Bab 1Pertemuan Kembali Teman Lama
(TL Note: Ini merupakan versi baru terjemahkan kami dengan sumber terjemahan yang baru, dan tidak seperti sebelumnya, ini akan jadi 1 bagian.)
Dan sekarang, di masa sekarang.
Hayato berdiri di depan sebuah bangunan besar di kota, berjam-jam jauhnya dari pedesaan pegunungan.
"Ini sangat besar..."
Hayato menghela napas saat melihat SMA di depannya. Dibandingkan dengan sekolahnya yang tua, kumuh, bocor, dan berstruktur kayu berlantai satu di pedesaan, bangunan beton bertiang tiga lantai yang masih asli dan putih di depannya jauh lebih besar dan lebih bersih, hampir membuat kepalanya pusing.
Dalam sebuah tindakan pelarian kecil, Hayato mendapati dirinya mengenang masa lalu.
Terlepas dari itu, Hayato tidak dapat membiarkan dirinya kewalahan, jadi ia menegakkan badannya dan menuju ke ruang staf. Tampaknya berbagai prosedur yang membosankan buat seorang siswa baru sudah diurus, dan setelah itu, ia langsung masuk ke ruang kelas bersama Wali Kelasnya.
Di atas pintu terdapat plakat bertuliskan "X-A". Kayaknya ini merupakan ruang kelas Hayato mulai hari ini.
Saat Hayato mengayunkan pintu, ia merasakan tatapan penasaran menusuknya dari pintu masuk, membuatnya tegang sejenak.
Itulah reaksi yang wajar, tentu saja; ada lebih banyak orang yang berkumpul di satu ruangan di sini ketimbang di seluruh sekolahnya di pedesaan.
"A-Aku Kirishima Hayato. Aku itu orang desa yang berasal dari tempat bernama Tsukinose, di mana kalian akan bertemu dengan monyet, rusa, dan babi hutan di jalan. Aku akan sangat menghargai kalian semua dapat memperkenalkanku pada kota ini... ...kalau boleh?"
Itu memang perkenalan yang agak mencela diri sendiri. Hal itu tidak mengundang tawa yang meriah, melainkan menerima tanggapan positif yang halus dengan tawa yang bertebaran. Hayato telah mempraktikkan sapaan ini beberapa kali selama beberapa hari terakhir.
Fiuh, itu berjalan dengan lancar.
Reaksi awal teman-teman sekelas Hayato soal dirinya pada hari pertama di sekolah barunya berjalan lancar, dan ia bernapas lega.
Pindah dari pedesaan ke kota, khususnya pada pertengahan Bulan Juni, memang agak meresahkan, sehingga Hayato mau tidak mau, merasa gelisah.
Meskipun begitu, Hayato juga merasakan kegembiraan.
Orang yang Hayato janjikan buat bertemu kembali di masa kecilnya — Nikaidou Haruki, telah pindah ke kota yang sama. Ada kemungkinan buat bertemu kembali, dan berharap mereka akan bertemu kembali. Bayangan teman masa kecilnya yang muncul dalam ingatannya, membuatnya tersenyum dalam hati.
"Mengenai bangkumu... ...coba kita lihat, apa bangku di sebelah Nikaidou masih kosong?"
"Nikai — eh?"
"Iya."
Seorang siswi mengangkat tangannya seakan-akan buat mengidentifikasi keberadaannya.
Dia itu seorang cewek yang sangat cantik.
Dia punya mata yang besar dan bulat serta rambut panjang yang dikepang rapi dan tergerai di setiap sisinya, menghadap ke arah Hayato dan tersenyum lembut, dia tampak menawan bagaikan bunga yang sedang mekar. Dia dengan sempurna mewujudkan citra Yamato Nadeshiko yang pendiam dan rendah hati — seorang cewek yang polos dan cantik.
Hayato yang terpana oleh kecantikannya, pemandangan yang langka di kota pedesaan Tsukinose, cuma dapat kepikiran, "Ah, cewek ini punya nama belakang yang sama dengan cowok itu."
Si pembuat onar itu. Kalau ia berada di kelas yang sama dengan Hayato atau semacamnya, ia mungkin akan bilang, "Punya nama belakang yang sama itu kayak takdir, bukan?"
Dengan pemikiran itu, Hayato tidak bisa menahan tawa, saat tawanya tumpah dan bergema di tenggorokannya.
"Senang bertemu denganmu, Nikaidou-san."
Menanggapi sapaan Hayato, Nikaidou mengerjap kaget sejenak, sebelum dengan cepat mengubah ekspresinya jadi senyuman nakal namun menawan.
"Senang bertemu denganmu juga, Kirishima-kun."
...Eh?
Karena beberapa alasan, Hayato merasakan sebuah nostalgia saat ia menatap Nikaidou dengan mata sipit.
—Hmm? Sekarang apa yang membuat Hayato merasa nostalgia?
Hayato cuma dapat memiringkan kepalanya dalam kebingungan, tetapi ia tidak diberi waktu buat merenung karena teman-teman sekelasnya segera membombardirnya dengan pertanyaan.
"Hei, Kirishima-kun, apa yang kamu bilang dalam perkenalan dirimu itu benar?"
"Seberapa terpencilkah kampung halamanmu? Sampai-sampai bertemu rusa dan monyet di jalan...? Seriusan?"
"Dan kok kamu bisa datang ke sini dari tempat kayak gitu?"
Segera setelah sesi Pembinaan Wali Kelas yang singkat itu berakhir, Hayato mendapati dirinya dikelilingi oleh teman-teman sekelasnya, mengalami apa yang cuma dapat digambarkan sebagai pembaptisan pertanyaan buat seorang siswa pindahan.
"Ah, Ayah tiba-tiba dipindahtugaskan, jadi kami mesti pindah. Tsukinose cukup bergunung-gunung dan cuma ada empat bus yang beroperasi dalam sehari. Juga ada lebih banyak hewan ternak ketimbang orang... ...dan jujur saja, selain ayam dan domba, aku belum pernah dikelilingi oleh begitu banyak orang kayak gini sebelumnya, jadi ini cukup membuatku kewalahan."
Sambil mengangkat bahunya saat menjelaskan, Hayato disambut dengan tawa dari sekelilingnya, dengan reaksi kayak "Apa?" "Seriusan?" dan "Itu lucu sekali."
Itulah kesan yang cukup baik. Hayato tidak dapat menahan napas lega. Tampaknya teman-teman sekelasnya juga merasakan hal yang sama, karena mereka menganggapnya mudah didekati, dan menumpuk lebih banyak pertanyaan.
"Apa kamu punya pacar di sana atau tidak?"
"Bahkan tidak ada cewek seusiaku."
"Bagaimana dengan teman-teman? Bagaimana kamu menghabiskan waktumu?"
"Aku lebih sering bermain gim sendirian atau membantu di ladang... ...Ah, tetapi ada satu orang. Kami sangat dekat. Kami saling mendorong satu sama lain dari jembatan ke sungai, atau memanjat pohon di pegunungan dan lalu terjebak dan jatuh bersama... ...Ah, dia bukan benar-benar seorang teman, lebih kayak siluman monyet atau semacamnya, aku rasa—"
Hayato berbicara, mengingat kembali kenangan soal sahabat masa kecilnya, Haruki. Kenangan yang dipenuhi dengan diseret dan diombang-ambingkan. Kenangan yang tidak terlalu asyik, bisa dibilang begitu. Namun, tidak dapat disangkal, kenangan itu juga asyik. Bahkan sekarang, cuma dengan mengingatnya kembali saja, ia sudah dapat tersenyum.
*Tik!*
"Eh?"
"...Ah"
Karena beberapa alasan, Hayato tiba-tiba terganggu oleh suara sesuatu yang membentak dari bangku sebelah. Semua orang secara alami mengalihkan pandangan mereka ke arah itu.
Sumber suara itu yaitu Nikaidou yang duduk di bangku sebelahnya.
Di tangan Nikaidou ada sebuah pensil mekanik yang patah jadi dua.
Dia juga tampak terkejut.
Cewek cantik nan anggun kayak Nikaidou dan pensil mekanik yang patah. Mengingat kombinasi yang aneh, tidak heran perhatian semua orang beralih dari bertanya pada Hayato pada Nikaidou.
"Nikaidou-san?"
"Hah, mengapa aku melakukan itu...?"
"Apa kamu baik-baik saja? Apa kamu terluka?"
"Ah, haha. Iya, aku baik-baik saja. Kayaknya pensil ini rusak."
Di bawah pengawasan kayak gitu, Nikaidou buru-buru memberikan alasan dengan ekspresi yang agak canggung di wajahnya. Seakan-akan berusaha menutupinya, dia lalu menoleh pada Hayato dengan sedikit celaan dalam ekspresinya.
"Kamu berbicara cukup kasar pada seseorang yang kamu anggap sebagai teman baik."
"Haha, iya, itu karena dia itu teman baikku."
"...Heh? Benarkah begitu?"
Saat Hayato menjawab, memikirkan Haruki, Nikaidou cuma memalingkan wajahnya dengan agak cemberut.
⋆⋅☆⋅⋆
Rupanya, tanggapan Hayato tadi tidak memadai.
Kayak yang terjadi di seluruh kelas, Hayato merasakan suasana yang agak tidak puas, yang berasal dari cewek cantik di bangku sebelahnya.
Mungkin ini memang kesalahpahaman — Namun setiap kali mata mereka bertemu, Nikaidou dengan cepat mengalihkan pandangannya, menunjukkan hal yang sebaliknya.
Apa yang mesti aku lakukan...?
Meskipun begitu, jam pelajaran tetap berjalan tanpa menghiraukan kegalauan Hayato.
Tentu saja, pelajarannya berbeda dengan pelajaran di sekolah sebelumnya. Meskipun begitu, Hayato bertekad agar tidak ketinggalan dan memaksakan diri buat mendengarkan. Meskipun begitu, ada kalanya materi pelajaran di luar pemahamannya.
"Maaf, bisakah kamu memberikan selebaran yang tadi?"
"..."
Maknanya, ada kalanya Hayato tidak dapat menghindari ketergantungan pada Nikaidou buat bahan pelajaran dan semacamnya. Suka atau tidak suka, Hayato mendapati dirinya sadar akan hal itu.
"Ah, eum..."
"...Ini. Bukannya akan lebih mudah kalau kamu mendekatkan mejamu?"
"Ah, terima kasih."
"Sama-sama."
Untungnya, Nikaidou tampak bersedia buat membantu, jadi itu tidak tampak kayak Hayato benar-benar dibenci.... ...Malahan, Nikaidou kayaknya cuma merajuk.
Hayato tidak begitu memahami Nikaidou.
—Euh, kalau itu adikku, Himeko, yang sedang kita bicarakan, memberinya beberapa permen akan cukup buat menghiburnya...
Sebagai anak kampung, Hayato cuma punya sedikit teman sebaya, khususnya yang berlainan jenis kelamin. Selain adiknya, cuma ada seorang cewek lain yang sebaya dengannya di kotanya. Namun, entah mengapa, cewek itu sering menghindar dari Hayato, dan mereka jarang berinteraksi.
Bahkan Hayato merasa tidak dapat menyamakan cewek yang saat ini duduk di sebelahnya dengan adiknya.
Memutuskan akan lebih cepat kalau bertanya langsung, Hayato memutuskan buat berbicara dengan Nikaidou saat istirahat berikutnya.
"Eum, Nikaidou—"
"Hei, Kirishima, soal pertanyaanku tadi pagi—"
"Ah, iya, ada sesuatu yang membuatku penasaran!"
"Soal kehidupanmu di sana—"
Namun, hal itu pun terputus oleh pertanyaan teman-teman sekelas Hayato.
Karena mereka sudah mulai terbiasa dengan sekolah dan mulai merasa bosan dengan rutinitas sehari-hari yang sama, Hayato jadi target yang empuk buat hiburan mereka. Mereka tidak akan membiarkan kesempatan itu berlalu begitu saja.
"...Fiuh."
Nikaidou menghela napas dengan jengkel saat dia melihat Hayato dibombardir oleh teman-teman sekelasnya.
Serangan pertanyaan terus berlanjut setiap kali istirahat, dan akhirnya, jam makan siang tiba tanpa Hayato punya kesempatan buat berbicara dengan Nikaidou.
Tentu saja, saat waktu makan siang tiba, tampaknya semua orang lebih memprioritaskan makan ketimbang Hayato. Kelompok-kelompok dibentuk di mana-mana, dengan siswa-siswi menyebarkan kotak bekal mereka. Inilah kesempatan Hayato.
—Entah bagaimana caranya, aku mesti berbicara dengan Nikaidou.
Ini mungkin bukan masalah besar, tetapi ada sesuatu yang mengganggu Hayato. Hayato mau menjelaskannya kalau bisa, dan Nikaidou cukup imut. Hayato juga tidak mau tidak disukai oleh Nikaidou sebagai cowok yang sehat.
"Permisi, Nikaidou-san—"
"—Maaf, apa Nikaidou-san ada di sini!?"
"Ah, iya. Aku ada di sini."
Sekali lagi, Hayato gagal.
Kali ini, Nikaidou dipanggil oleh seorang cewek mungil dan meninggalkan ruang kelas.
Tangan Hayato yang terulur dan kata-katanya menggantung di udara kosong.
Melihat Hayato kayak gitu, beberapa siswa cowok mendekatinya sambil tersenyum dan menepuk pundaknya.
"Haha, kamu cepat sekali mengincar Nikaidou-san, anak baru. Aku paham bagaimana perasaanmu."
"Iya, iya, dia itu bukan cuma cantik, tetapi dia juga baik hati dan pintar. Dan dia juga populer di ekskul olahraga."
"Bahkan sekarang, aku menebak kalau dia dipanggil oleh OSIS atau beberapa ekskul, bukan?"
"Aku rasa begitu, tetapi tetap saja, mengesankan."
Dari apa yang mereka bilang, Nikaidou tampak kayak siswi yang sempurna.
Memang benar, Nikaidou itu memang cantik.
Dan dengan kemampuan akademis dan atletisnya, serta kepribadiannya yang rendah hati dan lembut, orang akan penasaran, apa lagi yang dianugerahkan oleh langit pada Nikaidou. Sungguh mengesankan melihat karakter yang langsung keluar dari manga atau anime benar-benar ada di kota.
—Meskipun, dia benar-benar berbeda dari Nikaidou yang lain... ...Tunggu, mereka punya jenis kelamin yang berbeda.
Saat Hayato memikirkan hal itu, ia tidak dapat menahan tawa kecut.
"Tidak apa-apa buat mengincar yang tinggi, tetapi Nikaidou di luar jangkauanmu, Bang."
"Kayaknya Nikaidou cukup populer bahkan di SMP, tetapi aku belum pernah mendengar ada orang yang mendekatinya... ...Ah, hei, bukannya kamu mencoba buat mendekatinya tadi, tetapi dia benar-benar mengabaikanmu?"
"Mustahil! Pokoknya, cowok baru — Kirishima, jangan punya ide yang aneh-aneh."
"Aku tidak pernah bermaksud kayak gitu sejak awal..."
Kayak yang diduga, Nikaidou tampaknya cukup populer.
Meskipun digoda, Hayato tidak punya keinginan buat berpacaran dengan Nikaidou atau semacamnya. Hayato memang kepikiran kalau Nikaidou itu imut, dan itu tidak dapat ia sangkal. Namun, mereka baru saja ketemuan hari ini, dan Hayato belum mengenal Nikaidou dengan cukup baik buat membentuk opini di luar itu.
Mungkin juga begitu halnya dengan Nikaidou.
Makanya hal itu semakin membingungkan.
Mengapa Nikaidou mengeluarkan suasana jengkel dan menunjukkan ketidakpedulian pada seseorang yang baru saja dia temui?
"Hmm, aku tidak paham."
Tidak peduli seberapa keras Hayato memutar otaknya, ia tidak dapat menemukan jawabannya.
Satu-satunya perasaan yang semakin kuat seiring dengan keraguan Hayato yaitu urgensi buat segera berbicara dengan Nikaidou.
Dikelilingi oleh banyak orang sejak pagi juga melelahkan buat Hayato.
Ada banyak orang di sini, sama banyaknya kayak saat festival di kampung halaman Hayato...
Meskipun Hayato diajak buat makan siang bareng oleh beberapa cowok di kelas, ia menolaknya, dan memilih meninggalkan kelas buat melihat-lihat koperasi sekolah.
"Euh..."
Tiba di koperasi sekolah sedikit lebih lambat dari yang lainnya, Hayato terkejut oleh puncak keramaian yang ramai, yang tidak sebanding dengan kesunyian ruang kelas.
...Aku mungkin mesti mulai menyiapkan bekalku sendiri mulai besok.
Hayato menghela napas saat ia berhasil mengambil sebuah koppepan dengan margarin. Rasanya tidak terlalu beraroma, tetapi cukup buat seorang remaja yang sedang tumbuh.
(TL Note: Mirip dengan roti sosis, koppepan merupakan jenis roti Jepang yang sering diisi dengan semacam isian.)
Hayato mau mencari tempat yang tenang buat makan — paling tidak buat saat ini. Dengan mengingat hal itu, Hayato berkeliling di sekitar gedung sekolah buat mencari tempat di mana ia dapat menyendiri.
Meskipun begitu, Hayato tidak dapat menemukan tempat kayak gitu.
Berpikir kalau mungkin tidak ada orang di sana, Hayato bahkan berkeliling ke bagian belakang gedung sekolah, tetapi tampaknya ada seorang siswi di sana yang belum Hayato kenal.
"Hmm? Apa itu...?"
Saat Hayato hendak pergi, ia melihat sesuatu yang sangat familiar. Itulah sesuatu yang tidak mestinya ia lihat di kota, yang semakin menarik minatnya.
Selain itu, cewek mungil dengan rambut keriting yang bergerak di depan mereka mengingatkan Hayato pada sesuatu.
Jadi, meskipun merasa tidak pada tempatnya, Hayato tetap tertarik ke arah cewek itu.
"Euh, kayaknya tidak tumbuh dengan baik... ...Apa pupuknya jelek? Atau mungkin—"
"Apa itu zukini?"
"Hyah!?"
"Ah, maaf karena mengejutkanmu. Tetapi bunga-bunga kuning itu punya zukini, bukan? Dan yang ungu di sebelahnya itu terung, dan yang putih itu bunga paprika shishito... ...Apa itu juga tanaman jagung?"
"Apa—!? I-Iya, itu benar, kamu memang benar!"
Cewek itu sedang merawat hamparan bunga.
Dikelilingi oleh batu bata dengan bentuk yang panjang dan sempit, karena beberapa alasan, tanah ditumpuk ke arah tengah, menciptakan punggung bukit, di mana sayuran ditanam di sana.
Hayato bukanlah tipe orang yang aktif berbicara dengan cewek-cewek, apalagi yang baru ia kenal.
Kalau tidak ada alasan buat berbicara dengan mereka, tidak kayak dengan Nikaidou, Hayato akan berlalu begitu saja, tidak yakin apa yang mesti dibilang.
Namun, secara tidak sengaja, Hayato akhirnya angkat bicara.
"Apa mereka diserbuki? Zukini tidak akan tumbuh besar kecuali kamu menyerbuki bunga betina."
"Eh... ...Ah!"
"Buat terung, ada baiknya memangkas bunga yang berlebih, dan buat paprika shishito, membuang beberapa cabang akan membantu mereka menghasilkan lebih banyak buah."
"Euh..."
Cewek itu, terdorong oleh nasihat Hayato, buru-buru mengambil buku catatan dari saku roknya dan membolak-baliknya. Saat cewek itu mengalihkan pandangannya antara hamparan bunga dan buku catatannya, wajahnya dengan cepat memerah.
Ngomong-ngomong, wawasan Hayato cuma hal-hal dasar yang secara alami akan dipelajari oleh setiap anak setelah secara teratur membantu di ladang di pedesaan. Tidak ada yang perlu dibanggakan.
"Ka-Kamu benar-benar tahu soal hal ini."
"Aku dulu sering membantu di ladang di pedesaan... ...Apa ini buat Ekskul Berkebun atau semacamnya?"
"I-Iya, ini memang buat Ekskul Berkebun."
"Ekskul Berkebun, ya? Tetapi kamu menanam sayuran?"
"Eh... ...Apa itu aneh?"
"Tidak, menurutku itu keren. Maksudku, bahkan tomat pun awalnya ditanam buat tujuan ornamen, bukan? Dan bunga-bunga dari sayuran tertentu juga dapat jadi cantik."
"...!"
Memang benar, buat Hayato, bunga sayuran yang menandakan dimulainya musim panen, lebih akrab dan disukai ketimbang yang tampak di toko bunga.
—Saat aku membantu di ladang, aku biasa mendapatkan uang saku sebagai upah.
Saat Hayato kepikiran hal-hal kayak gitu, ia tertawa kecil dan menjawab, mengejutkan cewek itu dengan responsnya, karena cewek itu berkedip cepat dan jadi bingung.
Reaksi cewek itu agak mengingatkan pada seekor binatang kecil, menyebabkan Hayato tersenyum lebih lebar.
"...Apa yang sedang kamu lakukan?"
Tiba-tiba, sebuah suara, agak bernada kesal dan disertai dengan tatapan dingin, datang dari belakang.
"Mitake-san, pupuk yang kamu minta sudah sampai di Gedung Ekskul."
"Hah? Ah, iya! Aku akan segera pergi ke sana. Terima kasih, Nikaidou-san!"
"Ah, eum... ...Nikaidou-san."
Orang yang menghampiri mereka itu cewek cantik yang duduk di sebelahnya di kelas — Nikaidou.
Segera setelah Mitake mendengar apa yang Nikaidou bilang, cewek dari Ekskul Berkebun itu berlari keluar dari area tersebut seakan-akan di atas mata air.
Setelah mereka berdua melihat kepergian Mitake, Nikaidou meletakkan tangannya di pinggulnya, memelototi Hayato dengan mata menyipit, dan mencondongkan tubuhnya mendekat pada Hayato.
"Jadi, mengincar cewek-cewek di hari pertamamu di sini? Jujur saja, apa itu tipe yang kamu sukai, Kirishima-kun?"
"Ti-Tidak, tidak kayak gitu..."
Saat wajah Nikaidou yang terstruktur tanpa cela semakin mendekat, Hayato tidak dapat menahan perasaan gugup. Bukan cuma itu, kehadiran Nikaidou yang mengintimidasi membuat Hayato secara alami melangkah mundur.
Kata-kata Nikaidou yang akrab dan sikapnya yang santai, seakan-akan membuang wajahnya yang biasanya dia pasang, cuma menambah kebingungan Hayato, mengintensifkan rasa tidak nyamannya.
"Mengincar? Tidak, aku cuma kepikiran kalau dia tampak mirip kayak..."
"Tampak mirip kayak? Kayak siapa?"
"...Domba-domba dari peternakan Kakek Gen."
"Ah, domba yang kita pelihara buat memakan rumput liar, tetapi dimarahi karena mereka cuma tertarik pada bibit sayuran, mereka yang mengembik itu?"
"Ah, iya, dia punya rambut keriting dan sikapnya yang lembut, jadi saat aku melihatnya berkeliaran di sekitar sayuran itu, aku langsung — Aduh!"
"Heh... ...hahahaha!"
Tanpa peringatan, seakan-akan bendungan telah jebol, Nikaidou tertawa terbahak-bahak, lalu mulai menepuk-nepuk punggung Hayato dengan kuat.
"Astaga, buat berpikir kalau kamu akan memanggilnya cuma karena dia mengingatkanmu pada domba-domba Kakek Gen, kamu mengerikan, Hayato."
"Aduh, hei, biarkan aku bicara dulu, oke, Haru... ...ki...?"
Entah mengapa, nama itu keluar dari mulut Hayato. Meskipun nada Hayato di akhir kalimat tidak diragukan lagi merupakan nada bertanya. Hayato tidak bisa paham mengapa ia bilang hal kayak gitu. Dengan pikiran bingung, Hayato mendapati dirinya menatap Haruki dengan saksama.
"Ah, Nikaidou-san, kamu di sini! Bolehkah aku berbicara denganmu?"
Saat itu, seorang siswi yang kayaknya ada yang mau dibicarakan dengan Haruki datang dan memanggilnya.
"Iya, ada apa?"
"Hei, tunggu!"
Dan Nikaidou sekali lagi membetulkan kembali wajahnya.
"Ssst..."
Lalu, saat Haruki pergi, dia berbalik ke arah mereka, menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya seakan-akan mengisyaratkan kerahasiaan, dan menyeringai nakal.
"...Apa-apaan ini?"
Berbagai pikiran berkecamuk di benak Hayato, dan kekacauan batin Hayato semakin meningkat.
—Haruki, ya...?
Sepanjang kelas siang itu, Hayato cuma dapat memikirkannya —dan Haruki.
Teman masa kecil Hayato yang biasa ia ajak berlari mengelilingi bukit dan ladang di pedesaan pegunungan Tsukinose.
Ah, kalau dipikir-pikir.
"Aku dapat satu! Aku juga dapat satu, Hayato!"
"Oke, oke, berhenti memukulku!"
Sama kayak sebelumnya, Hayato ingat bagaimana Haruki punya kebiasaan memukul punggungnya dengan penuh semangat. Kalau pertukaran kata-kata mereka dan perilakunya cocok dengan Haruki saat itu, tidak masuk akal kalau Hayato secara tidak sengaja memanggilnya "Haruki." Itu memang sesuatu yang tertanam kuat di dalam hati Hayato.
—...Apa Nikaidou-san, Haruki?
Kalau dia tidak terlalu akrab dengan pegunungan pedesaan Tsukinose, dan kalau dia bukan penduduk setempat, dia tidak akan tahu soal Kakek Gen.
Hayato mengamati Nikaidou Haruki dengan mata menyipit.
Masih sulit dipercaya kalau cewek yang duduk di sebelah Hayato, yang begitu halus dan tampak tenang, mungkin merupakan teman masa kecilnya yang nakal yang menyerupai monyet iblis dari ingatannya.
"...Astaga!"
"...!?"
Menyadari tatapan skeptis Hayato, Haruki menjentikkan penghapus ke dahi Hayato. Itu memang tidak sakit, tetapi Hayato terkejut dengan tingkah Haruki yang agak kekanak-kanakan.
—Apa Haruki masih kecil!?
Nikaidou Haruki — Haruki, puas dengan ekspresi terkejut Hayato, mendengus dan berbalik pergi. Saat Haruki melakukannya, ujung lidah merah mudanya menjulur keluar sejenak, seakan-akan memprotes perbandingan Hayato yang membandingkan teman masa kecilnya dengan monyet iblis.
Tanpa Hayato sadari, hari pertama belajar di sekolah barunya telah berakhir. Ruang kelas dengan cepat kembali riuh, dan siswa-siswi pun terbebas dari rasa bosan. Langit bulan Juni, mendekati titik balik mentari di musim panas, membentang biru tanpa henti, bersikeras pada kecerahan. Cuaca yang sempurna buat jalan-jalan dan bersenang-senang.
"Hei, Kirishima, kita semua akan pergi ke karaoke sekarang, mau bergabung?"
"Iya, anggap saja ini pesta penyambutan, jadi kita yang traktir!"
"Aku penasaran lagu apa yang akan dinyanyikan oleh siswa pindahan."
"Eum, aku..."
Hayato mendapati dirinya dikelilingi oleh sekelompok orang yang antusias dan penasaran. Di antara mereka ada beberapa wajah yang telah membombardirnya dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Buat mereka, itu merupakan ajakan yang wajar. Tetapi karena tidak punya interaksi dengan teman-teman seusianya di pedesaan, Hayato ragu-ragu, tidak yakin apa yang mesti dilakukan.
—Ditambah lagi, aku belum pernah pergi ke karaoke sebelumnya...
Saat Hayato ragu-ragu dengan sikap yang tidak pasti, salah satu dari mereka dengan paksa melingkarkan lengan mereka di bahunya dan berusaha menyeretnya pergi.
"Oke, mari kita pergi!"
"Hei, tunggu!"
"Berhenti!"
Namun, sebuah suara yang tajam menyela mereka, menghentikan rencana mereka.
"Eh?"
"Hm?"
"Nikaidou-san...?"
"...Ah."
Terkejut oleh campur tangan yang tidak terduga, mereka semua mengalihkan perhatian mereka padanya — Nikaidou Haruki.
Dan bahkan mungkin Haruki sendiri terkejut oleh teriakan Haruki yang pasti, saat Haruki terbatuk-batuk pelan dan menegakkan badannya.
"Eum, oke, eh, ehem. Tidak, Kirishima-kun tidak dapat pergi. Aku sudah diminta buat memandumu sepulang sekolah, bukan, Kirishima-kun?"
"Eum, iya, aku rasa begitu. Sayang sekali. Tetapi, aku iri karena kamu bisa bergaul dengan Nikaidou-san!"
"Eh? Tidak, Nikaidou-san...!"
Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, Haruki tiba-tiba meraih tas Hayato dan menariknya secara paksa. Kekuatan yang Haruki gunakan buat menarik Hayato ternyata sangat kuat mengingat lengannya yang ramping, sehingga Hayato tidak punya pilihan lain selain mengikuti Haruki. Malahan, Hayato lebih banyak diseret ketimbang dituntun.
Maka, tanpa repot-repot menuntun Hayato mengelilingi gedung sekolah, Haruki langsung membawa Hayato ke pintu masuk dan keluar ke jalanan di luar.
"Hei, mau dibawa ke mana aku?"
"Tidak usah khawatir, tidak usah khawatir!"
Hayato, diseret oleh Haruki, bergegas melewati area perumahan.
Buat orang yang melihatnya, akan tampak kayak seorang cewek cantik yang secara paksa menyeret Hayato.
Merasakan campuran rasa malu dan malu, wajah Hayato memerah.
Tetapi Haruki tidak mempedulikannya dan terus melangkah maju.
Namun, hal itu juga mengingatkan Hayato pada masa kecil mereka.
—Haha! ...Tidak ada yang berubah sama sekali!
Buat Hayato, satu-satunya perbedaan yaitu menendang aspal dan bukannya jalan tanah dan tanggul.
"Aku tidak tahu ke mana arah tujuan kita, tetapi kamu lambat."
"Hah!?"
Sama kayak saat itu, Hayato berusaha mendahului Haruki dengan langkah cepat.
Dan kayak saat itu, Haruki mempercepat langkahnya buat mengimbangi.
Hayato melesat ke depan, Haruki pun melesat ke depan, menyalip dan disalip dalam lari cepat dengan kecepatan penuh. Mereka berdua tersenyum berani, tangan mereka masih tergenggam.
"Aha!"
"Haha!"
Hayato tidak paham mengapa.
Tetapi berlari bersama, itu saja sudah membuatnya senang.
Mengingat kembali berbagai peristiwa dan emosi di masa lalu, Hayato secara paksa diingatkan kalau cewek di depannya itu memang Haruki.
Meskipun penampilan Haruki mungkin telah berubah selama bertahun-tahun, ada sesuatu yang tidak dapat disangkal tidak berubah — sesuatu yang anehnya membuat Hayato bahagia.
"Oke, kita sudah sampai. Ini dia."
"Hah, di sini...?"
Itulah sebuah rumah biasa-biasa saja di daerah perumahan. Tidak ada yang menonjol dari rumah itu.
Tetapi, Hayato langsung tahu ke mana Haruki membawanya tanpa perlu bertanya.
Lagipula, mengunjungi rumah satu sama lain merupakan sesuatu yang sering mereka lakukan di masa lalu.
"Hm? Ada apa, Hayato?"
"...Tidak ada apa-apa."
Meskipun rambut panjang Haruki tergerai di punggungnya, tangannya yang sedikit dingin dan mungil, dan wajahnya yang sekarang berbeda, wajah yang cantik, Hayato tidak dapat menahan perasaan sedikit enggan saat Haruki berbalik padanya dengan senyuman ceria.
Tetapi, kalau Hayato pergi sekarang, ia merasa kayak mengakui kekalahan dengan cara yang kekanak-kanakan — jadi, dengan perasaan yang tidak dewasa, Hayato bergumam, "Permisi, maaf mengganggu."
"Tidak usah khawatir soal itu. Cuma ada aku di sini, jadi kamu tidak perlu menahan diri."
"...Benarkah?"
Saat Hayato dengan gugup mengumumkan kehadirannya di rumah Haruki, Haruki menanggapi dengan kata-kata biasa seakan-akan tidak ada hal yang aneh yang terjadi.
Penampilan Haruki saat ini merupakan seorang cewek muda yang benar-benar sopan dan cantik. Diperlakukan dengan reaksi langsung yang sama kayak saat mereka masih kecil membuat Hayato merasa agak bingung.
Sewaktu Saito sedang memikirkan hal ini, tiba-tiba Haruki berseru, "Ah!" seakan-akan ia menyadari sesuatu.
"Tunggu di sana! Jangan bergerak! Oke!?"
"Oi!"
Bergegas menaiki tangga dengan panik, Hayato mendengar suara-suara menggeledah dan menabrak yang bergema dari kamar Haruki.
Haruki pasti sedang merapikannya.
"...Seriusan, apa yang mesti aku lakukan?"
Tertinggal di pintu masuk rumah orang lain, Hayato cuma dapat menghela napas.
Dan bukan cuma itu, karena Haruki tergesa-gesa, Hayato melihat sekilas pakaian dalam bergaya bokser dari balik rok Haruki, tanpa daya tarik seks apapun. Perasaan bersalah yang aneh melanda Hayato.
"Maaf menunggu!"
"...Heh?"
Setelah mengatur napasnya, Haruki mengajak Hayato masuk ke dalam kamarnya. Kayaknya Haruki baru saja memasukkan semuanya ke dalam lemari, tetapi sekilas, kamarnya tampak rapi.
Perabotan berwarna hitam atau cokelat tua, rak buku yang dipenuhi dengan manga, patung-patung plastik, dan berbagai konsol gim — inilah kamar yang jelas-jelas punya Haruki yang sudah lebih dewasa.
Kalau bukan karena cermin dan kosmetik mekap yang diletakkan begitu saja di atas mejanya, kamar Hayato tidak akan jauh berbeda.
"Anggap saja rumah sendiri... ...Duduklah."
"Ah. Eh, Haruki?"
"Hmm? Mengapa kamu tidak melepas kaus kakimu juga? Ini panas, bukan?"
(TL Note: Buat orang Jepang, melepaskan alas kaki di dalam rumah adalah suatu bentuk tata krama dalam bertamu, namun tidak dengan melepas kaus kaki, melepaskan kaus kaki justru menunjukkan sikap ketidaksopanan.)
"...Iya, tetapi..."
Saat Haruki melemparkan bantal ke arah Hayato, Haruki tiba-tiba mulai melepas kaus kakinya. Tidak kayak di masa lalu, pemandangan tidak terduga dari kaki Haruki yang berbentuk bagus, putih, dan feminim membuat Hayato kebingungan, meskipun Hayato tahu orang di depannya itu Haruki.
Dengan gedebuk, Haruki duduk dengan penuh semangat di atas bantal di sebelah Hayato. Sebelum Hayato menyadarinya, Haruki telah menyilangkan kakinya dan, sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekat ke arah Hayato. Tidak diragukan lagi, sikap Haruki pasti tumpang-tindih dengan Haruki saat itu.
Dan karena itu, daya pikat Haruki entah bagaimana menghilang, dan sebuah tawa kecil menggelegak di tenggorokan Hayato.
Tetapi Haruki, menatap Hayato kayak gitu, punya tatapan mencela di matanya.
"Jadi, siapa yang kamu sebut monyet iblis?"
"Itu, begini..."
Kayaknya Haruki memegang kata-kata Hayato dari pagi tadi. Bukan cuma serius, tetapi Haruki juga tampak agak cemberut.
Tetapi dengan bibir cemberut dan tatapan Haruki yang tajam, Hayato tidak dapat menahan keringat yang keluar di punggungnya.
"Maafkan aku soal itu. Maafkan aku. Ini, begini... ...Anggap saja ini aku berutang padamu. Karena telah bilang begitu."
"Hmmm? Sebuah "Aku berutang padamu", ya? Okelah kalau begitu."
Puas dengan tanggapan Hayato, Haruki dengan cepat menarik ekspresi tidak senangnya. Lalu, Haruki menggumamkan kalimat 'Aku berutang padamu' seakan-akan menikmatinya dan mulai menyeringai.
'Aku berutang padamu' punya makna khusus buat mereka berdua. Itulah sesuatu, atau bantuan, yang diberikan oleh satu pihak pada pihak lain, yang tidak akan pernah dilunasi atau membuat penerimanya dianggap berutang. Itulah aturan yang cuma ada di antara Hayato dan Haruki.
"Ah, 'Aku berutang padamu' membawa kembali kenangan, bukan? Aku penasaran berapa banyak utangmu padaku, Hayato?"
"Itulah kalimatku. Aku yakin kamu juga berutang banyak padaku, Haruki."
"Haha, itu pasti."
"...Pfft."
"...Aha."
Mereka berdua saling bertukar pandang dan tertawa terbahak-bahak.
Dalam suasana ini, Hayato mengungkit sesuatu yang telah ada dalam benaknya.
"Bukannya ini agak tidak adil, Haruki?"
"Maksudmu wajahku?"
Yang dimaksud Hayato itu penampilan Haruki, yang jauh dari citra tomboi yang dia punya sebelumnya. Sayangnya, sifat asli Haruki kini telah muncul, dan dia duduk bersila, tanpa malu-malu memperlihatkan kakinya yang telanjang.
"Iya, ada alasan buat itu, dan mengapa aku menyamar kayak gini."*
(TL Note: Haruki bukan Trap ya, guys. Jadi tenang saja.)
"Menyamar, ya? Itu masih tampak agak misterius—"
"Hayato!"
"Haha, maaf. Anggap saja ini aku berutang padamu yang lain."
"...Jujur saja, Hayato."
Selama bertahun-tahun, mereka sering bertengkar dan punya perselisihan kecil. Dan setiap kali, mereka akan menyelesaikannya dengan Aku berutang padamu dan membiarkannya begitu saja. Itulah bagian yang terdiri dari tumpukan kenangan mereka.
Itulah kata permintaan maaf yang cuma masuk akal di antara Hayato dan Haruki.
Merasa sedikit jengkel karena Haruki mungkin membaca emosi Hayato lebih jauh lagi, Hayato mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencari topik obrolan. Mata Hayato tertuju pada sesuatu yang bernuansa nostalgia.
"Ah, itu masih ada di sini."
"Aku masih punya peluru gimnya. Mungkin masih ada di sana."
"Betapa nostalgianya."
"Okelah kalau begitu, pertandingan pertama kita setelah sekian lama. Kalau kamu kalah, kamu berutang satu padaku."
"Itu murah."
"Kalau begitu, mari kita buat yang terbaik dari lima."
"Oke."
Mereka sering bermain gim tertentu bersama di konsol tua dari dua generasi yang lalu saat mereka masih kecil. Itulah gim balap gokar dengan karakter yang menyerupai jamur dan kura-kura, dan mereka sangat terobsesi dengan gim itu saat itu.
(TL Note: Mar*o Kart.)
Dan obsesi itu tidak berubah bahkan sampai sekarang.
"Hei, tidak adil! Mengapa kamu menggunakan item itu saat ini?"
"Mungkin karena aku bermain dengan adil akhir-akhir ini?"
"Pembohong! Kamu telah memperlakukanku kayak yokai*!"
(TL Note: Hantu, setan, dan roh Jepang.)
"Haha."
Meskipun baru pertama kali bertemu setelah sekian lama, mereka mendapati diri mereka asyik dengan gim, saling bahu-membahu, tanpa banyak bicara. Ada banyak hal yang mestinya mereka bicarakan, tetapi yang mereka bahas cuma hal-hal yang berkaitan dengan gim di depan mereka.
Tetapi itu sudah cukup.
Mereka merasa seolah-olah jarak di antara mereka, yang telah terbentuk setelah bertahun-tahun, secara bertahap semakin dekat.
Tanpa mereka sadari, sinar mentari di awal musim panas mulai meredup, menandakan kalau sudah cukup lama waktu berlalu.
"Hmm, aku mungkin mesti pulang."
"Ah, iya... ...aku rasa begitu."
Itu memang waktu yang asyik.
Namun waktu itu berlalu begitu cepat.
Dengan akhir yang semakin dekat, mereka tidak dapat tidak merasakan sedikit rasa kesepian yang merayap.
Secara intelektual, mereka paham.
Ada suatu masa saat mereka mengira kalau keasyikan ini akan berlangsung selamanya.
Namun, waktu itu tiba-tiba runtuh.
Dengan wajah kayak anak kecil yang merajuk, Haruki melihat Hayato memakai sepatunya. Hayato dapat merasakan tatapan Haruki. Hayato memahami perasaan Haruki dengan baik karena ia juga merasakan hal yang sama.
Jadi, Hayato berusaha buat berbicara dengan ceria, seakan-akan buat menghilangkan kegelisahan itu.
"Sampai jumpa nanti."
"...Ah."
Itulah salam perpisahan yang biasa mereka ucapkan.
Semua yang mereka rasakan tertuang dalam kata-kata itu. Haruki paham itu.
Jadi, buat Haruki, salam perpisahannya merupakan—
"Iya, sampai jumpa lagi... ...Dan selamat datang kembali!"
"Selamat datang kembali?"
"'Selamat datang kembali' terdengar tepat buatku."
"Haha, apa maksudnya itu?"
Haruki memancarkan senyuman berseri, bagaikan bunga yang sedang mekar. Itulah senyuman paling cerah yang pernah dilihat Hayato sepanjang hari.
⋆⋅☆⋅⋆
Tempat tinggal baru Hayato ada sebuah gedung apartemen berlantai 10 buat keluarga, tidak jauh dari rumah Haruki. Kayak SMA barunya, gedung ini terbuat dari beton bertulang dan sangat kontras dengan rumah kayu satu lantai yang dulu Hayato tinggali.
Pintu masuk gedung apartemen punya sistem penguncian otomatis, sangat berbeda dengan pintu masuk rumah yang terbuka tanpa beban di daerah pedesaan. Banyak sekali perbedaan antara pedesaan dan kota, dan buat menyesuaikan diri, perlu waktu.
"Abang pulang."
"Selamat datang kembali, Abang."
"...Himeko, kamu terlalu mengekspos dirimu sendiri."
"Hmm? Mau lihat?"
"Abang memberi tahumu karena Abang tidak mau melihat."
"Kalau begitu tidak usah dilihat."
"...Astaga."
Di ruang tamu apartemen mereka di lantai enam, Himeko menyambut kepulangan Hayato dengan suara yang tidak antusias.
Himeko punya mata yang indah, rambut yang diwarnai cerah, dengan rambut yang dikeriting longgar, dan rok sekolah yang cukup pendek agar tampak senonoh. Dialah lambang cewek modern yang modis — adiknya Hayato, Himeko.
Meskipun adiknya, Hayato berpikir kalau Himeko cukup imut. Tetapi saat ini, yang Himeko lakukan cuma berbaring malas di sofa, dengan rok pendeknya yang digulung. Bahkan Hayato cuma dapat mengerutkan alis matanya melihat keadaan Himeko yang agak menyedihkan.
—Hah. Jujur saja, baik Haruki maupun Himeko...
Tanpa sadar membandingkan pemandangan teman masa kecilnya tadi dengan keadaan adiknya saat ini, Hayato menghela napas. Mungkin, itu karena Hayato kayak sosok abang buat mereka berdua sehingga ia dapat melihat mereka kayak gini.
Memikirkan hal ini, Hayato tidak dapat menahan rasa jengkelnya.
"Himeko, di mana Ayah?"
"Di rumah sakit. Ayah akan mampir ke tempat Ibu setelah ini."
"Ah, begitu ya. Bagaimana dengan makan malam?"
"Abang, aku mohon. Aku sedang tidak dapat melakukan apa-apa lagi sekarang."
"Oke, oke."
Himeko sibuk mengutak-atik ponsel pintarnya, sesekali mendengus frustrasi. Hayato ingat bagaimana Himeko telah melakukan riset dengan sungguh-sungguh sebelum mereka pindah, tidak mau tampak kayak orang kampungan. Tentunya, Himeko telah menerima baptisan api yang sama dengan Hayato, sebagai siswi pindahan, jadi Himeko akan putus asa buat tidak mengungkapkan rincian yang memalukan.
"Kalau Abang jadi kamu, Abang akan berterus terang soal datang dari pedesaan sejak awal."
"Berhentilah mengomel, Abang!"
Himeko punya sedikit kecenderungan buat pamer, yang telah menyebabkan beberapa kecelakaan di masa lalu.
Saat Hayato mengawasi adiknya, ia memeriksa isi kulkas.
—Daging b*bi yang aku beli saat diskon, daun bawang, paprika, kubis napa, dan jamur shiitake...
Hayato cuma makan koppepan buat makan siang, jadi ia mau makan sesuatu yang lebih besar.
Pertama, Hayato mengiris tipis daging b*bi, lalu merendamnya dengan bumbu yang terdiri dari kecap asin, gula, dan mirin, serta campuran tepung kentang dan minyak wijen. Sambil menunggu dagingnya meresap ke dalam bumbu, Hayato memotong berbagai macam sayuran. Karena Hayato juga menggunakan kesempatan ini buat membersihkan kulkas, proporsinya cukup mendekati. Hayato tidak lupa menyiapkan saus yang terbuat dari saus tiram, pasta kacang, saus kacang cabai, kecap asin, dan s*ke.
Setelah menumis semuanya dan memasukkan saus pada saat yang tepat, daging b*bi asam manis versi rumahan ala Hayato pun selesai. Dan dengan menambahkan sup miso instan ke dalam nasi, penyajiannya tidak akan tampak terlalu buruk.
"Himeko, sudah siap."
"Oke... ...Ah, wah."
"Ada apa?"
"Abang itu tipe orang yang akhirnya membuat sesuatu kayak makanan pembuka buat minuman, Bang."
"Tetapi ini termasuk dalam masakan normal, bukan?"
"Hmm, iya..."
Di pedesaan yang minim hiburan, pertemuan dan jamuan makan diadakan di tempat seseorang di setiap kesempatan. Hayato sering diminta buat membantu membuat makanan buat ajang-ajang ini, dan ia akan menerima sejumlah uang saku sebagai imbalannya. Tidak dapat dihindari kalau repertoar Hayato condong ke arah hidangan kayak gitu.
"Selamat makan."
"Silakan."
"Mmm~, ini sangat cocok dengan nasi, ini sangat lezat! Ah, ngomong-ngomong, Bang, apa Abang tahu?"
"Hmm?"
"Aku baru tahu hari ini di sekolah... ...Tidak ada mesin penggilingan beras yang dioperasikan dengan koin* di sekitar sini."
(TL Note: Di beberapa daerah pedesaan di Jepang, beras sering dijual tanpa digiling, yang berarti kalian dapat menggilingnya sendiri dengan mesin tersebut.)
"Apa...?"
"Dan Abang tahu, tidak? Kalau Abang berjalan kaki sekitar 10 menit, Abang biasanya akan sampai di stasiun terdekat."
"Itu sangat cepat!"
Terkejut dengan kehidupan perkotaan yang berbeda dari pedesaan Tsukinose, kakak beradik Kirishima bergidik. Tampaknya bukan cuma Hayato, tetapi juga adiknya, Himeko, yang mengalami kesulitan menghadapi guncangan budaya setelah pindah.
"Jadi, ada apa?"
"Apa maksudmu?"
"Abang tampak bahagia."
"Mengapa?"
"Abang sudah cengar-cengir terus."
"...Eh?"
Setelah adiknya menunjukkan hal itu, Hayato baru menyadari kalau pipinya mengendur. Tampaknya Hayato dipenuhi dengan kegembiraan setelah bertemu kembali dengan teman masa kecilnya, Haruki, dan hal itu tampak di wajahnya. Makanya, secara alami Hayato tersenyum.
"Abang bertemu dengan Haruki di sekolah hari ini."
"Haru-chan...? Tunggu, benarkah, Haru-chan yang itu!?"
"Abang sangat terkejut, bangku kami bahkan bersebelahan."
"Wah, itu luar biasa! Bagaimana Haru-chan?"
"Baik..."
Hayato teringat akan teman masa kecilnya yang baru ia temui lagi hari ini.
Saat itu, Haruki selalu mengenakan celana pendek, kaos, dan topi, dengan pakaian yang selalu berlumuran lumpur dan tubuhnya penuh dengan goresan. Haruki tampak kayak seorang Ketua Geng atau anak nakal.
Namun sekarang, rambut Haruki telah tumbuh panjang dan berkilau, kulitnya mulus tanpa cacat. Haruki memancarkan kesan yang elegan, benar-benar sesuai dengan sebutan Yamato Nadeshiko.
Meskipun begitu, senyumannya yang nakal masih tetap sama dengan senyumannya pada masa itu.
"Haruki tidak berubah sama sekali. Haruki tetaplah Haruki. Haruki bahkan dengan cepat membuat Abang berjanji buat memberinya utang."
"Ah, benarkah? Aku juga mau bertemu dengannya."
"Malahan, dia jadi lebih kuat ketimbang sebelumnya dan semakin kuat, berevolusi dari monyet jadi gorila."
"Haha, apa yang Abang bicarakan?"
Kedua kakak beradik ini berbincang-bincang soal teman masa kecil mereka, Haruki, memanjakan diri dengan berbagai kenangan yang datang membanjiri mereka.
Mereka telah berjanji buat saling menagih utang di antara mereka.
Saat ukuran es krim yang mereka bagi tidak sama.
Saat mereka berlomba-lomba menangkap jangkrik terbanyak.
Saat mereka berkompetisi dalam gim kayak hari ini.
Mereka telah menumpuk banyak kenangan bersama.
Hari itu. Di akhir musim panas.
Saat hari-hari yang mereka pikir akan berlangsung selamanya ternyata hancur berantakan.
Janji kecil yang mereka buat saat itu masih terngiang sampai sekarang.
Tinggi mereka sekarang berbeda satu kepala.
Tangan mereka yang dulunya sama kini berbeda ukurannya.
Mereka masih berlari dengan kecepatan yang sama, tetapi langkah mereka telah berubah.
Perbedaan-perbedaan kayak gitulah yang muncul selama mereka terpisah.
Namun tentu saja, perbedaan itu pada akhirnya jadi tidak berarti.
Hubungan yang mereka pikir telah berakhir akan dimulai lagi, bersama dengan musim panas.
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/