Yumemiru Danshi wa Genjitsushugisha [WN] - Seri 6 Bab 154 - Lintas Ninja Translation

Bab 154
Melarikan Diri ke Hari Esok

Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya.

Matanya yang berbaur dengan cahaya sang surya tenggelam menangkapku dan tidak mau melepaskanku. Aku merasa kalau saja aku mengambil selangkah saja, ia mungkin akan memahami perasaanku yang bahkan tidak dapat aku ungkapkan dengan kata-kataku. Wajahku memanas, begitu juga tubuhku. Satu-satunya hal yang bagus yaitu, bahwa aku juga terbakar oleh nyala api dari sang surya yang tenggelam. Berkat cahaya itu yang merupakan perpaduan dari warna jingga keemasan dan ungu, aku tidak perlu lagi menyembunyikan wajahku yang sudah pasti memerah.

'—Kelemahan itulah yang membuat seseorang jatuh cinta.'

Aku merenungkan kata-kata yang ia bisikkan padaku beberapa detik yang lalu seakan-akan kata-kata itu telah menghilang ke udara. Bukan, kata-kata semacam itulah yang terulang-ulang di kepalaku tanpa aku sadari. Kata-kata itu terus berputar-putar di kepalaku, meluluhkan otakku, dan juga hatiku.

'—Karena ia... ...selalu menyukai Natsukawa.'

Aku juga mengingat kata-kata yang Sasaki-kun bilang padaku. Wataru memang kayaknya selalu menyukaiku. Namun, aku tidak tahu itu sampai saat itu di semester pertama, saat Wataru bilang padaku bagaimana perasaannya padaku di rumah Wataru, dan aku tidak tahu apa itu masih kayak gitu. Meskipun begitu, kalau memang benar kata-kata Sasaki-kun itu merujuk pada Wataru yang saat ini.—

"...Ah... ...Ah..."

Wajahku terasa panas.

Sang surya mulai tenggelam. Aku masih belum mau itu pergi lebih dulu. Wajahku jelas masih tetap kayak buah yang baru matang. Kalau itu terus berlanjut, Wataru mungkin akan melihat wajahku ini. Ini memalukan. Aku merasa malu kalau ia dapat melihat perasaanku ini, yang muncul begitu saja dari dadaku. Jadi aku mohon jangan pergi dulu.—

"...Haruskah kita pulang sekarang?"

—Eh?

Wataru memutar kata-kata berikutnya. Ia menghela napas kecil, memang tampak agak lelah, lalu ia mengambil tasnya dari meja di depannya dan berjalan melewatiku.

"...Ah, eh...?"

"Tidak, begini... ...Karena di luar sudah mulai gelap."

Bukan begitu, woi.

Wataru tampak terlalu tenang. Tidak kayak saat ia membisikkan kata-kata yang manis padaku beberapa saat yang lalu, ia berjalan ke tengah ruang kelas yang hampir sebagian besar gelap. Karena perubahan caranya itu, aku tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun dengan benar.

—Apa yang tadi itu cuma mimpi?

Apa yang tadi itu cuma imajinasiku saja? Apa aku tadi salah dengar? Apa itu sebabnya ia bisa tetap menetap di sini seakan-akan tidak terjadi apa-apa? Matanya itu, mata itu, yang melihat hal-hal dengan begitu penuh kasih sayang, kata-kata yang ia ucapkan padaku seakan-akan ia mengucapkannya dengan sedikit rasa sakit, apa semua itu tidak nyata...?

"...Ah..."

Panas di tubuhku mulai mereda. Apa yang sangat aku harapkan selama ini berubah jadi rasa takutku dan itu menyerangku sebelum aku dapat menyingkirkannya. Jantungku mulai berdegup kencang, ini merupakan perasaan pertamaku, aku tidak mau percaya kalau semua itu cuma diarahkan pada khayalan palsu semata.

"Tung-Tunggu..."

Aku hendak mengeluarkan suaraku sekuat tenaga... ...namun, suara yang keluar dari mulutku cuma suara yang pelan, gemetaran dan kayaknya menghilang begitu saja di depan matanya. Suara-suaraku itu, yang dalam keadaan normal mestinya mencapai gedung sekolah di seberang jalan, terdengar kayak sisa suara cahaya kehidupan yang sudah sekarat. Sampai sejauh itu, tidak ada ruang dalam diriku.

Tubuhku tidak berdaya. Saat aku menatap ke arah Wataru dengan putus asa seakan-akan berpegang teguh padanya, aku melihat matanya, yang telah kembali ke warna hitam kayak biasanya, sedang menatapku.

"—Aku akan menunggumu."

"Ah..."

Fiuh, Wataru tersenyum lebar. Meskipun matanya memang sudah kembali sama kayak biasanya, tetapi aku masih tidak yakin kalau ia itu telah kembali jadi Wataru yang sama kayak yang biasanya aku kenal di sana. Meskipun itu cuma tiga kata, kata-kata itu berulang-ulang di kepalaku sama kayak sebelumnya.

"Sebentar lagi hari akan gelap, dan aku tidak mau meninggalkanmu sendirian di sini, loh."

"..."

Mengapa?

Aku menggerakkan kakiku, yang saat ini sudah bisa aku gerakkan, ke arah Wataru. Wajahnya itu, yang tampak sudah dewasa, perlahan-lahan semakin mendekatiku. Waktunya berlalu sangat lambat sampai-sampai ia mungkin mengira aku sedang berlatih berjalan di tempat rehabilitasi.

"..."

"..."

Tanpa aku sadari, aku mendapati diriku sudah mendekati pintu masuk sekolah.

Kami tidak mengobrolkan apa-apa dalam perjalanan dari ruang kelas menuju pintu masuk, tetapi Wataru, yang berjalan agak di depanku, memperlambat langkahnya sambil sesekali melihatku berjalan di belakangnya. Kelembutan di matanya, yang tiba-tiba agak menyipit setiap kali ia melakukan itu, aku merasakan kayaknya itu mengandung sesuatu yang lain dari jenis persahabatan yang biasa ditunjukkan seseorang pada teman sekelasnya, dan detak jantungku semakin kencang, membuatku semakin tidak stabil.

Apa ini murni sikap egoisku? Apa mungkin aku cuma terlalu minder? Sungguh menyakitkan buat hatiku saat aku menganggap kalau perasaan Wataru padaku itu masih hidup.

"Alasan mengapa Wataru mau berusaha keras" merupakan hal yang sangat ingin aku ketahui. Itu membuat kepalaku pusing, mengira kalau seluruh waktu itu, seluruh upaya itu, seluruh kecenderungan itu, diarahkan padaku. Dan mau tidak mau aku berpikir dengan naifnya kalau akulah orang yang sederhana, dan entah mengapa aku merasa kalau kegembiraanku melonjak melebihi rasa sakit dan penyesalan yang aku rasakan.

Wataru mulai meninggalkan pintu masuk sekolah, dan bermandikan cahaya yang redup di luar.

Wataru menatap langit sejenak dan mengambil napas.

Wataru tampak sedang merasa nyaman di tengah sejuknya angin musim gugur.

Mau tidak mau aku pun memperhatikannya. Bukan cuma karena persiapan Wataru yang terlalu cepat, tetapi itu juga karena persiapanku yang terlalu lambat. Meskipun aku menatap ke arah Wataru tanpa memperhatikan tanganku, aku tidak akan pernah bisa mengganti sepatuku terus-terusan. Meskipun aku takut kalau Wataru akan pergi meninggalkanku, tetapi aku akhirnya berhasil mengganti sepatuku dan menyusulnya, mengejar ketertinggalanku.

"—Tidak terasa sekarang ini sudah musim gugur saja, ya?"

"Eh...?"

"Itu, begini... ...aku telah lama berkonsentrasi. Barusan rasanya kayak kita masih di tengah-tengah musim panas sepanjang waktu sampai saat ini. Aku tidak menyadari kalau ternyata sudah sedingin ini."

"...Benar juga, ya."

Tanpa aku sadari, ternyata saat ini sudah musim gugur. Aku belum menyadarinya sampai barusan Wataru memberi tahuku. Aku juga merasa kalau kegiatan Panitia Pelaksana Festival Budaya terasa kayak ajang musim panas buatku. Dengan kesadaran ini, kegiatanku di esok hari akan tercermin dalam sudut pandang yang berbeda menurutku. Saat-saat yang sangat menyakitkan buatku itu, kini telah berubah jadi kenangan.

Dari suatu tempat, aku mendengar sebuah suara jangkrik.

"..."

"...Natsukawa?"

"Ah... ...I-Iya..."

Kalau aku berdiri tepat di sebelah Wataru, aku tidak dapat melihatnya. Jadi aku akhirnya berjalan sedikit di belakangnya. Karena aku dapat melihat wajahnya lebih jelas dengan cara begitu. Tanpa aku sadari, aku berjalan dengan kecepatan yang lebih lambat ketimbang sebelumnya. Aku mungkin berjalan dengan terlalu lambat. Wataru menatapku dengan penasaran.

Wajahku jadi terasa panas. Aku merasa malu karena aku begitu naif. Karena aku tidak mau tampak olehnya, aku pun bergegas berjalan ke sebelah Wataru yang lain.

"..."

"..."

Keheningan terus berlanjut dalam perjalanan pulang ini. Wataru tidak bilang apa-apa. Saat aku mengintip wajahnya agar tidak ketahuan, aku mendapati Wataru cuma menatap lurus ke depan sambil berjalan. Namun, ia tampak sudah mengantuk dan lelah. Ini merupakan perubahan total dari saat ia tampak sangat dewasa, dan saat ini ia terasa seakan-akan ia sangat polos.

Aku jadi deg-degan.

Ini aneh. Apa aku Wataru pernah tampak sekeren ini sebelumnya? Apa ia pernah tampak seimut ini sebelumnya? Semakin aku memandangnya, semakin panas hatiku dan semakin aku merasa ingin menyentuhnya. Cuma dengan berdiri di sampingnya saja, aku dapat mencium aroma badan Wataru, dan rasanya pikiranku mau meleleh.

Ini merupakan pengalaman pertamaku merasakannya. Aku belum pernah mengalami hal semacam ini dalam seumur hidupku.

Saat aku menatap ke bawah, aku memandang ke arah tangan Wataru di sebelah kananku. Tangannya jauh lebih besar ketimbang tanganku. Aku dapat dengan mudah menyentuhnya kalau aku sedikit saja mengulurkan tanganku. Meskipun jarak di antara kami cuma 15 sentimeter, tetapi aku merasa gatal karena aku tidak dapat meraih tangannya.

"—Ah!"

Saat aku merasa menderita karena hal itu, aku mendapati persimpangan jalan sudah mulai tampak. Kapan hal ini terjadi, tanpa aku sadari, aku berpikir begitu. Tidak terasa sudah banyak yang berlalu sejak kami meninggalkan sekolah. Rasanya kayak kami baru berjalan sekitar belasan langkah saja dari sekolah. Mengira kalau aku telah menghabiskan seluruh waktuku cuma untuk melawan tangan kiri Wataru selama ini, wajahku jadi agak memanas lagi.

Meskipun aku melihat ke depan seakan-akan mencoba menipu diriku sendiri, tetapi satu-satunya jalan yang aku lihat yaitu jalan di mana aku mesti berpisah dengan Wataru.

—Aku tidak mau itu.

Mau tidak mau aku berhenti. Keinginanku yang kuat untuk tetap bersama Wataru menghalangi pergerakan kakiku. Wataru, yang ada di depanku, menyadarinya beberapa saat kemudian. Setelah melihat ke belakang dengan rasa penasaran, ia melihat ke sekelilingnya dan berkata dengan nada puas seakan-akan ia paham.

"Akhirnya kita sudah sampai di sini juga, ya."

"Iya..."

Perjalanan pulang yang membuatku gelisah. Aku merasa agak sedih saat Wataru cuma bergumam saja dengan datar tanpa emosi dan dalam keadaan mengantuk. Seandainya saja ada sedikit saja sesuatu yang lebih, apa saja, apapun itu. Rasa frustrasi itu timbul, tidak mau meninggalkannya begitu saja kayak gini.

"...Hah..."

"...!"

Wataru memunggungiku dan menurunkan bahunya sedikit di tempat. Yang dapat aku dengar darinya cuma suara helaan napasnya yang membuatnya tampak terasa sudah lelah. Kayaknya ia berusaha agar tidak tampak begitu karena ia tidak mau membuatku khawatir. Sikap semacam itu tidak tertahankan dan merangsang hatiku yang sedang bimbang.

Astaga, aku sudah tidak tahan lagi.

"Natsu — Eh?"

"..."

"..."

Rasanya agak padat. Saat aku mencoba bernapas, yang ada cuma aroma tubuh Wataru. Aku kira punggungnya akan terasa hangat, tetapi ternyata punggungnya agak terasa dingin. Saat aku menelusurinya dengan ujung-ujung jariku, aku merasakan garis-garis bergelombang yang tidak rata di tubuhnya.

"Maafkan aku... ...Aku barusan agak tersandung..."

"...Ah, eh? A-Apa kamu tersandung?"

"Iya... ...Aku tersandung."

Aku meletakkan lenganku di sekelilingnya. Aku kira tanganku akan jauh lebih lentur, tetapi tanganku jauh lebih keras ketimbang yang aku kira. Punggung Wataru terasa agak semakin panas saat aku mengencangkan cengkeraman pada lenganku. Saat aku memejamkan mataku dan terdiam, aku membiarkan kehangatan yang mencapai pipiku menyebar ke sekujur tubuhku.

"Hei, apa kamu merasa lelah...?"

"E-Eh...? Kayaknya aku memang merasa lelah... ...Hmm, iya... ... Kayaknya keteganganku sudah hilang..."

"Begitu ya."

Tidak masalah kalau semua itu ia lakukan demi orang lain. Wataru sudah melakukan yang terbaik. Mestinya aku cemburu dan iri padanya akan hal itu, tetapi saat ini sudah tidak jadi masalah lagi buatku sekarang. Aku cuma bisa merasakan rasa sayang padanya, dan mau tidak mau aku merasa kagum padanya.

"Terima kasih atas kerja kerasmu, Wataru."

—Aku menyukaimu, mungkin.

Aku berbalik memunggunginya dan bilang begitu padanya cuma dengan napasku.

baca-yumemiru-danshi-wa-genjitsushugisha-wn-seri-6-bab-154-bahasa-indonesia-di-lintas-ninja-translation

Aku tidak apa-apa kalau ia tidak mendengar kata-kataku. Aku tidak peduli apa ia dapat mendengar kata-kataku atau tidak. Mungkin aku tidak pantas untuk mendapatkannya saat ini. Tetapi paling tidak ia pantas mendapatkan pelukan ini. Aku ingin meminta maaf padanya, padahal ini sudah lebih dari dua tahun telah berlalu.

'—Kelemahan itulah yang membuat seseorang jatuh cinta.'

Buat siapa kata-kata ini ditujukan? Aku mau mendengar jawaban darinya langsung dengan kata-kata Wataru sendiri. Tetapi aku tidak mau menanyakan hal itu untuk saat ini. Tidak peduli, apapun jawabannya, aku tidak akan pernah bisa merasa puas dengan siapa diriku yang saat ini, atau aku mungkin cuma akan terluka.

"..."

"..."

Aku meletakkan tanganku di belakang punggungnya sehingga ia tidak bisa berbalik. Aku tidak akan pernah membiarkannya melihat wajahku saat ini. Kalau ia sampai bisa melihat wajahku, aku yakin aku pasti akan langsung menangis. Ini juga merupakan keegoisanku buat diriku sendiri.

"Sampai jumpa besok, oke?"

"...Ah—"

Meskipun  aku melangkah maju, pemandangan yang aku lihat saat ini mungkin tidak ada yang berubah sama sekali. Tetapi aku cuma terus saja melarikan diri darinya.

Ini merupakan pertama kalinya dalam hidupku di mana aku menghadap ke depan sambil melarikan diri.

Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/

Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F

Baca juga dalam bahasa lain:

Bahasa Inggris / English

Baca juga:

 [Manga Short Story Special Extra] - Yumemiru Danshi wa Genjitsushugisha - Okemaru-sensei Cerita Pendek Manga Jilid 5 Edisi Spesial

←Sebelumnya          Daftar Isi           Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama