Genjitsu de Rabukome Dekinai to Dare ga Kimeta? [LN] - Prolog Jilid 1 - Lintas Ninja Translation

Prolog
Siapa yang Memutuskan Kalau Komedi Romantis Dimulai Saat Ini?

Dunia komedi romantis.

Penuh dengan impian dan aspirasi kaum muda-mudi, ini merupakan utopia tertinggi.

Maksudku, bukannya memang begitulah kenyataannya?

Memangnya ada cowok yang tidak mau menjalani kehidupan sekolah yang menggembirakan dengan seorang cewek cantik? Bagaimana dengan cowok-cowok yang lebih suka tidak punya kesempatan untuk berhubungan dengan cewek-cewek yang menarik, yang bukan tipe mereka? Aku yakin tidak ada cowok yang akan melewatkan kesempatan untuk memberi hormat pada sosok cewek yang mengenakan pakaian renang atau punya momen enak-enak yang beruntung, dengan bilang kalau mereka tidak peduli. Selain itu, bagaimana kalau kalian bersenang-senang dengan teman-teman baik dalam festival budaya sekolah, atau mengenakan yukata ke pertunjukan kembang api, atau melakukan perjalanan ke pemandian air panas untuk Natal? Apa kalian tidak pernah mau mencoba semua itu? 

Paling tidak, kalau kalian merupakan penggemar kisah komedi romantis kayak aku, aku yakin kalian pernah kepikiran begitu paling tidak sekali. Kalau kalian mau menjalani kehidupan sekolah yang dramatis dan memuaskan kayak di dalam kisah-kisah.

Meskipun begitu, dunia nyata itu tidak sama dengan kisah komedi romantis.

Adapun alasannya, aku─

Aku tidak punya seorangpun adik cewek (*tiri). Aku tidak punya seorangpun teman masa kecil. Aku tidak punya seorangpun teman sekelas yang menjadi idola. Aku tidak punya seorangpun senpai yang misterius. Aku tidak punya seorangpun kouhai yang ramah. Aku tidak punya seorangpun ibu wali kelas yang cantik dan tidak berguna. Aku tidak punya seorang karakter cewek tsundere yang kejam. Aku tidak punya seorangpun karakter cewek yang licik. Aku tidak punya seorangpun karakter tipe kakak perempuan yang menulis novel. Aku tidak punya seorangpun karakter tetangga yang bagaikan bidadari. Aku tidak punya karakter adik cewek sahabat yang mengganggu. Jauh dari itu, aku bahkan tidak punya seorangpun teman dekat cowok. Aku tidak punya masa lalu yang berbeda dengan siapapun, dan aku tidak punya seorangpun yang memulai dengan kasih sayang yang maksimal padaku.

Selain itu, aku─

Tidak bisa menulis novel. Tidak bisa menggambar. Tidak bisa menggubah musik. Tidak bisa memainkan alat musik apapun. Jangankan membuat gim video, aku bahkan tidak jago memainkannya. Meskipun aku tidak banyak omong kayak orang introver, aku juga tidak unggul dalam komunikasi kayak tipe orang yang supel. Meskipun aku mungkin tidak benci mata pelajaran atau cabang olahraga apapun, aku masih jauh dari yang terbaik.

Kalau aku mesti menyebutkan hal-hal yang aku lakukan lebih baik ketimbang orang lain, yaitu bahwa aku telah memenangkan hadiah dalam kompetisi penelitian independen prefektur sebelumnya dan bahwa aku telah menghasilkan lebih banyak penghasilan ketimbang yang mungkin diperoleh orang lain dari pekerjaan paruh waktuku sebagai entri data. Kira-kira kayak gitu, lah. Selain dari sifat yang terdengar menyedihkan saat aku bilang begitu, aku tidak punya apa-apa.

Adapun pukulan terakhir, dalam kenyataanku─

Peristiwa kedewasaan yang menarik tidak pernah terjadi. Bahkan, hal-hal yang biasa dan sehari-haripun tidak terjadi dengan sendirinya. Mendapati sesuatu kayak episode layanan penggemar tidak masuk akal.

Mustahil buat berkembang jadi pengembangan komedi romantis dengan seorang heroin ─ bukan secara kebetulan, bukan secara ujug-ujug, dan bukan karena keadaan.

...Buatku, yang hidup dalam kenyataan kayak gitu.

Buatku, yang cuma salah satu dari jutaan penggemar kisah komedi romantis di negara ini.

Apa mustahil buatku untuk menjalani masa mudaku bagaikan kisah komedi romantis?

Seakan-akan aku dapat menerima hal semacam itu.

Baik itu orang biasa, bandel, penyendiri, otaku, non-riajuu, ataupun riajuu transendental ─ siapapun mereka, kisah komedi romantis merupakan tempat di mana mereka dapat memainkan peran utama.

Sebuah kisah komedi  romantis merupakan tempat di mana kalian dapat menjadi protagonis sambil tetap jadi diri kalian sendiri.

Makanya, aku yang sama sekali tidak punya apa-apa pun, mestinya mampu mendambakan sebuah kisah komedi romantis.

Meskipun begitu, kalau kisah komedi romantis mustahil terjadi pada kehidupan nyata─

Maka aku cuma perlu merangkai ulang kehidupanku sehingga itu menjadi mungkin.

*

Angin bulan April memang masih sedikit dingin.

Selangkah demi selangkah, aku dengan sengaja menaiki tangga luar gedung sekolah.

Setelah melewati pendaratan yang kesekian kalinya, yang muncul di depanku yaitu pintu besi kayak pagar setinggi hampir dua meter. Gagang pintunya yang terbuat dari baja tahan karat punya lubang kunci yang kecil.

Aku menelan ludah, lalu memutar gagangnya perlahan-lahan.

Pintu itu terbuka dengan bunyi krek ─ tanpa perlawanan. Oke! Sesuai dengan informasi yang tertulis!

Kayak yang aku duga, hari ini, pada waktu ini. Pintu ini tidak dikunci!

Aku melangkah melewati garis batas, dengan langkah yang ringan.

Terbentang di depan mataku yaitu atap yang sepi.

Serta sang surya terbenam yang merah menyala, yang memenuhi setengah bidang penglihatanku.

"Luar biasa. Bukannya ini tempat yang sempurna buat 'masa muda'?! Aku! Akhirnya! Sudah sampai sejauh ini~!"

Karena tidak dapat menahan rasa gembiraku, tanpa berpikir panjang, aku menghadap ke arah langit dan berteriak. Akhirnya. Dengan begini, "Proyek" dapat dimulai dengan sungguh-sungguh.

Tiba-tiba aku teringat kembali akan hari-hari yang telah dilalui sampai saat ini, mataku terasa membara.

Periode sebelum memasuki SMA.

Aku telah menghabiskan seluruh waktu itu, yang berlangsung sekitar satu tahun, untuk mengerjakan rencanaku.

Aku, yang tidak punya kemampuan dasar dalam membuat kisah komedi romantis menjadi nyata, telah memutuskan untuk mencurahkan waktuku untuk melakukan hal-hal yang dapat aku lakukan ─ penelitian dan latihan terus-menerus, untuk menutupi kekuranganku.

Aku akan meneliti semua jenis informasi dan mengumpulkannya dalam basis data, belajar cara menganalisis data yang diperoleh untuk menggunakannya secara efektif, dan mempraktikkan setiap hal secara berulang-ulang agar membuat tubuhku menghafalnya.

Dengan tekun melakukan persiapan semacam itu, aku telah mengasah metode untuk menolak kenyataan yang tidak masuk akal ini.

Ada banyak hal yang tidak beres. Bahkan ada kalanya aku merasa kayak aku akan hancur berantakan.

Tetapi aku telah menyaksikan tokoh protagonis yang biasanya bilang "Kehidupan adalah permainan yang menyebalkan"* ─ menaklukkan gim bernama kehidupan dengan upaya yang sepenuh hati.

(TL Note: Si MC yang dibicarakan oleh MC di sini yaitu Tomozaki Fumiya dalam novel ringan "Jaku-Chara Tomozaki-kun", yang bisa kalian baca di Rewards Trakteer Lintas Ninja Translation melalui tautan berikut.)

Tidak peduli seberapa jauh dan sulitnya jalan yang mesti aku tempuh, kalau kalian berpegang teguh pada hal itu dan tidak pernah menyerah, kalian dapat mengubah kenyataan.

Selain itu, riajuu transendental yang aku kagumi, tidak, Dewa pernah bilang begini. "Gapailah rembulan."

Meskipun itu merupakan cita-cita yang mustahil tercapai, teruslah maju.

Aku telah bekerja keras sampai hari ini, mengibarkan bendera tekad. Mungkin ada pasang surut, tetapi itulah bagaimana aku tiba di tempat ini.

Tidak ada lagi cowok biasa yang cuma mendambakan kisah komedi romantis.

Saat ini, aku sudah jadi sang "protagonis" yang dikenal sebagai Nagasaka Kouhei!

"Tenanglah... ...tenanglah, diriku..."

Aku melirik ke arah jam pada ponsel pintarku.

Tinggal lima belas menit lagi sampai "doi", sang target atau gebetan, akan tiba.

Mungkin karena gugup, jari-jari tanganku jadi sangat dingin, sampai-sampai aku merasa sekujur tubuhku akan menggigil kalau aku kehilangan fokus.

"S*alan, jangan gugup saat ini. Tenangkan dirimu. Ini merupakan 'ajang' pertama, loh. Kisah komedi romantisku dimulai saat ini! ...Tunggu, itu merupakan sesuatu yang kalian dapatkan di adegan akhir. Bukanlah pertanda yang baik! Iya, aku tidak pernah bilang begitu!"

Saat melakukan sandiwara komedi satu orang yang bodoh itu, aku berjalan-jalan di sekitar pintu masuk untuk mendapatkan kembali ketenanganku.

Ah, tetapi monolog itu kayak apa yang dikatakan oleh sang protagonis dalam kisah komedi romantis. Lagipula, sudah jadi hal yang wajar buat sang protagonis untuk menggumamkan sesuatu pada diri mereka sendiri di tempat yang tidak ada orang lain. Luar biasa, semua latihan itu membuahkan hasil!

Hal itu membuatku merasa sedikit mendingan. Namun setelah itu, terdengar suara pintu terbuka di belakangku.

Tunggu, dia sudah ada di sini?! Itu lebih awal dari yang aku perkirakan!

Saat aku mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakang, detak jantungku bertambah cepat.

Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja. Selama aku melakukan ini kayak yang aku latih, ini pasti akan berjalan dengan lancar.

Satu tarikan napas yang panjang dan dalam.

Menampar pipiku, aku kembali ke kehidupan nyataku.

Kehidupan nyataku bukanlah dunia kisah komedi romantis.

Makanya aku─

"Aku tidak akan menerima kehidupan nyata semacam itu. Kalau aku tidak dapat punya kisah komedi romantis di dunia nyata ini... ...maka aku akan membuatnya kembali dari awal."

Sekarang, mari kita mulai.

Ini merupakan awal dari "Proyek" ─ "Rencana Kisah Komedi Romantis di Kehidupan Nyata"!

*

"Kiyosato Mei-san, a-aku menyukaimu! Aku mohon jadilah pacarku!"

Berbalik, aku berteriak keras, dengan penuh semangat sambil menundukkan kepala.

Pengakuan cinta yang telah aku lakukan dengan segenap kemampuanku lenyap seakan-akan ditelan oleh langit senja.

Aku menunggu reaksinya.

Jantungku berdebar-debar di sekujur tubuhku, terasa kayak dapat meledak kapan saja.

Dia berdiam diri di pintu masuk ke atap, terdiam dan bingung. Lalu, setelah jeda sejenak, dia berbicara dengan nada meminta maaf.

"Ah... ...eum. Bagaimana aku bilangnya ya... ...Maafkan aku."

Penolakan yang umum, namun jelas dan tidak ambigu, bergema di seluruh atap cuma dengan adanya kami berdua.

Angin malam dari musim semi yang masih dingin berhembus dengan cepat di antara kami.

Begitu... ...kah? Kata-kata serak keluar dari mulutku.

Penglihatanku terganggu, dan aku tidak dapat melihat apa-apa.

Aku barusan ditolak... ...olehnya.

Dia mestinya itu cewek tercantik di angkatan kami.

Ciri khasnya yaitu rambutnya yang hitam dan halus dan adanya tahi lalat di bawah mata kanannya. Selalu ceria dan baik hati, dengan senyuman yang menawan bagaikan mentari, dia merupakan seorang cewek yang tampak kayak bidadari.

Rumah kami kebetulan searah, dan kami sering naik bus yang sama. Selama obrolan konyol kami, secara kebetulan kami mendapati bahwa kami punya hobi membaca yang sama, dan secara kebetulan menyukai buku-buku yang sama, terlalu asyik mengobrol sampai-sampai aku hampir lupa untuk turun dari bus di halteku.

Dan, setelah kami berpisah.

Dengan latar belakang kota yang diwarnai sang surya yang terbenam, dengan lambaian tangannya yang bilang "Sampai jumpa besok," aku melihat senyumannya ─ dan akhirnya aku jatuh cinta.

Aku bermimpi menjalani kehidupan masa SMA-ku di masa depan, bersamanya.

Aku mau melihat senyumannya dari kejauhan, lebih dekat ketimbang orang lain. Begitulah pemikiranku.

Ingin menyampaikan perasaan itu, aku telah meletakkan surat cinta di kotak sepatunya dan memanggilnya ke atap kayak gini.

"Ah iya. Ini bagus sekali. Ini sangat bagus!"

Bukannya itu terasa kayak monolog kisah komedi romantis?!

Tidak, tunggu sebentar, tunggu sebentar. Masih terlalu dini buat bersemangat. "Ajang" ini masih berlangsung. Aku tidak boleh lengah sampai semuanya usai.

Eum, biar aku lihat, monolog berikutnya, narasi berikutnya─

Mencoba menyembunyikan air mata yang tiba-tiba membanjiri pipiku, aku menatap ke arah langit.

Aku telah mempersiapkan diri buat hasil ini.

Dia baik pada semua orang, jadi bukan cuma aku saja yang istimewa. Ini merupakan sesuatu yang sudah aku ketahui sejak awal. Namun. Meskipun begitu, kayak yang aku duga.

Mustahil aku akan menyerah cuma karena aku telah menyatakan perasaanku sekali, atau cuma karena aku telah ditolak sekali.

"...Maaf karena melakukan ini secara tiba-tiba. Tanpa peringatan apapun. Pasti sangat merepotkan, bukan?"

"Hei, tunggu sebentar. Hei."

Meskipun itu memalukan, meskipun itu tidak keren, aku mau dekat dengannya.

"Tetapi, aku tidak mau hubungan kita yang sudah terjalin selama ini memudar karena hal ini."

"Tidak, kayak yang aku bilang..."

Mungkin suatu hari nanti, dia akan berbalik dan menatapku... ...Seakan-akan. Tetapi aku masih mau berpegang teguh pada kemungkinan kecil itu.

"Aku tahu apa yang aku bilang ini egois. Tetapi... ...aku harap kita dapat terus jadi teman baik mulai saat ini... ...Apa menurutmu itu tidak bagus?"

"Kayak yang aku bilang, berhenti dulu sejenak, oke?"

Ayolah, apa masalahmu? Aku barusan sampai pada bagian yang terbaik. Atau lebih tepatnya, reaksi ini terasa berbeda dari yang aku perkirakan.

Menurut data kepribadiannya, mestinya ini merupakan bagian di mana dia bilang "...Iya, aku paham. Oke, ini akan jadi rahasia antara kita berdua, Naga— bukan, Kouhei-kun." dengan senyuman bidadari. Balasan semacam itu.

Dengan tubuhku yang masih menghadap ke arah langit, aku menatap penampilannya dengan mataku. Rambutnya yang hitam dan halus, diwarnai merah oleh sang surya yang terbenam... ...Tidak, tunggu. Bukannya itu terlalu merah buat seseorang berambut hitam?

"Itu sudah cukup, lihat saja ke arahku."

Kayak yang diperintahkan padaku, aku memalingkan wajah buat menatap sosok di depanku, sambil menyipitkan mataku.

Rok pendek, seragam yang dikenakan dengan santai, dan rambut berwarna coklat dan bergelombang yang mencapai di bawah bahunya.

Tahi lalat di bawah matanya yang khas... ...tidak tampak.

...

A-Apa?!

"Kamu benar-benar salah orang... ...dan juga, aku rasa kamu tidak perlu menyatakan cinta dalam situasi kayak gini. Jujur saja, kamu meminta terlalu banyak dan itu menjijikkan."

"Men-Menjijikkan!? Ini merupakan 'Ajang Pernyataan Cinta' yang sempurna, loh?!"

Bulan April, saat musim semi tahun pertamaku di SMA. Kayaknya, kayak yang sudah aku duga, kehidupan nyataku, Nagasaka Kouhei tidak akan jadi sebuah kisah komedi romantis dengan mudah.

*

"Hei, bukannya kamu mesti memesan sesuatu?"

Kata-kata itu menyadarkanku dari lamunanku saat aku duduk bersandar di bangku.

Lokasi saat ini yaitu sebuah restoran hamburger dengan huruf "M" di atasnya. Aku duduk di sebuah pojokan.

"Eh?"

"Jangan bilang 'Eh' padaku. Kalau kamu tidak mau, bukannya kamu akan merepotkan mereka?"

Orang yang bilang begini duduk di depanku dengan sebuah nampan berisi pai apel, susu kocok, dan beberapa panekuk. Bukannya itu terlalu berlebihan buat makanan manis?

"Ayolah, buruan."

Dengan tangan melambai-lambai ke arahku agar aku bergegas, aku buru-buru berdiri dari bangkuku.

Saat aku menuju ke kasir yang sepi pengunjung, aku berpikir dengan kepala yang masih linglung.

Sekali lagi, mengapa ini terjadi?

Ini mestinya jadi "Ajang Pernyataan Cinta" yang aku perjuangkan dengan susah payah, terlaksana, namun cewek yang muncul di tempat kejadian perkara bukanlah "pacar" yang ditargetkan, Kiyosato Mei-san, melainkan seorang cewek yang belum pernah aku temui sebelumnya.

Pikiranku benar-benar panik akibat masalah yang tidak terduga, meskipun aku sudah berusaha menutupinya.

Namun, penjelasanku benar-benar berantakan, dan hasilnya yaitu jawaban "Bagaimana kalau kamu mencoba berbicara dalam bahasa Jepang yang benar terlebih dahulu?".

Kami juga sudah mendekati batas waktu untuk berada di atap, jadi aku buru-buru bilang, "Tempat ini memang agak merepotkan, bagaimana kalau kita mengeteh sambil mengobrol?" dan memberikan tawaran yang tidak bisa dimengerti itu padanya.

Akibatnya, saat ini aku terjebak di restoran ini bersama cewek ini, menghabiskan waktu di kafe dengan penuh gaya.

Ngomong-ngomong, aku sudah memeriksa kotak sepatu saat kami akan pergi, dan sepatu Kiyosato-san sudah tidak ada, bersama dengan surat yang mestinya diletakkan di sana. Melihat hal itu memblokir secercah harapan terakhir yang belum disadarinya, dan ajang itu dipastikan gagal total.

Ah, s*alan. Mengapa semuanya jadi kayak gini?

Di kasir, aku memesan susu kocok secara acak sambil berbicara sendiri.

Aku sudah memastikan kalau targetku sudah selesai dengan ekskulnya dan kembali ke gedung sekolah, dan saat aku meninggalkan surat itu, sepatunya pasti sudah ada di sana. Aku juga sudah memastikan melakukan hal itu pada waktu yang tidak akan ada yang mengganggu dan sudah yakin kalau persiapanku sudah matang sempurna. Namun.

Tidak. Apapun alasannya, kegagalan tetaplah kegagalan.

Tidak apa-apa, karena aku telah dengan tegas menerima ajaran "Dalam kehidupan, saat kalian kalah, kalia akan mendapatkan poin pengalaman" dari Panduan Strategi Kehidupan Raja Iblis yang tak tertandingi — maksudku, Heroin yang Sempurna yang terhormat. Aku akan mengubah segalanya dan terus menghadapi tantangan, oke!

Setelah memikirkan hal itu, sambil menenangkan diriku, aku mengangguk tanda terima kasih pada pelayan yang menatapku dengan tatapan meragukan dan mengambil susu kocokku. Dari sana, alih-alih langsung kembali ke bangkuku, aku bersembunyi di balik bayangan tiang.

Bagaimanapun juga, aku tidak akan melanjutkan waktu di kafe yang menyenangkan bersama cewek itu.

Akan lebih baik kalau permintaan maaf sederhana, "Aku salah orang, maafkan aku!" saja sudah cukup untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi mengingat kecilnya kemungkinan dia akan memberi tahu orang lain soal insiden ini, segalanya dapat jadi masalah.

Lagipula, dia itu seseorang yang telah menyebut ajang itu dengan segala tingkah lakuku sebagai menjijikkan. Sudah jadi hal yang biasa buat mereka yang tidak memahami daya tarik dari sebuah karya yang tidak sesuai dengan buku, untuk langsung mengkritik dengan kata-kata "menjiplak" atau "tidak orisinil" dalam ulasan Amazon atau ke media sosial. Dia bahkan mungkin mengekspos kebodohanku ke seluruh dunia cuma buat seru-seruan.

Bahkan seandainya saja dia tidak bertindak sejauh itu, punya reputasi negatif yang menyebar ke seluruh kelas dan sekolah, cuma akan berdampak buruk buat rencana itu. Baru dua pekan berlalu sejak dimulainya sekolah, dan dalam kondisi saat ini, di mana aku bahkan belum menjalin hubungan antarmanusia yang solid, hal itu merupakan sesuatu yang mau aku hindari dengan cara apapun.

Oleh karena itu, bagaimanapun juga, aku mesti membuatnya tetap diam mengenai kejadian ini. Tindakanku mesti menjadikan hal itu sebagai tujuan prioritas utama.

Setelah sampai pada kesimpulan itu, aku melangkah keluar dari balik tiang dan melihat targetku. Dia diam-diam melahap makanan manisnya, sambil tetap tanpa ekspresi.

Semua hal dipertimbangkan, dia telah mengikutiku dengan sukarela.

Cewek itu menanggapi saran gilaku dengan bilang, "Oke, asalkan tidak terlalu lama."

Aku itu tipe cowok yang membuat apa yang dia sebut sebagai pernyataan cinta yang menjijikkan. Selain itu, ini merupakan pertama kalinya kami bertemu, dan kami itu lawan jenis. Biasanya, apa seseorang yang berada di posisinya akan setuju buat pergi ke kafe dengan cowok kayak gitu?

Ah. Apa jangan-jangan dia punya ciri khas tsundere atau semacamnya? Lagipula, kata "menjijikkan" dapat menjadi pujian kalau diterjemahkan dari seorang tsundere.

Pertama-tama, berada di kafe dengan seorang cewek yang belum aku kenal? Ini hampir mirip kayak sebuah grup produksi gim simulasi kencan yang akan segera dibentuk! Dengan kata lain, tidak bisakah kamu menyebut ini sebagai kisah komedi romantis?!

Tunggu. Tidak, tenanglah.

Penafsiran murahan semacam itu tidak berlaku untuk kehidupan nyata.

Bahkan, meskipun dari sekilas kisahnya kayaknya berkembang ke arah situ, namun bukan berarti bahwa pihak lain akan dengan mudah melakukan akting sebagai karakter atau pemeran dalam sebuah kisah komedi romantis.

Itu merupakan sesuatu yang mestinya sudah aku ketahui dengan baik sekarang.

Aku menampar pipiku dengan kedua tanganku dan memperbaiki kelalaianku.

Dengarkanlah, jangan lupakan prinsip dasarnya.

Hal pertama yang mesti aku lakukan demi mewujudkan sebuah kisah komedi romantis yaitu mengumpulkan informasi.

Kembali ke hal yang mendasar, aku mengamati setiap inci penampilan luar cewek itu.

Dalam kondisiku yang lelah, aku tidak dapat mengamatinya dengan baik, tetapi... ...kayak yang aku duga, apa jangan-jangan dia seseorang yang aku kenal?

Rambut, yang panjang sedang, tepat di bawah bahu. Ujung rambut tergerai dan bergelombang, dikeriting santai. Warna rambut, warna coklat yang membuatnya sulit untuk membedakan apa itu diwarnai atau alami.

Mengenakan sweter tipis di balik blazer seragamnya, dan gelang sempit di lengannya. Roknya lebih pendek ketimbang panjang yang ditentukan, dan dia tampaknya memakai mekap, tetapi tidak terlalu menonjol. Dari segi kesan, penampilannya secara keseluruhan kayak cewek SMA yang tidak terlalu gyaru.

Fitur wajahnya lurus dan rapi, dan bukannya imut, dia itu tipe cewek cantik berwajah pucat. Ciri khasnya yaitu warna matanya, karena iris matanya, mungkin punya pigmentasi yang lebih terang ketimbang iris mata kebanyakan orang, tampak berwarna merah. Meskipun ada kemungkinan, kalau dia memakai kontak lensa berwarna.

Selain itu, bentuk tubuh dan bagian tubuhnya yang dianggap penting oleh sebagian besar cowok, kurang menonjol. Kalau ditambah dengan tinggi badannya, maka kalian dapat bilang kalau dia itu tipe model, tetapi karena perawakannya yang rata-rata, dia cuma tampak rata — Ah, mungkin lebih tepat kalau dibilang bahwa dia punya sosok yang cerdas.

Warna dasinya, yang melambangkan tahun ajarannya, yaitu kuning. Dia siswi kelas sepuluh, sama kayak aku.

Baca-RabuDame-Prolog-Jilid-1-Bahasa-Indonesia-

Aku kira cuma itu yang dapat diperoleh dari penampilan luarnya.

Oke, itu sudah cukup untuk kata kuncinya.

Aku mengeluarkan ponsel pintarku dan mengetuk ikon pintasan yang sudah tidak asing lagi. Lalu, aku segera memasukkan informasi yang diperoleh di jendela pencarian pada halaman yang ditampilkan.

GAYA RAMBUT: perm bergelombang / WARNA RAMBUT: coklat / PENAMPILAN: cerdas / PAYUDARA: rata

LAKUKAN PENCARIAN

Jumlah kecocokan, satu.

"Ah, begitu... ...jadi inilah mengapa aku tidak cocok saat pertama kali melihatnya. Dia ada di kelas yang kelima, jadi kelas X-E untuk mereka yang mau masuk ke universitas negeri. Peringkatnya C, yang berarti mode rakyat jelata yang sesuai, ya...?"

Memastikan bahwa aku kurang lebih punya unsur-unsur yang diperlukan di kepalaku, aku lalu menyelipkan ponsel pintarku ke dalam saku dadaku.

Lalu, aku menarik napas dalam-dalam.

Aku tidak punya banyak kartu as di tanganku. Ditambah lagi, ini merupakan interaksi tatap muka, yang tidak pernah jadi keahlianku.

Namun, ingatlah semua kesulitan yang telah aku lalui sampai saat ini! Buat tujuan apa aku telah mengumpulkan dan mengembangkan begitu banyak hal?

Ini masih sangat awal dalam gim, kita pun belum keluar dari "prolog". Mustahil aku membiarkannya berakhir dengan buruk!

Sambil menenangkan diri, aku mengambil susu kocokku yang mulai lembap karena pengembunan, dan kembali ke bangkuku.

Menyadari kalau aku telah kembali, sang target, cewek itu, yang tampaknya telah menghabiskan susu kocoknya, meletakkan cangkir di atas nampannya, lalu menyipitkan matanya ke arahku.

"...Bukannya kamu memesan terlalu lama? Aku hampir selesai makan di sini."

Hah? Sudah?

Saat aku mengalihkan pandanganku ke arah nampan, aku melihat sisa-sisa wadah yang berserakan.

Wah... ...aku dapat merasakan rasa manis di mulutku cuma dengan membayangkannya... ...tunggu dulu, tidak, itu tidak penting.

"Ah, eum... ...maafkan aku, kasirnya agak sibuk."

"Restoran ini tampak cukup kosong menurutku, sih."

"Me-Mereka sedikit kekurangan tenaga."

"Hmm."

Masih tanpa ekspresi, jawabannya dengan nada yang menunjukkan kurangnya minat.

Ti-Tidak bagus. Aku tidak bisa membiarkan satu bagian aneh itu mengganggu langkahku. Semuanya tampak normal. Bersikaplah normal.

Sambil mengatur napas, aku ingat pengaturanku.

Tidak terlalu mencolok, dan tidak terlalu pasif. Periang dan mudah diajak bicara, tetapi serius saat sampai pada bagian yang penting. Ketua Kelas yang selalu dapat diandalkan. Penampilan yang sangat normal, tetapi dandanannya yang sesuai, memberikan kesan yang menyegarkan sebagai seorang cowok tampan. Cowok yang lumayan keren itu, itulah aku.

"Jadi? Berapa lama kamu berencana untuk tetap diam?"

Oke, mari kita mulai!

Aku mengucapkan setiap patah kata dengan hati-hati, sambil menyusun pengembangan argumen dalam pikiranku.

"Eum... pertama-tama, maafkan aku karena telah mengejutkanmu. Aku agak bingung dengan situasi yang tidak terduga, jadi aku mungkin sudah bilang beberapa hal yang aneh. Biar aku jelaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman."

Dengan begitu, aku mulai berbicara dengan nada suara yang serius. Ini merupakan peringatan sebelumnya bahwa apa yang akan aku bilang itu benar. Dan selagi kita melakukan hal ini, aku tidak akan lupa untuk menutupi kesalahan yang telah aku lakukan.

"Aku yakin kamu sudah tahu ini, tetapi... Aku bada di sana untuk menyatakan cinta pada seorang cewek yang aku sukai. Aku memintanya untuk naik ke atap pada saat itu juga. Haha, aku sangat gugup sampai-sampai aku tidak dapat menatap wajah orang yang muncul... ...dan tanpa aku sadari, itu merupakan orang lain, dan akhirnya hal itu terjadi."

Bilang begitu, aku memalingkan wajahku ke samping, seakan-akan agak malu.

Saat menyatakan cinta, siapapun pasti gugup dan tidak bisa tenang. Jadi, tidaklah aneh buat melakukan kesalahan yang biasanya tidak akan pernah terjadi, bukan? Ini merupakan pernyataan dengan maksud kayak gitu.

Cerita ini setengah benar dan setengah dibuat-buat. Ini merupakan teknik untuk membuat cerita dapat dipercaya sambil tetap menyembunyikan niat kalian yang sesungguhnya, dengan secara akurat menyatakan bagian yang merupakan fakta objektif dan mencampurkan kebohongan untuk bagian yang menyangkut perasaan kalian.

"Tetapi aku benar-benar serius soal itu. Tentu saja, aku mungkin telah mengacaukannya sedikit kali ini, tetapi aku tidak berniat untuk menyerah cuma karena hal itu."

Di sini, aku menatap matanya dan menyatakannya secara jelas.

Berulang kali menekankan keseriusanku, dan secara tersirat menyarankan kalau aku akan menghargainya kalau tidak membuat lelucon yang tidak perlu demi kesenangan semata. Aku masih akan melanjutkan rencanaku untuk menyatakan cinta, jadi jangan halangi aku. Itu juga mengandung makna itu.

...Aku rasa itu sudah cukup untuk pembukaannya.

Sekarang buat inti dari masalah ini.

"Jadi, akan sangat membantuku kalau kamu dapat menghindari penyebaran rumor soal insiden ini."

Aku meluruskan postur tubuhku dan perlahan-lahan menundukkan kepalaku, sambil mengingat sudut 45 derajat. Kuncinya yaitu memastikan tidak terlalu dalam atau terlalu dangkal. Salah satu dari kedua hal itu akan menghasilkan kesan yang tidak wajar.

"Aku mohon."

Dan sepanjang waktu, aku mempertahankan sikap ini yang menunjukkan kalau akulah yang meminta bantuan.

Cuma sedikit orang yang bersedia melakukan ketidakadilan pada seseorang yang punya nada bicara yang sangat serius, dan bahkan dalam posisi yang tidak menguntungkan. Buat orang yang berakal sehat, hati nurani mereka akan menghalangi mereka, membatasi tindakan mereka.

Oke, sejauh ini obrolan ini mestinya berjalan dengan lancar dan sempurna.

Aku telah menyampaikan semua unsur yang diperlukan secara lisan sebagai permintaan yang tegas dan menjejalkan beberapa pesan di balik kata-kataku. Di sisi lain, aku tidak mengungkapkan informasi apa-apa yang akan merepotkan pihakku.

Jika bacaan dataku sudah benar, ini mestinya cukup buatnya untuk memahaminya dengan benar.

Aku melirik sekilas ke arah penampilannya, masih menunduk. Aku tidak dapat melihat wajahnya, tetapi dia tampak melipat tangannya, berpikir dengan keras.

Setelah hening sejenak.

"...Begitukah? Aku paham maksudmu."

Aku berpose penuh kemenangan di dalam hatiku setelah mendengar kata-kata itu.

Dengan begini, krisis telah terhindarkan!

"Iya, terima kasih. Kalau begitu, aku—"

"Bolehkah aku menanyakan satu hal padamu?"

Saat aku akan segera mengakhiri obrolan, dia berbicara seakan-akan menyelaku.

"Aku rasa kamu bilang kalau ini merupakan "Ajang Pernyataan Cinta" yang sempurna atau semacamnya. Apa maksudnya itu?"

Buat sesaat, aku terdiam dalam pikiranku.

"Ah, eum... ...itu..."

S*alan, s*alan. Dia masih ingat bagian itu, dari semua hal!

Tenanglah, tenanglah diriku. Jangan bimbang.

Akan tetapi, kata-kata itu merupakan kabar buruk. Kalau aku menggali lebih dalam, ada banyak hal yang buruk soal itu.

"Aku tidak punya masalah dengan bagian pernyataan cinta itu, tetapi apa ini soal sebuah "ajang"? Tidak peduli betapa bingungnya dirimu, apa kamu biasanya menggunakan kata itu dalam situasi itu?"

Ah, itu benar sekali! Benar saja, bukannya dia jauh lebih tajam ketimbang yang aku bayangkan?!

Sebuah alasan. Aku butuh semacam alasan.

"Eh, itu, anu... ...Begini! Kesadaran bahwa itu merupakan ajang besar buatku, loh, itu muncul begitu saja tanpa disadari, sama sekali tidak ada motif tersembunyi, kok..."

Sanggahanku tampaknya tidak berhasil, dan perutku mengepal saat dia menatapku dengan ekspresi kosong yang tidak berubah.

Aku tidak bisa membaca emosi apapun di matanya.

Dia bicara padaku seakan-akan meminta jawaban.

"Lalu, bagaimana dengan apa yang kamu bilang sebelumnya... ...soal 'kisah komedi romantis' atau semacamnya?"

Tidak, mustahil, bukan?! Apa dia sudah mendengarkan monologku sejak saat itu?

"Aku tidak bermaksud menguping, tetapi aku mendengarnya. Suaramu cukup keras untuk ukuran orang yang sedang bermonolog."

Seakan-akan dia telah mendengar pikiranku dan saat ini meresponsnya dengan respons yang akurat.

Siapa sangka, penelusuranku yang berlebihan terhadap tokoh protagonis dalam kisah komedi romantis akan jadi bumerang buatku...!

"Aku tidak tahu banyak soal 'kisah komedi romantis' ini, tetapi itu merupakan genre dalam drama dan manga, bukan? Jenis yang mengandung romansa di dalamnya."

Tidak ada nada suaranya yang tersendat-sendat, dan seakan-akan dia cuma memberikan penjelasan dari awal sampai akhir.

Lalu aku kepikiran.

Cewek ini... ...Apa jangan-jangan dia?

"Dan kalau kamu merangkai kata-kata yang terasa tidak pada tempatnya..."

Apa jangan-jangan dia sudah mengetahui segalanya sejak awal, dan yang lebih penting lagi, dia sudah melihat bagaimana aku akan bertindak? Niatku buat berbicara dengan cara yang baik, benar-benar tampak? Apa aku telah menari di telapak tangannya...?

Rasa dingin menjalar di tulang belakangku. Dan tepat setelah itu.

"Ajang pengakuan cinta dalam kisah komedi romantis. Kalau kamu menghubungkannya kayak gini, aku rasa itu bukanlah kata-kata yang akan digunakan oleh seseorang yang serius mau menyatakan cinta, loh?"

Jantungku berdegup kencang. Tanpa mengubah ekspresinya, dia menatapku lekat-lekat.

"Kalau orang biasa mendengar kata-kata itu saat ini, tidakkah menurutmu mereka akan bertanya-tanya apa kamu mencoba meniru sebuah manga?"

Tubuhku menegang, dan darah mengalir dari ujung jariku.

Apa yang mesti aku lakukan...?!

Apa yang mesti aku bilang dan bagaimana aku mesti menanggapinya?

"Atau, apa ada makna yang berbeda? Atau mungkin, alasan yang tepat?"

Sebuah sanggahan, apa saja, sanggahan yang bagus!

Apa tidak ada alasan yang masuk akal yang mungkin cukup untuk meyakinkannya?!

"Kalau kamu tidak punya komentar, aku juga tidak masalah. Tetapi dalam hal ini, kamu tidak bisa mengeluh soal kesimpulan apapun yang aku dapatkan, loh?"

Saat aku berpikir dengan panik, dia mengumumkan hal itu padaku, seakan-akan memberikan pukulan terakhir pada musuh yang melarikan diri.

S*alan, kamu bahkan telah menghancurkan rute pelariannya, dasar iblis!

Semakin lama aku diam, semakin tidak menguntungkan buatku. Aku sangat menyadari hal itu! Tetapi mulutku sangat kering, aku tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Melihatku tetap diam, dia menghela napas pelan.

"...Jadi tidak ada alasan khusus dan mendalam. Eum, aku kira itu sudah dapat diduga."

Dengan suara pelan, dia bergumam pasrah.

Ini buruk. Rasanya kayak dia sudah menemukan jawabannya.

"Aku ikut berpikir mungkin ada beberapa keadaan yang unik, tetapi... ...kalau kamu melakukan itu untuk bersenang-senang, tidakkah kamu pikir kamu mesti berhenti?"

Wajahnya tetap tanpa ekspresi. Tidak, bahkan tampak lebih acuh tak acuh dan bosan.

"Maksudku, itu sangat memalukan. Melakukan hal semacam itu bahkan di usiamu yang saat ini."

Lalu, dengan nada suara yang jutek, dia mengatakan hal berikut ini seakan-akan hal itu wajar saja.

"Menurutku, kamu mesti berhenti memainkan khayalan yang membosankan, dan mulai melihat kehidupan nyata dengan benar."

Apa yang barusan kamu bilang?

"Berhenti di situ."

"...Hmm?"

Namun, dengan raut wajah yang serius, aku melakukan kontak mata dengannya, bahkan saat dia samar-samar mengerutkan dahinya ke arahku, seakan-akan penasaran ada apa gerangan.

Lalu, aku menarik napas dalam-dalam.

Kehidupan nyata yang aku jalani bukanlah dunia kisah komedi romantis. Aku tahu itu. Aku selalu tahu akan hal itu.

"Kalau kamu akan bilang begitu, aku akan memberi tahumu. Paham? Hmm, dengarkan. Begini, aku–"

Namun, kalau kehidupan nyata itu merupakan alasan untuk menyerah─

Membiarkan segala sesuatunya begitu saja, dengan cita-cita (impian) yang masih berupa khayalan (mimpi), bukanlah sesuatu yang akan aku terima bahkan setelah kematian.

"Aku akan... ...di kehidupan nyata ini. Dengan sungguh-sungguh, sungguh, seriusan. Aku akan mewujudkan sebuah kisah komedi romantis terjadi di kehidupan nyata!"

Maka, aku dengan bangga dan tanpa penyesalan membuat pernyataanku.

Tanpa rasa malu, dan aku tidak berniat berkhayal.

Lagipula, aku mempercayai hal itu dengan sepenuh hati. Sangatlah mungkin untuk mewujudkan kisah komedi romantis dalam kehidupan nyata.

"...Hah?"

Cewek ini, yang begitu tenang sampai beberapa saat yang lalu, saat ini menunjukkan ekspresi bingung untuk pertama kalinya sejak datang ke sini.

Rasanya cuma sedikit kayak aku telah menang.

"...Begini, tunggu sebentar... ...apa kamu serius saat bilang begitu?"

"Sangat serius. Sangat serius. Aku akan membuat pengalaman SMA yang romantis ditambah komedi, tanpa gagal. Dan terlebih lagi, aku siap untuk melibatkan seluruh sekolah."

Aku menatapnya dengan tekad pantang menyerah di mataku.

"Eum, tidak, eh... ...apa kamu yakin kamu tidak mengada-ada untuk membalas dendam padaku?"

"Aku bersumpah demi Dewa Komedi Romantis, aku tulus di sini, dan ini merupakan pikiranku yang sebenarnya. Ada keluhan soalku?"

"Aku... ...benar-benar tidak punya, tetapi ada beberapa masalah dengan apa yang kamu bilang... ...atau lebih tepatnya, tidak ada masalah."

Tatapannya mengarah ke sana kemari, dan dia tampak gelisah.

Iya, tentu saja, dia akan melakukannya. Saat ini aku sedang menghadapi pertarungan dengan semua yang aku punya, dengan jiwaku dipertaruhkan. Melawan orang kayak cewek SMA zaman sekarang, kekuatan dan bobot kemauan itu berada pada tingkat yang berbeda. Tidak heran kalau dia akan kewalahan.

"Aku tidak main-main di sini, dan aku juga tidak akan melakukannya dengan setengah hati. Aku akan menikmati 'Bab Kehidupan Sehari-hari' sepenuhnya, aku akan membuat 'Ajang Festival Budaya Sekolah' jadi sangat dramatis, dan aku akan membuat 'Bab Pakaian Renang', 'Bab Menginap di Pemandian Air Panas', dan bahkan 'Bab Enak-Enak yang Beruntung' jadi nyata."

"Hei, setengah yang pertama itu wajar saja, tetapi ada apa dengan setengah yang kedua?"

"Khususnya, bagian 'Enak-Enak yang Beruntung' merupakan sesuatu yang benar-benar, pasti akan aku alami!"

"Euh, sangat menjijikkan..."

Curahan kesedihan seorang cowok muda mungkin telah membuatnya semakin menjauh karena merasa tidak nyaman, tetapi apa menurutmu aku peduli?

"Aku tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan atau apa yang dianggap normal. Seorang Dewa bilang begini. Kalau 'orang lain merupakan orang lain, dan selama aku bangga dengan diriku sendiri, itulah yang terpenting."

"Sungguh, Dewa macam apa yang bilang begitu?"

"Tentu saja, Dewa Chitose! Chiramune* merupakan buku filsafat yang wajib dibaca oleh siswa-siswi SMP dan SMA! Dasar orang udik yang tidak berbudaya!"

(TL Note: Salah satu judul novel ringan bergenre komedi romantis, buat yang mau baca silakan saja dicari di Google dan temukan di situs sebelah.)

"Aku bahkan belum pernah mendengarnya..."

Cih, inilah masalahnya dengan rakyat jelata yang tidak peka. Buat jenis penggemar kisah rakyat kayak gini, cuma saat kisah ini diadaptasi ke layar lebar, barulah mereka menyanyikan pujian.

"Pokoknya! Keyakinanku yaitu hal yang nyata, dan aku tidak punya niat untuk menyimpang dari jalan ini. Kalau kamu bilang kalau kamu akan menghalangiku, maka aku siap untuk bertarung denganmu. Datanglah ke arahku dari segala arah! Aku akan membuatnya sampai-sampai apa kamu sedang tidur atau bangun, satu-satunya hal yang dapat kamu lakukan yaitu bilang 'Hore untuk Kisah Komedi Romantis'!"

Setelah bilang begitu, aku pun berpose bertarung. Setelah itu, sekeliling kami terdiam.

Masa tegang mengalir di antara kami, dan lalu ─

Teng teng teng, teng teng teng.

Pengatur waktu buat kentang goreng berbunyi.

Hei, jangan mainkan efek suara yang bodoh selama adegan yang sangat serius kayak gini! Ini membuatnya tampak seperti adegan komedi, loh!

"...Hmm. Iya... ...aku agak paham apa yang kamu bilang."

Setelah pulih dari kondisi semi-hibernasinya, dia menutup matanya dengan tangannya dan menghembuskan napas panjang saat berbicara. Mungkin dia tersentuh oleh kata-kata penjiwaanku yang penuh gairah dan tanpa sadar menangis?

"Tetapi bolehkah aku bilang satu hal saja?"

"Apa itu?"

"Dasar orang bodoh."

"Dari mana asalnya itu?!"

Ah, inilah alasan mengapa akhir kisah yang kayak adegan komedi itu mestinya tidak ada dalam gambaran ini!

*

Setelah hening sejenak, dia menatapku dengan mata yang kayak sedang mencari sesuatu.

"...Ada banyak hal yang mau aku bilang. Tetapi kamu serius, bukan?"

"Aku serius. Aku tidak perlu mengulanginya lagi."

"Pertama-tama, kamu sudah mengeluh soal "mewujudkan kisah komedi romantis dalam kehidupan nyata" untuk sementara waktu sekarang. Soal itu..."

"Tunggu dulu. Kisah komedi romantis itu kisah komedi romantis, tetapi lebih tepatnya, istilah 'kisah komedi romantis muda-mudi' itu tepatnya di sini. Kisah komedi romantis merupakan kisah romantis dengan unsur komedi, tetapi kalau kamu menambahkan bagian 'muda-mudi' di awal, definisinya berubah jadi kisah komedi romantis dan drama mencari jati diri yang terutama soal kehidupan sekolah."

"...Ah, jadi singkatnya, kamu mau mengalami jenis romansa yang dramatis, begitu?"

"Unsur intinya memang bagian cinta, tetapi bukan cuma itu saja. Dibandingkan dengan komedi romantis tipe manga shoujo, komedi romantis muda-mudi punya lebih banyak warna remaja dan unsur komedi. Namun, ada beberapa kasus di mana drama kedewasaan memainkan peran yang lebih penting."

"Ah, benarkah begitu?"

Dia memberiku jawaban setengah hati, kayaknya dia tidak peduli dengan definisi yang mendetail.

Hah. Inilah masalahnya dengan para amatir. Kalau kalian tidak membuat perbedaan ini, maka kalian mungkin akan menulis ulasan kayak "Katanya kisah komedi romantis, tetapi tidak ada rayuan romantis ataupun unsur komedinya yang komedi. Makanya kisah ini mendapat bintang 1." dan mendapatkan sanggahan dan penghinaan dengan sesuatu kayak "Ini bukanlah jenis karya kisah romansa yang menggoda, untuk memulainya. Mari kita hindari kritik yang tidak relevan."

"Jadi, kamu benar-benar berpikir kalau kamu dapat mewujudkan hal itu? Bagaimana caranya?"

"Ini cukup mudah. Kamu cuma perlu mengumpulkan dan menganalisis berbagai informasi sebelumnya, menemukan orang yang tepat untuk 'pemeran karakter', mempersiapkan lokasi terlebih dahulu, dan bekerja untuk pengembangan kisah komedi romantis yang ideal."

"...Tidak, mana mungkin sesederhana itu. Maksudku, kamu benar-benar gagal melakukan itu sebelumnya."

"Itu karena kurangnya persiapan di sisiku. Meskipun, aku mau kamu tahu kalau situasinya sudah sempurna..."

"Di situlah masalah terbesarnya, loh?"

"Jadi, kamu benar-benar berpikir kalau kamu dapat mewujudkan hal itu? Bagaimana caranya?"

"Ini cukup mudah. Kamu cuma perlu mengumpulkan dan menganalisis berbagai informasi sebelumnya, menemukan orang yang tepat untuk 'pemeran karakter', mempersiapkan lokasi terlebih dahulu, dan bekerja untuk pengembangan kisah komedi romantis yang ideal."

"Aku sudah tahu kalau kamu itu penyangkal templat, dasar kamu?"

Semua orang menyukai templat alur jalan kerajaan, sampai-sampai dianggap sebagai standar!

Aku jadi sangat marah. Setelah terdiam sejenak seakan-akan berpikir, dia menggelengkan kepalanya dan melanjutkan.

"...Iya, ambil saja seratus, tidak, seribu langkah mundur demi argumen, meskipun kita mengasumsikan keabsahan teori kalau itu mungkin saja buat mencapai hal ini kalau semuanya dilakukan sesuai rencana sejak awal, itu bukanlah hal yang dapat dilakukan dengan persiapan yang setengah-setengah, bukan?"

"Aku menyadari hal itu. Makanya aku mengumpulkan informasi secara mendetail dan berusaha sebaik mungkin untuk memastikan kalau kesalahan perhitungan tidak muncul dalam rencana yang diharapkan. Semakin banyak data yang kamu punya untuk membuat keputusan, semakin kecil kemungkinan gagalnya, dan semakin mudah untuk mengendalikan segala sesuatunya, bukannya kamu setuju?"

"Mengumpulkan informasi yang mendetail, ya?"

Dia mulai bermain-main dengan sedotan di genggamannya, dengan raut wajah yang seakan-akan bilang kalau aku terdengar sangat penting.

...Cewek ini sudah meremehkanku cukup lama.

Oke. Karena dia sudah bilang semua itu, saat ini saatnya untuk menunjukkan satu atau dua hal padanya.

"Jangan meremehkan aku. Uenohara Ayano dari Kelas X-E."

"...Hah?"

Tangan yang sedang memainkan sedotan tiba-tiba berhenti.

Saat aku membuat pernyataan, aku mengeluarkan ponsel pintarku dari sakuku dan membuka layar yang sama kayak sebelumnya.

"Uenohara Ayano. Kelas X-E, Siswi Peringkat ke-6. Lahir pada tanggal 10 November. Bersekolah di SMP Kyougoku Shiritsu Kita, di mana kamu merupakan anggota Ekskul Atletik. Tipe siswi yang sempurna, punya kemampuan akademis dan kemampuan atletik yang sangat baik. Tidak ada mata pelajaran yang dia kuasai dengan buruk dan semua nilainya bagus tanpa kecenderungan tertentu. Menduduki peringkat ke-8 secara keseluruhan dalam ujian masuk. Peringkat ke-3 dalam lomba lari 800 meter di kompetisi atletik SMP tingkat prefektur. Berkenalan dengan berbagai macam orang, dan punya banyak teman baik, baik cowok maupun cewek. Makanan favoritmu yaitu sesuatu yang manis, dan yang paling tidak kamu sukai itu bento di minimarket."

"Tung-Tunggu dulu... ...Hah? Ini pertama kalinya kita bertemu, bukan?"

Dia ─ Uenohara berbicara dengan raut wajah yang bingung.

"Itu benar, memangnya mengapa? Eh, dan juga, untuk orang tuamu, seorang dosen di universitas, dan seorang insinyur sistem paruh lepas, alamat rumahnya yaitu Kyougoku-shi..."

"Aku akan melaporkanmu."

"Hah? ...Tunggu sebentar! Hentikan!"

Uenohara segera mulai menggunakan ponsel pintarnya, jadi aku meraih lengan kanannya untuk menghentikannya.

"Tenanglah! Kamu akan paham setelah aku jelaskan!"

"Kamu benar-benar penguntit dan itu sangat menjijikkan."

"Tidak, semua itu tidak diperoleh dengan cara ilegal, dengarkan saja aku!"

"Pertama-tama, mengapa kamu melakukan begitu banyak penelitian soal seseorang yang belum pernah kamu ajak bicara? Itu sangat mencurigakan."

"Sudah aku bilang padamu sebelumnya! Karakter yang potensial, mereka perlu diselidiki terlebih dahulu!"

Uenohara menghentikan apa yang sedang dia lakukan sejenak dan mengerutkan kening dengan tidak senang.

"Ti-Tidak, aku tidak paham. Dan aku sama sekali tidak tahu mengapa aku njadi target tanpa izin."

Ah, ayolah, apa dia tidak punya kesadaran diri?!

"Maksudku, kamu itu seorang cewek yang cantik, bukan!?"

"...Eh?"

"Aku melakukan pemeriksaan latar belakang pada semua cewek cantik di angkatan kita! Dengan penampilanmu itu, apa kamu benar-benar bermaksud bilang padaku kalau kamu tidak cantik!? Kalau ini merupakan novel ringan*, kamu akan ada di level yang menyuruh seseorang untuk kembali saat mereka melihat ilustrasinya, loh!"

(TL Note: Ini kan memang novel ringan, Bang MC, hadeuh!)

Mendengar kata-kataku, kali ini Uenohara benar-benar berhenti. Lalu, setelah mengedipkan matanya beberapa kali, dia menatapku dengan tatapan yang tidak terlukiskan.

"Begini, pada saat ini, meskipun kamu memujiku, aku tidak akan merasa senang sama sekali."

"Itu bukan masalahnya. Aku cuma bilang apa adanya. Menurut penyelidikanku, secara visual kamu ada di peringkat ke-7 secara keseluruhan di angkatan kita. Nomor 7 dari 150 orang. Banggalah pada dirimu sendiri."

"...Eh, aku tidak tahu bagaimana aku mesti bereaksi pada hal itu."

Uenohara menampar tanganku yang menggenggam lengannya, menariknya menjauh, lalu mulai bermain-main dengan rambut di belakang kepalanya, memutar-mutarnya dengan tangan kanannya.

"Ngomong-ngomong, aku sudah menghitung evaluasinya dengan benar. Mari kita lihat, nilai dalam kategori visual yaitu 4,3 untuk Wajah, 4,7 untuk Penampilan, 2,8 untuk Payudara..."

"Aku akan melaporkanmu."

"Aku bilang tunggu!"

Kali ini tangan kirinya yang aku pegang dengan erat. Aku tidak boleh lengah sedikit pun!

"Itu karena kamu sama sekali tidak mempercayaiku sampai-sampai aku mengungkapkan informasi itu, loh! Namun kamu memperlakukanku kayak seorang penguntit kriminal, itu sangat kejam!"

"Tidak ada yang menyuruhmu untuk mengungkapkan semua informasi pribadi yang menyeramkan itu. Sebenarnya, bukannya sudah jelas bahwa siapapun yang mendengarnya akan lebih waspada? Apa kamu orang bodoh yang menentang akal sehat sampai-sampai kamu bahkan tidak paham hal itu?"

"Euh, itu yang terakhir! Orang yang menyebut orang lain orang bodoh merupakan orang yang benar-benar bodoh, dasar bodoh!"

"Semuanya cuma akan memantul kembali padamu, dasar bodoh."

Selama beberapa saat, kami cuma saling memelototi dalam keheningan.

Bla bla bla, bla bla bla.

"...Hah."

Saat pengatur waktu untuk kentang goreng berbunyi sekali lagi, Uenohara melepaskan tenaganya, kayak sudah menyerah. Dia telah melepaskan ponsel pintarnya, jadi kayaknya buat saat ini dia telah mengurungkan niatnya untuk melaporkanku.

"Ini sudah terlalu jauh ke arah yang tidak terduga, dan aku terganggu dalam banyak hal... ...sungguh tidak dapat dipercaya."

Sambil bilang begini, dia menepis tanganku dan mulai merapikan poninya yang agak acak-acakan.

"Buat saat ini, kayaknya kamu agak mempercayainya. Betapa seriusnya aku."

"Aku akan mengakui kegilaannya."

Kayaknya dia akhirnya mengakui... ...hmm, ya? Bukannya itu berarti dia tidak mengakuinya...?

Saat aku memiringkan leherku, Uenohara tiba-tiba rileks dan bersandar di kursinya.

"Hei. Hal yang tadi itu, apa kamu punya bagian orang lain juga?"

"Hah? Apa yang kamu bicarakan?"

"Informasi pribadi, kayak punyaku."

"Eum, iya... ...sampai batas tertentu."

"Biarkan aku melihatnya sebentar. Aku tidak akan menyalahgunakannya."

Bilang begini, Uenohara mengulurkan tangan kanannya.

"...Buat apa kamu berniat menggunakannya?"

Aku menggenggam ponsel pintarku dengan erat dan meningkatkan kewaspadaan. Data ini merupakan materi yang sangat rahasia, tidak boleh diketahui orang luar. Bukan sesuatu yang dapat dengan mudah aku tunjukkan pada orang lain.

"Tidak ada yang khusus. Aku cuma penasaran berapa banyak yang ada di sana."

Cara Uenohara berbicara acuh tak acuh kayak biasanya, membuatku sulit untuk membaca niatnya yang sebenarnya. Tetapi dari kelihatannya, kayaknya dia tidak bermaksud untuk mengolok-olok.

Menunjukkan jumlah materi yang aku punya mungkin merupakan cara yang baik untuk menunjukkan tingkat komitmenku, oke.

Aku merenung sejenak, lalu, setelah menilai bahwa selama dia tidak mencatatnya, tidak akan jadi masalah, aku memutuskan untuk menunjukkan bagiannya.

"Hati-hati dengan itu. Dalam keadaan normal, itu akan dilarang keras untuk membaginya dengan orang lain."

"Aku tahu."

Setelah mengingatkannya akan hal ini, aku dengan hati-hati meletakkan ponsel pintarku di telapak tangannya.

Uenohara mulai dengan cepat menggulir layarnya. Rasanya dia tidak membaca dengan seksama, jadi kayaknya, kayak yang dia katakan, dia tidak mau melihat sesuatu yang spesifik.

Seandainya saja dia punya semacam kemampuan ingatan yang sempurna, maka hal ini akan berakibat fatal... ...Tetapi iya, mustahil kekuatan psikis kayak gitu ada di sekitarku dalam kehidupan nyata, jadi mengapa aku mesti khawatir?

"Ini bukan cuma kumpulan catatan biasa... ...apa ada di web? Desainnya kayak halaman wiki."

"Itu benar. Itu karena datanya disimpan di server. Tentu saja, cuma aku yang dapat melihatnya, dan semuanya terenkripsi sepenuhnya."

"Kamu bahkan dapat mencari sesuatu..."

"Lagipula, kamu tidak pernah tahu di mana dan bagaimana aku akan menggunakannya. Bahkan, ini membantuku mencari datamu beberapa saat yang lalu."

Mungkin karena lelah tidak menghargaiku, Uenohara membenamkan dirinya dalam konten tanpa membalas.

"Satu, sepuluh... ini benar-benar punya informasi soal banyak orang? Informasi dasar, kepribadian, kecenderungan perilaku, bahkan ada grafiknya..."

Menutupi mulutnya dengan tangannya, Uenohara bergumam pada dirinya sendiri dengan raut wajah yang serius. Dia tidak lagi berbicara dengan sikap jengkel yang sama kayak sebelumnya, dan sebaliknya, sekarang tampak terbelalak dan benar-benar takjub.

Iya, tentu saja. Bagaimanapun juga, ini merupakan permata dari sebuah mahakarya yang aku ciptakan dengan memanfaatkan sepenuhnya keterampilanku.

Apa yang aku tunjukkan pada Uenohara merupakan salah satu dari beberapa "basis data kisah komedi romantis." Kumpulan informasi pribadi soal siswa-siswi di sekolah kami... ...alias "Catatan Teman-Teman."

Ini mendokumentasikan berbagai macam hal, mulai dari informasi dasar kayak nama, tanggal lahir, SMP sebelumnya dan ciri-ciri eksternal, hingga faktor intrinsik kayak kepribadian dan kecenderungan perilaku, sampai informasi soal lingkungan sekitar mereka kayak hubungan dan latar belakang keluarga, dan bahkan data objektif yang dikumpulkan dari kuesioner dan sumber lainnya.

"...Baru dua pekan sejak sekolah dimulai. Semua ini dikumpulkan dalam waktu yang singkat?"

Tiba-tiba Uenohara mendongak, menanyakan pertanyaan itu padaku.

"Iya, sudah sekitar 80% selesai. Atau begitulah menurutku, tetapi aku cuma memprioritaskan investigasi pada orang-orang yang aku pikir memiliki bakat untuk sebuah kisah komedi romantis, jadi masih jauh dari kata selesai."

"Kok kamu bisa...? Bahkan ada foto-fotonya."

"Ini berdasarkan daftar siswa-siswi dan informasi yang dipublikasikan di media sosial. Foto-foto tersebut dipinjam dari foto grup upacara masuk sekolah."

Kebetulan, dibandingkan dengan saat ini, Uenohara dalam foto itu punya rambut yang lebih panjang, dan rambutnya hampir lurus. Inilah alasan aku tidak mengenalimu pada pandangan pertama. Astaga, cuma cewek membosankan itu yang boleh mengubah potongan rambutnya dari waktu ke waktu, dasar orang yang tidak sopan.

"Ada juga data gosip dan informasi yang bocor dari ruang obrolan kelas dan ekskul. Aku juga mengandalkan kemampuan intelijen dari para operator akar rumput."

Meskipun saat ini terbatas pada siswa-siswi kelas sepuluh, aku telah mendapatkan paling tidak satu orang yang komunikatif dan suka bergosip di setiap kelas sebagai sumber operasi akar rumput. Sampai-sampai dengan mengelola mereka dengan baik, aku dapat memperoleh informasi kasar soal seluruh kelas.

Sebagai catatan tambahan, aku menyebut mereka "Rekan Saotome," untuk mengungkapkan rasa hormatku yang mendalam pada mereka. Aku rasa, tidak ada orang yang tahu asal-usul istilah ini saat ini, jadi ini juga sempurna buat kamuflase.

"Buat orang-orang yang jadi prioritas utama untuk diselidiki, aku juga langsung bertanya pada teman-teman dan kenalan-kenalan mereka, dan terkadang juga terjun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan informasi dari kerabat-kerabat dekat mereka."

"Hei, mengapa kamu tidak berhenti saja dari sekolah dan jadi detektif?"

"Itu akan kayak meletakkan delman di depan kuda. Bagaimana aku bisa mewujudkan kisah komedi romantis kalau aku berhenti sekolah?"

"Ah, iya. Lupakan saja, maafkan aku."

Uenohara memegangi dahinya dan menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Dengan kata-kata terakhir itu, kami berdua terdiam beberapa saat, dan waktu pun berlalu.

Aku mengangkat susu kocok itu, yang benar-benar meleleh dan encer kayak susu kental manis, ke mulutku. Rasanya tidak enak sama sekali, tetapi gula dengan senang hati menyebar ke seluruh otakku yang lelah.

Setelah mendinginkan diri, tiba-tiba aku tersadar kalau... ...kayak yang dapat aku duga, aku mungkin telah mengungkapkan terlalu banyak hal. Tidak peduli seberapa besar keinginanku untuk membujuknya, tidak perlu menunjukkan begitu banyak hal yang terjadi di balik layar, bukan? Pikiran itu tiba-tiba membuatku gelisah, dan aku bergegas menyimpulkan sesuatu.

"...Cukuplah, kamu mestinya dapat mengetahui, betapa seriusnya diriku. Jadi aku mohon jangan menghalangi jalanku."

Uenohara mengalihkan pandangannya dari ponsel pintar yang sedari tadi dia tatap dan mengangkat kepalanya. Kayak yang sudah aku duga, wajahnya yang tanpa ekspresi itu membuatku mustahil untuk membaca apa yang dia pikirkan.

"Aku tahu kalau kamu serius. Namun..."

Dia mengalihkan pandangannya ke samping, menurunkan nada suaranya sedikit, dan kembali berbicara, sedikit demi sedikit.

"Seandainya saja kamu sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi tetap tidak dapat membuat kisah komedi romantis... ...apa yang akan kamu lakukan?"

Mendengarkan pernyataan itu tiba-tiba membawa kembali kenangan masa SMP-ku. Aku mengepalkan tanganku dan lalu menjawab dengan maksud yang jelas.

"Aku tidak memikirkan apa yang akan terjadi. Dengan metode yang ada padaku, aku cuma memusatkan segala usahaku untuk mewujudkannya."

Mata Uenohara sedikit melebar. Aku memusatkan pandanganku pada pantulan sosokku di matanya dan berbicara sedemikian rupa agar membuat diriku didengar.

"Tentu saja tidak ada jaminan untuk berhasil. Namun, dengan tidak melakukan apapun dan mengikuti arus, tidak ada peluang untuk mewujudkannya. Begitulah kehidupan nyata berjalan."

Selama enam belas tahun aku hidup, itulah satu-satunya hukum yang tidak pernah berubah.

"Hal-hal yang dapat dilakukan oleh orang biasa dengan kemampuan yang tumpul kayak aku mungkin tidak banyak. Meskipun begitu, paling tidak aku dapat mengerahkan seluruh upayaku untuk melakukan apa yang dapat aku lakukan dan bekerja keras sampai dapat mewujudkannya. Itulah yang telah aku putuskan."

Bilang "Selain itu..." Aku terus berbicara.

"...Kalau kamu melakukan sesuatu dengan setengah hati, itu tidak akan membuahkan hasil yang baik pada akhirnya, loh."

Saat aku bilang begini, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang pahit menyebar di mulutku, dan menelan ludahku dengan satu tegukan. Apa yang dipikirkan Uenohara setelah mendengarkan kata-kataku itu?

"Benarkah begitu? Kayak yang aku duga, kamu memang bodoh."

Saat dia menyipitkan matanya, untuk pertama kalinya, tampak ada sedikit emosi di matanya.

Aku hendak bilang "Begitu lagi?" ...Tetapi entah mengapa, kata bodoh kali ini terdengar berbeda ketimbang sebelumnya, jadi untuk sesaat, aku kehilangan kata-kata.

"...Iya, benar. Maafkan aku soal itu. Mau bagaimana lagi, mau tidak mau aku begitu, oke?"

"Tidak, aku tidak meremehkanmu. Bukan kayak gitu..."

Di sana, Uenohara memotong kata-katanya dan terdiam sekali lagi.

"Bukan begitu?"

"Bukan apa-apa. Lagipula, itu tidak ada hubungannya denganku."

Tidak ada hubungannya dengannya, ya.

Kata-kata itu diucapkan dengan nada suara datar yang sama, yang telah bergumam padaku sampai beberapa saar yang lalu. Namun, entah mengapa, aku merasakan sesuatu yang menarik hatiku.

Lalu.

"Hei, begini... ...kayaknya kamu salah paham. Pada titik ini, kamu mana mungkin tidak ada hubungannya sama sekali."

Aku mendapati diriku melanjutkan.

"...Hah?"

"Begini, bukannya kamu sudah tahu rencanaku? Aku bahkan sudah menunjukkan "Catatan Teman-Teman" padamu. Dalam keadaan kayak gitu, apa kamu pikir aku akan membiarkanmu berpamitan dan menyatakan bahwa mulai besok kita merupakan orang asing?"

Uenohara mengedipkan matanya. Mungkin kata-kataku memang tidak terduga, karena dia tampak tertegun, mulutnya terbuka.

...Itu tidak mengherankan. Lagipula, sampai saat ini, bahkan aku tidak berencana untuk mengatakan hal semacam itu.

"Kalau aku membiarkanmu lolos begitu saja di sini, tidak ada yang tahu masalah macam apa yang akan muncul. Kalau ada kemungkinan hal itu mengganggu rencanaku, maka aku akan mengambil tindakan pencegahan. Itulah motoku."

"Aku benar-benar... ...tidak berniat untuk menghalangimu."

"Tetapi tetap saja."

Menyela kata-kata Uenohara, aku melanjutkan.

"Ini merupakan fakta yang tidak terbantahkan kalau aku terpaksa mengungkapkan rencana itu. Akulah yang mesti disalahkan karena melakukan kesalahan, bukan kamu yang memanfaatkannya dengan baik."

Biasanya, tidak perlu bilang begini. Hal yang tepat untuk dilakukan yaitu kayak menggunakan informasi pribadi sebagai perisai untuk menutup mulutnya, membujuknya agar berusaha sebaik mungkin untuk tidak terlibat.

Akan tetapi, aku...

"Dan di situlah aku tersadar. Kalau aku mengajakmu bergabung juga, maka kita bisa mulai hal itu."

Dengan sengaja. Aku memilih untuk pergi ke arah lain.

"Kamu punya potensi yang tinggi. Kecenderunganmu untuk berpikir secara argumentatif, teknik obrolanmu yang membuat orang terpojok, dan tsukkomi yang tanpa ampun... ...Aku rasa semua itu merupakan kekuatan yang luar biasa. Sayang sekali kalau membiarkan semua itu tertidur tanpa memanfaatkannya."

Uenohara tetap diam, menatapku. Aku menumpuk lebih banyak kata di atas satu sama lain secara berurutan.

"Sebenarnya, aku baru saja mulai berpikir kalau aku dapat mewujudkannya dengan bantuan tambahan. Aku dapat menangani penelitian dan analisis data menggunakan internet sendiri, tetapi ada batasan jumlah informasi yang dapat aku kumpulkan melalui dialog dan penelitian yang membutuhkan kunjungan langsung ke lapangan. Beberapa informasi juga lebih mudah didapatkan oleh seorang cewek."

Aku berbicara sambil menumpuk teori yang sesuai dengan apa yang terlintas di dalam benakku.

"Jadi, kalau aku dapat mendapatkan seseorang yang punya kemampuan luar biasa kayak dirimu, rencana itu akan semakin dekat untuk menjadi nyata. Menurut data informasi, kamu tidak bergabung dalam ekskul atau kelas tambahan saat ini, bukan? Jadi, ini juga akan jadi penggunaan yang baik untuk waktu luangmu. Hmm, benar-benar kesimpulan yang cerdas."

Aku memang sadar kalau apa yang aku katakan cukup tidak masuk akal, tetapi meskipun begitu, aku tidak berhenti berbicara.

"Karena itulah kamu akan jadi anggota perencanaku... ...Ah, tidak, disebut anggota saja tidak terlalu menarik. Bawahan... ...Kamerad... Hmm, itu juga tidak enak didengar."

Masalahnya kali ini merupakan kegagalan di sisi lain dari rencana. Sebuah bab "Di Balik Layar" yang tidak ada hubungan langsung dengan kisah komedi romantis yang akan menjadi nyata. Namun, Uenohara tetap saja...

Dengan cara yang benar-benar tidak biasa buat kehidupan nyataku...

Seseorang yang berhasil aku temui dengan cara yang mustahil baik secara kebetulan, tidak sengaja, atau dalam keadaan normal. Untuk berpura-pura kalau hubungan dengan orang kayak gitu tidak ada, itu l─

"Itu benar. 'Kaki tangan'! Buatlah kontrak denganku, dan jadilah 'Kaki Tangan' dari rencana itu!"

"Aku menganggapnya suatu kebodohan, tidak pantas untuk "Protagonis" dari "Kisah Komedi Romantis"."

"Seseorang yang benar-benar dapat berubah dapat berubah sekarang juga, saat ini juga... Sebuah pelajaran yang benar-benar memuaskan dari Dewa-ku. Ayolah sekarang, pegang tangan ini."

Aku segera mengulurkan tangan kananku, mengundangnya untuk menjabat tanganku. Uenohara terdiam, menatap tanganku.

"...Bagaimana?"

Ini semakin lama semakin melelahkan, loh.

"...Eum, bagaimana menurutmu?"

Saat tanganku mulai bergetar, Uenohara menghela napas paling berat hari ini.

"...Kamu tahu."

"...Apa?"

"Dasar orang bodoh."

"Mengapa?!"

Aku menjerit dengan payah. Ayolah, itu akan jadi adegan perekrutan yang sempurna!

Dengan tatapan sinis di matanya, Uenohara dengan acuh tak acuh melanjutkan.

"Pertama-tama, tidak ada satu pun keuntungan buatku."

"Kita dapat membuat kisah komedi romantis, loh! Ini merupakan kesempatan yang sangat langka untuk melihat apa yang terjadi di belakang panggung!"

"Tidak, sejak awal aku tidak tertarik dengan kisah komedi romantis dan sejenisnya."

"Seakan-akan anak SMA kayak gitu akan ada!"

"Benarkah begitu? Kalau begitu, selamat tinggal."

"Ah, aku mohon maaf. Aku terbawa suasana, aku mohon maafkan aku."

Hmm, sebuah keuntungan, sebuah keuntungan...

Saat aku bergegas memikirkan apa lagi yang tersedia, Uenohara menundukkan matanya sekali lagi dan menghembuskan napas.

"...Aku mungkin juga bertanya, tetapi meskipun aku menolaknya, kamu tidak berencana untuk menyerah, bukan?"

"Tentu saja. Aku akan mengejarmu sampai ke ujung galaksi dan merekrutmu. Makanya aku meminjam kalimat dari penjual terbaik di alam semesta."

"Iya, aku rasa akan kayak gitu. Oke, aku tidak masalah dengan itu."

"Hmm, apa itu benar? Kayak yang aku duga, kamu tidak akan menyerah begitu saja, ya?"

Hah! Jawabannya sangat licin sampai-sampai aku akhirnya memainkan peran sebagai tokoh protagonis yang punya kesulitan pendengaran!

"Hei tunggu, kalau kamu mau menerima, kamu mesti lebih dramatis saat menerimanya! Menurutmu, mengapa aku terus menerus membicarakan hal ini begitu lama?! Satu-satunya yang menonjol dari kerumunan dengan reaksi kayak gitu yaitu cewek yang membosankan itu!"

Sambil memainkan rambut di pundaknya, memutar-mutarnya dengan ujung jarinya, Uenohara melanjutkan dengan suara tanpa emosi.

"Maksudku, untuk menangis dengan keras, aku mulai lelah. Dan kayaknya akan sangat menyakitkan kalau kamu tetap menempel padaku."

"Eh, karena alasan yang negatif kayak gitu? Tidak bisakah itu sedikit lebih kayak, hmm, balasan dengan rasa romansa yang dapat diterima semua orang?"

"Apa maksudmu, semua orang? Tidak ada orang lain."

Dengan sebuah kibasan, Uenohara menyibakkan rambutnya ke belakang seakan-akan bilang kalau dia tidak paham apa maksudku. Kayak biasanya, wajahnya tanpa ekspresi.

...Tidak, bukan begitu. Kalau aku mesti bilang, bukannya itu merupakan wajah "yare yare"*?

(TL Note: Kata seru dalam bahasa Jepang yang biasanya digunakan sebagai ungkapan rasa lega atau kecewa.)

"Astaga. Benar-benar orang yang tidak punya akal sehat."

Dengan suara "Benar-benar tidak bisa ditolong!" kayak gitu, kedengarannya kayak sesuatu yang pernah aku dengar di dunia komedi romantis di suatu tempat. Dengan tangan kanannya, dia menampar tanganku.

"Lagipula, begini, aku cuma kepikiran mungkin akan seru untuk melakukan sesuatu yang agak konyol buat sebuah perubahan."

Buat pertama kalinya, aku melihat mulutnya tersenyum kecil.

...S*alan. Si Nomor 7 ini.

"...Kamu sangat imut saat kamu tersenyum, s*alan."

"Itu menjijikkan."

"Mengapa kamu membenciku?!"

"Karena setiap sikapmu yang berlebihan itu membuatku merinding."

"Aku memujimu tanpa alasan! Kamu bukan kaki tanganku! Kamu cuma bisa jadi seorang penggerutu rendahan yang bisa dibuang! Bodoh, dasar bodoh!"

"Bukannya tadi kamu bilang kalau orang yang menyebut orang lain itu bodoh merupakan orang yang bodoh?"

"Ajang Pernyataan Cinta" kali ini merupakan sebuah kegagalan yang sempurna. Tetapi, iya... karena aku mencapai sebuah hasil yang menutupi kegagalan itu, anggap saja semuanya berakhir dengan baik.

"Ngomong-ngomong. Siapa namamu dah?"

"...Ah."

Ditanyai pertanyaan itu, aku baru menyadarinya buat pertama kalinya. Benar, kami belum memperkenalkan diri dengan benar.

"Aku Nagasaka. Nagasaka Kouhei dari kelas X-4. Panggil aku sesukamu."

"Kalau begitu, Nagasaka. Sekali lagi, aku Uenohara Ayano, dari kelas X-5. Jangan ragu untuk memanggilku Uenohara atau Ayano."

Dengan begitu, "Rencana"-ku mengantar seorang "Kaki Tangan" dan memulai awal yang baru.

"Kalau dipikir-pikir, Uenohara. Mengapa kamu ada di atap?"

"Itu karena surat cintamu ada di kotak sepatuku?"

"...Kok bisa itu terjadi?"

"Mungkin karena itu ada tepat di sebelah kotak cewek yang mau kamu temui?"

"...Eh, mustahil, apa aku salah menaruhnya di kotak yang salah?!"

"Kamu benar-benar orang yang sangat bodoh."

Iya, memang agak berantakan, tetapi buat saat ini, begitulah awalnya.

TL Note: Kami mulai garap dari awal lagi guys, tidak melanjutkan dari web sebelah, bedanya dari web sebelah itu yang mereka garap dibagi jadi 4 bagian, di sini kami jadikan 1.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama