Yumemiru Danshi wa Genjitsushugisha [WN] - Seri 6 Bab 145 - Lintas Ninja Translation

baca-yumemiru-danshi-wa-genjitsushugisha-wn-seri-6-bab-145-bahasa-indonesia-di-lintas-ninja-translation

Bab 145
Tugasku

Berbelanja memang sebuah perjuangan yang sulit. Ini karena obrolan konyol cowok-cowok SMA merupakan hal yang paling mengasyikkan yang terjadi terjadi pada mereka. Meskipun berada di Ekskul Bisbol yang sama, Yasuda, yang punya jiwa kepemimpinan yang serius dan misterius, tidak seperti Iwata, yang mudah kehilangan kesabaran, mulai berlari cepat. Sungguh, kalau bukan karena itu, kami mungkin tidak akan sampai di kelas tepat waktu. Terima kasih, Yasuda. Sulit untuk mendekatinya karena ia bertingkah kayak seorang juru kunci gunung, tetapi aku akan terus mendukungnya dari jauh.  *Aku takut.

"Fiuh, panas sekali... ...Eh? Ichinose-san, apa yang sedang kamu tulis?"

"Ah— Eum, Sajou-kun. Eum, aku sedang memikirkan sebuah pertanyaan untuk kuis nanti..."

Saat aku kembali ke ruang kelas setelah menyeka keringatku dengan handuk, aku mendapati ada Ichinose-san yang sedang duduk bersandar di dinding, memikirkan materi untuk kuis nanti. Kayaknya dia sudah memikirkan beberapa pertanyaan dan menuliskannya di atas kertas secara lepas. Ichinose-san itu banyak membaca buku, jadi menurutku dia bisa membuat materi kuis dengan tingkat tinggi... ...Tetapi yang mana pertanyaan yang dia tulis?

[Konon tepat sebelum Kelaparan Besar Tempo Dulu terjadi, seseorang menggigit terung sebelum musim panas dan mencicipi rasa musim gugur, jadi ia segera mendeteksi kalau tahun ini akan menjadi musim panas yang sejuk dan demi mencegah kelaparan di desanya, ia menyuruh para penduduk desa menanam jawawut Jepang. yang tahan terhadap kerusakan akibat cuaca dingin • Siapakah yang dikatakan sebagai pengambil kebijakan/pemikir sistem pertanian tersebut di Zaman Edo?]

"Tidak, pertanyaan macam apa itu?"

Ini bukan untuk acara kuis. Iya, ini memang untuk acara kuis, tetapi bukan kuis semacam ini.

Bukan kayak gitu intinya, bukan? Itu pertanyaan kuis yang menentukan raja kuisnya merupakan seorang alumni Universitas Tokyo. Otakku berhenti bekerja setelah mendengar dua kata pertama dari pertanyaan itu. Mungkin karena target audiensnya itu siswa-siswi SMP, wali murid dan siswa-siswi lainnya... ...Begini, ini merupakan jenis acara di mana kita tidak memberikan pengetahuan atau semacamnya pada audiens, meskipun mereka menjawab pertanyaannya dengan benar... ...Kalau kita mengeluarkan pertanyaan semacam ini, kita cuma akan menarik perhatian audiens yang merupakan siswa-siswi SMP yang biasa datang ke toko buku bekas....

"Begini... ...A-Apa menurutmu pertanyaan itu tidak bagus...?"

"Mungkin saja, tidak akan ada orang yang dapat menjawab pertanyaan itu..."

"Ah..."

"Ah! Sajou-kun merundung Mina-chan lagi!"

"Menjauhlah darinya—! Menjauhlah dari sini, cowok!"

"Tidak, kok, cowok, sih!"

Apa-apaan dengan feminisme yang mendadak muncul ini? Memangnya menurut kalian Ichinose-san itu siapanya kalian? Mengapa Ichinose-san diperlakukan seperti seorang putri otaku padahal kalian berdua juga sama-sama cewek?

Shirai-san mendorongku menjauh, dan saat aku menoleh ke belakang, aku mendapati Ichinose-san cekikikan dan melambaikan tangannya ke arahku. Aku sudah mati.

Saat istirahat makan siang, inilah waktu di luar jam pelajaran untuk mengadakan rapat dengan Panitia Pelaksana Festival Budaya. Anggota Panitia Pelaksana Festival Budaya tetap kayak Natsukawa dan Sasaki tidak hadir. Pertama-tama, perusahaan gelap macam apa itu yang memaksa siswa-siswi untuk menghabiskan waktu istirahat makan siang dan jam sepulang sekolah setiap hari? Sayang sekali, Natsukawa mesti terpisah dari anggota kelas lainnya padahal sudah sekian lama dia tidak menghabiskan waktu untuk bicara dengan mereka. Natsukawa mestinya bisa lebih sering bersenang-senang dengan cewek-cewek lain. Tunjukkan pada kami, betapa seriusnya dirimu, Natsukawa...!

"Eh...?"

"Ah, Natsukawa. Siapapun dapat menggunakan bangku ini."

"Eh? Ah.—"

Aku saat ini sedang membawa sebuah tas dengan laptop di dalamnya. Aku merasakan sensasi yang jauh lebih berat ketimbang biasanya dan membuatku semakin termotivasi.

Ini merupakan tugasku yang sedang berlangsung secara bergilir dengan Gou-senpai. Hari ini, kolaborator eksternal dari tim Hanawa-senpai mestinya sedang menuntaskan tugas mereka sejak pagi tadi. Kita perlu memanfaatkan waktu istirahat makan siang ini untuk memastikan kalau semua orang di sekolah ini dapat memeriksa perkembangannya segera sepulang sekolah. Kita tidak bisa membiarkan mereka membuang-buang waktu untuk memeriksa di sana.

Aku merasa lega karena tidak ada Gou-senpai di sekitar ruang kelas Panitia Pelaksana Festival Budaya. Saat aku bertemu dengan seseorang secara tidak terduga, sinar mentari yang memantul dari rambutku yang di-waks terkadang mengenai mataku dan membuatnya perih. Aku penasaran bisakah aku menggunakan sesuatu yang lebih lembut... ...Kalau ada lalat kecil, aku mungkin bisa membakarnya sampai mati dengan sinar itu.

Aku pergi menuju lorong atrium di mana, aku, Yūki-senpai, dan Gou-senpai berkumpul terakhir kali. Gou-senpai bilang kalau akan ada koneksi Wi-Fi yang terhubung ke laptop ini di area ini. Itu merupakan tempat di dekat pintu masuk gedung sekolah yang terasa sejuk, dan angin sepoi-sepoi berhembus secara konstan. Apalagi di sini juga tempat yang selalu teduh, jadi saat aku duduk di sana, betonnya terasa yang sejuk dan nyaman.

"Baiklah, kalau begitu..."

Aku meletakkan laptopku di atas kakiku yang dangkal dan menyalakannya. Aku memeriksa apa internetnya sudah terhubung dengan benar, dan membuka folder yang terhubung ke server tim Hanawa-senpai dan memeriksa apa yang ada di dalamnya. Selanjutnya, setelah aku masuk lebih jauh ke dalam folder yang diberi nama sesuai tanggal hari ini, dan mendapati ada sederetan berkas yang diawali dengan kata "Tuntas". Rasanya menyenangkan melihat sejumlah besar berkas yang membutuhkan waktu begitu lama untuk dituntaskan dengan ditulis tangan telah tuntas.

Aku membuka setiap berkas itu satu per satu dan memastikan kembali apa semua kolom telah terisi. Lalu aku memindahkan berkas-berkas yang sudah tuntas di dalam folder ini ke folder "Terkonfirmasi" — Lalu, aku terus mengulangi proses ini. Semakin banyak berkas yang sudah "Tuntas" yang kita punya, memang semakin sulit tugasnya, tetapi meskipun begitu, ini merupakan hal yang patut disyukuri. Yang terpenting, aku menyukai kenyataan bahwa aku tinggal memindahkan berkas-berkas yang sudah disunting oleh orang-orang yang bekerja dengan benar. Hal ini membuatku punya rasa superioritas yang muncul secara misterius.

"—Me-Mengapa kamu menyeringai...?"

"Eh? Seriusan? Memangnya aku menyeringai? Kalau aku menyeringai saat bekerja, memangnya itu buruk, ya?"

Tidak, bukan begitu, loh! Aku tetap harus mengerjakannya, jadi akan lebih baik membuatku termotivasi dengan menemukan keasyikan di dalamnya ketimbang cuma mengerjakannya tanpa berpikir panjang. La-Lagian, ini bukannya aku sedang menjelajahi situs vulgar! Maksudku, kalau aku terhubung ke situs semacam itu dengan jaringan sekolahku, aku akan dikeluarkan dari sekolah! Bukan cuma Gou-senpai, tetapi Kakak juga akan mengomel dan mengamuk padaku! — Loh?

"...Eh? Na-Natsukawa? Mengapa?"

"Ah, E-Eum..."

"...?"

Ini tempat di mana harusnya tidak ada orang lain selain aku yang ada di sini. Biasanya, siswa-siswi lain mestinya terkonsentrasi pada ruang kelas, kantin dan kios. Natsukawa juga mestinya sedang makan siang bersama Ashida dan yang lainnya saat ini karena dia tidak mesti bertugas sebagai anggota Panitia Pelaksana Festival Budaya saat istirahat makan siang. Saat aku mendongak ke atas, aku bingung dengan kehadiran orang yang harusnya tidak ada sini, sedang berdiri tepat di depanku.

Apa jangan-jangan aku salah mengira kalau hari ini juga ada rapat Panitia Pelaksana Festival Budaya yang lain...?

"Ah — eum... ...kayaknya hari ini rapatnya cuma saat sepulang sekolah, bukan?"

"A-Aku tahu itu! Aku tahu, kok!"

"A-Ah... ...Begitu ya."

"..."

"..."

...E-Eh...?

Eh? Perasaan macam apa ini? Apa yang mesti aku katakan? Maksudku, mengapa kamu ada di sini? Ah, tenanglah, diriku...! Tenanglah dalam menilai situasi ini, aku bisa melakukannya. Aku penasaran memangnya menurut diriku sendiri sudah berapa tahun aku berhubungan dengan Natsukawa? Kalau ada ujian soal Natsukawa, mestinya aku bisa lulus ke level dua. Tolong beri tahu kami kapan hari ulang tahun Natsukawa Aika. Jawabannya yaitu saat Halloween. Silakan berikan tipuan atau permen padaku.

Tiba-tiba aku menengok ke arah tangan Natsukawa dan menyadari sesuatu.

"Jadi kamu membawa kotak bekal makan siangmu... ...Apa kamu sedang dalam perjalanan untuk bertemu dengan seseorang?"

"Eh!? Ah, i-ini... ...Begini, ini bukan begitu, kok..."

"?"

Lalu, Natsukawa dengan cepat membalikkan bungkus kotak bekal makan siang ke belakang punggungnya seakan-akan untuk menyembunyikannya. Saat itu, perhatianku memang hampir teralihkan ke roknya yang bergoyang-goyang saat dia melakukan itu, tetapi aku menahan diriku. Cuma mata kananku saja.

"—A-Aku kira kamu sedang mengerjakan tugas... ...Begini, aku juga, sih..."

"Tugas...? Tugas... ...Tidak, kalau itu sih, nanti sepulang sekolah hari ini.—"

"Bukan begitu maksudku...! ...A-Aku kira kamu mungkin sedang mengerjakan tugas...  ...Soalnya, kamu membawa tasmu."

"...Iya, aku rasa begitu."

Sebenarnya, beginilah cara agar aku dapat menyalakan laptopku dan terhubung ke internet secara daring. Itu memang tidak salah. Aku memang tidak salah, tetapi tetap saja, itu aneh karena Natsukawa ada di sini. Tidak ada aturan yang bilang bahwa kalau aku sedang mengerjakan tugas, Natsukawa juga mesti mengerjakan tugas. Kalau saja ada aturan semacam itu, hal pertama yang aku lakukan adalah membiarkan Sasaki yang mengerjakannya terlebih dahulu.

"Aku kira kamu sedang ada di ruang kelas Panitia Pelaksana Festival Budaya, sih... ...tetapi ternyata bukan di situ. Aku mencari-cari kamu sejenak ke sekeliling dan ternyata aku menemukanmu tepat di sekitar sini..."

"Tidak, hmm... ...Tidak, menurutku mereka tidak akan meminjamkan kunci ruangan itu cuma untukku. Tidak, begini... ...cuma karena aku sedang mengerjakan tugas, bukan berarti Natsukawa juga mesti mengerjakan tugas apapun."

"Ha-Habisnya... ...kamu juga tidak perlu mengerjakan itu..."

"Itu benar, sih... ...tetapi itu merupakan keputusanku sendiri. Natsukawa tidak perlu khawatir soal apapun. Lagipula, aku ada di pihak OSIS."

"Itu benar, sih..."

"..."

Natsukawa Aika. Sisi "Dewi"-nya yang aku kenal mulai terlihat. Di antara semua itu, menurutku, aku punya rasa tanggung jawab yang kuat untuk memenuhi peranku, atau lebih tepatnya, tugas yang dipercayakan padaku. Aku bekerja paruh waktu baru-baru ini cuma demi mendapatkan uang saku agar bisa bersenang-senang dan bermain gim, tetapi saat aku pertama kali bekerja paruh waktu di masa SMP-ku, motivasiku yaitu karena aku ingin jadi seseorang yang layak untuk bersanding dengan Natsukawa secara pribadi. Dengan kata lain, itu demi meningkatkan kualitas diriku.

Meskipun begitu, pada akhirnya, aku sadar bahwa yang aku butuhkan untuk menonjol yaitu "apa yang sudah aku punya sejak awal". Penampilan, bakat, studi dan olahraga. Aku tidak percaya kalau Natsukawa punya segala hal itu sejak awal. Tentu saja menurutku aku sudah berusaha. Tetapi tetap saja, ada sesuatu di dalam diriku yang telah hancur. Karena menurutku mustahil buatku untuk melanjutkan usaha itu. Karena menurutku itu "merepotkan" untuk terus mengejarnya.

"Eum... ...Wataru, kamu menyantap makan siang dengan apa?"

"...Eh? Ah, setelah ini tuntas, aku jajan untuk menyantap makan siangku..."

" "Jajan"... ...Kamu tidak menyiapkan bekal makan siangmu?"

"Tidak? Lihat, ini dia ada di sini."

Aku mengeluarkan sebuah kantung plastik dari dalam tasku. Ini merupakan roti manis yang aku beli di toko swalayan pagi ini. Aku memang tidak dapat melihatnya, tetapi aku memasukkan roti itu ke dalam tasku bersama laptopku, dan menurutku roti itu mungkin sudah setengah hancur.

"Makanan itu lagi.... Kamu, padahal biasanya kamu sering membawa bekal makan siang tepat setelah kamu masuk ke sekolah ini. Mengapa kamu berubah?"

"A-Ah..., ...Tidak, begini, terlalu banyak paprika hijau dan sejenisnya, loh? Kalau aku menyisakan semua itu berturut-turut, Ibu akan marah."

Menurutku itu memang membuat Ibu marah, atau lebih tepatnya, itu sama sarkastiknya. Aku tidak punya kata-kata untuk menjawabnya. Sebagai bonus, Kakak sering memperlakukanku kayak anak kecil, dan aku diinjak-injak dan ditendang olehnya. Aku tidak punya pilihan selain terima diinjak-injak dan ditendang olehnya. Kabum.

"..."

"Ah... ...Eum, Natsukawa-san?"

Natsukawa memang tampak khawatir sampai saat ini, tetapi setelah aku menjelaskan soal bagaimana kotak bekal makan siangku yang berubah jadi roti manis, dia tiba-tiba terdiam, menatapku sambil menurunkan alis matanya. Ah, segalanya tiba-tiba berubah... ...Aku merasa kayak aku barusan menginjak ranjau darat. Ngomong-ngomong, Natsukawa itu seorang kakak... ...Jadi, menurutku, kayaknya dia akan mencoba segala macam cara dan percobaan agar Airi-chan mau makan paprika hijau. Dia itu bagaikan ular semak.

"Eum.—"

"Apa kamu... ...tidak menyukai paprika hijau?"

"Ah, iya."

"Begitu ya... ...mengapa?"

"Rasanya pahit..."

"Kalau begitu... ...mungkin pare?"

"Ah, iya..."

"..."

"..."

...Hmm? Perasaan macam apa ini? Kayaknya ada sesuatu yang agak enak soal itu... ...Apa ada unsur semacam itu di dalam obrolan kami tadi? Aku kira aku akan dimarahi atau dibius. Imutnya. Aku merasa kalau aku bisa memakan bagian dalam daging isi paprika saat ini.

Author's Note: Karena itu merupakan—

Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/

Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F

Baca juga dalam bahasa lain:

Bahasa Inggris / English

←Sebelumnya          Daftar Isi           Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama