Yumemiru Danshi wa Genjitsushugisha [WN] - Seri 6 Bab 153 - Lintas Ninja Translation

Bab 153
Tetapi Tetap Saja, Majulah!

Wataru jelas sekali sangat bingung saat ia melihatku. Hal yang sama juga terjadi saat aku pergi menemuinya saat istirahat makan siang sebelumnya, tetapi saat ia sedang tidak punya tugas, ia masihlah Wataru yang biasanya, orang yang sangat aku kenal. Meskipun perasaan gelisah dan gugupku itu masih ada, tetapi saat aku melihatnya jauh lebih bingung ketimbang aku itu membuatku jadi agak tenang.

"Na-Natsukawa...?"

"I-Iya..."

Itu mustahil — Wataru, yang kayaknya bilang begitu, mengambil satu atau dua langkah lebih dekat padaku, lalu ia mengusap kedua matanya. Saat aku menjawab, Wataru mundur dua langkah seakan-akan mau menyelesaikan pemeriksaannya. Gesturnya agak menggemaskan kayak yang biasa kita lihat di anime atau sinetron.

"De-Dewi..."

"Ap—...?"

Kata itu kayaknya muncul begitu saja. Saat aku mengingat kembali Wataru di masa lalu, itu merupakan kata yang sering aku dengar keluar dari mulutnya. Meskipun begitu, bunyi dari katanya itu entah mengapa membuatku merasa nostalgia, dan rasanya berbeda dari hari-hari saat aku sudah bosan mendengar kata itu dan menganggap kata itu sebagai kata yang mengganggu.

"—Apa yang kamu bilang tiba-tiba...?"

"Tidak, iya, itu cuma... ...aku baru saja terkena koreksi senja."

"Be-Begitu ya.—"

Ada banyak hal yang berputar-putar di dalam benakku. Setelah Rapat Panitia Pelaksana Festival Budaya selesai dan setelah selesai berbicara dengan Sasaki-kun, aku mulai memikirkan banyak hal. Hal-hal yang mau aku tanyakan padanya, hal-hal yang tidak dapat aku pahami darinya, hal-hal yang mau aku ketahui darinya, hal-hal yang mestinya aku tuntaskan dengannya sampai batas tertentu bercampur aduk jadi satu. Aku secara tidak jelas mencoba menjelaskan dengan suara yang cuma bisa didengar olehku, sesuatu yang terasa panas dan hampir naik ke kepalaku. Aku sendiri pun tidak tahu makna dari kata-kata yang keluar dari mulutku.

Begitu, gundulmu. Begitu, dengkulmu, bukan begitu, woi.

Kepalaku yang sudah bisa kembali dipakai untuk berpikir, memohon padaku untuk menghentikan gejolak di dalam hatiku. Dewi — Aku bukan orang yang cukup hebat untuk disamakan dengan seorang Dewi kayak gitu. Sebaliknya, aku sendiri bahkan tidak yakin apa aku dapat banyak melakukan banyak hal kayak yang dilakukan oleh orang lain. Paling tidak aku sendiri sadar, kalau aku itu merupakan anak yang manja, yang dimanjakan oleh orang tua, adik, serta teman-teman sekelasku sejak kecil. Aku rasa bukan itu penyebabnya. Lagipula, pada akhirnya, akulah yang membuat diriku jadi orang yang hampa kayak sekarang ini.

Aku rasa aku telah melakukan yang terbaik. Aku rasa aku telah menderita. Aku rasa aku telah bergumul dengan masalahku dan menganggap bahwa aku telah mengatasinya.

Kalau begitu, mengapa pikiranku terasa sangat kabur kayak gini saat ini? Itu sederhana saja, karena aku tidak mau mengakui kalau aku yang berkedok sebagai orang yang unggul sebenarnya bukanlah orang yang istimewa. Aku tidak sehebat seorang Dewi, aku pun bukanlah seseorang yang dapat diandalkan, aku juga bukan tipe orang yang bisa diangkat sebanyak itu. Aku cuma seorang anak kecil yang tidak dapat mengakui apa yang tidak dapat aku lakukan.

Saat aku menatap mata Wataru seakan-seakan ingin menghadapinya, ia memalingkan wajahnya dariku, dengan agak tidak sabar.

"...Begitu ya, jadi kamu belum pulang ke rumahmu? Aku kira Natsukawa sudah tiba di rumah, soalnya kamu bilang kalau kamu ingin bertemu dengan Airi-chan sesegera mungkin."

Itu benar. Aku punya perasaan itu. Airi merupakan hal yang paling berharga di dunia ini buatku. Untuk melindungi senyuman adikku tercinta, aku mau ada di sisinya sesegera mungkin, meskipun itu cuma satu menit ataupun satu detik. Tetapi meskipun aku pulang kayak gini, apa aku dapat tersenyum pada Airi dengan percaya diri? Aku rasa aku tidak mau menunjukkan senyumanku pada siapapun di keluargaku dengan senyuman tegang yang sama kayak saat aku masih SMP lagi. Selain itu —

"I-Itu... —I-... ...Itu berarti, aku telah menunggumu..."

"Eh?"

Sama halnya — Aku punya dorongan hati yang menguasai hatiku dan berkata, "Aku ingin bertemu denganmu".

Akan jauh lebih mudah kalau aku dapat mengatakannya dengan jelas, bukan? Suaraku, yang begitu pelan hingga seakan-akan keluar dari celah di antara saluran pernapasanku, terdengar sangat menyedihkan, dan ujung-ujung jariku gemetaran karena malu. Tetapi tetap saja, karena aku sudah sampai sejauh ini, aku tidak mau melarikan diri lagi.

"A-Aku sedang... ...menunggumu."

"Eh?"

Me-Mengapa aku tidak bisa menyampaikan itu padamu...?

Aku hampir saja tidak bisa menahan diri mengucapkan itu tanpa sengaja. Sambil aku mencoba yang terbaik untuk menyembunyikan rasa maluku, aku berhasil mengeluarkan suaraku sebaik mungkin, tetapi suaraku terdengar kembali. Sebagai gantinya, aku mengeluarkan sesuatu kayak erangan, "Euh...". Pengelihatanku agak sedikit basah dan bergetar karena rasa frustrasiku. Karena tidak dapat menahan emosiku, aku menatap ke arah Wataru dan melihat wajah yang benar-benar berbeda dari sebelumnya, dengan wajah datar yang telah kehilangan seluruh kegelisahannya.

Aku terkejut dan mulai melupakan penyesalanku.

"...Eh? Mengapa?"

Ia menatapku seakan-akan ia benar-benar tidak mengerti maksudku. Tidak ada rasa cemas, panik ataupun bingung di wajahnya, tetapi cuma ada tatapan menyelidik — seakan-akan ia sedang mencari sesuatu atau sedang memeriksa sesuatu. Aku dapat mengetahui kalau kesadaran Wataru yang tersebar entah ke mana cuma terfokus padaku.

Mata kami saling bertemu.

Mata yang tidak pernah goyah. Mata yang tidak pernah berkeliaran. Aku hampir merasa kewalahan oleh kekuatan matanya, yang langsung menatap ke arah mataku. Tetapi tetap saja, aku berhasil bertahan, merasakan kewajiban untuk menyampaikan perasaanku ini.

"...Aku ingin bicara pada Wataru..."

"..."

Tatapan Wataru bergerak seakan-akan sedang mencari sesuatu di dalam diriku. Aku tidak dapat menggerakkan tubuhku. Itu bergerak di dalam diriku, hatiku, seakan-akan sedang mencari sesuatu. Seakan-akan tubuhku sedang dipermainkan sesuka hatinya.

Wataru, yang telah bermain-main denganku selama beberapa waktu, mengalihkan pandangannya dariku, seakan-akan ia sudah menyerah pada apa yang ia lihat. Saat sensasi benda asing itu telah menghilang, napasku jadi jauh lebih cepat. Aku merasa seakan-akan sekujur tubuhku jadi panas. Aku memegang lengan kananku dengan tangan kiriku. Aku merasa permukaan kulitku jadi terasa lebih tipis ketimbang biasanya.

"Eum, apa ada sesuatu yang membuatmu khawatir...?"

"I-Iya, ada sesuatu yang membuatku khawatir... ...Iya... ...Sesuatu semacam itu, mungkin."

Itu memang tidak salah. Namun, saat aku ditanya olehnya, aku menjawab pertanyaan itu secara acak. Aku tidak punya waktu untuk memikirkannya. Hal-hal yang tadinya ingin aku bicarakan padanya — Hal-hal yang telah terbentuk dengan jelas di dalam hatiku, kayak balon air, yang entah mengapa berhasil mempertahankan bentuknya — kini telah meledak. Untungnya, yang terciprat itu bukanlah air. Aku buru-buru mengumpulkannya dari dalam pikiranku yang dangkal sebelum menunggu kata-kata Wataru berikutnya. Pada saat aku ditanya dan menjawab pertanyaannya, aku telah berhasil mengembalikannya ke bentuk semula.

"Heh...? ...Ada apa?"

"Eum, baru-baru ini... ...Tidak. Mungkin itu sudah lumayan lama sekali, sih..."

Kata-kata yang aku ucapkan memang tidak jelas. Aku khawatir apa aku dapat menyampaikan hal ini pada Wataru dengan benar. Aku mesti memikirkan baik-baik apa yang mau aku katakan padanya di dalam kepalaku, membagi itu jadi bagian-bagian yang lebih rinci, menambahkan lebih banyak detail yang lengkap, lalu mengucapkannya dari mulutku. Akan jauh lebih mudah kalau aku dapat melakukan itu, bukan?

Pada akhirnya, kata-kata yang tiba-tiba terlintas dalam benakku pun terlontar begitu saja.

"—Aku penasaran, apa aku sudah membantu...?"

"Eh?"

Tentu saja tidak heran kalau aku akan ditanya kembali olehnya. Kata-kata yang aku ucapkan itu tidak mengandung detail yang konkret sehingga tidak dapat ia pahami. Aku pun cuma menyampaikan padanya bagian-bagian yang merepotkan.

Aku mengangkat pandanganku yang tadinya cenderung tertunduk. Saat aku menatap ke arah Wataru dengan takut-takut, tidak ada wajah orang yang merepotkan, melainkan ada wajah orang yang dapat diandalkan yang menunggu dengan tenang dan sabar.

"Aku penasaran apa aku sudah membantu... ...Bagaimana?"

Aku bicara perlahan-lahan dan tanpa terburu-buru. Wataru memberiku kesempatan lagi untuk memberi tahunya. Kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak ingat kalau Wataru pernah menyela ucapanku sebelumnya. Aku rasa ia itu sebenarnya pendengar yang baik, hanya saja aku mungkin tidak menyadarinya saja. Aku rasa aku mestinya dapat menenangkan diriku dengan kebaikan hatinya yang luar biasa lembut.

Namun, entah mengapa, detak jantungku jadi semakin kencang sampai-sampai itu membuatku keluar dari jalurku.

"Kali ini... ...Kamu barusan melakukan apa yang telah diperintahkan dan membuat keputusan..."

"Tidak, aku ini masih siswi kelas sepuluh, jadi bukannya itu wajar saja?"

Bukan. Bukan itu yang mau aku sampaikan padanya. Aku tidak peduli apa itu disebut wajar atau tidak. Bukan itu tujuanku. Bagaimana perasaan Wataru saat ia melihatku? Itulah yang mau aku dengar darinya.

"Tetapi..."

"...?"

Tetapi, tetapi, habisnya. Seorang cewek yang tidak berdaya yang pernah aku tonton di televisi di suatu tempat entah mengapa muncul di dalam benakku. Mungkin begitulah caraku memandang diriku saat ini.

Aku tidak mau dibenci olehnya.

Aku memikirkan ini dengan kuat. Aku menatap ke arah Wataru seakan-akan sedang berdoa. Wataru menatapku dengan bingung.

Tidak ada yang dapat aku lakukan saat ini. Aku pun tidak dapat menyampaikan padanya apa yang mau aku bilang padanya dengan baik. Ini membuatku merasa frustrasi, menyedihkan, dan memalukan. Mau tidak mau aku memberinya tatapan kasar dan bertanya padanya agar aku paham.

"Tidak, aku.—"

Seakan-akan ia merasakan sesuatu, Wataru tiba-tiba menatapku dengan kaget. Aku menurunkan pandanganku dan mulai kepikiran, aku penasaran apa ada sesuatu yang juga tidak dapat dipahami oleh Wataru.

Ia berusaha untuk memahamiku.

Aku memang tidak mau membuatnya terganggu. Namun, aku merasa senang saat melihatnya berpikir dengan alis matanya yang agak berkerut. Mengambil keuntungan dari kenyataan bahwa kami tidak dapat saling menatap satu sama lain, aku membiarkan pikiranku jadi liar sesuka hatiku agar aku dapat mengeluarkan panas di dalam tubuhku.

Aku memperhatikan baik-baik wajah Wataru. Aku rasa aku tidak merasa bosan.

Aku berusaha agar tidak melewatkan perubahan apapun pada ekspresi wajahnya, dan saat aku merasakan kalau pikiran Wataru telah menyatu, aku menekan detak jantungku yang terus-menerus membesar dan berkontraksi tanpa henti.

"Ah—... ...Eum, pertama-tama, aku ini orang luar, bukan? Terlebih lagi, apa yang aku lakukan agak di luar kebiasaanku... ...Malahan, itu sangat melenceng. Memang sangat tidak wajar buat seorang siswa untuk menyewa kontraktor dari tempat lain untuk membantu persiapan Festival Budaya... ...Tidak ada kata "bagus" untuk itu karena tidak ada gunanya terlibat dalam hal semacam itu dan mengerjakan tugas itu dengan baik."

"Mengapa...?"

Aku bilang begitu bahkan sebelum aku sempat memikirkannya.

Seakan-akan aku belum mengerjakan sesuatu yang baik. Aku tidak puas dengan pernyataan Wataru yang bilang begitu dengan cara yang merendahkan. Panitia Pelaksana Festival Budaya ada dalam posisi terpojok dan ada dalam keadaan yang sulit — Sampai Wataru dan Ishiguro-senpai tiba, kami tidak tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang, dan kami ada dalam keadaan cemas setiap hari. Tanpa diragukan lagi, tidak lain tidak bukan Wataru dan yang lainnya lah yang menarik kami keluar dari kegelapan menuju tempat yang lebih terang. Aku tidak mau ia bilang kalau semua tugas yang kami kerjakan sampai saat itu sia-sia.

"Tidak, makanya—"

"—Mengapa kamu mau membantu kami sampai sejauh itu...?"

"Eh...? ...Eh?"

Wataru bingung. Aku dapat melihat kalau ia sedang kesulitan.

Aku tidak mau membuatnya kesulitan. Aku tidak mau berpura-pura menyalahkannya. Aku tahu itu. Aku mau menutup mulutku saat ini juga. Di suatu tempat di dalam hatiku, suatu ketenangan mencoba menghentikan kata-kata yang mengalir bagaikan aliran berlumpur. Namun, aku tidak dapat menghentikan panas dan momentum yang aku peroleh dari kata-kata itu.

"Mengapa Wataru mau melakukan ini...?"

"Tidak, itu—"

"Mengapa...? ...Kok bisa kamu mau mengerjakan tugas itu sampai sekeras itu?"

"...Natsukawa?"

....

Tetapi itu merupakan kata-kata yang agak kuat, sih. Itulah perasaanku yang sebenarnya yang akhirnya dapat aku sampaikan padanya. Aku rasa begini saja sudah cukup untuk saat ini. Aku sudah menyerah pada obrolan ini dan berhenti berusaha untuk tetap tenang.

"Aku terkejut saat Wataru pertama kali datang ke mari. Kamu membantuku seakan-akan kamu sudah tahu segalanya, dan selanjutnya kamu memberikan instruksi pada kami bersama dengan seorang senpai, dan bahkan ikut serta dalam rapat yang kami adakan.... ...karena berbagai alasan. Dan saat aku mengetahui bahwa OSIS juga dalam bahaya karena berbagai alasan, aku kira kamu mencoba yang terbaik untuk membantu kakakmu."

"Ah—..."

"—Tetapi, Wataru dengan tegas bilang "Bukan!"."

Itu benar. Di saat itulah aku mulai merasa khawatir.

Entah apa alasan Wataru agar ia terus berusaha keras membantu kami, bahkan ia sampai mengesampingkan kakaknya. Begitu aku mulai memikirkannya, pemikiranku itu terus berkembang tanpa henti.

"I-Itu, sih... ...Ah, begini, kami itu kakak beradik, loh. Aku tidak bisa bilang kata-kata yang memalukan padamu kayak "demi Kakak" secara langsung, bukan? Kita berdua tidak sedekat itu sejak awal."

"Itu bohong. Aku memperhatikanmu saat itu. Kamu tidak tampak seperti sedang memasang ekspresi bodoh atau marah di wajahmu. Aku sudah mengenal Wataru sejak kita masih SMP."

"..."

"Aku sedang diikuti olehnya.". Paling tidak, itulah yang masih aku pikirkan selama dua tahun terakhir. Wataru mungkin masih tertarik padaku, dan aku rasa ia tahu banyak hal soal diriku. Aku juga menghabiskan seluruh waktuku bersama Wataru. Wajahnya, gerak-gerik tubuhnya, nada suaranya saat sedang emosional. Aku mungkin belum berusaha untuk mengenal Wataru lebih jauh, namun kalau aku menelusuri kembali ingatanku soalnya, aku dapat melihat banyak versi lain dari Wataru di sana.

Wataru menatap mataku.

"...Mengapa kamu sangat ingin tahu lebih dalam soal itu?"

"..."

Untuk sesaat..., ...sesaat saja, aku rasa aku telah melihat ada kejengkelan yang melintas di matanya. Wataru bertanya balik padaku sambil  kembali ke posisi semula di meja, agak bersandar di atasnya, seakan-akan ia agak membungkuk dan menatapku lagi. Pada saat itu, ketajaman yang aku rasakan beberapa saat sebelumnya telah menghilang. Meskipun hatiku bergetar, aku berhasil menjawab pertanyaannya.

"...A-Aku tidak tahu."

"Kalau begitu, bukannya itu bagus?"

Kata-kata itu segera dibalas olehnya. Aku dapat melihat di mata Wataru kalau ia tidak mau bilang apa-apa padaku. Sesuatu yang tidak nyaman mulai menyebar di dalam tubuhku.

"Aku tidak mau memberi tahumu.". Itu berarti ada alasan yang bagus. Wataru melakukan itu bukan demi kakaknya, ia berusaha keras demi sesuatu yang lain, dan ia sangat menantikannya.

Alasan pendukung Wataru. Rahasia Wataru. Kalau ia bilang kalau ia "tidak mau", mungkin ada baiknya kalau aku tidak memaksanya untuk memberi tahuku. Meskipun aku sudah mengetahuinya di dalam benakku, keinginanku yang kuat untuk mengetahui alasannya membuatku semakin sulit untuk tidak menuangkannya ke dalam kata-kataku.

"Ti-Tidak..."

"..."

Kata-kata yang kekanak-kanakan itu. Aku sudah mendengarnya berkali-kali keluar dari mulut Airi.

Anehnya, aku tidak sanggup menyangkal diriku sendiri kayak gitu. Aku yakin aku pasti sudah sadar akan kenyataan kalau aku cuma seorang anak kecil yang tidak bisa merasa puas sampai aku bilang kalau aku puas. Biasanya, aku tidak akan menunjukkan sosok semacam ini pada siapapun.

Tetapi, tetapi, kalau itu berkaitan erat dengan Wataru—

'—Karena ia... ...selalu menyukai Natsukawa.'

Aku jadi teringat pada kata-kata Sasaki-kun. Mestinya aku sudah mengetahui hal ini begitu saja, tetapi setiap kali aku mengingatnya, aku merasa seakan-akan aku sedang dihadapkan pada sesuatu secara terpaksa. Fakta bahwa aku merasa kayak gini merupakan bukti kalau aku memalingkan wajahku.

Pada akhir musim semi ini. Aku ingat kalau aku jadi jauh lebih bingung ketimbang yang aku kira, saat Wataru bilang padaku kalau sudah waktunya buat kami untuk mengucapkan selamat tinggal satu sama lain. Sekarang kalau dipikir-pikir lagi, aku mungkin terus mengalihkan pandanganku sejak saat itu.

"Aku khawatir" — Aku tidak bisa mengakui kalau itulah yang aku rasakan saat ini.

"..."

Saat aku melihatnya, mata Wataru agak terbuka lebar dan ia menatapku dengan heran. Entah mengapa aku merasa agak bersalah pada Wataru karena hal itu. Ia bahkan menyebutku sebagai "Dewi", jadi ia mungkin terkejut setelah mendengar kata-kataku yang cuma dapat digambarkan sebagai kata-kata egois yang keluar dari mulutku.

"...Hah...?"

"...!"

Wataru menghela napas kecil. Helaan napas kecil, yang tidak dapat aku sadari kecuali kalau aku memperhatikannya dengan cermat, kayak sekadar bernapas.

Aku penasaran apa ia merasa terkejut. Apa ia sudah membenciku? Kalau memang benar begitu, itu agak menyakitkan buat hatiku.

Aku tidak dapat mengungkapkan padanya dengan kata-kata kalau aku tertarik ataupun penasaran. Karena aku sudah terlalu sering menginjak-injak perasaan Wataru sebelumnya. Kata-kata kayak "Aku ingin mengenal lebih jauh soalmu," itu terlalu kurang ajar. Mungkin sudah terlambat buatku untuk membangun sesuatu. Tetapi tetap saja. Tetapi tetap saja. Tetapi tetap saja.

"—...Natsukawa, begini—"

"...Eh...?"

—Itulah suaranya yang lembut.

Saat aku mendongak dari posisi tertunduk, aku melihat Wataru sedang duduk di mejanya, memandang ke luar jendela. Di balik senja, matanya yang berwarna sama melebur ke langit yang berubah jadi ungu.

Sisi wajahnya, dengan ujung mulut yang terangkat ke atas, dengan sikap kayak sedang mengejek dirinya sendiri, mengingatkanku pada hal pertama yang aku lihat saat aku mengintip ke dalam ruang kelas ini. Di sana, tidak ada senyumannya yang biasanya, jenis senyuman yang membuatku merasa santai. Dan dengan wajahnya yang tampak seperti sedang menahan sedikit rasa sakit.

Dengan wajah yang tidak aku kenali, ia berbisik pelan.

"Ah..."

...Dewa — Dewi.

Aku tidak akan pernah bisa jadi sama dengan Kalian. Aku memang suka mengurus adikku yang imut lebih dari siapapun, tetapi aku belum bisa melepaskan sifat kekanak-kanakanku dan pada akhirnya aku ini cuma anak kecil yang manja. Aku berusaha yang terbaik untuk jadi kakak yang baik hati buatnya, tetapi saat keadaanku jadi semakin sulit, aku pada akhirnya ingin dimanjakan oleh orang lain. Aku rasa aku masih belum bisa jadi dewasa.

Maka dari itu... ...aku mohon beri tahu aku—

"—Kelemahan itulah yang membuat seseorang jatuh cinta."

baca-yumemiru-danshi-wa-genjitsushugisha-wn-seri-6-bab-153-bahasa-indonesia-di-lintas-ninja-translation

Bagaimana cara agar aku dapat meredakan rasa panas yang tidak terkendali di dalam diriku ini?

Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/

Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F

Baca juga dalam bahasa lain:

Bahasa Inggris / English

Baca juga:

 [Manga Short Story Special Extra] - Yumemiru Danshi wa Genjitsushugisha - Okemaru-sensei Cerita Pendek Manga Jilid 5 Edisi Spesial

←Sebelumnya          Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama