Tomodachi no Imouto ga Ore ni Dake Uzai [Light Novel] - Jilid 1 Bab 2 - Lintas Ninja Translation

 [Peringatan 15+ Ke Atas!]

Bab 2
Temanku Punya Kesukaan Padaku

Umur manusia itu singkat. Cuma 876.000 jam.

Aku duduk di sudut ruang kelasku. Dengan setiap tarikan napas yang mereka ambil, penghitung waktu menuju kematian terus menghitung mundur, namun tidak ada satu pun dari sesama siswa-siswi kelas sebelas yang tampak khawatir. Aku sudah mengeluarkan buku pelajaran jam pelajaran pertamaku, serta catatan lengkap yang mesti kami kumpulkan hari ini. Aku suka menggunakan waktuku yang terbatas secara efisien, dan persiapanku saat ini merupakan hasil dari hal itu. Aku melihat ke sekeliling kelas. Ada badut-badut yang memohon pada teman-temannya buat mengizinkan mereka mencontek catatan mereka, dan cewek-cewek yang barusan menyerah dengan semua itu dan melakukan berkhayal mental.

Ruang kelasku itu bagaikan sebuah sirkus.

Itulah kesalahan mereka karena membuang-buang waktu yang kita punya, dan sekarang mereka sadar, semuanya sudah terlambat. Jam pelajaran akan segera dimulai. Sementara mereka berebut mencari catatan cadangan buat dicontek, aku melanjutkan pelajaranku, agar aku dapat meningkatkan kemampuan akademikku lebih jauh lagi. Memang tidak banyak, tetapi dalam masyarakat kita yang kompetitif ini, hal itu dapat membuat perbedaan besar.

Mungkin aku ini memang bias, tetapi aku sepenuhnya percaya kalau aku, Ooboshi Akiteru, merupakan orang yang biasa-biasa saja.

Matematika, Bahasa Jepang, Bahasa Inggris, IPS, IPA, Penjasorkes... ...Aku mendapat nilai sekitar 80 di setiap ujian. Buat semuanya.

Itu mungkin terdengar mengesankan, tetapi itu merupakan nilai yang terbaik yang dapat aku dapat sambil menggunakan waktu belajar seefisien mungkin. Itulah yang terbaik dariku, dan fakta kalau aku belum pernah mendapatkan nilai 💯 dalam ujian, atau bahkan peringkat teratas di kelas, berarti aku tidak cukup berbakat.

Meskipun aku tidak punya kelemahan utama, aku juga tidak punya kekuatan yang nyata. Tentu saja, aku juga berbicara soal penampilan. Kalau kalian mencari kata "biasa saja" dalam kamus, kalian mungkin akan menemukan fotoku.

Karena aku sangat biasa-biasa saja, satu-satunya cara buat mengungguli orang lain yaitu dengan menggunakan waktu sebaik mungkin. Yang aku mau cuma jaminan masa mendatang yang aman dan stabil buat diriku sendiri. Namun, ada satu hal yang membedakanku dengan orang lain...

"Kamu menjatuhkan penghapusmu."

"Gah! Ooboshi! Sudah berapa lama kamu ada di sana?!"

"Eh... ...sebentar."

"Ah... ...maaf. Kayaknya aku tidak menyadarinya. Jangan tersinggung."

Cowok di depanku meminta maaf sambil bergegas mengerjakan PR-nya. Cowok itu populer dan tampan, tidak kayak aku, tetapi paling tidak permintaan maafnya tulus.

Aku tahu kalau ia tidak bermaksud menyinggung. Meskipun ia melakukan hal yang lebih bagus ketimbang aku dalam kehidupan, itu tidak membuatnya jadi orang yang buruk. Sebenarnya, aku cukup menyukainya; meskipun kami tidak benar-benar berteman, ia sering meluangkan waktu buat mengobrol denganku.

Masalahnya yaitu cowok itu biasanya tidak memperhatikanku. Dan ada alasan buat itu.

Aku tidak punya keberadaan apapun.

Manusia biasanya memilih salah satu ciri buat diingat dan mengkategorikan satu sama lain. Kalau kamu berkacamata, kamu itu "si mata empat", kalau kamu seorang cewek cantik yang memakai mekap, kamu itu seorang yang suka dandan, kalau kamu berambut mohak, kamu itu seorang pang, kalau nilaimu bagus, kamu itu kesayangan guru, dan kalau kamu suka membuat lelucon, kamu itu badut kelas. Beberapa dari nama-nama ini lebih menyanjung ketimbang yang lainnya. Dan beberapa bahkan lebih buruk lagi: "gendut", "botak", "j*lek"... ...tetapi dalam semua kasus ini, orang direduksi jadi satu karakteristik.

Terus bagaimana denganku? Aku tidak punya ciri-ciri negatif, tetapi aku juga tidak punya ciri-ciri positif yang menonjol. Aku benar-benar polos.

Makanya tidak ada yang mengingatku, atau bahkan memperhatikanku. Itu berarti aku tidak pernah diabaikan atau diancam. Tidak ada yang membicarakanku. Tidak ada yang mengundangku buat bergabung dalam obrolan mereka; aku mesti nimbrung sendiri. Namun, begitu aku nimbrung, mereka memperlakukanku secara normal.

Itulah jenis kehidupan yang paling efisien yang dapat aku bayangkan.

Aku punya kendali penuh atas apa yang mesti aku lakukan dengan waktuku, karena waktuku belum pernah terbuang sia-sia oleh obrolan yang tidak berarti atau orang-orang yang mencoba bersosialisasi denganku. Sungguh kebahagiaan yang tiada tara!

Namun, bukan berarti aku tidak punya teman. Itu cuma berarti aku dapat memilih mereka. Aku dapat memilih dengan siapapun yang mana aku mau berbagi waktu yang berharga. Dan itulah yang aku sukai dari kehidupanku.

"Hei, Aki..." kata seseorang.

"Kamu tampak wafat hari ini, Ozu," jawabku. "Kayak biasanya."

"Iya, aku begadang semalaman. Lihatlah betapa merahnya mataku!"

"Bang, kamu selalu melakukan ini. Iya, tidak usah khawatir. Kamu boleh meminjam catatanku kalau kamu mau!"

"Terima kasih! Kamu itu teman terbaik di dunia!" Ia merosot di bangku di belakangku, masih menguap. Aku dapat melihat kabut tidur yang mengancam akan menimpanya.

Cowok ini sangat cerdas dan tampan sehingga ia memberikan aura karakter utama yang nyata. Tempelkan ia di tengah-tengah poster yang dikelilingi oleh cewek-cewek, dan kalian akan mendapatkan anime harem yang sempurna. Itulah sahabatku dan satu-satunya: Kohinata Ozuma. Aku memanggilnya "Ozu", dan telah memutuskan buat menjalani kehidupan ini bersamanya.

"Aku akan membelikanmu anmitsu buat menebusnya, oke?" Kata Ozu. "Aku dengar tempat baru di dekat stasiun itu cukup enak. Kamu suka yang manis-manis, bukan?"

"Benarkah?" Mataku berbinar. Kombinasi selai kacang dan buah itu memang sangat lezat, tetapi... ..."Tidak, tidak usah khawatir. Ini bukan masalah besar."

"Aku merasa tidak enak, mencontekmu sepanjang waktu... ...Biarkan aku yang menebusnya, oke?" Dia menyeringai padaku dengan semua pesona seorang pangeran dongeng, aku merasakan sentakan di dadaku dan air mataku mengalir di mataku.

"Kamu... ...cowok paling baik yang pernah aku temui..." Gumamku.

"Ayolah, tidak usah lebai. Bukannya kamu bilang kalau kamu suka menjalani kehidupan dengan efisien? Dan sekarang kamu membuang-buang waktumu dengan bersikap emosional?"

"Mau bagaimana lagi! Hatiku tidak dapat menampung rasa terima kasih sebanyak ini!"

"Aneh. Padahal aku kira aku selalu tahu kalau kamu itu agak emosional. Aku jadi ingat kalau kamu masih manusia."

"Aku tidak emosional! Semua yang aku lakukan dan rasakan itu agar aku dapat menjalani kehidupanku dengan efisiensi maksimal!"

"Waduh, baik sekali kamu mengizinkanku jadi bagian dari kehidupanmu yang sangat efisien, Tuan Robot."

"Terserahlah." Aku memutuskan buat mengakhiri obrolan.

Ozu dengan bijaksana beralih ke hal lain.

"Aku juga mau menebus kesalahan adikku yang telah memperlakukanmu dengan tidak sopan. Kamu bilang kalau dia ada di rumahmu kemarin, bukan?"

"Iya."

"Aku benar-benar minta maaf soal adikku. Aku terus menyembunyikan kunci itu di tempat yang lain, tetapi entah bagaimana dia selalu mengendusnya."

"Tidak usah khawatir soal itu. Itu bukan salahmu." Aku masih tidak habis pikir bagaimana hubungan Ozu dan Iroha.

Mereka sangat berbeda.

Ozu itu tipe cowok yang selalu mengutamakan orang lain. Ozu itu jago mengenali dan tidak melampaui batas. Kalian lihat barusan bagaimana Ozu meminta maaf atas perbuatan adiknya, bukan? Ozu itu benar-benar cowok yang alim.

Faktanya, Ozu merupakan kebalikan dari teror yang dialami adiknya. Dewa manapun yang bermain Penciptaan Manusia hari itu memutuskan buat bermain-main dengan gen Iroha, atau cuma merasa sangat kejam, seakan-akan Dia menciptakan Iroha cuma buat menjebaknya di kolam renang tanpa tangga nantinya. Tiba-tiba Ozu tertawa.

"Gini loh, aku rasa Iroha menyukai dirimu."

"Hah?!"

"Ah, s*alan... ...Kamu tidak tampak senang dengan hal itu."

"Duh. Becandaan itu mestinya lucu."

"A-Ah. Apa kamu dapat memaafkanku, kalau begitu?"

"Aku rasa. Meskipun hatiku tidak dapat menahan semua rasa jijik ini."

"Benar, benar..."

"Lagipula, mustahil Iroha menyukaiku. Dia cuma mempermainkanku."

"Buat menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya, bukan?"

"Euh! Aku tahu kalau kamu akan bilang begitu. Semua orang juga. Tetapi itu tidak benar. Mengapa ada orang yang memperlakukan seseorang kayak gitu karena mereka menyukaiku? Kamu pasti mau bersikap baik pada orang yang kamu sukai, bukan? Kalau tidak, mereka cuma akan berakhir dengan membencimu. Itu tidak masuk akal!"

"Kamu bicara kayak cewek-cewek itu masuk akal, Bang."

"Ini bukan soal cewek-cewek. Ini soal akal sehat universal. Lagipula, tidak ada yang akan tertarik padaku sejak awal."

Aku tidak mencari masa remaja ideal kayak yang kalian lihat di anime maupun manga. Ditambah lagi, setiap cewek yang aku temui dalam kehidupanku sejauh ini selalu membenciku. Kalau mereka bahkan menunjukkan tanda-tanda mengakuiku sama sekali, itu selalu negatif.

Jadi aku menyerah pada percintaan. Lagipula aku tidak punya harapan.

"Aku biasa-biasa saja. Tidak ada yang menarik dari diriku yang membuat cewek-cewek tertarik."

"Aku rasa kamu cukup populer di kalangan mereka."

"Itu kayak datang dari seorang cowok kuat kayak kamu."

"Tetapi kamu punya bagian yang bagus. Maksudku, kamu itu baik hati..."

"Iya, 'baik hati'. Frasa sifat yang paling rata-rata dari frasa sifat positif..."

Aku sudah tahu kalau Ozu punya masa depan yang cerah di depannya. Tidak lama lagi dunia akan melihat betapa hebatnya Ozu, kayak yang aku rasakan, dan aku benar-benar bersemangat buat melihat sejauh mana ia akan melangkah.

Sebagai seorang teman, aku mau menghargai Ozu. Sungguh memalukan soal adiknya, tetapi aku rasa itu semua demi membuat kehidupan agak jauh lebih menarik.

Saat itu, pintu kelas berayun terbuka.

Seketika itu juga, udara seakan-akan membeku. Seluruh suara di ruangan itu tiba-tiba berhenti, entah itu suara yang meminta catatan, atau suara yang cuma melontarkan becandaan.

Satu-satunya suara yang tersisa yaitu derap sepatu hak tinggi saat ibu guru muda kami berjalan menuju meja.

Rambut beliau dikuncir rapi di atas kepala, dan mata beliau bersinar tajam dan cerdas. Tubuh beliau ramping kayak model mana pun, dengan dada yang cukup besar buat melengkapinya, sementara setelan jas beliau menunjukkan sosok beliau dengan sempurna. Kayak biasanya, semua orang kagum dengan kecantikan ibu guru yang sempurna ini; beliau itu jenis wanita cantik yang semua orang mau diajar oleh beliau. Tanpa duduk, beliau menyapu pandangannya ke arah kerumunan siswa-siswi yang tersebar di sekitar ruangan.

"Bel sudah bunyi. Mengapa kalian tidak duduk di bangku kalian? Kalau kalian para b*bi tidak tahu cara membaca jam, Ibu sarankan kalian mengemasi barang-barang kalian dan segera keluar dari sini."

Diamlah.

"Duduk, atau dihukum. Pilihan kalian." Ibu guru itu membanting tumit beliau ke lantai di bawahnya, meninggalkan penyok dan menimbulkan suara retakan di seluruh ruangan.

Setiap wajah memancarkan warna yang berbeda saat siswa-siswi bergegas kembali ke bangku mereka. Iya, tidak semua wajah. Beberapa wajah memerah dan disertai dengan suara terengah-engah. Sebaiknya jangan terlalu lama memikirkan hal itu.

"Setiap manusia dimulai sebagai b*bi yang tidak berharga. Begitu kalian belajar menari mengikuti irama masyarakat, kalian akan jadi seekor m*nyet. Kalian masih jauh buat jadi manusia seutuhnya."

Sulit dipercaya kalau beliau itu seorang ibu guru dengan semua penghinaan yang keluar dari bibirnya. Ibu guru yang keras kayak gitu jarang ditemukan saat ini, apalagi dengan masyarakat yang semakin waspada pada hukuman fisik dan penyalahgunaan kekuasaan di sekolah. Tetapi di sinilah beliau: Ibu Guru Matematika dan Wali Kelas kami, Kageishi Sumire.

Pada awalnya, banyak cowok-cowok di kelas kami bersukacita karena punya ibu guru yang cerdas dan cantik kayak beliau, tetapi sekarang cuma ada segelintir masokis yang masih merasa kayak gitu.

Beliau sekarang dikenal sebagai Ratu Berbisa berkat lidah beliau yang tajam, pengajaran beliau yang tegas, dan pemerintahan teror yang mematikan yang beliau perintahkan. Setiap siswa-siswi yang keluar dari barisan akan langsung dibawa kembali ke bawah jempol beliau.

"Mari kita mulai."

baca-imouza-jilid-1-bab-2-bahasa-indonesia-di-Lintas-Ninja-Translation

Atas perintah Yang Mulia Kanjeng Ratu, kelas dimulai. Aku meletakkan daguku di tanganku.

Lihatlah ekspresi puas di wajah beliau. Pasti mudah jadi seorang ibu guru kalau yang Ibu butuhkan cuma kata-kata kasar buat membuat kelas Ibu tetap tertib.

Aku tidak cukup bodoh buat menyuarakan keluhanku dengan lantang.

***

Hari sekolah berakhir dengan lancar, kayak biasanya.

"Waktunya pulang!" Sorak Ozu. "Ayo—"

"Tung-Tunggu... ...Apa kamu... ...A-Apa kamu punya waktu sebentar?"

"Hah?" Itu memang salah satu teman sekelas kami yang berbicara, tetapi aku tidak paham apa yang orang lain mau dariku. Aku bahkan tidak mengenal orang ini. Aku memang tahu kalau ia duduk di sisi lain ruang kelas, tetapi aku tidak dapat mengenali wajahnya sama sekali. Aku menebak-nebak dan memutuskan kalau itu mungkin Suzuki.

Aku benar-benar bingung. Ia juga tampak sangat bingung.

"O-Ooboshi. Se-Se-Seseorang di sini buat ketemu kamu!"

"Ada apa dengan gagap itu?"

"Di-Di-Diamlah! Ka-Ka-Ka-Kamu akan gagap juga! Maksudku, di-dia... ...dia sangat seksi! Di-Dia menunggu di-di lo-lo-lorong. Di-Dia kouhai cewek kelas sepuluh!"

"Ah."

Cuma ada satu "cewek kelas sepuluh" yang dapat menimbulkan reaksi kayak gini yang aku kenal.

"Dia memang berseragam sangat rapi, tetapi tidak mencolok, loh?! Di-Dia pintar, sopan pada semua orang, dan dia itu siswi teladan! Dia sangat sempurna! Ka-Kamu sangat beruntung karena dia ada di sini buatmu, Ooboshi! A-Apa kamu orang alim di kehidupan masa lalumu atau semacamnya?!"

"Tidak, lebih tepatnya penjahat kayak Robin Hood." Aku menghela napas, meninggalkan Suzuki di belakangku dan menuju ke lorong.

"Hai, Ooboshi-senpai!" Di sana ada Kohinata Iroha, menyeringai padaku. Bukannya aku mengharapkan orang lain, karena dia itu satu-satunya cewek yang aku ajak bicara. Namun, aku masih tidak tahu apa yang dia mau. Jadi aku bertanya.

"Apa maumu?"

"Hah? Kamu tidak tampak senang melihatku." Iroha berkedip padaku.

Aku benci dengan sikap polos Iroha saat dia berperan sebagai siswi yang sopan. Faktanya yaitu, walaupun aku sulit mempercayainya, nilai-nilainya sempurna.

Namun, aku tahu kayak apa Iroha yang sebenarnya. Iroha tidak dapat menipuku.

"Mengapa aku mesti senang? Apa gunanya memanggilku, cuma agar aku pergi dan mengambilkan Ozu buatmu?"

"Karena aku tidak mau ketemuan dengan Abang. Aku mau ketemuan denganmu."

"Berhentilah berbicara kayak gitu, dan kembalilah bersikap kayak orang bodoh yang aku kenal."

"Apa yang kamu bicarakan?" Tanya Iroha pelan, seakan-akan menegurku karena berani bertingkah di tempat belajar.

Sekarang Iroha mencoba menatapku dengan tatapan anak anjing. Kenyataannya, dia itu seekor ular yang licik. Siswa-siswi yang keluar dari ruang kelas di belakangku tidak tahu. Mereka melirik ke arah kami, cewek-cewek tampak bingung sementara mata cowok-cowok berkobar-kobar karena cemburu.

"Apa. Kamu mau jalan pulang bareng?"

"Itu benar!" Iroha bergetar dengan senyuman cerah.

Aku senang karena Iroha begitu pendek. Kalau cowok-cowok kepo di belakangku dapat melihat bagaimana Iroha tersenyum padaku, aku akan terlibat di situ. Mereka akan penasaran soal hubungan kami. Siapa kami, sejauh mana kami telah melangkah, dan lain-lain. Tidak masalah kalau aku menjawab dengan agresif, atau dengan sopan bilang pada mereka kalau kami bukan pasangan, kami tidak cocok, itu akan sangat merepotkan. Belum lagi aku tidak akan dapat berbaur dengan latar belakang lagi.

"Oke. Aku akan mengambil barang-barangku, dan aku akan memanggil Ozu juga."

Aku mau menghindari bergaul dengan Iroha di luar kelas kalau aku dapat menghindarinya. Kemungkinan terjadinya kesalahpahaman semakin meningkat setiap detiknya. Aku berbalik buat kembali ke dalam ruangan.

"Ah, tidak usah repot-repot menjemput Abang," Iroha memanggilku dengan riang.

"Hah? Mengapa tidak usah?"

Mereka tinggal di apartemen yang sama, dan aku tinggal tepat di sebelah mereka. Masuk akal kalau kami bertiga pulang bersama.

Iroha mulai menggeleng-geleng dengan malu-malu. Pipinya merona merah muda saat dia berbicara dengan suara pelan dan malu-malu.

"A-Apa kamu benar-benar mesti bertanya padaku di depan semua orang ini? Aku... ...Aku mau cuma ada aku dan kamu..."

"Sudah aku bilang agar berhenti bicara kayak gitu! Aku bahkan tidak menyukaimu, tetapi kamu membuat hatiku sakit!" Aku mundur selangkah buat menjauhkan diri dari Iroha.

Iroha menatapku dengan kaget.

"Tega... ...Tega-teganya kamu bilang sesuatu yang begitu kejam?" Desis Iroha. "Kita mestinya sudah pacaran..."

Itulah hal terburuk yang dapat Iroha bilang.

"Permisi?!" Bentakku dengan keras.

"Apa kamu tidak ingat bagaimana kita bercinta dengan penuh gairah kemarin? Dan sekarang kamu bilang kalau kamu tidak menyukaiku? Apa kamu cuma... ...mempermainkan hatiku?"

"Kita tidak pacaran! Aku sedang berusaha buat mengusirmu!"

"Aku mohon jangan membuat kehebohan! Saat kamu begitu berisik, ini mengingatkanku saat kita berdua—"

"Berhentilah tersipu malu! Orang-orang akan salah paham!"

Aku yakin kalau kata-kata Iroha barusan terdengar jelas di dalam kelas, dan aku dapat merasakan tatapan penasaran teman-teman sekelasku menatapku. Bilang kalau hal itu tidak nyaman merupakan pernyataan yang meremehkan. Saat itu, Ozu muncul, tidak diragukan lagi karena teriakan kami.

"Aki, ada apa?" Lalu, Ozu menatap Iroha. "Hah? Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Hai!" Iroha menundukkan kepalanya dan memberikan senyuman terbaik, termanis dan ter"siswiteladan"nya pada Ozu.

Ozu tahu kayak apa Iroha yang sebenarnya, jadi tidak heran kalau ia tampak bingung kayak aku. Ozu membuka mulutnya buat bilang sesuatu, tetapi Iroha melanjutkan sebelum Ozu sempat.

"Aku dan Aki-senpai pacaran!"

"Aku... ...Apa...?"

"Astaga! Aku tidak tahan lagi! Kemarilah, Iroha!"

"Euh!"

Aku meraih lengan Iroha dan menariknya menjauh dari pintu kelas. Dengan Iroha di belakangku, aku menginjak lorong secepat mungkin, dan cuma berhenti buat mengatur napas saat kami sampai di tangga yang sepi.

"Apa-apaan itu barusan? Apa ini semacam penipuan bermodel baru?!"

"Ini bukan penipuan!" kata Iroha dengan manis. "Maksudku, pada dasarnya kita memang pacaran, bukan?"

"Hentikan akting itu."

"Aduh! Kamu sangat jutek, Senpai." Kikik Iroha. "Lagipula tidak ada yang percaya dengan itu!"

Iroha kembali kayak biasanya setelah dia menyadari kalau kami benar-benar berduaan. Dia tertawa terbahak-bahak dan kesulitan mengatur napas.

"Maksudku, kamu bilang kalau kamu akan mendapat masalah kalau kamu punya pacar, bukan? Jadi aku memutuskan buat mengambil posisi itu!"

"Itu merupakan logika yang sangat aneh..."

"Ini benar-benar belum cukup dalam buat berbicara soal 'logika'."

"Terserahlah. Lagipula tidak ada yang akan mempercayaimu." Aku menghela napas dan bersiap buat pulang.

Iroha mulai memelintir-melintir sehelai rambutnya.

"Entahlah. Aku rasa itu cukup masuk akal."

"Aku tidak peduli apa yang kamu pikirkan. Itu tidak masuk akal. Yang kamu punya cuma penampilanmu. Kita sama sekali tidak cocok."

"Iya, aku rasa kamu benar. Aku terlalu cantik buat cowok yang tampak biasa-biasa saja kayak kamu."

Aku berharap Iroha akan menutup-nutupi hal itu. Tetapi terserahlah.

"Lagipula," lanjut Iroha, "Kalau kamu memberi tahu semua orang kalau kita pacaran, mereka akan bilang: 'Iya, bermimpilah, Dasar Perjaka!' Tetapi kalau aku yang bilang, mereka semua akan percaya!"

"Jadi maksudmu, mereka akan percaya padamu, tetapi tidak padaku?"

"Yoi!" Iroha tersenyum padaku dengan riang.

"Cukuplah..." Aku melihat ke arah langit-langit dengan jengkel dan menempelkan telapak tanganku ke wajahku. "Dengar, ini menyangkut seluruh masa depanku, oke? Jadi aku mohon jangan ikut campur."

Aku membutuhkan dukungan Tsukinomori-san kalau aku mau punya harapan buat meraih cita-citaku di masa mendatang. Hal terakhir yang aku butuhkan yaitu pengacau ini menancapkan batang hidungnya dan menghancurkan segala yang telah aku kumpulkan dengan susah payah. Aku berbalik dan mulai berjalan. Semoga tindakanku cukup jelas buat memberi tahunya kalau aku belum siap buat menerima hal ini.

"Kamu sangat bebal, Senpai. Aku tidak percaya kamu tidak menyadarinya..."

Aku merasakan sesuatu yang menekan punggungku dengan lembut. Napas panas membakar telingaku saat kehangatan dari gunung Iroha yang lembut merembes melalui bahan seragamnya yang tipis. Aku dapat merasakan getaran kecil dan konstan dari bawahnya... ...Apa itu detak jantungnya?

Apa yang sedang Iroha lakukan?

"Apa aku akan melakukan ini kalau aku tidak menyukaimu? Kamu selalu begitu jahat..."

"A-Apa yang kamu rencanakan? Aku tidak akan terpengaruh pada tindakan imut ini!"

"Bagaimana kalau aku memintamu buat berbalik?"

"Ngh!"

"Aku tahu kalau kamu serius dengan masa depanmu. Tetapi kamu melupakan apa yang kamu punya saat ini... ...Ini agak menyakitkan, loh..."

"Iroha..."

"Aku tidak mau kamu pergi... ...Aku mau kamu tinggal bersamaku selamanya. Selama-lamanya..." Suara Iroha bergetar putus asa.

Biasanya, mendengar suara Iroha membuatku langsung sakit kepala. Tetapi sekarang, aku dapat merasakan sesuatu yang bergejolak di dalam hatiku. Sesuatu yang hangat dan menyenangkan.

Apa Iroha seriusan? Setelah sekian lama... ...Apa Iroha benar-benar merasa kayak gini...

"Cuma bercanda! Kena kamu, bukan?! Aku selalu mau melakukan itu, loh? Kayak sebuah pernyataan cinta yang sangat serius buat membuat jantungmu berdebar-debar! Reaksimu juga sangat imut! Bagaimana menurutmu?!" Iroha berhenti sejenak buat menunggu jawabanku, tetapi aku tidak memberikannya. "Uh, aku paham! Kamu terlalu malu, ya? Kamu juga sangat merah, sampai ke telingamu! Aku tidak dapat menerimanya! Kamu terlalu menggemaskan!"

Iroha masih menempel di punggungku, tinjunya menancap di perutku sambil tertawa terbahak-bahak.

Namun, Iroha itu memang benar. Wajahku memang memerah.

Memerah karena amarah!

"Aku tidak akan pernah mempercayai kata lain yang keluar dari mulutmu, s*alan!"

"Ah-oh! Mesti meluncur!" Jerit Iroha.

Cuma butuh waktu <30 menit buat menjatuhkanku dengan tipuan licik Iroha.

Aku bersumpah pada diriku sendiri kalau lain kali, aku tidak akan tertipu oleh omong kosong Iroha.

***

"Apa yang Iroha pikirkan saat muncul di ruang kelas kayak gitu?!"

"Kayaknya Iroha benar-benar menyukaimu."

"Bang, apa kamu buta?!"

"Tidak, kok, tetapi kamu yang buta. Kamu tahu kalau ruang kelas kita ada di lantai yang berbeda dengan ruang kelas Iroha? Itulah dedikasi di sana. Kamu benar-benar berpikir kalau Iroha akan datang sejauh itu buat seorang cowok yang tidak dapat memberikan dua teriakan?"

"Tentu saja, Iroha memberikan teriakan soalku, tetapi itu teriakan kebencian!"

"Kamu sangat keras kepala. Aku yakin kalau Iroha menyukaimu! Kamu terlalu memikirkan dirimu sendiri, sungguh."

"Diamlah. Kalau Iroha memberikan pernyataan cinta yang tepat, mungkin aku akan percaya kalau dia menyukaiku."

"Terserahlah, Bang. Aku akan senang asalkan kalian berdua tetap akur."

Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F

←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama