Bab 104Apa yang Dapat dan Tidak Dapat Kamu Lakukan
Ichinose-san, yang sering merasa ketakutan dalam banyak hal, berhasil melayani Sasaki-san dan melaksanakan tugasnya dengan baik. Bagaimanapun juga, Sasaki-san cuma pelanggan biasa dengan nada bicara dan cara berjalan yang kasar. Saat dia menerima uang kembaliannya, Sasaki-san mengangkat tinjunya sambil berkata, "Terima kasih!", aku berpikir sejenak apa yang mesti aku lakukan. Iya, dia sudah lulus.
"Ah, ini lebih memalukan ketimbang yang aku kira."
Aku rasa begitu.
Dia itu Mbak-Mbak yang sama yang selalu menggunakan tangannya sebagai kipas. Aku yakin penampilannya yang kemarin itu cuma ilusi semata. Sasaki-san dan aku mungkin sama-sama kelelahan. Sasaki-san, sedang mempersiapkan ujian masuk SMA, sedangkan aku... iya, musim panas ini memang panas. Sedangkan aku tidak suka tumis pare.
Pada awalnya, aku kira Sasaki-san datang ke mari cuma karena dia hendak bertemu denganku, tetapi kayak sebelumnya, dia juga datang ke mari untuk melihat-lihat buku. Dia benar-benar jadi pelanggan saat ini dan membeli dua buah buku. Saat dia pergi, dia bilang "Aku akan datang kembali ke sini lagi" dengan lambaian kecil tangannya bagaikan bunga bakung yang melambai-lambai tertiup angin. Aku mohon, biar kamu saja yang jadi kakakku.
"...Tadi itu sungguh menakjubkan, ya?!"
"..."
Aku mau tidak mau menumpahkan pikiranku. Ichinose-san tidak membalas, tetapi itu tidak apa-apa, lagipula, aku sedang bicara sendiri, sih. Hal yang menakjubkan yaitu tidak ada pelanggan lain selain Sasaki-san. Lagipula, ini sudah menjelang akhir pekan, mungkin saja sudah banyak orang yang menyelesaikan belanjaan mereka di paruh pertama hari itu, entah itu di hari kerja ataupun di hari libur.
"Aku akan keluar dari sini setelah liburan musim panas selesai, tetapi kalau Sasaki-san datang kembali, aku harap kamu bisa akrab dengannya."
"Eh...!?"
Saat aku bilang begitu dengan santai, aku mendapatkan ekspresi agak terkejut dari wajah Ichinose-san. Dia menatapku kayak bilang, "Apa kamu serius?", Apa dia tidak terlalu suka akrab dengan Sasaki-san? Padahal, dia itu bukan Mbak-mbak yang baik hati, —Iya, dia itu lebih muda dari kita. Dia itu seorang mahasiswi dari universitas khusus putri—Eh?
Aku penasaran apa pendapat Ichinose-san soal Sasaki-san pada akhirnya. Saat aku melihat dari ujung, aku pikir Sasaki-san itu sangat baik hati. Dia terlalu ramah sampai-sampai aku tidak menyadari hal itu. Aku harap Ichinose-san tidak menganggapnya sulit untuk dijadikan teman. Dengan kata lain, karena aku sebentar lagi keluar dari sini, maka aku tidak akan punya banyak kesempatan untuk bertemu dengan Sasaki-san lagi...
"Apa... ...apa kamu mau berhenti dari sini?"
"Eh... ...apa kamu tidak tahu?"
Aku memang hendak berhenti dari sini, makanya mereka mencari pekerja paruh waktu baru.... Aku penasaran apa Kakek bilang padanya saat wawancara... ...Kakek itu sangat senang pada saat itu, makanya ia mungkin lupa menjelaskan beberapa hal. Atau lebih tepatnya, apa Ichinose-san bisa akrab dengan Sasaki-san, benar-benar hal yang bagus?
"Iya, persis seperti yang kamu lihat, kita tidak butuh dua orang pekerja paruh waktu di toko buku ini. Mungkin saja kalau Manajer masih muda, ia juga tidak akan mempekerjakan pekerja paruh waktu."
"..."
Aku datang ke toko buku ini semata-mata untuk melakukan pekerjaan yang berat dan bisa aku pikul. Tentu saja, aku memang bekerja paruh waktu itu utamanya di bagian pelayanan pelanggan, tetapi aku rasa saat ini aku tidak mau membiarkan Kakek terlalu banyak melakukan hal itu. Iya sih, ia memang menyebut ini sebagai hobi masa pensiun, jadi mungkin itu tidak masalah. Paling tidak, sekarang Ichinose-san sudah bisa menangani hal ini.
"Iya, aku memang sudah dengar curhatan yang kamu sampaikan. Aku tidak tahu apa itu akan sesuai dengan tujuan Ichinose-san, tetapi sampai liburan musim panas berakhir, aku akan terus jadi senpai-mu."
"..."
Ah, gawat. Aku secara tidak sengaja bilang sesuatu yang sensitif. Ichinose-san jadi sangat galau. Mungkin saja hari ini, Beruang-san-senpai sedang bermesraan dengan Yuri-chan-senpai—Astaga, akulah yang menanggung akibatnya. Tentu saja, aku memanggilnya "Beruang" dalam artian yang wajar. Menurutku mereka tidak akan menyadari walaupun Ichinose-san tidak berpura-pura bahagia di depan mereka.
"...Tidak..., terima kasih karena sudah mendengarkan curhatanku."
"Ah, iya... ...hmm?"
Aku penasaran apa Ichinose-san lebih ingin berterima kasih karena aku sudah mendengarkan curhatannya, ketimbang karena aku sudah mengajarinya sebagai senpai-nya... ...meskipun kayaknya dia senang karena aku sudah mendengarkan curhatannya dengan benar.
Ichinose-san meninggalkan meja kasir dan mulai merapi-rapikan rak, seakan-akan ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Wajahnya tampak datar seperti yang biasa aku lihat di sekolah, meskipun aku dapat melihat matanya pada sosoknya saat ini. Sungguh, sedikit rasanya, melihat orang-orang yang terzalimi kayak begitu....
"...Aku rasa sudah hampir waktunya buat kita siap-siap pulang."
Jam dinding sudah menunjukkan waktu tengah hari. Kakek itu orangnya sangat disiplin dan ketat terhadap waktu, jadi ia mungkin akan segera keluar dan menyuruh kami pulang.
Sampai saat itu tiba, Ichinose-san masih tetap tekun melaksanakan pekerjaannya.
♦
Itu memang sepenuhnya urusan orang lain, namun itu sudah manusiawi kalau aku merasa penasaran setelah aku mendengar curhatannya. Makanya, jujur saja, aku tidak mau terlalu mendengarkan curhatannya. Tetapi, ini memang jelas urusan keluarga Ichinose-san dan aku tahu kalau aku tidak semestinya ikut campur, jadi mungkin aku cuma penasaran saja. Aku cuma seorang senpai di pekerjaan paruh waktunya.
Kalau begitu, mengapa Ichinose-san curhat padaku soal masalah yang begitu rumit itu? Padahal kami jarang sekali bicara satu sama lain sampai saat ini, malahan, akulah orang yang bersikap jutek padanya sejak hari pertama.
Kalau dipikir-pikir, cuma ada satu jawaban yang muncul di dalam benakku. Kalau kalian mengenal Ichinose-san, tentunya akan sangat mudah untuk menemukan jawabannya.
"Karena tidak ada orang lain yang bisa aku ajak curhat selain kamu."
Aku pernah kepikiran hal itu beberapa kali sebelumnya...., namun aku rasa itu memang ide yang agak kasar. Itu kayak dia sedang merendahkanku. Namun, aku tidak bisa menyalahkannya karena berpikiran kayak gitu, aku memang hampir tidak pernah melihatnya bicara dengan siapa pun di sekolah. Aku rasa tidak perlu risau akan hal itu.
Termasuk dalam hal itu, menurutku Ichinose-san pasti punya kemandirian mental yang tinggi. Sampai-sampai dia curhat padaku, seseorang yang bahkan tidak begitu dia kenal.
Kalau aku tidak melakukan itu, sesuatu pasti akan meluap. Aku rasa dia mengungkapkan situasinya padaku untuk melindungi dirinya sendiri. Kalau dia memberi tahu orang tuanya, mungkin itu akan menimbulkan masalah buat abangnya, dan aku rasa Kakek juga tidak akan bersimpati padanya. Istri Kakek mungkin akan bicara negatif soal hal itu, seakan-akan dia itu seorang yang angkuh. Andai saja, Ichinose-san punya seorang teman cewek yang dekat dengannya... ...Aku mungkin tidak akan tahu soal situasi ini.
"Apa yang dia harapkan dariku, ya...?"
Aku bergumam di dalam hati saat perjalanan pulang, sambil memegang kaleng soda di tanganku. Ah tidak, apa aku ini semacam karakter utama dari suatu kisah? Tidak, mana mungkin... ...kalau memang benar begitu, aku pasti lebih tampan dan populer di kalangan cewek-cewek, dan aku pasti seseorang yang atletis dan hebat. Dan tentu saja, Kakak akan sangat baik padaku... ...atau mungkin, aku harusnya tidak punya kakak sama sekali, tetapi malah adik cewek yang sayang dengan abangnya... ...Eh? Apa aku memikirkan sesuatu yang salah?
(TL Note: Sepuh merendah)
Kalau dia meminta seseorang untuk mendengarkan curhatannya, dan orang itu bukan aku, apa orang itu akan melakukan sesuatu buatnya..., ...aku tidak yakin apa aku bisa melakukan lebih dari sekadar jadi seorang senpai di pekerjaan paruh waktunya. Aku cuma mengajarkan hal-hal yang umum dan jelas saja, iya, hal-hal yang biasa saja. Itu cukup melelahkan, dan yang terpenting, Tuan Sajou ini cuma setinggi rata-rata. Ia sebenarnya sangat pendek.
"E-Eh...?"
Kalau itu Sasaki, ia mungkin tidak dapat menghilangkan kadar soda di minuman kaleng ini.
♦
[Eum, apa kamu sudah menuntaskan pekerjaan paruh waktumu?]
Ah tidak, pesan itu datang lebih awal.
Dewiku, Nyonya Natsukawa..., ...aku tidak pernah secemas ini saat mendapatkan pesan darimu kayak yang aku rasakan hari ini. Aku berusaha memikirkan cara untuk menjelaskan hal ini setelah aku selesai makan siang, bermain gim, dan tidur siang di kamar mandi... ...tetapi ternyata dia sangat tidak sabar!
Tidak, tunggu, tenanglah. Nyonya Natsukawa sedang menghukummu, bukan? Dia mungkin cuma akan bertanya soal mengapa Ichinose-san berusaha keras untuk bertahan di pekerjaan paruh waktunya, bukan? Tidak perlu menjelaskan apa-apa secara rinci. Aku tahu rasanya akan canggung kalau aku bicara soal hal semacam itu pada seorang cewek. Cukup katakan saja, kalau dia punya alasan kuat yaitu agar dia mandiri, jadi tidak akan ada masalah.
[Yang terhormat, Nyonya Natsukawa. Bagaimana kamu menghabiskan waktu di tengah-tengah cuaca panas terik yang terus berlanjut ini, yang menandai datangnya musim gugur? Aku ingin mengucapkan terima kasih atas dukunganmu yang terus berlanjut.]
[Sapaan macam apa itu?]
Sirna sudah...! Harapanku yang sederhana karena dia belum menghubungiku lagi, kebahagiaanku yang luar biasa karena dapat berkomunikasi dengan Natsukawa, dan rasa hormatku yang berlimpah, saling bertentangan satu sama lain, dan aku secara refleks memberikan sapaan kayak sapaan musiman. Sirna sudah...!
Gawat, kalau aku berkedip sejenak lagi, inilah yang langsung aku dapatkan. Aku tidak berutang budi padanya atau apapun. Aku sangat berterima kasih padanya karena telah membawanya lahir ke dunia ini. Terima kasih, Tuhan Yang Maha Agung!
[Tidak, begini, aku cuma mau meregangkan punggungku sejenak. Hari ini sangat panas, bukan?]
[...Jangan memaksakan dirimu terlalu keras!]
E-Eh, dia baik sekali... ...tetapi aneh ya, aku kira tadinya dia akan bilang sesuatu yang agak lebih kasar. Natsukawa, aura kakakmu jadi agak lebih kuat, bukan? Kalau begitu, apa kamu memanfaatkan liburan musim panas ini untuk menggunakan Airi-chan untuk meratakan kekuatanmu. Sudah saatnya kamu segera belajar trik baru, bukan? Dari nol lagi? Ini bukan pembunuhan sekali pukul, loh...
[Menurutku, kamu-lah yang jangan berusaha terlalu keras untuk menjaga Airi-chan, Kakak.]
....
"...Eh?"
Eh...? Begini, apa kamu akan bereaksi ataukah... apa, apa kamu akan menahan reaksinya? Apa kamu merasa seperti kamu sudah dipancing keluar? Haha, sisi profesionalku sebagai seorang adik cowok sudah keluar..., namun kalau kamu ada di posisiku, aku mungkin dapat memanipulasi orang-orang agar menganggap aku benar-benar adikmu untuk sesaat. Makanya aku yakin Natsukawa pasti tidak akan mundur. Itu benar. Aku mohon. Aku akan menangis nanti.
[Berhenti memanggilku "Kakak"!]
[Ah, oke.]
Apa ini serius?
Tidak, begini, persis kayak Natsukawa, si penyayang saudari yang menyayangi Airi-chan, anehnya, aku juga bernasib sama dengan seseorang bernama Kak Kaede-chan. Karena aku menyayanginya. Aku sangat menyukai caranya makan bakpao dalam porsi banyak dan saat dia memasang wajah pahit pada timbangan. Aku sangat menyukai caranya berbaring dengan pusarnya yang tampak, tetapi cuma saat ada guntur dan petir, dia sepenuhnya terlindungi.
"—Apa? Kamu sudah ada di sini? Tolong buatkan Kakak secangkir kopi, yang dingin. Ditambah susu dengan perbandingan sekitar 8:2. Dan jangan lupa, sesendok teh gula dan sedikit bubuk karamel juga."
"Bisakah Kakak beri aku waktu 1 menit?"
"40 detik."
"Sip!"
Author Note: [Rekor saat ini] —38,14 detik per cangkir.
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/
Baca juga dalam bahasa lain: