Bab 119Sesuatu yang Berbeda, Sesuatu yang Berubah
"—Eum, benarkah...?"
"...Kami tidak berpacaran."
"Te-Tetapi..."
Dia mengobrol dengan Natsukawa yang berdiri tepat di sebelahnya. Meskipun aku berpikir dalam hati, "Serius, itu sudah cukup!", tetapi aku malah menjawab pertanyaan Haru dengan jujur. Mana mungkin aku memintanya untuk mengubah topik obrolan di sini dan menjernihkan suasana.
Matanya yang bingung menatapku dan Natsukawa secara bergantian. Itulah wajah yang tidak asing lagi buatku, aku bisa mengetahui apa yang sedang dia pikirkan, "Kalau begitu mengapa kalian berdua pulang bersama?". Begitulah raut wajahnya. Seorang cowok SMA dan seorang cewek SMA berjalan bersama di tengah kota saat matahari mulai terbenam. Kalau aku tidak salah, saat Haru melihatku, ada sedikit jarak antara aku dan Haru. Dalam situasi semacam ini dan mengingat suasana hatinya, dia mungkin tidak akan mengira kalau kami berdua cuma berteman saja.
"I-Itu, eum..."
Suasananya saat ini jelas sedang kacau. Suara marah yang keluar dari mulutku dan suara Natsukawa yang pelan dalam menjawab pertanyaannya pasti sangat luar biasa buat Haru, aku tahu kalau dia sedang bingung. Suara Natsukawa terdengar gelisah, seakan-akan dia memperhatikan soal pendapatku.
Hentikan, Natsukawa! Tidak usah bicara! Kalau kamu tidak tahu apa yang mesti kamu ucapkan, lebih baik tidak usah bilang apa-apa!
Kepalaku yang panas mulai mendingin. Aku berhasil menenangkan diriku dan dengan sadar berusaha menjaga suaraku jadi lebih lembut.
"A-Ah—, Haru. Aku dan Natsukawa tidak berpacaran, lho."
"Eh...? ...Kok, "Natsukawa"?"
Mari kita tegaskan lagi pemahamannya. Aku dan Natsukawa tidak berpacaran. Saat aku bilang begitu padanya, Haru tampaknya sudah mengetahui caraku memanggil Natsukawa kali ini. Sekali lagi, aku merasakan sesuatu yang muncul di dalam diriku, tetapi aku merasa seperti berusaha keras untuk menekan bagian emosional dari lubuk hatiku, jadi aku memilih-milih kata-kataku dengan hati-hati.
"—Begitulah, kami sudah tuntas dengan hal semacam itu."
"Ah..."
"Eh? Apa maksudmu?"
"Teman. Kami cuma teman biasa. Kurang lebih, kami berada dalam hubungan dengan jalan yang berbeda dari hubungan waktu dulu."
Aku dan Haru dulu memang bersekolah di SD dan SMP yang sama. Namun, kami tidak berada dalam satu kelompok yang sama di kelas, dan aku juga tidak punya kenangan khusus soalnya. Aku rasa maka dari itu dia merasa bisa turun tangan mengenai masalah ini. Tidak peduli betapa canggungnya keadaan antara aku dan Natsukawa saat ini, pada akhirnya itu cuma masalah orang lain. Tetapi tetap saja, aku tetap memutuskan untuk bicara padanya dengan baik, karena aku juga merasa ada bagian dari diriku yang merasa iri dengan hubungan persahabatan Haru.
"Maafkan aku karena telah membuatmu salah mengira. Iya, karena kamu telah mengenal diriku saat masih di SMP, aku rasa tidak aneh kalau kamu mungkin akan berpikir kayak gitu."
"Oh, iya..., ...Maafkan aku."
"Tidak, ...Itu tidak masalah."
"I-Iya."
Saat aku berhasil berjalan melewati Haru, yang punya tampang "Aku telah mengacau!" di wajahnya, dia juga melarikan diri dengan "Aw-Aw-Aw" seakan-akan untuk menepis kecanggungan ini. Lalu aku memperlambat langkahku untuk memastikan kalau suara itu sudah menjauh dariku.
Untuk sementara waktu, aku cuma bisa menatap ke depan.
♦
"..."
"..."
Aku berdiri diam dan menatap langit malam. Cantiknya dia, pikirku di dalam hati, dan aku merasa malu, seakan-akan aku tenggelam dalam sentimentalitasku. Dengan hal itu sebagai permulaan, aku pun berbalik arah.
Mataku berkedip, dan tatapan kami saling bertemu, dan matanya yang dipenuhi rasa kebingungan.
"Begini, maafkan aku, Natsukawa. Seorang kenalan lamaku membuat kesal..."
"Ah, tidak..."
"...Haruskah kita lanjutkan perjalanan kita?"
"..."
Saat-saat yang menyenangkan buatku berlalu dengan begitu cepat. Seakan-akan menentang teori yang tidak masuk akal tersebut, waktu keheningan ini akan segera berakhir, berbeda total dengan saat-saat yang sangat mengasyikkan. Kalau ada seseorang di luar sana yang menikmati saat-saat semacam ini, ia pasti orang yang mesum total. Tepat di depan sana, ada persimpangan jalan.
"Baiklah, aku akan lewat sini..., ...Sampai jumpa lagi besok."
Menoleh ke arah Natsukawa, aku mengucapkan kata-kata perpisahan.
Aku tidak bisa menghilangkan perasaan canggung ini. Aku mohon jawablah aku dengan cepat, atau paling tidak mengangguk kalau kamu belum bisa berbicara. Keinginan semacam itu terus terlintas dalam benakku. Aku butuh alasan untuk melangkahkan kakiku sesegera mungkin.
Aku memang seharusnya dulu menyukainya, tetapi aku malah mau melarikan diri. Seiring berjalannya waktu, aku benci diriku sendiri karena jadi orang yang begitu melekat dan jahat padanya, merasa seakan-akan aku terpaksa untuk menghadapi betapa kecilnya kapasitasku.
"Ah—, —Wa-Wataru!"
"!"
Aku pun benar-benar berhenti bergerak maju. Aku penasaran apa yang akan terjadi kalau aku mengabaikan Natsukawa dan melambaikan tanganku padanya sambil mengerakkan kakiku. Aku yakin hubungan kami akan "hancur" dan besok akan jadi jauh lebih canggung ketimbang sebelumnya. Kepalaku, dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu membuat keputusan yang sulit.
"...Hmm, ada apa?"
"Ah, eum..."
Aku menoleh ke belakang dengan nada bicara yang biasa, berpura-pura sedang "baik-baik saja". Aku bisa melihat Natsukawa dengan wajahnya yang agak bermasalah. Dia tampak bingung dan panik.
"I-Itu... ...Orang yang tadi, Haru-san..."
"...Soal Haru, ya? Ada apa?"
"Ah, eum..."
Matanya berkedip lagi. Saat aku bertanya balik padanya, Natsukawa menggerakkan mulutnya beberapa kali dan kata-katanya tersangkut. Apa jangan-jangan dia mencoba menahanku? Ataukah dia sedang kehilangan arah? Tetapi dia dengan canggung menjatuhkan tangannya tanpa mencoba menggenggam udara sekalipun.
"...Tidak ada apa-apa, kok."
"...Oke."
Aku sedang diperhatikan olehnya.
Kalau dipikir-pikir lagi, benar, itu dapat dimaklumi. Aku dan Natsukawa, kami berada dalam hubungan di mana dia telah mencampakkanku. Natsukawa-lah yang merasa tidak nyaman, dan akulah yang merasa sengsara. Tidak, aku yakin aku mungkin terlalu minder untuk berpikir semacam itu soal diriku sendiri saat ini. Lagipula, mungkin saja itu salah buatku menyatakan cintaku pada Natsukawa, bunga yang tidak bisa aku raih, sejak awal. Ini bukanlah sesuatu yang dapat aku putuskan sendiri dengan sombong, karena aku menaruh harapan besar untuk "berjaga-jaga".
...Aku mesti mendinginkan kepalaku.
"Kalau begitu.—"
"Tung-Tunggu..."
Mengapa?
Mengapa kamu menahanku? Aku menatap wajah Natsukawa dan lengannya yang mencengkeramku secara bergantian, dan dia secara tidak sengaja membuat daya tarik yang kuat pada mataku.
Aku dan Natsukawa cuma berteman saja. Aku memang sudah dicampakkan olehnya, tetapi aku masih bersedia memperlakukan Natsukawa sebagai "teman", kalau itulah yang dia mau. Memang ada masa-masa di mana aku dibutakan seperti aku sedang kerasukan, tetapi meskipun begitu, aku masih bisa mengungkapkan perasaanku padanya. Makanya, rasa jarak yang sudah "dipersiapkan" oleh Natsukawa buat kami, bukan cuma memuaskan saja, tetapi juga mewah.
...Apa Natsukawa merasa berbeda? Karena dia tahu bagaimana perasaanku, aku yakin dia pasti merasa canggung. Bukankah itu sebabnya dia tidak menyentuh topik itu sama sekali sampai saat ini...?
Kalau begitu, mengapa kita tidak mengucapkan "Selamat tinggal!" hari ini? Bukannya lebih baik kalau kita bisa bertemu saja lagi besok seperti biasanya? Meskipun kita terus bertemu satu sama lain seperti ini, semakin sering kita melakukan ini, itu cuma akan membuat suasana ini semakin canggung jadinya.
"Be-Begini...!"
"..."
Dia menggenggam lenganku dengan lemah. Meskipun begitu, itu masih terlalu kuat buat menahanku. Aku tidak punya keberanian untuk melepaskan tangannya ini bahkan sejak dulu saat aku jatuh cinta pada Natsukawa. Pada saat yang sama dengan perasaanku yang semakin samar, aku merasa seakan-akan aku sedang dibelenggu.
"Ka-Kamu... ...Begini, apa kamu masih...?"
"..."
"—Maafkan aku... ...Bukan apa-apa, kok."
"..."
Saat tanganku dilepaskan perlahan, aku merasa terkejut. Sebelum aku menyadarinya, aku mendapati diriku menatap Natsukawa dengan tajam. Aku rasa Natsukawa menatapku seakan-akan dia sedang mencoba melihat warna kulitku. Apa jangan-jangan aku baru saja "membungkam" Natsukawa...? Jangan bilang dia bukan cuma memelototiku...?
Barusan, Natsukawa secara jelas menyampaikan "kecanggungannya" padaku. Aku dapat memahami kebimbangan dan kebingungan di matanya yang berkedap-kedip. Apa yang mesti aku katakan? Apa yang mesti aku katakan agar perpisahan ini berjalan lancar? Bagaimana agar kami bisa keluar dari situasi ini? —Siapa sih yang membuat Natsukawa terikat pada tempat ini semacam ini? Bukannya itu aku dari semua orang? Bukannya itu kamu sendiri, wahai diriku yang bodoh?
Meskipun aku bilang kalau aku tahu tempat kembaliku, tetapi pada akhirnya aku ingin merendam diriku ke dalam air hangat, bertukar kontak informasi, pergi ke rumahku, dan saat aku mengendur, inilah yang terjadi. Aku yakin kalau saja aku lebih santai dan membiarkan segala sesuatunya mengalir, hal ini tidak akan terjadi. Aku yakin kalau aku akan bisa menyesuaikan diriku dengan lebih baik. Aku yakin di suatu tempat di sepanjang jalan, keserakahanku terhadap Natsukawa pasti akan muncul. Makanya aku membuat Natsukawa menatapku seperti ini.
"—Kamu kayaknya sudah lelah, jadi mari kita cukupkan saja sampai di sini untuk hari ini. Berdiri sambil mengobrol cuma akan membuat kita lelah, bukan?"
"...Eh?"
"Begini, bukannya kamu mesti segera pulang, agar kamu dapat menunjukkan wajahmu pada Airi-chan?"
"Ah, iya..."
"Aku akan bilang pada Haru kalau dia tidak punya cukup tata krama. Sampai jumpa besok."
Kali ini, aku mengucapkan selamat tinggal pada Natsukawa dan langsung meninggalkannya. Tidak ada suara yang menghentikanku, dan tentu saja, tidak ada lagi tangannya yang memegangi lenganku. Semakin aku menggerakkan kakiku, semakin aku bisa merasakan sesuatu yang selama ini bergejolak di dalam dadaku jadi tenang.
Pada titik tertentu, aku berusaha menjauhkan diriku dari Natsukawa. Lalu Ashida tidak memperhatikan maksudku dengan baik. Buat Natsukawa, aku, "Sajou Wataru" merupakan tempat bersandar buatnya, aku ingat pernah mendengar seseorang bilang sesuatu dengan nuansa semacam itu padaku sebelumnya.
...Apa sekarang masih seperti "itu"...?
Saat si cowok bodoh itu mulai menjauhkan diri, orang-orang mulai berkumpul di sekeliling Natsukawa. Dengan menghilangnya "bayang-bayang seorang cowok", sebagian besar "cowok-cowok yang baik" yang ingin menjadikan Natsukawa sebagai gebetannya mulai bermunculan pula. Terlebih lagi, kalau cuma dilihat dari tampang mereka, aku diberi tahu bahwa mereka tampaknya cocok satu sama lain sampai-sampai aku benci akan hal itu. Bukannya ada salah satunya di sekitar sini...? Kapankah Natsukawa bisa jadi "seperti Natsukawa yang biasanya"? Kapankah aku tidak lagi punya perasaan yang rumit semacam ini?
...Tidak.
Aku tidak perlu melakukan sesuatu yang tidak perlu. Kalau pun ada perbedaan yang sangat besar antara kehidupan SMA-ku dan kehidupan SMA Natsukawa. —Kalau pun ada perbedaan yang menentukan dalam nilai-nilai kita sebagai manusia, dalam apa yang kita harapkan, dan dalam segala hal. —Aku yakin kita tidak akan berhubungan satu sama lain secara alami kalau saja aku cuma menghabiskan kehidupanku dalam keadaan linglung. Segala sesuatunya mesti berubah. Aku cuma mesti menunggu dan melihat saja. Akan lebih baik kalau aku tidak perlu terlalu memikirkan semua itu, aku cuma perlu menjalankan kehidupanku sebagaimana mestinya.
"...Hah..."
Aku penasaran apa ada cewek di luar sana yang sempurna untuk dijadikan sebagai pacarku.
Author Note: —Itu mudah sekali terlupakan.
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/
Baca juga dalam bahasa lain: