Tomodachi no Imouto ga Ore ni Dake Uzai [Light Novel] - Jilid 1 Bab 3 - Lintas Ninja Translation

[Peringatan 15+ Ke Atas!]

Bab 3

"Teman" Pamanku Punya Dendam pada-Ku

Saat itu jam menunjukkan pukul 20.00 malam saat aku menuruni lima lantai gedung apartemenku dengan ponsel pintarku di tangan. Karena sudah larut malam, nyaris tidak ada orang di sekitar, sampai-sampai lingkungan sekitarku nyaris sepi.

Aku bergegas menuju sebuah restoran keluarga di lingkungan sekitar. Bukan karena aku lapar, tetapi karena Paman — Tsukinomori-san — telah memanggilku ke sana. Paman akan menjelaskan syarat-syaratnya buat bekerja, yang tidak sempat Paman jelaskan dalam panggilan telepon terakhir kami.

Aku menyisir rambutku dan memilih pakaianku dengan hati-hati, membuat diriku serapi mungkin. Aku tidak punya firasat soal apa yang akan Paman minta dariku, tetapi aku sudah siap buat berlutut dan menjilati sepatu Paman sampai bersih kalau itu yang Paman mau. Apapun akan aku lakukan demi jadi bagian dari perusahaan hiburan terkenal di dunia, yaitu Honeyplace Works.

Aku melangkah memasuki pintu Tamu Royal, sebuah tempat yang buka 24 jam sehari. Aku tidak akan pernah datang ke sini karena pilihanku sendiri; buat sebuah restoran keluarga, harganya agak mahal, dan aku mesti berhemat karena tinggal sendiri.

Hari ini, Paman yang akan mentraktir makananku. Paman juga yang memilih restoran ini. Aku merasa bersalah karena Paman sampai mentraktirku makan di restoran yang begitu mahal, tetapi aku juga tidak mau membuat kesalahan sosial dengan berdebat dengan Paman.

Dunia ini itu soal memberi dan menerima, aku rasa.

(Jujur saja, aku sebenarnya jauh lebih bersemangat buat mendapatkan makan malamku ketimbang yang kalian pikirkan.)

"Akiteru-kun! Sebelah sini!"

Aku melihat Paman yang penuh gaya bahkan sebelum pelayan restoran sempat menyapaku.

"Kayaknya Paman sudah sampai di sini sebelumku," kataku. "Maaf membuat Paman menunggu."

"Tidak usah khawatir! Terkadang, orang yang lebih tua yang mesti menghormati yang lebih muda," kata Paman, sambil memelintir kumisnya yang lebat.

Meskipun perilaku Paman memberi kesan kalau ia itu orang kaya baru yang sombong, namun kenyataannya sangat lain. Paman itu tipe pria yang mestinya dicita-citakan oleh semua CEO. Saat ini, ada banyak manajer yang jadi tinggi hati dan perkasa saat mereka punya sedikit kekuasaan, dan temperamen mereka terganggu karenanya, jadi jarang sekali ada Manajer yang santai kayak Paman.

Namun, aku masih duduk di bangku SMA, jadi aku tahu apa-apa soal itu?

Aku memang melihat banyak meme yang menggambarkan pekerja kantoran yang tidak puas di Internet, jadi mungkin saja itu benar.

"Aku minta maaf sebelumnya," kataku.

"Ayolah, tidak perlu terlalu kaku! Santai saja, atau persendianmu akan rapuh dalam 10 tahun. Selama kamu tetap kaku di satu tempat yang penting, kamu akan jadi emas!" Paman tertawa kecil.

Aku mau membalas lelucon Paman yang kasar itu dengan lelucon jenaka, tetapi aku menahan diri. Aku duduk tanpa bilang apa-apa, dan Paman mengeluarkan batuk kecil buat menghilangkan suasana canggung.

"Ah, kita sedang menunggu satu orang lagi, tetapi Paman dapat memberikanmu gambaran singkat terlebih dahulu."

Aku mengangguk, secara otomatis duduk lebih tegak di bangkuku. Aku mempersiapkan diri buat menghadapi kemustahilan syarat yang akan Paman berikan di depanku.

"Pertama-tama, Paman mau memberi tahumu kalau Paman telah memainkan gim yang kamu kirimkan pada Paman."

Tsukinomori-san meletakkan ponsel pintar beliau di atas meja. Di layar terdapat menu awal gim. Karakter-karakter anime meringkuk melawan bayangan kayak binatang dengan latar belakang rumah hantu.

Gim itu bernama "Koyagi: When They Cry," dan dikembangkan oleh Aliansi Lantai 05. Itulah gim horor gratis buat dimainkan dengan unsur-unsur simulasi kencan.

"Paman sangat terkesan karena kamu berhasil membuat gim, apalagi sampai masuk ke toko aplikasi."

"Aku bukan satu-satunya yang terlibat; Ada banyak tim yang terlibat di belakangnya."

"Pemrogram: OZ. Ilustrator: Murasaki Shikibu-sensei. Penulis Naskah: Makigai Namako-sensei. Lalu ada seorang Penyulih Suara anonim, Produser dan Sutradara: Aki. Yang mana itu kamu," Tsukinomori-san membacakan kreditnya.

"Itu benar. Kami itu sebuah tim. Hal ini tidak akan mungkin terjadi tanpa masing-masing dari kami."

Itu benar. Aku membuat sebuah gim dengan segelintir teman. Tidak ada orang lain di sekolah kami yang tahu soal itu kecuali kami.

"Gim ini membuat heboh di industri ini. 'Siapa anggota misterius Aliansi Lantai 05 ini?' Orang-orang penasaran. Mereka membuat gim yang sama sekali baru dengan alur yang koheren dan asyik, desain karakter yang sama menariknya dengan karya profesional mana pun, dan pengisi suaranya benar-benar anonim. Mereka tidak punya dana, namun produk mereka telah menerima sambutan hangat dan mencapai lebih dari satu juta unduhan dari mulut ke mulut..."

"Namun, itu masih belum cukup bagus. Gim-gim yang dibuat oleh Honeyplace Works telah diunduh >10.000.000 kali secara keseluruhan."

"Itu tidak dapat dibandingkan. Kami menggelontorkan banyak biaya buat pemasaran saat merilis gim kami." Paman menyeringai ke arahku, sambil terus memelintir kumisnya. "Kalian punya produk yang sangat kompetitif di sini, dan tim kecil kalian membuat segalanya tanpa membutuhkan waktu yang lama atau anggaran yang berlebihan. Paman bahkan tidak tahu apa Paman dapat melakukan hal yang sama di usiamu. Ditambah lagi, Paman bisa tahu mengapa gim ini jadi sangat populer saat Paman memainkannya."

"Apa itu berarti..." Mulaiku.

"Yang mau Paman bicarakan denganmu hari ini merupakan sesuatu yang sebanding dengan yang Paman bicarakan sebelumnya..."

Dalam kegembiraanku, aku mulai mencondongkan tubuhku ke depan, tetapi Paman mendorongku kembali ke bawah dengan jari di jidatku.

"Paman sudah tahu soal etos kerjamu, dan Paman tahu betul harapanmu agar kamu dan teman-temanmu datang dan bekerja di perusahaan Paman. Paman mendengarnya dengan jelas. Namun." Tsukinomori-san berhenti sejenak. "Dunia orang dewasa lebih rumit dari yang kalian bayangkan. Paman tidak dapat mempekerjakan kalian begitu saja tanpa pamrih. Ah, tunggu sebentar. Staf pelayan wanita sedang menunggu buat menunggu kita."

"Ah, oke. Biar aku lihat menunya..."

Salah satu pelayan telah memperhatikan meja kami dengan sopan selama beberapa saat tanpa bergerak sedikit pun. Aku rasa kami mungkin akan menunggu orang ketiga sebelum memesan, tetapi saat itu sudah mulai sampai pada titik di mana kami mesti memesan sesuatu. Aku memutuskan menu minuman merupakan tempat yang baik buat memulai.

"Ini sudah waktunya makan malam, jadi silakan pesan apapun yang kamu mau. Jangan sungkan-sungkan!"

"Terima kasih," jawabku saat Paman mengulangi niatnya buat mentraktirku.

"Mbak!" Panggil Paman.

"Iya, Tuan. Bolehkah saya bertanya apa yang Anda pesan?"

"Aku pesan steik Italia, dan ia pesan..."

"Karbonara dengan telur rebus."

"Ah, dan kami akan memesan minuman sepuasnya buat kami berdua... ...Eh, buat kami bertiga!" Tambah Paman.

"Bertiga?" Pelayan itu tampak bingung selama sepersekian detik, sebelum akhirnya ingat kalau kami sedang menunggu orang lain. "Ah, tentu saja."

Paman membuka mulut Paman lagi saat pelayan itu berbalik buat pergi.

"Kamu punya jari-jemari yang indah, sayangku."

"Maaf?"

"Apa?" Aku berkedip. Apa yang Paman bicarakan sekarang?

"Kamu menangani perawatan kecil itu dengan sangat elegan, aku terpesona."

"E-Eum..."

"Bagaimana? Ada tempat di mobilku kalau kamu mau merayakan takdir yang mempertemukan kita hari ini..."

"Mo-Mohon maaf saya permisi! Saya mesti kembali bekerja!"

Dengan wajahnya yang panas, pelayan itu bergegas pergi ke belakang.

Aku tidak tahu apa yang diharapkan Paman.

Kalau saja Paman itu orang lain, aku mungkin akan membiarkannya begitu saja. Namun sebagai keponakannya Paman, aku merasa punya tanggung jawab buat menjaga dan mencegah pelecehan s*ksual lebih lanjut.

"Tidakkah menurut Paman itu agak berlebihan?"

"Hah? Paman barusan cuma mengutarakan pikiran Paman. Bukannya begitu mestinya kita memperlakukan wanita?"

"Ini bukan tempat di mana Paman dapat bilang apapun sesuka hati Paman..."

"Kalau Paman menyukai apa yang Paman lihat, Paman akan bilang langsung. Kalau Paman mau bermesraan dengan seseorang, Paman akan melakukannya. Bagaimana lagi kita dapat menikmati hidup?" Kata Tsukinomori-san.

"Aku rasa ada pendekatan lain, secara pribadi."

"Kalau kamu menyukai seorang cewek, kamu mesti memberi tahunya. Seluruh tindakan tsundere cuma imut di anime saja, bukan di kehidupan nyata."

Akhirnya! Seseorang yang berbicara dengan akal sehat!

Sayang sekali itu merupakan orang yang sama yang melakukan hal yang sama pada pelayan yang barusan ia temui, tetapi tetap saja. Aku mesti memberikan pujian yang sepantasnya.

"Ditambah lagi, Paman tidak membuatnya kesal atau semacamnya. Lihat saja sana."

Tsukinomori-san menyentakkan dagunya ke arah pelayan itu. Aku menoleh buat melihat pelayan itu dengan tangan di pipinya yang merah padam dan menghela napas panjang. Saat dia menyadari kami memperhatikannya, dia mulai menggeliat, dan merespons dengan membungkuk canggung pada Paman yang melambaikan tangan dengan santai padanya.

Aku tidak yakin apa aku akan menyebutnya "tidak kecewa", tetapi itu jelas merupakan... ...sesuatu.

"Aku tidak tahu apa itu reaksi yang baik..." Komentarku.

"Wanita itu rumit," kata Paman dengan ketus. "Mungkin Paman membuatnya agak bingung, tetapi Paman tahu kalau dia menyukainya. Reaksi kayak gini berarti Paman cuma perlu dua tembakan lagi buat membuatnya klepek-klepek."

"Wah... ...Aku terkesan. Aku rasa."

Aku sudah lupa betapa buayanya Paman. Saat aku masih kecil, aku ingat kalau Paman sering bertengkar dengan istrinya saat kami datang. Kalau kalian bertanya padaku apa yang mereka pertengkarkan pada saat itu, aku tidak tahu, tetapi sekarang aku hampir yakin kalau itulah perselingkuhan Paman. Bahkan, lupakan kata "hampir". Aku yakin itu.

Dalam beberapa hal, Paman itu seorang yang benar-benar hebat. Meskipun aku kira hal itu hampir sama denganku, sebagai orang yang mencoba buat memenangkan hati Paman. Ngomong-ngomong, aku mungkin mesti berhenti memiliki pemikiran yang memfitnah soal Paman. Kalau aku membiarkan semua itu terjadi, aku dapat berpamitan pada masa depanku.

"Bolehkah aku ke toilet?" Tanyaku.

"Tentu, silakan saja."

Aku permisi agar aku dapat menenangkan diriku. Aku mesti mengingatkan diriku sendiri agar menerawang perilaku Paman yang meragukan.

—Paman itu Rajaku. Paman itu Dewaku. Aku akan melakukan apa saja demi Paman... ...Aku berpikir begitu dengan penuh tekad dalam hati sambil berjalan menuju toilet di sudut restoran.

Melihat apa yang terjadi selanjutnya, mungkin itu bukanlah ide yang terbaik.

Karena aku menggunakan sekitar 95% kekuatan otakku buat memfokuskan kembali pikiranku, aku kehilangan kesadaran akan keadaan sekitarku. Makanya aku benar-benar melewatkan pemberitahuan di pintu toilet bebas jenis kelamin yang memintaku buat mengetuk dengan sopan sebelum masuk, karena kuncinya rusak.

"Hah?"

"...Nrk."

Semuanya terdiam. Satu-satunya suara yang terdengar yaitu bunyi krek pintu saat aku membukanya mendapati ada cewek yang setengah berjongkok di depanku.

Jari-jari cewek itu tersangkut di bagian dalam celana dalam berwarna merah muda terang yang setengahnya berada di atas pahanya. Mungkin karena dia sedang mengenakannya kembali. Dia masih diam bagaikan patung, keterkejutan karena diinjak telah melumpuhkannya.

Aku bahkan dapat melihat sedikit apa yang ada di balik rok cewek itu yang terangkat, berkat celana dalamnya yang tidak ada di sana buat menutupinya.

baca-imouza-jilid-1-bab-3-bahasa-indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

Hening, hening, dan lebih banyak hening.

Kami saling bertatapan satu sama lain.

Kalau saja dia itu cowok, aku mungkin tidak akan begitu diliputi rasa takut. Tetapi, tentu saja, dia seorang cewek. Yang sangat imut, pada saat itu.

Kulit cewek itu yang pucat begitu halus sehingga tampak kayak akan meleleh saat disentuh. Rambutnya yang pendek berwarna pirang keperakan yang sejuk. Dia membuatku ingat pada putri duyung, terutama karena motif kerang pada kalung dan anting-antingnya. Dia hampir satu kepala lebih pendek dariku; seorang cewek mungil. Meskipun tubuhnya tidak terlalu berisi, pahanya yang indah dan bibirnya yang lembut cukup buat membuat pikiranku berkelana.

Apa dia masih duduk di bangku SMP atau sudah SMA? Sulit buat menentukan usianya karena wajahnya yang tampak polos dan seksi.

Saat itulah aku menyadari kalau aku telah menatap terlalu lama, saat aku mestinya memikirkan cara buat mengatasi kekacauan ini. Tidak masalah kalau itu memang sebuah kecelakaan. Aku telah melihat apa yang mestinya tidak aku lihat. Dalam hal ini, hal terbaik yang mesti aku lakukan yaitu berpura-pura tidak tahu. Apa yang akan dilakukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan cewek ini?

"Astaga, aku sendiri juga mau pipis!" Teriakku.

"Aaah!"

Berhasil?

Teriakan menggema di seluruh toilet. Saat berikutnya, aku menerima pukulan keras di ulu hatiku.

***

"Astaga, itu lucu sekali! Pertama kalinya kalian ketemuan setelah sekian lama, dan itu karena kamu ketemuan dengannya di toilet!"

"Itu tidak lucu."

"Ayolah, tidak ada yang terluka. Kerja bagus, harus Paman akui!"

"Paman bisa saja bilang padaku kalau dia sedang ada di toilet!" Protesku. "Begini, sebelum aku membuat diriku sendiri memakai semacam catatan!"

Sudah 30 menit sejak aku melihat cewek malang itu di toilet, dan sekarang, dia sedang duduk di meja kami. Aku menyuapkan steik hambar ke dalam mulutku, menatap Paman yang menyeringai dan putri yang cemberut yang duduk di sebelah Paman sambil menyeruput jus tomat. Tentu saja, semua ini memang kesalahanku, tetapi itu tidak lucu sama sekali.

Pikiranku berkecamuk, putus asa mencari apapun yang dapat dianggap sebagai pengalih perhatian. Cewek itu sedang minum jus tomat. Iroha juga suka jus tomat. Apa jus tomat populer di kalangan remaja-remaja putri saat ini? Aku juga suka jus tomat. Bahkan, aku selalu punya jus tomat di kulkasku. Apa itu berarti aku benar-benar seorang remaja putri?

Tidak ada harapan.

Keheningan terus berlanjut.

Aku batuk agar suasana tidak canggung.

"Ja-Jadi siapa cewek ini, Tsukinomori-san?"

"Ah, kamu tidak ingat dia? Kamu sering bermain dengannya saat kamu datang."

"Benarkah?" Aku mengalihkan pandanganku kembali ke arah cewek itu, yang dengan tegas menghindar. "...Mashiro?"

"Euh. Aku mohon jangan sebut namaku. Kedengarannya sangat jorok keluar dari mulutmu."

Jelas sekali, Mashiro masih belum memaafkanku.

"Ternyata itu memang kamu. Wah, kamu jadi sangat cantik sampai-sampai aku tidak menyadarinya!"

Mashiro terkesiap kecil, rona merah samar muncul di kulitnya yang pucat. Mashiro mengatupkan giginya di sekitar sedotan, menyedot jus tomatnya dengan lebih keras, kayak vampir yang malu sedang meminum darah.

Tsukinomori Mashiro. Putri Paman dan juga sepupuku.

Sekitar 10 tahun yang lalu kami ketemuan hampir setiap bulan. Aku, Mashiro dan abangnya akan berlari-larian dan bermain di luar. Namun, setelah orang tua kami masing-masing semakin sibuk dengan pekerjaan mereka, kami semakin jarang ketemuan, terutama karena (sebagai anak-anak) kami tidak dapat menyetir.

Terakhir aku dengar, Mashiro bersekolah di SMA Khusus Putri di kota. Yang, setelah aku pikir-pikir, membuat segalanya terasa pas.

Cara Mashiro berpakaian, dan cara dia membawa dirinya. Seluruhnya begitu sangat sopan.

"Tetapi apa yang Mashiro lakukan di sini?" Tanyaku.

"Iya, Paman yang membawa Mashiro ke sini. Dia bersembunyi di toilet selama ini. Entah apa dia sedang datang bulan atau cuma sembelit, tetapi bagaimanapun juga, Paman rasa sulit buat cewek seusianya."

"Ayah, aku mohon. Itu termasuk pelecehan s*ksual."

"Ah, sebuah tusukan di hati Ayah! Dulu kamu juga sangat polos. Apa ini fase pemberontakanmu mulai muncul, hm?"

"Paman memang sudah menduganya," timpalku.

"Iya, Ayah memang begitu. Meskipun tidak perlu cowok m*sum kayak Aki buat menunjukkan hal itu."

"Euh... ...Oke, itu memang adil, tetapi tetap saja sakit... ...atau mungkin karena itulah sakit..."

Kayaknya aku benar-benar masuk dalam buku catatan buruk Mashiro, dan mungkin secara permanen. Yang paling menyakitkan yaitu bahwa kami biasanya bergaul kayak abang dan adik, dan sekarang Mashiro memperlakukanku (memang sepantasnya begitu, mesti aku akui) kayak sampah. Kalau boleh, aku mau menebus kesalahanku.

"Percayalah, aku juga lebih suka tidak berada di sini," kata Mashiro.

"Ayolah, jangan kayak gitu, Mashiro! Ayah cuma mengkhawatirkanmu, loh," kata ayahnya Mashiro.

"Seakan-akan aku akan percaya, Dasar Orang Tua yang Hina."

"Ayah mungkin orang tua yang hina, tetapi Ayah masih peduli."

Paman mulai memainkan kumis Paman lagi, tampak khawatir pada putri Paman yang cemberut. Sudah jelas buatku siapa yang mengambil keputusan dalam keluarga ini.

"Paman rasa Paman akan langsung saja ke intinya saja," kata Paman akhirnya.

"Benar."

Aku khawatir kemunculan Mashiro akan menggagalkan seluruh rapat, tetapi tampaknya Paman kembali ke mode bisnis. Aku menegakkan tubuhku, tiba-tiba gugup di bawah tatapan Tsukinomori-san.

"Kayak yang Paman bilang. Paman akan dengan senang hati menawarkan 'Aliansi Lantai 05' sebuah posisi di Honeyplace Works, dengan satu syarat..."

Tiba-tiba aku menyadari Mashiro bergerak-gerak di sebelah Paman. Meskipun penasaran, aku segera mengalihkan perhatianku kembali ke (mudah-mudahan) Calon Bosku.

"Paman mau kamu pura-pura jadi pacarnya Mashiro sampai wisuda nanti."

Hah?

Apa ini kehidupan nyata? Apa ini cuma khayalan? Mengapa Paman mencoba membuatku jadi bintang dalam sebuah serial komedi romantis? Dan bahkan bukan pacar yang asli.

Baik Mashiro maupun aku tidak bersuara. Kami berdua terlalu terkejut. Meski butuh beberapa detik, kata-kata Paman akhirnya mulai masuk akal.

"Tadi apa Paman bilang?" Tanyaku, cuma buat memastikan.

"Paman mau kamu jadi pacar palsunya Mashiro."

Ah, jadi aku bukan cuma berhalusinasi selama 30 detik terakhir.

"Ini sangat bodoh," gusar Mashiro. "Aku tidak percaya Ayah membuatku melakukan hal yang tidak masuk akal ini."

Syukurlah Mashiro dapat bilang apa yang ada di dalam benakku. Aku sendiri mungkin akan sedikit meredamnya, sih.

"Mashiro! Kamu akan melakukan apa yang Ayah bilang!" Tsukinomori-san membanting meja, berbalik agar dapat menatap mata putri beliau secara langsung. Mashiro memalingkan wajahnya dengan cemberut, tetapi dia melanjutkan. Aku hampir dapat melihat ludah yang keluar dari mulut Paman. "Ayah sudah bersusah payah mengizinkanmu pindah ke sekolah negeri, dan kamu masih tidak puas?! Dengar! Cowok-cowok SMA itu, mereka itu maniak cocok tanam! Apa kamu tahu apa yang akan terjadi padamu kalau Ayah tidak mencarikan pengawal buatmu, hah?!"

"Iya, pengawal, bukan pacar palsu. Itu bodoh sekali."

"Tidak, tidak! Tidak akan ada yang mau jadi temanmu kalau kamu punya pengawal resmi yang berkeliaran! Ayah tidak akan membiarkanmu dirundung cuma karena Ayah terlalu protektif!"

"Bagaimana kalau Ayah tidak melakukan apa-apa?"

"Tidak! Dengarkan, Mashiro. Sekolah negeri itu tempat yang berbahaya. Itulah dunia yang gelap dan penuh dengan buaya-buaya m*sum. Gadis kecil yang naif dan polos kayak kamu akan dimakan hidup-hidup!"

"Tunggu, kami semua bukan sekelompok orang rendahan!" Protesku. "A-Apa itu maknanya Mashiro akan pindah ke sekolahku?"

"Tepat sekali, Akiteru-kun. Paman lihat kamu memang sangat tanggap kayak biasanya. Seluruh dokumennya sudah beres, dan Mashiro akan bersekolah di sekolahmu mulai besok."

"Tetapi mengapa?" Aku tidak dapat menahan rasa penasaran. "Bukannya sekolah lama Mashiro sangat, sangat bergengsi?"

Sekolah yang dimaksud yaitu universitas khusus putri dengan SMA di dalamnya. Bersekolah di sekolah tersebut pada dasarnya merupakan tiket sekali jalan ke universitas elite mana pun yang kalian mau. Selama perilaku kalian baik dan nilai kalian bagus, kalian dapat masuk ke perguruan tinggi mana pun tanpa masalah. Masuk ke sekolah itu sejak awal praktis menjamin kalian mendapatkan kesempatan terbaik dalam kehidupan. Jadi mengapa Mashiro mau mengorbankan semua itu demi sekolah kami?

"Iya, tetapi—" mulai Tsukinomori-san.

"Hen-Hentikan. Aku tidak mau Aki tahu."

"Tidak adil kalau Ayah tidak memberi tahu Akiteru-kun, terutama kalau ia akan melakukan hal ini buatmu." Paman mengabaikan permintaan Mashiro sambil menarik lengan bajunya dan menatap ke arah meja. Meskipun tampak sedikit ragu, Paman tetap melanjutkan. "Sebenarnya, kehadiran Mashiro tidak terlalu baik..."

"Maksud Paman, Mashiro sering bolos?" Tanyaku.

"Itu, terus terang saja... ...iya." Angguk Paman, melirik ke arah Mashiro, yang memegangi lututnya dan menggigit bibirnya.

Mashiro sama sekali tidak melirik ke arah kami, dan bulu matanya bergetar. Kayaknya Mashiro benar-benar tidak mau ada orang yang tahu soal ini.

"Ceritanya panjang, tetapi..."

"Paman tidak perlu menjelaskannya."

Mashiro mendongak dan mengerjap ke arahku dengan terkejut, seakan-akan bingung dengan kata-kataku. Mashiro memperhatikanku dengan waspada bagaikan kelinci kecil, tidak ayal penasaran mengapa aku tidak tampak penasaran soal keadaannya.

"Jadi Mashiro punya tingkat kehadiran yang buruk, dan sekarang mau memulai awal yang baru dengan pindah sekolah. Cuma itu yang perlu aku ketahui. Bertanya lebih dari itu cuma akan membuatku kepo."

Aku membanggakan diriku sendiri karena hidup seefisien mungkin. Aku menganggap kalau mencampuri urusan orang lain cuma membuang-buang waktu. Tentu saja, aku tidak keberatan membantu mereka, tetapi bukan berarti aku mesti tahu alasan mengapa mereka membutuhkan bantuan.

"Aki..."

"Oho. Kamu baik sekali."

Mashiro tampak terkejut saat Paman melemparkan senyuman tulus padaku.

"Aku memahami syarat tersebut, dan aku memahami kekhawatiran Paman. Tetapi... ...Aku agak khawatir soal bagaimana kami bertindak sebagai pasangan yang dapat mempengaruhi hubungan kami dengan teman sekelas kami, meskipun itu cuma pura-pura," kataku.

"Tidak usah khawatir soal itu! Punya pacar merupakan simbol status di SMA. Bahkan, Paman lebih khawatir soal bagaimana nasib Mashiro tanpa pacar!"

"Kayaknya kehidupan SMA Paman sendiri cukup sulit, ya?"

"Ayolah. Paman sudah populer di kalangan cewek-cewek sejak Paman lahir!"

Aku tidak akan bertanya pada Paman soal detail kelahirannya buat memastikan ia benar-benar mengingatnya dengan benar. Aku memang penasaran dengan masa SMA Paman yang misterius, tetapi itu dapat menunggu.

"Aku tebak syarat ini tidak dapat ditawar?"

"Yoi."

S*alan.

Aku dapat dengan mudah melihat ini, merupakan salah satu lelucon bodoh Paman, tetapi kayaknya aku tidak beruntung kali ini. Sorot mata Paman 💯% serius. Meskipun Paman masih bercanda soal itu, Paman pasti punya alasan kuat buat mempercayakan Mashiro padaku kayak gini, dan alasan itu mungkin ada hubungannya dengan mengapa Mashiro sering bolos sekolah. Namun, aku tetap tidak akan menanyakan hal itu. Bukan karena aku menganggap diriku berada di atas hal-hal kayak gitu, tetapi karena satu-satunya hal yang aku pedulikan saat ini yaitu mengamankan masa depan kelompokku.

"Aku terima syarat Paman."

Sisanya terserah pada Mashiro.

Mata Mashiro terbuka lebar, seakan-akan dia tidak percaya dengan penerimaanku. Karena beberapa saat, Mashiro duduk di sana sambil berpikir. Mashiro bergumam pada dirinya sendiri dengan sangat pelan sehingga aku tidak dapat mendengarnya, sambil melirikku dengan tatapan jijik.

"Aku rasa tidak apa-apa... ...kalau kami cuma pura-pura. Ditambah lagi, itu berarti aku dapat pindah sekolah... ...Meskipun aku benci semua hal soal ini, aku rasa aku akan ikut."

Kayaknya aku bukan satu-satunya yang diuntungkan dari pengaturan ini.

Rapat ini bukan cuma agar Paman menjelaskan syaratnya, tetapi agar Mashiro dapat menegosiasikan persyaratan dengan Paman.

Mashiro mungkin sama terkejutnya denganku soal "hubungan palsu" ini, meskipun dia langsung menerimanya saat dia menyadari kalau hal itu akan menguntungkannya. Aku rasa kami punya kesamaan.

Karena kami punya pandangan yang sama, aku dapat sepenuhnya jujur pada Mashiro.

"Mari kita lakukan yang terbaik, oke, Mashiro?"

"Jangan terlalu terbiasa, cowok toilet. Kita cuma berpura-pura. Tidak ada alasan buatku untuk bersikap baik padamu saat tidak ada yang melihat."

"Masuk akal, aku rasa."

Tidak perlu dikatakan lagi, Mashiro menepis tanganku yang terulur ketimbang menjabatnya. Aku tidak ingat pernah mengalami jabat tangan yang ditolak dengan cara yang begitu jelas sebelumnya. Aku rasa aku beruntung karena tidak berada di sel penjara saat ini, mengingat apa yang terjadi setengah jam sebelumnya.

"Ah, pasangan yang menggemaskan! Masa depan kalian berdua tampak cerah!"

"Kok bisa Paman sampai pada kesimpulan itu?"

"Apa Ayah sudah terkena katarak?"

"Tuh kan! Kalian sudah berada di gelombang yang sama!" Tsukinomori-san tertawa. "Ah, satu hal lagi, Akiteru-kun."

"Hm?"

"Ingatlah kalau ini semua cuma  pura-pura. Kalau kamu menyentuh Mashiro, Paman akan... ...Itu, Paman rasa Paman tidak perlu memberi tahumu."

Aku merasakan hawa dingin menjalar di tulang belakangku saat melihat sorot mata Paman.

Jujur saja, kalau Paman benar-benar khawatir, mestinya Paman tidak perlu mengatur semua ini sejak awal. Mungkin kalau ini novel komedi romantis atau semacamnya, kami mungkin akan berakhir dengan pernikahan yang bahagia, tetapi kehidupan nyata tidak pernah semudah itu.

"Tidak usah khawatir. Mashiro sangat membenciku."

"Hmf."

Mustahil cinta dapat tumbuh dari tanah yang penuh dengan kebencian.

"Oke, nikmatilah kehidupan cinta palsu kalian! Semuanya akan dimulai besok!" Seringai Paman.

"Iya, Tuan."

Paman menepuk-nepuk punggungku dengan sedikit lebih keras dari yang semestinya. Atau mungkin aku cuma membayangkannya.

Maka aku memulai kehidupan baruku sebagai pacar palsunya Mashiro, demi sebuah posisi di perusahaan elite Honeyplace Works.

***

"Jadi bagaimana pendapatmu soal hubungan palsu, Ozu?"

"Apa, kayak di film-film dan sebagainya? Mereka selalu bersatu pada akhirnya, bukan? Kamu tidak pernah dengar soal musuh yang jadi kekasih?"

"Oke, tetapi bayangkan kalau si cewek itu kayak... ...sangat tidak menyukaimu. Dan juga itu memang kehidupan nyata."

"Kedengarannya kayak awal dari sebuah hubungan yang sehat dan hebat buatku, Bang!"

"...Hah?"

***
baca-imouza-jilid-1-bab-3-bahasa-indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

baca-imouza-jilid-1-bab-3-bahasa-indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation
***

Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F

←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama