Bab 112.2Menapakkan Kaki di Shirohama
(TL Note: Bab ini merupakan lanjutan dari Bab 112.1, dan berlatar juga sebelum Bab 112.)
"Pantai Shirohama Utara! Pantai Shirohama Utara!"
Bersamaan dengan mesin yang berhenti, bus pun berhenti. Cukup disayangkan, tetapi aku bangun dari bangku di sebelah Sasaki-san. Setiap kali dia mengobrol padaku selama di perjalanan, bahu kanannya akan menyentuh bahuku dengan lembut, itu yang terbaik. Aku sangat khawatir pada cewek itu, yang akan segera masuk sekolah asrama lagi.
Setelah menyelesaikan pembayaran, kami pun turun dari bus.
"Ah... ...Itu laut, ya..."
"Iya, memang betul."
Dengan gerakan yang terampil, Sasaki-san meletakkan rambutnya di belakang telinganya. Biasanya, aku akan menatapnya dengan tatapan meragukan, tetapi tatapanku terlena oleh lautan yang indah di depanku.
"Persis kayak yang aku harapkan dari Mishirohama, pasir pantainya benar-benar putih."
"Kami punya lebih banyak kristal garam di sini dibandingkan lokasi lainnya. Di sebelah timur, kami juga punya gunung yang tinggi, jadi akan tampak lebih putih saat musim dingin."
"Aku mau sekali melihat itu, tetapi pantai selama musim dingin terdengar kurang seru..."
"Itu masalahnya, ya..."
Meskipun kota tetangga ini punya laut yang begitu indah untuk ditawarkan, sudah beberapa tahun sejak terakhir kali aku datang ke sini. Aku kira aku pun lebih merupakan tipe orang yang suka ada di dalam ruangan ketimbang yang aku kira. Kalau aku tidak punya urusan yang sangat mendesak, aku biasanya tetap di rumah dan bermain gim. Buat apa aku pergi ke luar rumah dan berpanas-panasan?
"Tidak ada... ...orang?"
"Kayaknya berenang dilarang di sini. Lihat, sebelah sana."
"Jadi ini merupakan pantai yang berorientasi bisnis?"
Aku pun bisa melihat pelabuhan perikanan di kejauhan. Pemancingan, penambakan, ini benar-benar bukan tempat buat orang berenang. Mereka tampaknya tidak bekerja setelah tengah hari, karena tidak ada orang di sekitar sini.
"Ah, apa kamu sedang mencari seorang tante-tante cantik dan mengenakan pakaian renang? Kamu tidak boleh melakukan itu!"
"Apa, Ti-Tidak, kok, tentu saja tidak?"
Aku kewalahan dengan pemandangan laut, saat Sasaki-san melirikku dengan tatapan meragukan. Meskipun itu tidak terjadi sama sekali, aku goyah. Iya... ...Begitulah. Biasanya, aku mungkin akan diperlakukan kayak sampah yang lebih besar dari saat ini. Tetapi, Sasaki-san cukup penasaran dengan cara berpikir cowok, aku rasa. Kayaknya dia menegaskan keinginanku dengan matanya sendiri. Aku mohon, tolong hentikan saja. Kerusakan ini memang tidak main-main...
"Eum, jadi di sini..."
"Ah, di sana. Aku ingat jalannya, jadi biarkan aku memandumu!"
"Eh, serius? Silakan, —Apa?"
Dia meraih lengan kananku. Biar aku ulangi lagi, dia meraih lengan kananku. Itu semua sangat cepat, untuk sesaat aku benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sesaat kemudian, sebuah sensasi lembut menyentuh sikuku menarikku kembali ke dunia nyata.
"Eum... ...Sasaki-san?"
"Eh...? Ah...! Ma-Maafkan aku! Aku cuma kebiasaan saja saat aku akan pergi dengan Ayah, jadi... ...aku jadi malu."
"Tidak, kamu tidak perlu minta maaf, sungguh."
Aku kira, dia pasti menganggap hal ini berlebihan, karena dia tersipu malu dan menjauh dariku. Alih-alih meniupkan udara segar ke wajahnya, dia cuma meletakkan kedua tangannya di pipinya. Menyadari betapa merahnya wajahnya, dia juga berusaha untuk menyembunyikan telinganya. Ayah tercinta... apa yang mesti aku lakukan untuk jadi lebih seperti Anda di masa depan? Aku merasa seperti akhirnya menemukan tujuan hidupku. Bagaimana kalau kita bertukar tempat, Anda pasti ingin mengenang masa muda Anda, bukan?
"Baiklah, mari kita pergi."
"...Iya."
Melihat Sasaki-san yang kebingungan membangkitkan dorongan aneh untuk menggodanya di dalam diriku, tetapi aku memutuskan untuk tetap tenang dan menunjukkan betapa dewasanya diriku. Aku tidak mau dia menganggapku sebagai senpai yang menyebalkan, jadi aku membiarkan itu apa adanya.
"Hah? Apa kita sedang berjalan di pantai berpasir?"
"Ah... ...itu benar. Itu masih sama seperti tadi."
Kami berjalan di atas aspal di sepanjang pantai, saat tiba-tiba kami sampai di sebuah lokasi yang cuma dipenuhi dengan pasir. Memandang ke atas, bahkan tempat parkir di kejauhan dibuat di atas tanah putih.
"Apa sepatumu akan baik-baik saja?"
"Tanahnya tebal, jadi seharusnya baik-baik saja."
"Mari kita luangkan waktu kita."
"Iya, terima kasih banyak. Ho, ho."
"..."
Sasaki-san memilih tempat yang lebih kokoh untuk berjalan, tampak seperti sedang melompat-lompat di atas pasir. Aku merasa bersalah, karena aku tidak bisa memalingkan wajahku meskipun aku tahu itu salah. Ayah tercinta...? Wajah macam apa yang mesti aku tunjukkan pada saat kayak gini? Saat ini, aku benar-benar merasa mau menguliahi ayahnya karena sudah membesarkannya dengan tidak berdaya.
"Apa kamu datang ke laut setiap tahun?"
"Iya, aku datang ke sini saat tamasya dengan keluargaku. Meskipun, aku belum bisa berenang... ...Aku perlu membeli pakaian renang yang baru juga."
"Pakaian renang, ya... ...Aku memang membeli pakaian renang yang baru saat SMP, tetapi aku cuma mengenakan itu sekali saat nongkrong dengan teman-teman."
"Aku... ...Iya, aku juga sama."
Dia mungkin sudah tidak muat lagi dengan pakaian renang lamanya. Kamu terdengar kayak membenci hal itu, tetapi itu berarti kamu sedang tumbuh dewasa, loh. Aku pun hampir tidak muat lagi memakai celana renangku saat SMP. Pada cowok-cowok, umumnya tubuh bagian atas kami banyak berubah, jadi kami lebih suka membeli baju baru ketimbang celana.
"Ah."
"Ah!"
Kami membicarakan soal ini dan itu sambil berjalan, dan mencapai jalan aspal lagi. Aku merasa kami akan sampai di pantai berpasir di mana kami bisa berenang kalau terus berjalan kayak gini.
"Lokasi wisata, ya."
Aku bergumam.
"Baunya kayak arang yang sedang dipanggang..."
"Mau ke sana? Aku ikut."
"Ehh... ...Aku sudah makan banyak soba sebelum aku datang ke sini."
"Kalau begitu lain kali."
Belum lagi tujuan kami hari ini bukan untuk memeriksa tempat-tempat secara acak. Sebaliknya, kami pergi ke toko yang ada di depan, dan di pojok. Dari jauh, toko ini tampak seperti toko khas Hawaii. Bukan tempat di mana kalian bisa melenggang masuk sambil mengenakan pakaian renang.
"Itu merupakan toko kerajinan yang dikelola secara tunggal, bukan? Sekarang aku merasa sedikit gugup."
"Aku sudah pernah ke sini sebelumnya, jadi tidak apa-apa!"
"Aku akan menyerahkan hal itu padamu kalau-kalau mereka itu tipe orang yang tegas."
Setelah membuka pintu kayu, sebuah lonceng kecil mulai berdering. Aku punya firasat buruk soal itu, dan ternyata itu merupakan lonceng angin logam berwarna perak. Bunyinya yang tinggi di antara kaca dan logam, terasa segar.
"Ah..."
Tanpa sadar, aku mengeluarkan suara kekaguman.
Ke segala arah yang aku lihat, aku melihat aksesori yang semuanya berhubungan dengan lautan. Dindingnya diwarnai dengan warna biru yang kuat, seakan-akan aku sedang berada di tengah lautan. Tepat di sebelah pintu masuk terdapat aksesori dan tempat sampah kecil yang berjejer yang bisa kalian lihat, dengan pojok kerajinan tangan di bagian belakang, di samping meja besar.
Meskipun ada beberapa pelanggan yang datang, mereka kebanyakan merupakan tante-tante. Mereka sedang duduk di belakang, mengerjakan sesuatu. Eh, apa cuma aku saja? Sekarang aku jadi merasa semakin gugup.
"Selamat datang! Astaga... ...kamu."
"Ah, iya! Aku sudah pernah ke sini sebelumnya!"
"Itu benar. Aku kira kamu datang bersama ayahmu. Kamu tampak sangat dewasa meskipun usiamu masih sangat muda, jadi kamu meninggalkan kesan yang sangat menempel buatku."
"Ehehe, begitu ya?"
Seorang pegawai sebut saja si Mbak datang dari belakang toko, menyapa kami dengan sikap yang hangat dan tenang. Dari sekilas pandang saja, aku bisa tahu kalau dia itu tipe Ara-Ara. Dia mengenakan celemek merah muda yang tebal, tampak sangat menarik. Namun, kalau dia yang menjaga toko ini, maka dia punya lebih dari sekadar yang dia tunjukkan. Dia berbeda dengan om-om yang menghabiskan hari-harinya berjualan ramen.
"Ah, jadi cowok di sebelahmu itu... ...Ah, astaga, apa jangan-jangan itu pacarmu?"
"Eh!? Eum, itu...!"
Si Mbak mengeluarkan suara yang bersemangat. Menanggapi hal itu, mbak-mbak yang lain tampak kebingungan, berusaha mengeluarkan kata-kata. Apa ini... ...Obrolan asmara antara seorang wanita karier dengan seorang mahasiswi? Sebelum jadi bingung, aku cuma bisa mengagumi pemandangan itu.
"Halo, aku ini senpai-nya, dan kami itu tidak punya hubungan semacam itu."
"Astaga, begitu ya? Ayahmu pasti ketat dengan caranya sendiri. Aku paham."
"E-Eh...? Apa tampak kayak gitu?"
Kayaknya Sasaki-san tidak paham apa yang ingin disampaikan oleh Si Mbak. Aku cukup yakin tidak ada seorang ayah pun yang tidak khawatir kalau putrinya diculik... ...Sedangkan aku, aku memang dulu mau pacaran dengan Natsukawa, tetapi aku tidak pernah mau bertemu dengan ayahnya secara langsung. Beliau pasti sangat protektif. Seandainya saja aku itu ayahnya, pasti aku sudah memasang GPS padanya.
"Silakan dlihat-lihat dulu, luangkan waktu kalian."
"Iya—."
"Terima kasih."
...Iya, seperti yang dibilang oleh Sasaki-san, aku sangat menyukai manajemen tunggal kayak gini. Dibiarkan bebas melihat-lihat memang yang terbaik. Aku suka bagaimana mereka tidak memaksakan peraturan apapun pada para pelanggan.
"...Tunggu, bukannya kamu bilang kalau toko ini dikelola oleh seorang ibu rumah tangga?"
"Bukannya dia seorang ibu rumah tangga? Lihat saja cincin di jarinya."
"Eh, serius? Aku tidak menyadari hal itu."
Meskipun begitu, aku bisa melihat diriku sendiri menyetujui hal itu. Seseorang yang bisa tersenyum ceria kayak gitu, pasti akan populer. Aku bisa melihat kalau dia itu tipe orang yang baik hati.
"Mari kita lihat-lihat sejenak di sini."
"Baiklah... ...Wah...!"
Kami melihat barang-barang yang berjejer di depan kami. Ataukah, apa karya ini akan lebih tepat...? Kerajinan-kerajinan itu tampak kayak buatan tangan, kayak dijual di toko perhiasan. Mungkin pegawai tadi yang membuatnya? Paling tidak, itu bisa menjelaskan harganya. Meskipun begitu, harganya masih terjangkau, jadi mereka itu sekutu buat kita-kita, para pelajar.
"Hmm? Ini..."
"Kayaknya itu bahan mentah."
Di salah satu pojok, tidak seperti meja lain yang menawarkan aksesori jadi dan semacamnya, aku bisa melihat kerang atau batu, berjajar dalam botol kecil. Benda-benda tersebut mungkin tidak tampak sangat indah, tetapi kalian pasti bisa membuat interior yang indah dengan itu.
"Ini..."
"Ah, ini sudah dipotong jadi dua."
"Ini merupakan bagian dari kerang mutiara."
Saat aku menemukan sesuatu yang menarik, Si Mbak yang tadi balik lagi, dan memberiku penjelasan. Ternyata, kalian bisa gunakan ini sebagai bahan kerajinan. Melihat ke arah meja kerajinan, aku melihat beberapa tante-tante yang sedang fokus pada pekerjaan mereka.
"Apa kalian mengumpulkan ini di pantai?"
"Meskipun menyakitkan untuk bilang begini... ...kami punya banyak pengiriman di sini, karena kami cukup terbatas dengan bahan yang ada di sini."
"Oh, begitu ya."
Menilai dari nada bicaranya, ini mungkin salah satu hal yang mesti mereka sampaikan. Aku bisa melihat hal itu juga, jadi aku tidak terlalu terganggu.
"Jadi kalian membelah ini!?"
"Tidak juga, kami memotongnya untuk memudahkan proses pembuatannya."
"Kalian memotongnya?"
"Iya, kerang laut itu cukup kokoh, jadi sulit untuk mematahkannya cuma dengan tangan kalian. Ada banyak benda yang tidak bisa dipotong dengan kikir, jadi kami biasanya menyiapkan kikir dengan ukiran berlian."
"..."
"Sajou-san?"
Mendengar kalau kerang itu kokoh, aku merasakan keringat dingin mengalir di punggungku. Ternyata hal ini jauh lebih rumit ketimbang yang aku kira. Aku pikir aku bisa dengan mudah melakukan hal itu. Kursus kerajinan tangan memang kayak gitu.
"Ah, ini..."
"Sebuah põua, begitulah. Kami menerima ini dari Selandia Baru. Apa kalian menyukai warna biru atau giok?"
"Hmm... ...Lumayan sulit... ...Aku memang tidak terlalu membenci hal ini, tetapi juga tidak terlalu menyukainya... ...aku rasa."
"Wah, ini luar biasa!"
Sasaki-san menatap ke bawah ke arah benda yang ada di tanganku. Karena benda ini berkilauan dari sudut mana pun, kalian bisa melihatnya, aku bisa mengetahui, mengapa dia begitu gembira dengan benda ini. Dengan pantulan cahaya, benda ini memberikan segudang warna, dan aku yakin, ini pasti merupakan bahan yang bagus untuk dibuat jadi aksesori.
"Sajou-san, bagaimana menurutmu? Apa kamu mau membuat sesuatu?"
Sasaki-san menepuk-nepuk punggungku dengan sikap bersemangat.
Wajahnya pada dasarnya meneriakkan "Aku ingin memakai bahan ini...!", jadi aku bingung. Hati-hati dengan semua sentuhan tubuh itu! Waspadai sentuhan tubuh! Semuanya, inilah saatnya untuk menjadi cowok sejati atau kita akan dinilai sebagai cowok mesum! Mengesampingkan pikiran jahatku, aku merasa ingin membuat ini sendiri, dan aku tidak melihat alasan apapun untuk menolaknya.
"Karena kita sudah ada di sini, sebaiknya kita buat saja. Kita akan pulang setelah membeli sesuatu itu akan sia-sia."
"Yei...!
Itu dia, tepukkan tanganmu di udara. Aku merasa senang, jadi aku ikut bergabung. Senyuman pegawai itu cukup membuatku malu.
"Apa yang mau kamu buat, Sasaki-san?"
"Karena Ayah membuatkan gelang untukku dari kerang, aku ingin menebusnya dengan bahan bekas..."
"Astaga... ...mengukir itu cukup sulit, loh?"
"Eh...!? A-Aku akan melakukan yang terbaik! Aku percaya pada kekuatanku!"
"Oh, begitu... ...Kalau begitu tidak apa-apa."
Pegawai itu menatap Sasaki-san dengan tatapan khawatir. Menanggapi hal itu, Sasaki-san menunjukkan reaksi percaya diri, tetapi itu tidak sepenuhnya menghilangkan kekhawatiran yang aku punya. Aku mungkin bisa membantunya, tetapi aku bahkan tidak terlalu yakin dengan diriku sendiri.
"Apa yang mau kamu buat, Sajou-san...?"
"Ah, baiklah... ...aku masih agak bingung mengenai hal itu."
"Benarkah?"
"Mungkin lebih baik untuk memutuskan hal itu terlebih dahulu. Setelah mulai mengerjakan hal itu, mungkin sudah terlambat."
"Itu memang masuk akal..."
Aku mesti setuju dengan hal itu. Dengan bahan yang begitu kokoh, begitu kalian mulai membuatnya, maka tidak akan bisa diubah lagi. Pasti jauh lebih efisien untuk memutuskan karyamu sebelumnya. Sewaktu aku merenungkan hal itu, pegawai di depanku angkat bicara.
"Maaf kalau aku tidak boleh ikut campur, tetapi... ...apa kamu mau jadikan ini sebagai hadiah?"
"Eh...?"
"Iya, kamu tampak sangat serius saat memikirkannya, jadi... ...aku cuma kepikiran jangan-jangan begitu?"
"Eh, apa itu benar!?"
Mengikuti kata-kata pegawai itu, mata Sasaki-san berbinar, dan dia mendekat padaku. Meskipun dia seperti cewek yang terlindungi, seorang cewek tetaplah seorang cewek, dan dia pasti menyukai kisah semacam ini. Hentikan, ya, kalau tidak, aku mungkin mesti jadikan ini sebagai hadiah buatmu. Karena perawakannya, dia dengan mudah membaca wajahku juga.
Sungguh menyakitkan buatku untuk bilang begini, tetapi pegawai itu langsung bilang begitu. Aku merasa kasihan pada Sasaki-san, tetapi aku memang berencana untuk memberikan ini sebagai kado buat cewek lain. Aku tahu kalau aku tidak berharga sebagai seorang cowok karena melakukan hal yang bisa dianggap sebagai kencan, namun Sasaki-san juga tidak menganggapnya kayak gitu, jadi tidak apa-apa.
"Hmm, iya. Hari ulang tahunnya akan segera tiba."
"Ulang tahun cewek?"
"Apa itu buat cewek!?"
"Bisakah kalian tenang?"
Sekarang mereka berdua menanyaiku. Pegawai itu tampak agak bisa diajak kompromi, tetapi aku rasa dia sangat menikmati topik itu. Wanita akan tetap jadi wanita, aku rasa begitu...
"Jadi, Hmm... ...aku mau membuat ini... ...sebagai kado yang indah, jadi..."
"Iya, iya, bagaimanapun juga, kamu itu seorang cowok."
"Lagipula, kamu itu seorang cowok!"
Sasaki-san ikut menirukan lantunan pegawai itu. Apa maksud kalian dengan itu...? Apa ada perbedaan kado? Iya, kami bicara soal kado ulang tahun, jadi aku rasa begitu.
"Jika kamu mau membuat sesuatu, maka kamu mungkin mesti menggunakan bahan-bahan di sini. Kami punya ruang bahan-bahan di belakang, jadi kamu bisa memilihnya."
"Hmm..."
Aku melihat bahan-bahan yang ada di atas meja. Karena aku tidak punya gambaran nyata di kepalaku. Paling tidak, aku mau menilai itu dari bentuk dan warnanya.
"Ah."
Sasaki-san meninggikan suaranya.
"Lihatlah cangkang spiral kecil dan merah muda itu! Itu sangat imut..."
"Itulah keong kecil. Kami mendapatkan itu dari India di sini."
"Aku akan ambil yang itu!"
Jadi Sasaki-san akan memilih warna merah muda... ...Bagus.
"Merah muda, ya..."
Aku mencoba membayangkan Natsukawa. Sebuah aksesori berwarna merah muda yang menggantung di leher Natsukawa, tampak karena dia membuka kancing pertama blusnya di hari musim panas, dasi yang bergoyang-goyang tertiup angin... ...Ah, s*alan. Jangankan aksesori itu, fakta kalau kancing bajunya terbuka saja sudah terlalu merangsang.
...Hmm, mungkin akan tampak bagus buatnya, tetapi tidak cocok dengan citra Natsukawa. Kepribadiannya yang cukup rajin, gaya rambutnya, dan rambutnya yang cerah melambangkan sikapnya yang ceria, cocok dengan matanya yang indah, namun menambahkan sedikit warna merah muda di sana akan merusak citranya... ...Semestinya itu mendukung kecantikan Natsukawa, bukannya menarik kecantikannya.
"Hmmm... ...aku tahu. Maaf, tetapi apa kalian punya cangkang berwarna lebih terang dari Paua itu sebelumnya?"
"Jadi, hijau muda mungkin?"
"Iya, sesuatu semacam itu."
"Coba aku pikirkan... ...Bentuknya memang cukup penting, jadi bisa kamu ceritakan apa yang ada dalam benakmu?"
"Euh..."
Aku sudah memikirkannya. Karena ini merupakan kado buat Natsukawa, aku mau memberinya sesuatu yang akan tampak bagus padanya. Meskipun begitu, aku tidak terlalu percaya diri, jadi, apa ini cukup bagus...
Tunggu sebentar. Pikirkan soal ini. Aku kembali lagi dari masa lalu. Aku cuma mesti memikirkan secara objektif soal apa yang akan tampak bagus buatnya, dan menjadikan hal itu sebagai kado. Kalau dia tidak menyukai hal itu, juga tidak apa-apa. Yang penting itu, aku sudah memberikan kado terbaik buat Natsukawa.
"Hmm, sebenarnya..."
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/