Yumemiru Danshi wa Genjitsushugisha [WN] - Seri 5 Bab 120 - Lintas Ninja Translation

baca-yumemiru-danshi-wa-genjitsushugisha-wn-seri-5-ch-120-bahasa-indonesia-di-lintas-ninja-translation

Bab 120
Ekspresi Pucat

"Kamu, apa ada sesuatu yang terjadi...?"

"Ah...?"

"Ah...?"

"Kalian berdua, berhentilah memotong obrolan satu sama lain tanpa bicara bahkan sedetik pun."

Karena kata-kata Haru yang membuatku merasa seperti ditarik keluar dari bak mandi air hangat, aku mulai merasakan perasaan jengkel yang aneh. Saat aku sedang menyantap makan malamku, dengan tampak sedih dan tertunduk, Kakak pun mulai bicara padaku dan mau tidak mau aku bereaksi padanya dengan cara yang kasar. Kayaknya Kakak mengira kalau aku bersikap menantang padanya, jadi dia mulai mengeluarkan beberapa sifat lamanya dan itu membuatku terkejut. Saat aku sedang memikirkan soal apa yang mesti aku lakukan pada suasana yang telah berubah dalam sekejap mata ini, Ayah pun turun tangan dalam melerai kami, tampak terkejut.

"Tidak, itu keluar begitu saja dari mulut Kakak tanpa sadar."

"Kakak jahat sekali. Kakak baru saja membuatku merasa terancam tanpa berpikir panjang."

"Bagaimana menurutmu merasa terancam secara refleks...?"

Aneh, akhir-akhir ini entah mengapa aku bisa paham mengapa Kakak dan Shinomiya-senpai bisa saling berteman. Mungkin itu karena mereka berdua punya sesuatu yang fantastis soal mereka. Meskipun, aku dapat melihat semangat Kakak yang tegang menghilang saat aku pamit. Apa itu? Faktanya, Kakak sudah berlatih keras tanpa memberi tahu keluarganya, bukan?

"Jadi? Apa terjadi sesuatu?"

"Eh? Tidak ada, memangnya mengapa?"

"Tidak, kamu jelas berbeda dari saat kamu membantu di ruang OSIS tadi siang."

"..."

Ini sangat jarang. Aku tidak percaya kalau Kakak begitu peduli dengan keadaanku..., ...Apa dia tipe orang yang mengamati hal-hal semacam ini? Iya, ketegangannya jelas berbeda dari saat aku membantu di ruang OSIS. Kakak tidak perlu memikirkan hal itu, bagaimana Kakak menganggap aku ini aneh? Ini memang aneh, sih.

"Tidak, aku cuma kepikiran sesuatu."

"Hmm."

Cuma "Hmm", ya? Apa aku sama sekali tidak tertarik pada Haru?

Tidak, tetapi Kakak saat ini memang menunjukkan sikap sebagai seorang "kakak" pada umumnya, bukan? Kemampuannya dalam merasakan kegundahan adiknya dan menanyakan apa terjadi sesuatu padaku, itu cukup tepat. Ada apa dengan Kakak? Ternyata, Kakak punya sikap sebagai seorang kakak seperti itu juga, ya! Abang jadi terkesan! Meskipun aku itu adiknya.

"..."

"..."

"..."

...Kakak benar-benar tertarik pada keadaanku, bukan? Aku dapat merasakan dari mata Kakak yang menatapku sambil berkedap-kedip. Aku yakin kalau Kakak tertarik pada keadaanku... ...Sementara Ayah cuma bisa mengawasi kami sambil menyeruput sup miso-nya. Bapak-bapak ini... ...Apa ia berencana untuk tetap begitu dan menyaksikan dari pinggir lapangan saja? Ayah memang selalu tertutup, jadi aku tidak begitu tahu apa yang Ayah pikirkan. Ini mungkin yang menjadi alasan mengapa kualitasnya buruk. Di mana Ibu...? ...Apa dia sedang menonton televisi?

Tidak, tidak. Masalah ini terlalu pribadi, dan aku bahkan tidak mau memberi tahu Ayah mengenai masalah ini, apalagi Kakak. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah memberi tahu mereka mengenai masalah ini.

"...Terima kasih atas makan malamnya."

"Hah?"

"Eh?"

Saat aku hendak pergi dari bangkuku setelah menyeruput sup miso-ku sampai habis, Kakak menghampiriku sambil mengeluarkan suara yang membuatku mengira kalau dia pasti seorang yankee. Aku juga dikejutkan oleh suara bangku yang dibuat oleh Kakak atau Ayah yang bergetar seperti ketakutan, dan sebuah suara aneh pun keluar dariku. Ngomong-ngomong, Ayah yang menyebalkan akan berpura-pura jadi orang yang paling tidak peduli dengan Kakak saat dia sedang dalam keadaan terburuknya, dan Ayahlah orang yang selalu bilang "Tidak akan ada kutukan dari Dewa kalau Ayah tidak akan ikut campur mengenai masalah kalian ini". Dan akulah yang jadi korban terburuk dalam hal ini. Aku tidak akan pernah melupakan kekesalan ini.

Namun yang lebih penting lagi, tiba-tiba saja aku tersadar kalau Kakak sedang menatapku dan bilang, "Kamu bohong pada Kakak, bukan? Kakak tidak bisa mempercayaimu!" ...Eh? Apa Kakak lupa makan sesuatu? Meskipun biasanya Kakak sangat ceroboh, tetapi Kakak selalu agak tegas dalam urusan meninggalkan sayuran di piring... ...Mungkin Kakak cuma ingin menggodaku.

"Kamu, apa kamu tidak mau tambah porsi makan lagi?"

"Iya?"

Eh? Ini seperti kalimat nenek-nenek yang dibuat 60 tahun lebih awal. Eh? Apa aku selalu boleh tambah porsi makanku yang kedua? Jelas sekali sampai aku lupa. Tadi malam, aku makan malam pakai apa ya?

Tidak, tetapi malam ini kita makan pakai daging b*bi potong, bukan? Aku tidak mungkin akan dapat porsi makan kedua untuk lauk yang utama, bukan?

"Kita masih punya sup miso dan nasi."

"Masa kekenyanganku telah tiba, loh?"

"Hah?"

"Hieh."

Kakak tidak bisa menyembunyikan niat Kakak buat membunuhku, ya?! Kalau ini terus berlanjut, musuh kita (*Shinomiya-senpai saat ini) akan menemukanku...!

Tunggu sebentar. Apa aku yang barusan sedang bingung? Apa Kakak biasanya akan menyarankan nasi dan sup miso buat porsi kedua makan malamku saat semua yang masih tersisa cuma itu? Kecuali kalau Kakak masih punya sisa daging b*bi potong tambahan, lain lagi ceritanya. Ada apa, Kakak? Apa Kakak sedang menstruasi? Kata-kata Kakak barusan jadi kata-kata yang paling tidak jelas yang pernah aku dengar. Aku mohon jangan membentak timbangan lagi, Kakak terdengar seperti om-om aneh yang kadang bisa kita lihat di kereta api.

"Tidak, aku cuma sudah cukup puas saja."

"..."

Kakak meletakkan gelas kosong di atas mangkuk yang kosong, lalu menaruh sumpit di atasnya?

"..."

"...Kakak."

"..."

Melihat piring datar yang akan aku cuci dan letakkan. Ternyata masih ada dua potong daging b*bi potong di atasnya. Aku masih bisa makan satu porsi nasi dengan potongan daging ini lagi kalau aku memakannya dengan pelan-telan. Tetapi bukannya tadi aku sudah makan semuanya, tetapi entah mengapa masih ada di piringku.

"Kakak sudah makan bakpao daging. Kakak berikan padamu, ini silakan diambil."

"Kalau begitu, Kakak berikan saja pada Ayah.—"

"Di usianya, Ayah sudah terlalu tua untuk menyukai makanan berminyak."

"..."

Ayah...!

Kakak ini... ...dia baru saja menebasku dari belakang seakan-akan itu wajar! Lihatlah! Ayah pasti agak gemetaran sambil berpura-pura sedang menonton televisi! Aku yakin itu menyakitkan buat Ayah! Ayah pasti sangat terkejut karena melihat putrinya memperlakukannya seperti pria paruh baya yang menderita tekanan darah tinggi dan kadar gula darah! Aku ingat kalau Ayah sangat menyukai daging b*bi potong...! Ayah menyukai makanan berkolesterol jahat!

"Apa cuma itu saja yang ingin Kakak makan? Mengapa Kakak tidak makan nasi juga?"

"..."

...Pokoknya, aku sudah tahu kalau Kakak memang tidak akan membiarkanku melarikan diri. Aku sudah memutuskan bahwa aku akan makan daging b*bi potong ini... ...Jadi Kakak mencoba membuatnya mendengarkan ceritaku. Apa Kakak cuma sedang iseng saja padaku...? Menurutku Kakak bukan cuma terbawa suasana begitu saja, melainkan karena Kakak tidak suka kalau aku mengalihkan topik obrolan itu...

Itulah yang aku pikirkan sambil menyantap nasi ini. Tetaplah kuat, diriku!

"Terus...?"

"Aku belum pernah mendapati seseorang yang menghabiskan banyak waktu untuk bilang 'silakan teruskan' sebelumnya."

"Jadi?"

"..."

Tidak, begini, Kakak sudah cukup dewasa dalam hal ini, loh. Sampai baru-baru ini, mungkin Kakak akan menendang kakiku langsung dari bawah meja, sambil sangat blak-blakan bilang, "Katakan saja apa yang mau kamu ceritakan pada Kakak!". Itu masih lebih baik, asalkan kaki Kakak tidak langsung dilayangkan ke arahku. Ini tidak akan mengubah fakta bahwa aku tidak diberi pilihan.

Namun, apa yang mesti aku lakukan? Aku tidak mau mati-matian membicarakan masalah ini pada Kakak secara terbuka. Iya, kalau Kakak mengira aku sedang mengkhawatirkan sesuatu, ada baiknya kalau aku katakan saja hal lain padanya. Kalau tidak, aku cuma akan bilang pada Kakak kalau tidak bisa memberi tahunya, meskipun sebenarnya bukan begitu.

"Tidak, begini, tidak ada gunanya kalau aku menceritakannya pada Kakak di sini."

"Hah? Memangnya apa itu? Apa itu soal sekolah? Kakak ini Wakil Ketua OSIS-nya, loh?"

"Tidak, ini bukan soal sekolah, maksudku... ...hmm?"

...Tunggu sebentar? Kakak... ...Kakak, ya? Dia dikelilingi oleh cowok-cowok tampan di OSIS, tetapi seperti apa sebenarnya itu? Yūki-senpai juga kayaknya cukup kaya, jadi mungkin Kakak tidak punya rasa rendah diri, bukan? Eh? Anehnya, mungkin tidak ada gunanya kalau aku untuk memberi tahu Kakak.

Tidak, makanya situasi semacam ini ada. Apa kami sedang makan malam bersama sekarang? Ayah dan Ibu juga ada di samping kami. —Hmm, Ibu, ...Mengapa Ibu mengecilkan volume televisinya? Apa jangan-jangan mereka mendengarkan dengan cermat, namun pura-pura memperhatikan layar. Ah, ya ampun, segala sesuatu yang ada di sekitarku mulai mencurigakan...!

"Be-Begini, Kakak, aku tidak bisa mengikuti topik obrolan saat di sekolah."

"Hah? Soal apa itu...? Sayang sekali, Kakak sampai mengkhawatirkan hal itu. Ternyata itu cuma masalah komunikasi."

"Itu tidak sopan. Ini bukan berarti Kakak tidak ada hubungannya dengan hal ini, loh? Cuma itu saja... ...Hmm, itu cuma obrolan soal hubungan adik-kakak."

"Hah? Obrolan soal hubungan adik-kakak...?"

"Itulah obrolan anekdot soal hubungan adik-kakak. Mereka akan mengobrol soal posisi mereka dalam keluarga masing-masing, apa yang mereka lakukan sebagai seorang abang, dan kisah-kisah apa saja yang mereka alami sebagai seorang adik cowok. Tidak banyak kisah lucu yang bisa aku obrolkan... ...Teman-temanku berusaha menunjukkan seberapa dekat hubungan adik-kakak mereka. Kakak paham maksudku, bukan? Makanya aku hampir tidak bisa bicara soal itu."

Meskipun aku sudah mendengarkan kisah soal hubungan adik-kakak yang akur antara Natsukawa dan Airi-chan, aku masih merasa kalau itu bagaikan kisah dari alam lain. Apa itu dari surga...? "Jadi, bagaimana kalau dibandingkan denganku dan Kakak...?", berpikir kayak gitu bukanlah ide terbaik. Ayolah, ubahlah tingkah kesombongan Kakak yang biasanya!

"..."

Ah, sekaranglah waktunya, bukan?

Sementara Kakak mulai memikirkan hal lain, aku akan menghabiskan nasi dan daging b*bi potong yang Kakak berikan padaku. Satu-satunya tujuanku yaitu melarikan diri dari tempat ini. Tidak ada hal lain yang bisa menenangkan hatiku selain gim! Tunggu aku, Bos Besar...! Aku lebih jago dalam gim ini ketimbang siapapun!

"—Terima kasih atas makan malamnya! Baiklah, aku akan menetap di kamarku."

Aku berhasil melarikan diri, meninggalkan Kakak, yang sedang memikirkan sesuatu, dan Ayah, yang benar-benar kehilangan waktu untuk menghentikanku dari melarikan diri.

"...Hah?"

Saat aku sedang melakukan pengaturan level daya sambil memegang kontroler, terdengar suara ketukan di pintu kamarku. Awalnya aku bingung, karena tidak ada budaya "mengetuk pintu kamar" di rumah ini. Setiap kali aku ingin memasuki kamar seseorang, aku biasanya memanggil mereka dari luar.

"Apa? Siapa?"

"Kakak."

Mengapa, sih?

Aku pun langsung melepaskan kontroler-ku dan menguatkan diriku. Mempertimbangkan kemungkinannya, tadinya aku kira itu mungkin Ibu yang mengetuk pintu kamarku, tetapi ternyata aku salah. Apa itu benar-benar Kakak...? Ini tidak bohong, bukan? Apa ini pertanda akan terjadinya bencana besar padaku? Memangnya makhluk macam Kakak ini bisa mengetuk pintu?

"Eh? Apa? Menakutkan, menakutkan, menakutkan, menakutkan."

"Ka-Kakak tidak menakutkan. Apa kamu ada masalah dengan itu...?"

Itu menakutkan.

Dia pun masuk ke kamarku. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku sudah lama tidak melihat Kakak masuk ke kamarku. Aku belum pernah melihat Kakak masuk ke kamarku sejak SMP, saat dia menyuruhku mengambilkan edisi baru dari manga yang aku beli. Itu masih mending karena dia sudah mengembalikan manga itu ke rak bukuku di kamarku tanpa sepengetahuanku.

"Tidak, yang benar saja? Eh?"

"..."

Kakak langsung duduk begitu saja di ranjangku. Kakak duduk di ranjang di kamar seorang cowok, tampaknya Kakak baru saja selesai mandi. Kalau aku memotret Kakak dengan kameraku dan mengirimkan foto itu ke Yūki-senpai, ia mungkin akan memberi peningkatan bekal makan siang buatku. Aku penasaran apa aku bisa mendapatkan kesempatan untuk mengambil foto yang bagus... ...Hei, jangan terus-terusan menatap seluruh isi kamarku.

"...Kursi macam apa itu?"

"Ka-Kakak tidak boleh merebut kursi ini dariku...!"

"Kakak tidak akan merebut kursi itu darimu."

Perhatian Kakak tertuju pada kursi bermain gim (gaming) buatan rumahan yang aku modifikasi sendiri. Purwarupa dari kursi itu terbuat dari sofa mini yang berbentuk bulat. Aku tidak bisa membiarkan Kakak merebut kursi ini dariku. Saat aku turun dari ranjangku dan memeluk kursi itu untuk melindunginya, Kakak bilang kalau dia tidak akan merebut kursi itu dariku. Apa maksudnya Kakak "bilang begitu padaku"? Mengapa aku merasa bersyukur karena tidak ada barang-barangku yang direbut oleh Kakak? Bukannya itu gawat?

Author Note: Gawat.

Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/

Baca juga dalam bahasa lain:

Bahasa Inggris / English

←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama