Bab Pra-113Pelajaran Tambahan
(Bab ini jika berdasarkan urutan penulisan cerita diletakkan di sini, namun masih belum jelas penempatan latarnya sesuai urutan kronologis.)
Setelah liburan musim panas berakhir, dan semester kedua tiba, kalian kehilangan kebebasan untuk menggunakan waktu kalian dengan bebas. Itu saja sudah memang sudah pemikiran yang menyakitkan, tetapi yang lebih menegangkan yaitu kenyataan kalau kalian mesti menggunakan waktu kalian untuk belajar. Pastinya tidak ada satupun siswa-siswi yang berjalan ke sekolah sambil berteriak 'Baiklah, akhirnya semester kedua tiba!'. Meskipun menyadari fakta ini sepenuhnya, sekolah tidak menunjukkan penyesalan, tidak menahan diri, dan segera memberikan ujian yang akan datang pada kalian. Guru-guru kemungkinan besar tidak punya air mata ataupun darah di dalamnya.
"Apa yang terjadi dengan motivasi kalian sejak semester pertama? Ini sulit untuk diprediksi."
"...Iya."
Segera setelah liburan musim panas berakhir, kami menerapkan tes PR dalam kurikulum kami. Tampaknya hal ini terjadi di setiap SMA, dengan menggunakan berbagai macam PR musim panas sebagai dasarnya. Karena aku mengerjakan PR tersebut saat hari libur di pekerjaan paruh waktuku, aku memang menyelesaikannya dengan cukup cepat, tetapi karena aku puas dengan hal itu, tidak ada satupun isi sebenarnya yang benar-benar terlintas dalam benakku.
Aku memang tidak terlalu percaya diri, tetapi saat aku mencoba ujian-ujian itu dengan mentalitas "Mestinya akan baik-baik saja, aku rasa", apa kalian akan menyadari hal itu... ...hasilnya tentu lebih buruk ketimbang apapun yang pernah aku raih atau lihat di kertasku sendiri. Tatapan guru-guru itu juga cukup keras. Tampak seperti mata yang bisa langsung keluar dari Zaman Jomon.
"Sajocchi, apa kamu mendapatkan beberapa nilai buruk?"
"...Kalau begitu bagaimana denganmu?"
"Ehehe—."
"Euh..."
Duduk di belakangku, Ashida memamerkan lembar jawabannya, yang dia dapatkan di depanku, dan menyeringai dengan penuh percaya diri. Meskipun dia tidak benar-benar mendapatkan nilai sempurna dalam ujian, paling tidak dia mencapai nilai rata-rata. Hal ini membuatku frustrasi lebih dari yang aku kira. Mengapa? Karena aku kalah melawan pemain biasa yang harusnya sibuk dengan klubnya. Tentu saja, bagian pertama itu cuma prasangka.
Dia menatapku dengan raut wajah yang bilang "Ayolah, aku sudah tunjukkan kertasku, jadi serahkan saja, kertasmu", dan mendekat ke arahku. Aku mengertakkan gigi belakangku untuk menghadapi penghinaan saat aku menyerahkan kertasku, dan dia membandingkan kertasku dengan wajahku beberapa kali. Seakan-akan itu masih belum cukup, dia menyeringai bagaikan dia seakan-akan merendahkan, seakan-akan dia mau bilang "Apa, kamu masih perjaka?". Ada apa dengannya...!? Memangnya apa hubungannya dia dengan semua ini...!?
"..."
Merasa tidak jelas setelah menerima provokasi seumur hidup, aku berpaling dari Ashida, dan menghadap ke bangku depanku. Ini sebenarnya sangat buruk. Awalnya, nilaiku itu tidak seburuk ini. Malahan, karena terus menggebet Natsukawa di SMP, aku belajar mati-matian sampai-sampai aku pun berhasil masuk ke SMA Kōetsu, yang dikenal sebagai SMA tingkat tinggi, dan rutinitas belajar sudah tertanam di dalam tulang belulangku. Aku masih ingat perasaan gembira, bangga, dan puas saat melihat nilainya pada kelas IX SMP. Aku pasti hidup di bawah halusinasi kalau aku benar-benar jenius sejak saat itu.
Setelah masuk SMA, aku berhasil mengikuti pelajaran lebih awal dan dengan tingkat yang tinggi karena perasaanku pada Natsukawa. "Bagaikan neraka, aku akan membiarkannya melepaskanku" atau "Aku akan jadi seseorang yang bisa berjalan di sampingnya" itulah daya pendorong utamaku, sebuah motivasi yang jahat dan keliru, namun itu membuatku terus maju. Aku terus bilang pada diri sendiri kalau aku layak mendapatkan Natsukawa —yang saat ini jadi bagian dari masa laluku yang kelam dan mau aku hapus dari ingatanku — dan cuma menerima segala sesuatu dengan pola pikir yang positif. Sungguh suatu hal yang ironi.
"Hasil nilai ini berasal dari sikap acuh tak acuhmu selama liburan musim panas yang lalu. Nilaimu di bawah rata-rata akan mengakibatkan ujian susulan, jadi pastikan untuk belajar dengan baik."
"Euh..."
Hentikan itu! Sajou sudah tidak punya nyawa lagi, tahu! Tanpa mengetahui kondisiku, inilah keputusan kejam yang ditujukan padaku. Tidak bisakah aku mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi? Mengapa aku pun tahu soal ide itu meskipun aku tidak paham sejarah? Apa yang salah dari otakku?
"Aku rasa... ...aku harus belajar lagi."
Inilah musim panas pertamaku yang bebas dari kesalahpahamanku, aku mungkin bisa lolos tanpa kesalahpahaman yang menyakitkan, tetapi untuk menganggap bahwa kemampuan dan motivasiku untuk belajar itu akan lenyap...
♦
Istirahat makan siang pun tiba. Kakak memanggilku ke Ruang OSIS, namun aku menolak dengan alasan nilaiku sedang jelek. Aku mengenalnya sebagai orang yang tidak masuk akal dan keras kepala, tetapi sebagai peserta ujian, dia pasti mengerti bahaya nilai buruk itu, jadi dia tidak memaksaku.
[Apa, memangnya sejelek itu?]
[Sedikit.]
[Kakak paham.]
Meskipun dia tidak memaksaku, obrolan kami masih terasa tegang. Kalau dipikir-pikir, ini mungkin pertama kalinya aku benar-benar mengungkapkan sesuatu soal nilai-nilaiku padanya. Sama halnya dengan dia yang bertanya kayak gini. Aku penasaran bagaimana nilai-nilainya... ...Setidaknya dia ikut bimbel.
"Hah? Sajocchi, kamu mau pergi ke koperasi sekolah?"
Aku bangun dari bangkuku, merasa agak melankolis, saat Ashida menanyakan hal itu, sambil duduk di bangku Natsukawa. Setelah itu, Natsukawa juga melirik ke arahku.
"...Iya, anu."
Mengesampingkan Ashida, sekarang Natsukawa juga mendengarkan, aku tidak bisa bilang "Nilaiku jelek, jadi aku akan pergi belajar...", karena itu cuma akan membuatku tampak payah di depan orang yang pernah aku cinta. Aku masih memikirkan kesannya padaku, meskipun aku sudah menyerah, loh.
"Apa maksudmu, 'hmm'? Mencurigakan..."
"Ti-Tidak sama sekali."
"...Ah! Aku paham! Kamu mau mengubur hasil ujianmu di halaman, bukan!?"
"Memangnya aku ini karakter manga, hah?"
Siapa sih yang akan melakukan hal itu cuma karena nilai ujiannya jelek? Kalaupun ada orang semacam itu, mereka pasti seorang siswa-siswi SD yang berasal dari keluarga yang keras. Eh? Tidak apa-apa karena itu kertas yang bisa didaur ulang? Diamlah, astaga. Aku mencoba merahasiakan perasaanku, saat Natsukawa mulai mendekatiku.
"Apa nilai ujianmu... ...jelek...?"
"Euh... ...Ashida."
"Wah, maafkan aku, oke! Jangan memelototiku kayak gitu!"
Dia jelas-jelas membuatnya terdengar kayak nilaiku itu jelek. Tidak bisa menyalahkanku karena melotot padanya sebagai tanggapan, oke.
"Ah, Sajou marah padamu, ya."
"Yamazaki, kamu juga ada pelajaran tambahan, bukan?".
Aku pun berkomentar.
"Iya, paling tidak kamu mesti mendapatkan nilai di atas pelajaran tambahan."
"Grrr..."
Yamazaki mengertakkan giginya.
Yamazaki melihat kesempatan untuk memprovokasiku, dan bergabung dengan kami. Meskipun begitu, ia jelas tidak ada dalam posisi yang tepat untuk melakukan hal tersebut. Ia selalu mendapatkan nilai jelek dan ditertawakan. Ia masuk ke sini melalui rekomendasi Ekskul Bola Basket, namun ia mungkin menganggap kalau ia tidak perlu belajar. Meskipun nilaiku dalam mapel Sejarah sangat jelek, jadi aku juga bukan orang yang suka bicara.
Meskipun begitu, aku dibungkam karena Sasaki. Belum lagi ekspresinya yang serius dan agak kelelahan. Diberitahu olehnya jauh itu lebih membuat frustasi ketimbang saat Ashida yang bilang begitu. Ia sendiri kayaknya banyak belajar akhir-akhir ini, mungkin tekad untuk jadi seseorang yang bisa berjalan di samping Natsukawa. Hal ini hampir membuatnya tampak seakan-akan aku kalah bersaing darinya dalam hal perasaanku padanya, dan itu lebih dari sekadar membuat frustrasi.
"Ehhh? Memangnya kamu akan benar-benar belajar? Ayolah, jangan jadi lebih pintar dariku—."
"Dasar bodoh..."
Ashida bilang begitu dengan argumen yang sama sekali tidak masuk akal. Rasa-rasanya kayak menendang mayat, luka-luka di sekujur tubuhnya. Aku tidak bisa marah padanya, dan cuma bisa membalas dengan lemah.
"...Aku tidak akan punya banyak waktu luang kayak dulu."
Aku bergumam.
"..."
Ledakan tawa, kelelahan dan ketidakpercayaan. Tidak aku sangka, aku akan diperlakukan kayak gini cuma karena aku gagal dalam satu ujian. Sekarang, aku bisa sepenuhnya menghormati Kakak yang belajar sebanyak ini dan bahkan ikut bimbel. Aku terkejut karena dia berhasil insaf dari seorang gyaru dan berandalan ke tingkat menjadi siswi yang rajin. Dia mungkin terkadang jahat, tetapi itulah salah satu kisah sukses yang luar biasa.
Aku diusir oleh orang-orang yang selalu menganggap kalau mereka itu ada di bawahku. Aku tahu kalau aku tidak boleh merasa benci dan marah pada mereka, tetapi semua orang di sekitarku tampak seperti musuh. Beginilah cara orang menjadi terpelintir, ya? Mungkin tidak ada yang tertarik dengan pernyataanku kalau aku akan belajar dengan tekun, karena Yamazaki, Sasaki, dan siswa-siswi lainnya sudah kembali ke obrolan mereka masing-masing. Aku merasa lega karena kehilangan tingkat perhatian kayak gini, dan meletakkan tasku di bahuku.
"—Hei, itu tidak bagus."
"Eh?"
Aku hendak menuju ke Ruang Perpustakaan, saat Natsukawa memanggilku, bahkan nyaris tidak terlihat olehku. Dia menatapku kayak sedang mengomeli anak kecil. Aku pun bingung, dan bingung, namun sebelum aku bisa bilang apa-apa, dia sudah melanjutkan.
"Tidak ada hal baik yang akan datang kalau kamu melewatkan makan siang."
"Ah, baiklah."
Grrr... ...Aku tidak bisa membantahnya. Inilah pertama kalinya aku benar-benar menemukan arti dari pepatah 'kehabisan kata-kata'. Aku merasa jadi agak lebih pintar ketimbang sebelumnya. Pada saat yang sama, Natsukawa membanting tangannya ke meja kosong di sebelahnya.
"Makanlah!"
Bu-Bubuuu...! Ah, s*alan. Keinginan jahatku menguasai diriku, aku hampir berubah jadi bayi lagi. Aku rela mati demi jadi adiknya, deh. Mengapa semua cewek di sekitarku punya toleransi yang tinggi dan kecenderungan sebagai kakak kecuali Kakak-ku sendiri? Apa Natsukawa cuma orang alim yang terlahir kembali? Jadi apa, dia menyuruhku duduk... ..Eh? Di sebelahnya? Seriusan? Heh, dengan senang hati... ...Ah.
"E-Eum... ...Aku mesti beli sesuatu dulu."
"Eh... ...Astaga."
Aku menyatakan kalau aku mesti membeli makan siang terlebih dahulu, dan Natsukawa menunjukkan reaksi yang agak kecewa, cemberut dengan bibirnya sambil bilang "Mau bagaimana lagi?" dengan pipi yang menggembung. Aku benar-benar berpikir kalau dia harusnya perlahan-lahan memahami betapa imutnya penampilannya. Atau, apa dia benar-benar menyadarinya, dan menggunakan itu untuk merayuku? Kalau begitu, itu merupakan teknik tingkat tinggi... ...Sudah aku duga, mataku tidak mengkhianatiku. Dia benar-benar berada di alam yang sama sekali berbeda dariku. Dia mungkin sudah mengetahui kesukaanku. Waktunya untuk mati~.
♦
Rasanya bagaikan sedang bermimpi. Istirahat makan siangku yang luar biasa sudah berakhir, dan motivasiku meningkat pesat, seakan-akan aku baru saja kembali dari ujian. Saat ini, aku merasa kayak aku benar-benar bisa mengincar Universitas Tokyo. Aku belum pernah menyangka bahwa gestur Kakak Natsukawa yang alami dan tidak disadari akan membuat jiwaku bergetar sedemikian rupa. Apapun perintah yang dia berikan, aku mungkin akan mematuhinya tanpa pikir panjang.
"...Eum, silakan ganti dengan alas kaki dalam ruanganmu mulai sekarang."
"Ah, maafkan aku..."
Aku memikirkan sesuatu yang bodoh lagi, dan dimarahi saat aku menuju ke Ruang Perpustakaan setelah jam pelajaran berakhir. Aku hendak memasuki bagian yang lebih dalam kayak gitu merupakan hal yang wajar untuk dilakukan, cuma untuk diperingatkan oleh senpai yang duduk di meja resepsionis. Aku rasa kemampuan akademisku yang rendah pasti tampak dari hal itu.
Sudah aku duga, bagian dalam Ruang Perpustakaan itu tenang dan nyaman. Aku yakin Ichinose-san pasti sedang membaca buku-bukunya di sini. Aku merasa aku sendiri akan membuat lebih banyak kemajuan. Selain adanya orang yang membaca buku, ada juga orang yang sedang belajar, dan mereka jauh lebih menonjol ketimbang yang lain. Banyak juga siswa-siswi kelas dua belas, tetapi mereka itu para peserta ujian, jadi itu masuk akal.
Karena tujuanku yaitu untuk belajar mandiri, aku mendekati posisi duduk di dekat para senpai. Pasti ada banyak pembaca tetap di sini, karena beberapa orang menatapku dengan tampang "Siapa cowok itu?" saat aku mendekati mereka. Bisakah kalian tidak menolakku dengan pelototan kayak gini...?
Tentu saja, aku tidak menyerah, dan duduk di meja kosong, mengeluarkan lembar ujian Sejarah, buku LKS, dan catatan pribadiku. Saat aku masih SMP, aku mencari berbagai metode belajar, tetapi menulis dan mengingatnya memang yang terbaik buatku. Pertama, aku mencari deskripsi di dalam buku LKS-ku yang sesuai dengan pertanyaan yang salah.
"Eum... ...ini dia, ya."
Aku bergumam dengan suara pelan, dan menggerakkan ujung pulpenku di sepanjang halaman depan.
Melalui hal ini, aku berusaha mencari tahu mengapa jawabanku salah, dan bagaimana cara mendapatkan jawaban yang benar.
"—Eh? Mengapa?"
Aku tidak bisa memahaminya. Seriusan, mengapa? Mengapa jawabannya kayak gitu? Meskipun aku melihat buku paketku, aku tidak bisa memahaminya sama sekali. Mengalami hal kayak gini dengan mata pelajaran yang cuma dihafal saja itu sulit. Dengan Matematika, cukup umum untuk tersesat, tetapi aku tidak pernah menyangka kalau aku akan mengalami hal itu dengan Sejarah. Setelah melewatkan momen untuk merasakan suatu pencapaian, motivasiku jatuh ke lapisan ke-6 dari neraka.
...Yang benar saja, deh? Mengapa jawabannya kayak gini? Biasanya, aku cuma perlu menuliskan jawaban yang mendekati deskripsi dalam buku LKS. Tepat saat aku merasakan amarah dan frustrasi menumpuk di dalam diriku, seseorang di sebelahku berbicara.
"...Dan? Apa kamu membuat kemajuan?"
"Ti-Tidak juga... ...Eh?"
Karena aku ditanya, aku dengan sungguh-sungguh menjawab. Itu saja mungkin tidak apa-apa, tetapi di tengah kalimat, aroma yang samar dan menyenangkan menggelitik hidungku. Hal itu saja sudah cukup untuk meluluhkan sel-sel otakku, dan kesadaranku langsung masuk ke mode penyerangan sebagai reaksi otonom. Menoleh ke arah pemilik suara, di sana duduklah cewek yang pernah aku cintai.
"A-Ah...!"
"Wah, Sstt! Ssst!"
Tanpa sadar, aku berteriak. Para senpai di sekitar kami menatapku dengan tatapan terganggu, dan dengan panik aku melemparkan raut minta maaf pada mereka, dan meletakkan tanganku di dadaku untuk mengatur napasku. Aku terkejut melihat Natsukawa sudah ada di sebelahku, terlebih lagi karena wajahnya sangat dekat dengan wajahku, menatap ke arah catatanku. Bukan cuma "lebih dari itu", fakta itu merupakan hidangan utama, oke!
"Astaga..."
Natsukawa tampak kelelahan, sambil menghela napas.
"Me-Mengapa kamu ada di sini...?"
Aku bertanya dengan hati-hati.
Aku berusaha duduk dengan benar di bangkuku lagi, tetapi pinggulku yang bergetar membuat ini jadi misi yang mustahil. Aku menerima terlalu banyak kerusakan mental hari ini, aku rasa. Aku rasa aku pun tidak bisa bangun lagi. Jadi, inilah yang dimaksud saat orang bilang kalau pinggul kalian yang menyerah. Sepertinya aku mesti belajar kayak gini.
"Aku dengar, kalau kamu mau belajar, jadi... ...aku rasa aku mungkin bisa sedikit membantu."
"Wah? Eh...?"
Aku mengeluarkan suara tercengang yang membuatku terdengar kayak Ashida.
Itu sebagian besar karena secara fisikku tidak bisa menerima kata-kata yang baru saja aku dengar sebagai kenyataan. Apa cewek cantik di sampingku ini benar-benar Natsukawa? Mungkinkah ada hantu yang menampakkan dirinya? Apa aku secara tidak sengaja masuk ke dunia orang mati?
"Me-Mengapa?"
"Eh?"
"Maksudku, mengapa...?"
Mengapa kamu bersikap baik padaku? Mengapa kamu berusaha menyelamatkanku? Apa kamu benar-benar akan melakukan hal semacam itu pada cowok yang tidak kamu sukai? Banyak dari pertanyaan-pertanyaan ini memenuhi kepalaku, tetapi segala kata-kata ini cuma akan mengganggu Natsukawa kalau aku benar-benar bilang begitu dengan lantang. Aku tidak dapat menemukan ekspresi yang tepat untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan, dan karena itulah aku mesti membuat pertanyaanku samar-samar.
"Mengapa... ...kamu melakukan ini...?"
Aku dan Natsukawa tidak punya hubungan yang akrab dan bersahabat. Aku mungkin cuma berpikir secara egois, tetapi aku sangat meragukan kalau Natsukawa akan merasa tidak apa-apa kalau cuma berdua saja denganku kayak gini.
"Ka-Karena... ...kita memang kayak gitu...?"
Ha-Hah? Aneh.. Apa iya, kita memang begitu? Tidak, apa yang dia bicarakan? Bahkan saat dia menatapku dengan tampang "Kamu paham, bukan?", aku masih tidak paham. Yang aku tahu, dia itu imut. Beranjak dari teman jadi kekasih memang perjalanan yang sangat panjang, loh? Di mana tepatnya yang dia tunjuk? Paling tidak, dia itu imut. Cewek ini cuma bilang begitu... ...Apa kamu meninggalkannya di sana, sudahlah! Imutnya!
"Apa... ...benar begitu...?"
Bagaimanapun juga, aku harus menganggap diriku ini beruntung. Lagipula, Natsukawa itu si rangking teratas di kelas dalam hal pelajaran, jadi kalau dia menawarkan untuk mengajariku, aku harus menerimanya.
"Kalau begitu, tolong ajari aku, Ibu Natsukawa."
"Ibu... Ayolah, jangan bercanda."
"Ah, oke."
Ibu Natsukawa marah padaku, sambil kebingungan. Karena dia mengipasi udara ke wajahnya, dia mungkin malu dipanggil 'Ibu'. Karena itu, partikel-partikel Natsukawa di udara bahkan sampai padaku, memenuhi kepalaku. Kalau aku mesti menebak, partikel-partikel ini mungkin tidak akan ada gunanya buatku.
"Jadi, apa yang membuatmu kesulitan?"
"....!"
Natsukawa berusaha kembali ke jalur yang benar, dan mendekatkan wajahnya. Lebih tepatnya, dia menatap ke bawah ke arah catatan yang ada di bawah tanganku. Wajahnya hampir saja menyentuh pipiku. Alih-alih diriku berteriak, jantungku malah berdegup lebih kencang dan keras. Bukannya senpai yang duduk di seberang meja itu merasa terganggu? Dan bagaimana Natsukawa bisa setenang ini meskipun kami begitu dekat?
"Bagaimana... ...soal ini?"
"...[Jouken Shikikomu]? Ahh, kamu mencampurnya dengan [Kenmu Shikimoku]. Ini bukan tentang Zaman Muromachi. Ini dari Zaman Kamakura dan [Goseibai Shikimoku]..."
Natsukawa melihat pertanyaan yang aku jawab dengan salah, dan juga lembar pertanyaan. Kami pun berlanjut melalui pertanyaan demi pertanyaan, dan tergantung pada pertanyaan itu, Natsukawa akan mendekatkan mulutnya ke telingaku. Apa aku benar-benar diizinkan untuk merasakan kebahagiaan kayak gini? Diajarkan oleh orang yang aku sukai, kemampuan akademis dan pengetahuanku pasti akan meroket.
"Dan karena itu, orang-orang pada masa ini disebut [Sengoku Daimyo]. Apa itu masuk akal...?"
"..."
"Wataru...?"
Segalanya meroket...
"Apa kamu mendengarkanku?"
"Iya..."
Dia memegangi pipiku. Ambang wajarku melompat keluar dari jendela. Kalau aku bukan putra tertua dalam keluargaku, aku mungkin tidak akan bisa menerima hal ini. Iya... ...aku tidak bisa. Meskipun dia bukan lagi orang yang aku sukai, aku tidak mengira aku bisa bertahan dalam situasi ini. Mana mungkin aku bisa fokus dengan cewek cantik kayak dia di sampingku. Aku cuma bisa merasa bahagia. Aku pun tidak bisa memikirkan pelajaranku sama sekali. Mari kita pergi ke karaoke saja, oke!
"Mungkin... ...kamu belum paham sesuatu...?"
"Ti-Tidak, tidak apa-apa, tidak ada, kok! Aku cuma sedang mengatur semua yang ada di kepalaku... ...Ah."
Tepat saat aku membuat alasan, ponsel pintarku bergetar di dalam saku. Aku mengeluarkannya, dan memeriksa layar untuk mencari tahu siapa yang menulis pesan buatku.
"Dari Ashida, Mengapa—?"
"Jangan."
"Eh...?"
"Jangan sekarang."
Natsukawa meletakkan tangannya di layar ponselku.
Saat aku mendongak, aku disambut oleh ekspresi tidak senang. Saat aku kebingungan, dia merampas ponsel pintarku dariku, dan meletakkannya di sisinya sampai-sampai aku tidak bisa mengambilnya.
"Kamu sedang bersamaku saat ini."
Natsukawa berbisik ke telingaku dengan suara pelan sampai-sampai cuma aku yang bisa mendengarnya.
Agar aku bisa meraih masa depan yang cemerlang, aku memfokuskan segala yang ada pada diriku untuk belajar, dan aku tidak punya pilihan lain untuk menolaknya.
"Jangan sampai dapat nilai jelek lagi, oke."
"Oke..."
Aku cuma melirik lembar jawaban yang aku dapatkan dari guru. Aku memastikan kalau aku hampir melewati batas yang mesti aku lewati, dan memasukkannya ke dalam tas. Dengan langkah yang tidak pasti dan tidak bisa diandalkan, aku berjalan menyusuri lorong, menuju loker sepatu, lalu mendapati diriku bertemu dengan Natsukawa, yang sedang berdiri di dinding tangga, dan menyilangkan tangannya.
"Mm."
Itulah satu-satunya suara yang dia keluarkan, sambil mendorong tangannya ke arahku. Kalau aku mesti menebak, dia mau aku menyerahkan sesuatu. Aku cuma menurut saja, dan mengeluarkan lembar jawaban ujian susulan dari dalam tas. Natsukawa menerimanya, dan menatapnya dengan tatapan serius.
"87 poin, ya... ...Kesalahannya ada di sini—"
"..."
Aku rasa aku sudah melakukan yang terbaik. Atau lebih tepatnya, Natsukawa sudah melakukan yang terbaik buatku. Aku yakin dia memang hebat dalam mengajar. Kalau dia mengajar Ashida, dia mungkin akan mendapatkan nilai 100 dengan sempurna. Dengan bahu kami saling bersentuhan, kehangatan kami yang bercampur, suaranya yang berbisik, dan napasnya yang menerpa telingaku, sel-sel otakku pun meleleh. Jadi, aku terpaksa belajar semalaman, tetapi aku memutuskan untuk merahasiakan hal ini.
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/