Bab 146Tugas Anak Muda
"..."
"Eh—?"
Iya, Natsukawa duduk di sebelah kiriku dengan sedikit jarak di antara aku dan dia. Di pangkuannya ada sebuah kotak bekal makan siang dengan bungkusan yang imut. Di sisi lain, di pangkuanku ada sebuah laptop yang masuk ke dalam mode tidur seakan-akan sedang membaca suasana. Tunggu. Jangan mati dulu. Menyalalah Abangku.
Kamu merasa kasihan padaku karena telah membuatku terpaksa mengerjakan tugas, aku paham. Makanya paling tidak cobalah untuk mengerjakan tugasmu sendiri, Dewi. Ruang kelasnya saat ini sedang tidak dibuka, jadi kamu mencari-cari aku ke sekeliling terlebih dulu? Lalu, kamu menemukanku dan duduk di sebelahku, mengapa?
"Tidak, Natsukawa...? Kita sedang ada di tempat yang berbeda, kamu tidak perlu menetap di sini, oke? Begini, Meskipun ini cuma tugas, tetapi ini hal yang mesti aku kerjakan sendiri."
"Eh...?"
"Ah, tidak, begini... ...Cuma aku saja yang mesti mengerjakannya. Aku tidak tahu apa aku bisa bicara soal ini padamu atau tidak... ...Jadi, begini, maafkan aku."
Aku harap aku dapat menuntaskan ini saat jam istirahat makan siang. Aku pikir kalau aku dapat berkonsentrasi sendirian, maka aku dapat mengerjakannya dengan mudah, tetapi lain ceritanya kalau aku mengerjakannya sambil berbicara dengan seseorang. Aku menghargai kekhawatiranmu, tetapi aku merasa sangat menyesal.
"...Ti-Tidak apa-apa, kok..."
"Ah, begitu..."
...Eh? "Tidak apa-apa" maksudnya itu apaan? Apa yang maksud itu nuansanya?
Apa itu berarti kamu akan kembali meskipun aku tidak memintanya? Ataukah apa itu berarti kita tidak perlu bicara satu sama lain? Apa itu berarti kamu tidak peduli? "Lakukanlah yang terbaik dan bertahanlah!" Aku akan menangis dan berubah jadi kursor tetikus.
Tidak dapat menyembunyikan kegelisahanku, aku membuka kunci laptopku. Meskipun aku tidak dapat berkonsentrasi, aku terus melanjutkan tugasku sambil berusaha agar tidak melupakan detail tugasku. Iya, menurutku aku sedang tidak dapat menyentuh sesuatu yang aneh karena aku takut, bukan...? ...Cuma untuk memastikan saja, aku membuka folder "Terkonfirmasi" lagi— dan.
"...Inikah yang sedang kamu kerjakan?"
"I-Iya..."
Natsukawa menengok ke arah laptopku dari samping seakan-akan dia sedang mengintip sedikit. Ujung rambutnya jatuh menggantung di bahuku, dan aku dapat mencium aroma harumnya. Mungkin saja akhir riwayatku ada di sini.
"...!"
Natsukawa, yang duduk di sebelahku, perlahan membuka kotak bekal makan siangnya. Tunggu sebentar? Menurutku, ini bukan masalah soal kita yang tidak saling bicara. Aku tentu saja tidak dapat berkonsentrasi cuma karena Natsukawa ada di sampingku. Memangnya aku cowok b*jingan macam apa yang dapat berkonsentrasi dengan tenang pada tugas lain saat aku sedang berduaan dengan seorang cewek secantik dia, apalagi dia itu seorang cewek yang dulu aku sukai? Memangnya aku seorang biksu?
Itu dia, itu dia. Sekaranglah saatnya buatku untuk menggunakan apa yang aku pelajari di tempat seperti dojo kakeknya Shinomiya-senpai sebelum liburan musim panas. Beliau memang kakek-kakek yang keras kepala, tetapi apa yang beliau bilang kayaknya ada benarnya. Saatnya untuk mengosongkan pikiranku... ...Hah...!
─────────────────────────────────
"Wataru, katakan "Aaaa"...!"
"Aaaa..."
─────────────────────────────────
Hei, aku akan bertukar posisi denganmu.
S*alan diriku, mengapa aku meminta Natsukawa membuatkan "telur gulung" buatku? Apa menurutku aku boleh melakukan hal itu tanpa mempedulikan jati diriku yang sebenarnya? Cuma karena itu adalah jati diri yang ada di dalam diriku, apa itu berarti ada hal-hal yang boleh aku lakukan dan ada juga hal-hal yang tidak boleh aku lakukan? Mengapa aku sangat bersemangat sampai-sampai aku terus membuka mulutku lebar-lebar kayak gitu? Dasar aku jorok sekali! Aku mesti pergi ke dokter gigi dan gunakan cairan penyegar mulut sebelum kembali lagi ke sini.
"Wa-Wataru..."
"Hmm, Apa? — Eh?"
Saat aku menggerakkan tanganku dengan kebencian yang semakin membesar, Natsukawa tiba-tiba memanggilku. Saat aku menoleh ke kiri tanpa berpikir panjang, Natsukawa sedang memegang piring dengan tangannya dan mengulurkan suatu makanan dengan sumpit di depan mulutku.
"Eh? Tunggu, apa?"
"Ka-Kamu tidak perlu berhenti menggerakkan tanganmu. Buka saja mulutmu!"
"Eh!? Apa!? Apa ini!?"
"Tidak, tidak ada apa-apa, kok."
Aku terlalu dekat sehingga aku tidak dapat melihat makanan apa yang dia tawarkan padaku. Aku menyadari kalau itu makanan yang berwarna kehijau-hijauan. Aku buru-buru bertanya karena aku tidak mau mendapati kalau ternyata itu merupakan makanan yang tidak aku sukai, tetapi Natsukawa tidak menjawab dan mendekatkan ujung sumpitnya padaku seakan-akan dia mendesakku untuk segera mengunyahnya.
"Astaga, buruan..."
"Ah, ah, mmm!"
Dia bilang begitu padaku dengan agak marah, jadi aku buru-buru memasukkan makanan itu ke dalam mulutku. Sesuatu masuk ke dalam mulutku. Mungkin karena itu terasa sangat panas, aku menggulung-gulung makanan itu di lidahku, tetapi aku tetap tidak tahu makanan apa itu. Aku sudah tahu kalau itu merupakan makanan yang agak keras. Setelah ku menggigit makanan itu dengan gigi belakang, aku akhirnya menyadari makanan apa itu.
"...Apa ini pare?"
"...Bagaimana rasanya?"
"Euh... ...Rasanya pahit, kok rasanya tidak pahit, sih...?"
"Rasanya tidak pahit."
"...Sudah aku duga ini sedikit pahit.—"
"Rasanya tidak pahit."
"Hnggh..."
Kriuk, kriuk, suara teksturnya yang ditransmisikan dari dalam mulutku ke telingaku. Kayaknya dia mencoba yang terbaik agar makanan ini dapat dimakan oleh Airi-chan, tetapi kayaknya cukup sulit untuk menghilangkan rasa dari bahan-bahannya dengan mudah. Semakin kuat aku mengunyahnya, rasa pahit khas pare semakin menyebar dari dalam mulutku, meskipun cuma sedikit saja. Natsukawa memanggilku seakan-akan untuk menyarankan sesuatu padaku.
Setelah mengunyah pare itu beberapa kali, aku pun berhasil menelannya. Saat aku menatap ke arah Natsukawa dengan wajah yang hampir menangis, tetapi dia malah memasang wajah yang tersenyum puas.
"Fufu, kamu dapat memakannya."
"Mengapa...?"
"Roti saja masih kurang bergizi, bukan?"
"Tetapi rasanya terlalu pahit..."
"Astaga... ...Itu tidak bagus, kamu harusnya tidak bilang begitu."
Aku tidak bisa menahannya dan merasa malu, dan Natsukawa terkikik sambil melanjutkan. Ini aneh... ...Aku bersemangat. Bukannya ini bagian di mana aku harusnya marah karena aku terpaksa disuapi makanan yang aku tidak suka? Mau tidak mau aku cuma bisa menganggapnya sangat imut. Aku jadi ingin bertukar posisi dengan Airi-chan. Ini gawat.
"Tugasmu. Kamu akan mengerjakan tugasmu, bukan? Ayolah, mengapa kamu tidak melanjutkannya?"
"Tung-Tunggu sebentar... ...Bisa tidak kamu berhenti bersiap-siap untuk menyuapiku pare berikutnya? Paling tidak campurkan telur gulung itu dengan parenya.—"
"Jangan menatap ke arahku. Lap•top•nya."
"E-Euh."
"Oke, berikutnya."
Aku mengarahkan pandanganku kembali pada layar laptop. Kalau aku menggerakkan tanganku sedikit saja, aku akan diminta untuk "membuka mulut" lagi. Aku memasukkan makanan itu ke dalam mulutku dengan sedikit harapan, dan sudah aku duga, rasa pahit yang sama dari sebelumnya menyebar di mulutku. Setelah aku berhasil mengunyah dan menelan makanan itu, dia menawarkan makanan itu lagi padaku. Saat aku memasukkannya ke dalam mulut dan mengunyahnya, tetapi rasanya masih pahit. Aku berhasil menelannya. Rasanya sangat pahit... ...Aku mau makan paling tidak telur gulung itu saja. Cuma sedikit saja dalam tumisan pare sudah cukup. Itu saja sudah membuat mulutku senang. — Senang?
....
Tenanglah! Tenanglah diriku!
Eh? Apa yang aku lakukan saat ini? Sebaliknya, apa yang Natsukawa lakukan padaku? Eh? Itulah yang terjadi barusan, bukan? Bukannya ada suatu ritual magis yang membuatku mendengar suara itu dan berkata, "Aaa"? Eh? Mengapa aku secara spontan menahan makanan itu di dalam mulutku?
"..."
"Fufu, sekarang itu sudah habis."
Tidak, Natsukawa-san? Ada apa dengan sikap badan yang sangat spontan itu? Apa kamu tidak merasa malu ataupun canggung karena rangkaian tindakanmu? Barusan itu imu sekali, sih. Apa cuma aku saja? Apa aku satu-satunya yang sadar dan kesal? Seriusan? Bukannya yang terjadi saat ini sudah tampak jelas? Memangnya menurutmu berapa banyak orang yang menganggapku sebagai lawan jenis?
"Euh..."
Aku sangat senang dan gembira, namun makanan ini rasanya pahit sekali dalam makna ganda. Aku pun mengambil segelas kecil teh dari kantung plastik di dalam tas dan meminumnya di dalam mulutku. Minum teh setelah rasa pahit dari pare itu memang sangat tidak cocok.
"Tugasnya..."
"Astaga, maafkan aku."
Iya, berhasil pulih dari hubungan di mana aku ditolak dan tidak disukai olehnya dan membawa hubungan ini kembali kayak gini merupakan sebuah keberkahan. Meskipun dia tidak menganggapku sebagai lawan jenis, berbagi bekal makan siang Natsukawa merupakan sebuah kemewahan. Menurutku aku tidak akan bisa melakukannya di masa mendatang, kalau saja aku dikejutkan oleh sesuatu semacam ini lagi... ...aku mesti menenangkan diriku. Mari kita mulai mengerjakan tugas.
"—Ah..."
" "Ah"? Ada apa? Natsukawa."
"Heh...!? Ah, tidak! Bu-Bukan apa-apa, kok!"
"Begitukah?"
Aku menunduk sambil mengerjakan tugasku dan menggerakkan tanganku di atas laptopku, penasaran apa aku telah menjatuhkan isi kotak bekal makan siangnya. Sungguh konyol kalau cuma aku yang menyadari hal ini dan perilakunya mencurigakan. Aku memeriksanya sambil berusaha untuk tidak menatap lutut Natsukawa yang tampak sedikit dari balik roknya, tetapi aku tidak menemukan apapun yang jatuh ke tanah.
...?
Ah, aku berpikir, sambil berusaha untuk tidak menatap ke arah Natsukawa. Entah mengapa, aku merasa tangan Natsukawa tidak bergerak saat sedang memegang sumpitnya. Apa dia cuma akan menyuapiku pare sebanyak yang dia mau dan tidak memakan apapun sendiri? Ah, apa jangan-jangan dia bersikap menghindar dariku?
Seperti yang aku duga, saat aku menoleh ke arah Natsukawa, dia sedang menatap telur gulung yang dia ambil dengan sumpit sambil terdiam tanpa bergerak sedikitpun.
"Eum, Natsukawa? Jangan ragu-ragu dan silakan makan juga, oke?"
"Eh!? Eh, eum, itu!"
"Eh? Apa? Ada apa?"
"Ah, kalau begitu aku akan memakan sisanya di kelas!"
"Eh?"
Natsukawa buru-buru membereskan kekacauan itu. Dalam sekejap mata, dia sudah membungkus kembali kotak bekalnya sambil hati-hati membawanya dengan kedua tangannya dan kembali ke ruang kelas. Aku terkejut dengan kejadian yang terjadi sesaat itu. Kepanikannya dan caranya yang terburu-buru itu, apa jangan-jangan dia sudah berjanji padaku kalau dia tidak mau lagi makan siang bersamaku?
Inilah saat-saat yang pahit bagaikan mimpi. Setelah itu, tugasku berjalan dengan lancar tanpa hambatan, dan aku dapat menuntaskan tugas itu sebelum jam pelajaran kelima dimulai.
TL Note: Setelah ini, kami akan menerjemahkan Bab 146.1, yang cuma akan kami terjemahkan ke Bahasa Indonesia dan dilengkapi dengan 2 buah ilustrasi, 1 buah ilustrasi warna dan 1 hitam putih, jadi jangan sampai terlewat ya.
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/
Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F
Baca juga dalam bahasa lain: