dan aku kepikiran buat meminta Namako-sensei pindah ke sana, tetapi pada akhirnya aku memutuskan, kalau hal itu mungkin terlalu berlebihan. Sebagai seorang profesional, Namako-sensei sudah melakukan bantuan yang cukup besar dengan menulis cerita buat kami.

Aku juga pernah mendengar kalau isolasi itu bagus buat proses kreatif. Namako-sensei yang tinggal begitu jauh mungkin yang membuat kami mendapatkan karya yang hebat dan orisinil darinya.

Jadi, itulah alasan di balik nama kelompok kami. Siapa tahu saja kalian penasaran.

"Oke. Mari kita kembali ke masalah yang sedang kita bahas." Aku melipat satu kaki di atas kaki yang lain sambil duduk di bangkuku, menatap Ibu Sumire yang berlutut di depanku di lantai. "Ibu tahu apa yang mesti Ibu lakukan kalau Ibu tidak mau rahasia kecil Ibu terbongkar, bukan?"

"I-Ibu akan... ...Ibu akan menggambar," kata Ibu Sumire dengan serak, menekan jidat beliau ke lantai lagi sebelum segera mengangkatnya. "Ibu bersumpah semua hal soal hambatan seniman itu benar adanya! Ibu berjanji akan memberikan hasil ilustrasimu, kalau kamu membantu Ibu keluar dari situ!"

"Aku rasa itu bagian dari pekerjaanku juga. Oke. Aku akan melakukan apapun yang perlu aku lakukan, kalau itu berarti Ibu dapat menyelesaikan ilustrasi-ilustrasi itu."

"Apapun?"

"Apapun yang dapat aku lakukan. Kecuali memperpanjang tenggat Ibu, tentu saja."

"Ibu tidak akan meminta sesuatu yang sangat keterlaluan. Tetapi ada sesuatu yang dapat kamu lakukan buat Ibu... ...sekarang juga." Bibir Ibu Sumire melengkung jadi sebuah senyuman menggoda. "Lep*skan celanamu itu, dan tunjukkan pada Ibu punyamu."

Keheningan. Lalu...

"Halo? Polisi?"

"Tidak! Jangan polisi! Ibu akan dipecat! Aku mohon! Ayolah! Ibu butuh gaji ini buat makan!"

"Diamlah, Dasar M*sum! Ibu tidak dapat mengeluh padaku yang memanggil polisi setelah apa yang baru saja Ibu bilang!"

"Ibu tidak bermaksud kayak gitu! Ibu biasanya tidak menggambar cowok-cowok yang lebih tua, loh? Ibu dapat menggambar cowok-cowok dengan bagus, tetapi kalau kamu benar-benar mau Ibu membuat gambar ini, Ibu perlu semacam rujukan!"

Sulit dipercaya kalau Ibu Sumire mestinya jadi orang dewasa di sini dengan semua rengekannya. Selain itu, alasan beliau juga sangat tidak masuk akal.

"Aku tidak meminta Ibu mau menggambar ket*lanjangan! Mengapa Ibu mesti melihat 'punya'-ku?!"

"Ini disebut anatomi! Ibu perlu rujukan telanjang buat mengetahui kayak apa penampilan seorang karakter dengan pakaian!"

"Tentu, hal itu sangat masuk akal..."

"Ibu tahu, ada orang yang tidak memerlukan rujukan buat hal semacam itu, tetapi Ibu bukan salah satu dari mereka! Mengambil jalan pintas cuma akan menurunkan kualitas, dan Ibu tidak siap mengambil risiko." Nada suara Ibu Sumire tiba-tiba jauh lebih serius ketimbang sebelumnya.

Terlepas dari minat Ibu Sumire yang aneh, aku tahu kalau beliau sungguh-sungguh mau hasil karya beliau jadi yang terbaik, dan aku mau menghormati beliau.

"Itu menjelaskan sekitar 95% alasan di balik permintaan Ibu. Dari mana 5% lainnya berasal?"

"Ibu cuma kepikiran kalau Ibu mungkin tidak akan pernah mendapat kesempatan buat melihat daging anak SMA lagi..."

"K... ...P... ...A... ...J—"

(TL Note: Parodi KPAI. J-nya Jepang.)

"Ibu bercanda! Itu cuma bercanda! Tuh kan, Ibu tertawa! Hahahaha!"

"Bercanda itu mestinya lucu!" Mungkin serangkaian malam tanpa tidur benar-benar mulai mengganggu pikiran Ibu Sumire. Mungkin itu juga yang menyebabkan perlakuan beliau pada kelas kami jadi sangat kasar akhir-akhir ini.

"Tidurlah dulu buat saat ini, oke?" Aku menghela napas.

"Ibu akan tidur. Jangan lakukan apapun pada Ibu, oke? Ibu tidak suka dengan cowok yang berusia di atas 15 tahun."

"Aku tidak berencana buat melakukan apapun." Meskipun Ibu Sumire itu ibu guruku dan aku tidak mau, penolakan itu tetap menyakitkan. "Tidurlah agar Ibu dapat mendapatkan kembali kewarasan yang Ibu punya. Aku rasa Ibu kurang tidur karena semua kekurangan ide seni yang Ibu alami."

"Berhentilah mencoba bersikap baik. Itu aneh."

"Berhentilah mencoba buat memulai pertengkaran, kalau begitu!"

"Ibu tidak begitu! Ibu cuma bilang! Ini bukan salah Ibu!"

"Kata-kata Ibu itu tanggung jawab Ibu!"

"Aneh sekali, kamu kayak tahu semua hal soal tidur Ibu dan Ibu bahkan tidak memberi tahumu."

"Aku telah berbicara dengan Ibu hampir setiap hari selama setahun. Aku tahu kayak apa Ibu itu."

"Meskipun begitu... ...tetapi kamu benar, Ibu belum tidur berhari-hari." Ibu Sumire meletakkan kepala beliau di tangan beliau dan menghela napas.

Saat kesedihan melanda, Ibu Sumire sebenarnya tampak cukup menarik. Mungkin akan lebih baik buat beliau kalau beliau tetap murung sepanjang kehidupan beliau.

"Tidurlah," ulangku. "Tidurlah, masukkan gula ke dalam tubuh Ibu, lakukan beberapa lompatan, dan lalu menggambar. Ibu dapat mendapatkan 12 jam tambahan buat tenggat Ibu."

"Terima kasih..."

"Sampai jumpa nanti."

Aku tidak mau bertahan di sini. Semakin lama aku berada di sini, semakin buruk rumor yang beredar.

Aku bangkit dari bangku terdakwa (meskipun sekarang aku mungkin mesti menyebutnya "singgasana"), melambaikan tanganku, dan bersiap-siap buat meninggalkan Ibu Guru Matematikaku yang m*sum.

"Tunggu. Ada yang lain," seru Ibu Sumire dari belakangku.

"Ada yang lain? Ada hal lain yang perlu Ibu minta maaf?" Tanyaku.

"Tidak! Mengapa kamu selalu berasumsi yang terburuk?!"

"Pengalaman. Sekarang apa itu?"

"Ini soal Tsukinomori Mashiro-chan."

"Ah?"

"Ingatlah kalau Ibu bilang begini sebagai ibu gurumu, dan bukan Murasaki Shikibu-sensei. Ibu dengar kalian berdua pacaran."

"Kami tidak pacaran."

"Hm. Ibu memang rasa tidak begitu."

Kayaknya, Ibu Sumire tidak berpikir kalau aku mampu mendapatkan pacar. Mengapa semua orang di Aliansi Lantai 05 begitu kejam?

"Itulah syarat yang diajukan oleh ayahnya Mashiro," kataku. "Sebuah syarat agar kita dapat mendapatkan apa yang kita mau."

"Itu masuk akal." Ibu Sumire memberikan anggukan. Lalu, Ibu Sumire menundukkan kepalanya, sedikit lebih tulus kali ini. "Ibu tahu kalau kamu melakukan ini demi kami... ...jadi terima kasih."

"Tidak usah khawatir soal itu. Aku tidak akan pernah meninggalkan kalian. Pada dasarnya ini menjamin kita mendapatkan pekerjaan di Honeyplace Works. Ibu sudah jadi guru, jadi tangan Ibu sudah terikat. Masuk akal kalau aku mesti melakukan apa yang tidak dapat Ibu lakukan."

"Itu benar."

"Aku benci pemborosan dalam bentuk apapun, tetapi terutama menyia-nyiakan bakat. Aku bersumpah akan mengeluarkan Ibu dari pekerjaan yang sangat Ibu benci. Dan aku akan melakukan apapun yang diperlukan."

Ibu Sumire menatap lantai. Aku merasa beliau mau bilang lebih banyak, tetapi beliau tetap diam. Aku juga tidak akan memaksa beliau, dan memutuskan buat pura-pura tidak menyadarinya.

"Kami diberi instruksi yang ketat soal bagaimana memperlakukan Mashiro-chan," kata Ibu Sumire. "Buat memastikan dia duduk di sebelahmu, buat menjauhkannya dari siswa-siswi yang bermasalah, hal-hal semacam itu. Tetapi ada juga hal lain."

"Mereka bilang pada bapak-ibu sekalian kalau Mashiro dulunya itu seorang penyendiri sebelum dia pindah, bukan?"

"Ah, jadi kamu sudah tahu. Apa kamu sudah tahu mengapa?"

"Aku tidak bertanya. Aku rasa itu bukan urusanku."

"Ibu merasa kalau kamu perlu tahu." Ibu Sumire mendekatkan wajah beliau ke wajahku dan memelankan suara beliau. "Mashiro-chan dirundung."

Aku sudah menduganya.

Ada banyak alasan mengapa orang memutuskan buat menutup diri dari dunia luar secara umum, tetapi tidak banyak yang berlaku buat Mashiro.

Perundungan merupakan kesimpulan pertama yang muncul di dalam benakku.

"Mashiro-chan menyimpan sebuah rahasia dari kelasnya, tetapi rahasia itu terbongkar," lanjut Ibu Sumire, "dan itulah yang menyebabkan perundungan."

"Rahasia?"

"Bahkan orang-orang yang bertanggung jawab atas pemindahan Mashiro-chan tidak tahu apa itu."

"Benar. Aku rasa aku juga tidak akan memberi tahu mereka, kalau aku itu ayahnya Mashiro."

Aku mulai paham apa tujuan Paman dalam semua ini. Paman mau Mashiro punya paling tidak seorang sekutu di dalam kelas. Lebih baik lagi kalau sekutu itu cowok kayak aku, yang dapat melangkah buat membela Mashiro. Dengan cara ini, risiko Mashiro dikucilkan dan dirundung jauh lebih rendah.

"Makanya, sebagai ibu guru kalian, Ibu mau memintamu buat menjaga Mashiro-chan juga. Akan lebih baik kalau Mashiro-chan dapat punya paling tidak beberapa kenangan indah soal masa sekolahnya."

"Begitu ya. Aku akan menjaga Mashiro."

"Terima kasih. Terkadang ada baiknya kalau kamu juga suka mencampuri urusan orang lain."

"Terkadang ada baiknya kalau Ibu memutuskan buat diam."

"Jangan salah paham; Itulah sebuah pujian. Baik Ibu maupun Ozuma-kun mesti berterima kasih banyak padamu, loh."

"Aku akan pergi. Kalau tidak, aku tidak akan punya waktu buat makan siang."

"Suatu hari nanti mungkin kamu akan belajar buat menerima pujian."

Ibu Sumire mengeluarkan tawa kecil, yang mengikutiku sampai aku mencapai pintu.

Aku mestinya tidak bersikap terlalu lembut pada Ibu Sumire.

Aku menengok ke belakang, memutuskan buat memberikan hadiah perpisahan buat meluruskan semuanya.

"Pujilah aku sesuka Ibu, itu tidak akan membuat Ibu mendapatkan perpanjangan tenggat lagi. Oke?"

Ibu Sumire merespons dengan mendengus jelek dan tidak puas.

Kayak aku dapat menerawang Ibu Sumire.

***

"Beliau memang dapat tegas," kata Ozu melalui telepon, "tetapi Ibu Sumire benar-benar peduli pada kita siswa-siswi. Meskipun beliau ketat di kelas, hal-hal yang beliau bilang benar-benar masuk akal kalau kamu mendengarkannya. Beliau bahkan paham saat aku menjelaskan sial pemrogramanku, loh? Beliau benar-benar cerdas."

"Kalau kamu sangat mencintai Ibu Sumire, mengapa kamu tidak menikahi beliau saja? Lalu kamu dapat membantuku dan membuat beliau benar-benar menepati tenggat."

"Aku tidak begitu menyukai Ibu Sumire. Dan aku rasa siapapun akan kesulitan buat membuat beliau berubah. Kecuali kamu, mungkin."

"Aku itu anak SMA kayak kamu, loh? Aku juga tidak dapat berbuat banyak."

"Tentu saja, kamu cuma anak SMA biasa!" Ozu mengeluarkan tawa.

"Berhentilah menertawakanku!"

Catatan Admin: 

• Seperti yang sudah Admin sampaikan di status Facebook, kalau pemostingan 5 bab pertama ke blog ini merupakan uji coba. Sebelum kami lanjutkan dengan bab-bab berikutnya, kami akan mempertimbangkan 2 aspek terlebih dahulu, yaitu:

1.  Aspek kepatuhan peraturan Blogger, AdSense dan Google Search. Peraturan dari ketiga mitra kami ini menjadi pembatas kami dalam memindahkan bab ini ke blog. Untuk itu kami melakukan penyensoran kecil untuk kelima bab ini dan menunggu setidaknya 2-3 pekan sebelum memosting bab-bab berikutnya ke blog ini. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanannya dan mohon pengertian dan kesabarannya buat teman-teman pembaca yang lebih senang membaca di blog ini, ketimbang di Trakteer.

2. Aspek keramaian pengunjung dan pembaca di blog. Jika pembaca bab-bab ini tembus di angka 💯 orang, kemungkinan kami akan melanjutkan pemostingan bab-bab berikutnya mendekati penayangan animenya, yaitu akhir September 2025 atau awal Oktober 2025. Jangan lupa tinggalkan reaksi dan komentar kalian di kolom Disqus di bawah ya.

• Pemostingan ini bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Lintas Ninja Translation ke-4, mohon doa dan dukungannya agar kami dapat terus memberikan hiburan dan pelajaran yang terbaik buat Anda semua.

Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F

←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama