Bab 152Meskipun Itu Menakutkan
Aku meminta maaf pada Sasaki-kun dan meninggalkan lapangan sepak bola. Aku terkesan dengan wajahnya saat ia tersenyum kecil dan menganggukkan kepalanya, seakan-akan berkata, "Aku mengerti.".
Di akhir Rapat Panitia Pelaksana Festival Budaya, Wataru meninggalkan ruang kelas dengan perasaan seakan-akan masih ada tugas yang mesti ia selesaikan. Kalau memang benar begitu, ia pasti masih ada di ruang kelas terdekat atau mungkin di ruang OSIS. Sudah lebih dari satu jam sejak saat itu... ...Mungkin saja ia masih ada di sekolah.
—Apa aku akan pergi menghampirinya?
Meskipun aku sudah mengambil langkah yang baik, tetapi anehnya, langkahku terasa lambat. Tekanan-tekanan dari pertanyaan-pertanyaan pada diriku sendiri terus bermunculan di dalam dadaku. Sekalipun aku bertemu dengannya, aku mungkin akan menghalangi tugasnya. Sekalipun aku bertanya pada Wataru, aku mungkin tidak akan mendapatkan jawabannya. Apa saat ini merupakan waktu yang tepat buatku untuk bergerak? Mungkin ada baiknya kalau aku menunggu sampai aku sudah menenangkan diriku dan pikiranku.
Ini mungkin memang tampak mengganggu. Ini mungkin saja merepotkan. Sebaliknya, hal itu mungkin tidak tampak sama sekali.
Aku tidak memikirkan apa-apa selama Uji Coba Kunjungan Sekolah saat liburan musim panas itu. Pada saat aku sudah selesai melaksanakan tugasku, Wataru sudah tidak ada, dan aku merasa kecewa serta kesepian, lalu aku melihat punggung dari sosoknya yang sudah tidak asing lagi buatku, dan tanpa aku sadari, aku sudah berlari kencang untuk menemuinya.
Perasaan yang tidak aku punya pada saat itu. Aku takut kalau aku bertanya pada Wataru, aku akan mendengar jawaban dari apa yang sebenarnya ia pikirkan. Saat ini, aku tidak punya keberanian untuk menyerah pada dorongan hatiku dan berlari tanpa berpikir panjang.
"...Ah..."
Kayak yang sudah aku duga, sepatu Wataru masih ada di dalam loker sepatu saat aku tiba di pintu masuk. Wataru tentu saja bukanlah anggota dari ekskul manapun... ...tetapi karena itulah, ia pasti masih ada di sekolah dan mengerjakan beberapa tugas, kayak yang pernah aku lihat di ruang kelas Panitia Pelaksana Festival Budaya.
Aku pun pergi menuju ruang kelas Panitia Pelaksana Festival Budaya. Di lorong saat ini sudah sunyi dan kayaknya tidak ada satu pun siswa-siswi yang tampak. Meskipun begitu, pintu-pintu ruang kelas sudah ditutup dan dikunci. Wataru sudah tidak ada lagi di sini. Kalau begitu—.
"Apa jangan-jangan ia ada di Ruang OSIS ya...?"
Ruang OSIS... ...Aku tahu di mana lokasinya karena itu dikeliling oleh ruang kelas. Tetapi tetap saja, aku belum pernah ke sana sebelumnya. Aku tidak tahu kegiatan apa yang mereka kerjakan atau seberapa sulit tugas yang mereka kerjakan. Tetapi aku tahu satu hal, yaitu bahwa kakaknya Wataru merupakan cewek teratas di sekolah ini sebagai Wakil Ketua OSIS. Di kalangan cewek-cewek, dia dijadikan objek kekaguman dalam artian bahwa dia dikelilingi oleh pengurus OSIS lainnya. Kalau dipikir-pikir lagi, Wataru merupakan sosok adik dari seorang kakak yang luar biasa...
Ruang OSIS itu ada di lantai tiga. Aku dapat mendengar kalau ada beberapa orang sedang berbicara dari dalamnya. Pintunya memang tidak transparan, jadi aku tidak dapat mengintip apa yang terjadi di dalamnya, mungkin karena struktur ruangan itu dibangun berbeda dari ruang kelas lainnya. Namun, sekalipun aku dapat mendengarkan dengan seksama, aku dapat mendengar suara sang kakak yang memanggil Wataru. Aku sangat bersyukur dapat mendengar satu-satunya suara cewek yang kayak gitu.
...Tetapi apa yang mesti aku lakukan?
Ini mungkin akan jadi pertemuan pertamaku dengan para pengurus OSIS. Karena satu-satunya pengurus OSIS yang pernah aku ajak bicara yaitu kakaknya Wataru. Aneh rasanya, kalau aku bilang permisi, masuk ke dalam ruangan ini dan menyeret Wataru keluar. Ini bukanlah soal keberanian atau semacamnya. Menurutku itu akan menciptakan suasana yang aneh.
"...Euh..."
♦
Ruang OSIS — Ada sebuah lorong atrium yang menuju keluar setelah melewati ruang OSIS. Ada sebuah tangga yang mengarah dari piloti lantai satu menuju atap. Pintu kaca yang menuju ke gedung sekolah dibiarkan terbuka, jadi kalau ada orang yang keluar dari ruang OSIS, aku akan dapat mendengarnya dari dekat sini. Aku memutuskan untuk duduk di tengah tangga menuju atap dan menunggu Wataru keluar.
Ruang OSIS dipenuhi dengan suara orang-orang yang sedang bicara tadi. Seakan-akan mereka sudah mulai berkonsentrasi pada tugas mereka, tetapi suara-suara yang dapat aku dengar dari dalam sudah jauh lebih tenang. Aku dengar kalau Ruang OSIS jauh lebih sibuk ketimbang Panitia Pelaksana Festival Budaya akhir-akhir ini. Mungkin mereka sudah tidak punya banyak waktu untuk mengobrol.
OSIS. Perwakilan siswa. Paling tidak itu bukan sesuatu yang kalian dapat anggap enteng. Aku dengar kalau di sekolah ini khususnya sudah ada banyak hal yang terjadi. Aku rasa tanggung jawab berat yang dibebankan pada mereka tidak sebanding dengan menjadi anggota Panitia Pelaksana Festival Budaya. Di tempat semacam itu, kakaknya Wataru merupakan satu-satunya yang ada di posisinya, jadi Wakil Ketua OSIS, meskipun dia seorang cewek.
Aku iri padanya.
Aku memang tidak ingin jadi Wakil Ketua OSIS, tetapi aku ingin jadi kayak dia. Seorang cewek yang jago dalam melaksanakan tugasnya, dapat diandalkan, dan jujur pada dirinya sendiri. Aku tidak mendapatkan kesan apapun tentangnya dari kisah yang aku dengar dari Wataru yang memberikan gambaran semacam itu, tetapi melihatnya berdiri dengan bangga di atas panggung di gimnasium setiap kali ada acara sekolah, menurutku dia tampak sangat keren. Terlebih lagi, adiknya itu Wataru, dan dia telah jadi kakaknya Wataru bahkan sejak mereka masih kecil — Ah, tidak, barusan itu, hmm.
Aku penasaran apa kekaguman yang dimiliki Kei pada Shinomiya-senpai juga serupa dengan kekaguman ini. Kalau aku merupakan cewek yang kayak gitu, aku mungkin bisa jauh lebih membantu di Panitia Pelaksana Festival Budaya. Aku mungkin saja bisa lebih membantu Wataru. Aku harap aku bisa lebih percaya diri kayak gitu—.
"Lebih..."
"—Eh?"
"Eh? Ah..."
Mata kami bertemu. Rambutnya yang berwarna coklat madu dan roknya yang pendek. Saat aku sedang duduk di sini, ada seseorang yang juga aku kagumi dan yang sedang aku pikirkan. Cewek yang sedang memegang kotak kardus berisi poster, kakaknya Wataru — Sajou Kaede-senpai berdiri tepat di depanku dan dia menatapku dengan ekspresi terkejut di wajahnya.
"'Lebih', ya...? ...Eh? Maaf, apa ada yang membuatmu terganggu?"
"Bu-Bukan, kok...! Bukan begitu... ...I-Itu bukan apa-apa, kok! Tidak usah dipikirkan!"
"Be-Begitukah...?"
"I-Iya..."
Dia menatapku dengan aneh. Dia menatapku dengan aneh.
Aku dapat merasakan darah mengalir dari wajahku. Aku dapat mendengar suara sesuatu yang berakhir di dalam diriku dan hancur berantakan. Ini mungkin hal yang paling membuatku ingin diwafatkan tahun ini. Tidak, tentu saja tidak, aku tidak boleh meninggalkan Airi dan wafat duluan. Aku pun belum berbakti pada orang tuaku. Aku tidak boleh mati di sini, di tempat kayak gini.
"—Kaede-san? Apa ada seseorang di sana?"
"Tidak, eh, iya. Siapa ya...? ...Eh? Tunggu sebentar. Tunggu, eh? Kamu itu Natsukawa-san... ...bukankah begitu?"
"I-Iya..."
Seorang rekannya dari OSIS, senpai berkacamata muncul dari belakang sang kakak. Ia sedang memegang sebuah tangga kecil di tangannya. Kalau aku tidak salah ia itu bernama — Kai-senpai. Ia merupakan seorang senpai kelas sebelas dan ia sering dibicarakan di kalangan cewek-cewek. Cowok ini tampaknya juga jadi objek kekaguman mereka. Kalau dipikir-pikir lagi, memikirkan hal ini membuatku semakin malu.
"Eh, wajahmu tampak keren... ...Tidak, bukan begitu maksudku. Apa yang kamu lakukan duduk di sana kayak gitu?"
"Eum... ...Aku cuma menunggunya di sini..."
"’Menunggunya di sini.' ya...? ...Eh? Tunggu, apa jangan-jangan benar begitu?"
"Iya... ...Aku sedang menunggu Wataru... ...Wataru — Eh!?"
Aku menjawabnya dengan hati yang hancur, dan lalu aku menyadarinya.
Sang kakak berdiri tepat di depanku. Itu berarti dia baru saja membuka ruang OSIS itu dan keluar. Aku sedang tenggelam dalam pikiranku dan tidak memperhatikan suara itu sama sekali. Sebelum aku menyadarinya, aku terlalu sibuk berpikir sampai-sampai aku tidak dapat mendengarkan suara-suara di sekitarku.
"E-Eum, Wataru..."
"Tetapi Wataru sudah keluar duluan sebelum kami, sih..."
"Eh—?"
"Ah, oke, tunggu sebentar, aku mengerti. Aku akan segera membawanya kembali. Tunggulah selama 40 detik — Tidak, tunggulah selama 10 detik lagi, ya! Yang benar saja, awas saja, kalau ia tidak muncul—."
"Eh!?"
Wataru sudah meninggalkan ruang OSIS terlebih dahulu. Dengan kata lain, ia sudah tidak ada di ruang OSIS lagi. Saat aku sedang terkejut, sang kakak mengeluarkan ponselnya dan mulai mengoperasikannya. Aku dengar beberapa patah kata yang mengganggu dan mau tidak mau aku meninggikan suaraku.
"—Kalau itu soal Sajou-kun, ia seharusnya masih ada di ruang kelas Panitia Pelaksana Festival Budaya."
"...!"
"Eh, Takuto, apa kamu serius?"
"Iya. Ia bilang kalau ia lupa mengembalikan laptopnya tadi dan Ishiguro-kun memberikan kunci ruangan itu padanya. Aku rasa ia masih belum meninggalkan sekolah."
Mau tidak mau aku berdiri saat mendengar kata-kata itu. Apa yang akan aku lakukan sementara sang kakak menyimpan ponsel pintarnya? Dia bertanya padaku dengan matanya. Matanya, yang tampak punya kesan sedang kesal, agak membulat dengan sedikit ekspresi bahagia. Matanya, yang berubah jadi ungu saat dipantulkan cahaya, sama persis kayak mata Wataru, dan mau tidak mau aku cuma bisa menatapnya.
"Eum, aku..."
"Ah—, baiklah... ...Iya. Ia memang adik yang merepotkan, tetapi aku titip ia padamu, ya. Ia memang tidak terlalu peka, tetapi ia mau mendengarkan setiap yang aku katakan. Gunakanlah anak itu sebanyak yang kamu suka."
"Hah? —E-Eh?"
Secara alami aku hampir mencoba membalasnya, tetapi lalu aku sadar kalau pesannya itu terlalu kuat. Aku pernah dengar soal adegan-adegan nakal yang pernah dia lakukan pada adiknya, tetapi sejak Wataru pingsan, kesanku padanya yaitu bahwa dia telah jadi 'seorang kakak yang baik hati'. Lagipula, aku penasaran apa begitu juga yang dia rasakan saat dia berhadapan dengan adiknya yang sudah sembuh dan energik yang dia kenal dengan baik.
"—Eum, begini... ...Aku telah menunjukkan padamu sisiku yang menakutkan beberapa hari yang lalu. Maafkan aku. Itu saja."
Setelah bilang begitu, sang kakak segera memalingkan wajahnya dan berjalan menuju Gedung Sekolah Barat. Kai-senpai, yang mengikuti di belakangnya, tersenyum dengan sedikit masam padaku dan memberiku anggukan seakan-akan mengucapkan selamat tinggal.
"Sisinya yang menakutkan.". Apa dia membicarakan soal saat dia menyeret Ishiguro-senpai dan Wataru keluar dari ruang kelas Panitia Pelaksana Festival Budaya dan mencoba membuat mereka berhenti dari tugas mereka beberapa hari yang lalu? Suasana hati sang kakak saat itu sungguh menakutkan. Tetapi tetap saja, aku dapat merasakan kalau dia khawatir pada Wataru dalam setiap kata yang dia ucapkan. Aku menghormatinya, tetapi aku juga tidak membencinya. Selain itu,
Makanya — aku penasaran mengapa Wataru berusaha keras.
Dengan rasa syukur di dalam hati, aku kembali dari gedung sekolah itu dan menuju ke gedung sekolah di mana ruang kelas Panitia Pelaksana Festival Budaya berada. Berbeda dengan sebelumnya, lorong ini lebih gelap, mungkin karena sang surya telah tenggelam, dan cahaya yang masuk sudah tidak lagi berwarna putih.
Lorong dengan ruang kelas yang aku cari berada. Sama kayak sebelumnya, ruangan itu sepi dan sunyi sehingga tidak ada suara bising dan tidak ada orang di sekitarku. Yang dapat aku dengar cuma suara para anggota ekskul yang bergema dari kejauhan. Aku hampir penasaran apa Wataru benar-benar ada di suatu tempat di ruangan ini.
Meskipun begitu.
"—Ah!"
Di pintu belakang ruang kelas Panitia Pelaksana Festival Budaya terbuka.
Aku mengambil selangkah demi selangkah dan beranjak ke sana. Karpet yang disinari cahaya berwarna jingga dari jendela seakan-akan menuntunku. Saat aku semakin dekat, tubuhku jadi dingin karena tegang, langkahku jadi melambat. Dari suatu tempat, angin awal musim gugur, yang dihangatkan oleh sang surya yang tenggelam, mendorong punggungku.
Aku takut. Aku takut, tetapi aku penasaran. Aku ingin bertemu dengannya.
Ruang kelas yang aku lihat hampir diselimuti oleh gelapnya malam dan mulai memudar. Debu yang terperangkap di bawah cahaya berwarna jingga yang bersinar miring telah berubah jadi butiran-butiran partikel yang berkilauan dan beterbangan. Ini merupakan pemandangan yang baru buatku, karena aku belum pernah bergabung dengan ekskul apapun baik itu di SMP maupun di SMA, dan aku juga belum pernah menetap di sekolah sampai mendekati waktu terakhir siswa-siswi meninggalkan sekolah sebelumnya.
Di dekat jendela ruang kelas itu, ada seorang cowok sedang sendirian.
"—Ngapa, Me-... —Heh?"
"Ah..."
Ia bangkit dari mejanya dan memperhatikanku. Senyuman tipis di wajahnya berubah jadi ekspresi terkejut. Matanya terbuka lebar, yang aku lihat, punya warna yang sama dengan mata kakaknya.
Tepat sesaat sebelum itu, — Sosok samping yang aku lihat sesaat secara aneh terukir di dalam benakku.
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/
Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F
Baca juga dalam bahasa lain:
Baca juga: