Bab 96Di Sebelah Sang Dewi, Bagian 6
"Hmmm..."
Ai-chan bergerak dalam pelukan Aichi. Saat Aichi mengelus punggungnya dengan panik, dia membenamkan pipi Ai-chan ke payudaranya, seakan-akan membuat Ai-chan merasa nyaman dan mulai tidur lagi. Enak, ya, Ai-chan....
—Tidak, bukan begitu, woi...!
"Kamu, apa yang sudah kamu lakukan...?"
"Bukannya kamu itu terlalu bersalah...?"
Aichi, yang mencoba mendengarkan dengan serius, bertanya kembali, suaranya bergetar seakan-akan sedang menahan amarahnya. Aku pun setuju denganmu, Aichi. ...Aku merasa ada sesuatu di dalam diriku yang membuatku merasa seperti orang bodoh karena sangat tidak sabar.
Sajocchi tidak memperhatikan pemandangan yang tidak membuat iri dari Ai-chan dan duduk di sofa, dan menatap lututnya dengan canggung. Ekspresi wajahnya seakan-akan menunjukkan perasaan "Mengapa aku curhat sama mereka...?". Jangan pikir kamu bisa menutupinya saat ini, Sajocchi...!
"Eum, maafkan aku, tetapi bisakah kalian menganggap kalau kalian tidak mendengarkanku..."
"Mustahil."
"Mana bisa begitu."
Lagipula, tidak ada yang namanya, "Tidak apa-apa untuk saat ini.", setelah diberi tahu hal yang keterlaluan. Aku tidak punya pilihan selain memintamu untuk mengutarakan kalimat yang satu ini dengan cara apapun... ...Kalau kamu sampai membuat cewek itu bersujud di lantai, bukannya itu masalah besar? Sejak kapan kamu jadi kayak gitu, Sajocchi?!
"...Eum, begini."
"Curhat lah. Curhat dong."
Aichi jadi tegas. Aku memang ada di sana, tetapi aku benar-benar teralihkan. Dia memang tidak memasang tampang "Aku mau membantu Sajocchi" yang dia berikan padaku sebelumnya. Kalau dilihat dari sudut pandang orang luar, memang tidak perlu bilang apa-apa lagi soal Sajocchi, tetapi memangnya ini "urusan keluarga besar"? Kayaknya mau tidak mau aku mesti bertanya padanya soal itu.
"Apa ini benar-benar salahmu, Sajocchi?"
"Euh... ...Iya, menurutku itu bisa dibilang tragedi karena aku tidak mempertimbangkan kepribadiannya."
"Apa dia seorang cewek yang pendiam...?"
"..."
Sajocchi menganggukkan kepalanya. Aichi yang melihat hal tersebut, menatapnya dengan tatapan tajam. Aku mungkin akan memandangnya dengan tatapan yang sama. Lagipula, dia itu cewek yang pendiam, bukan? Aku tidak bisa membayangkan cewek semacam itu bersujud di lantai sampai membuat Sajocchi kesulitan. Aku cuma bisa berasumsi kalau Sajocchi yang membuat cewek itu melakukan hal itu....
"..."
"Eum..."
Mata Aichi jadi semakin tajam.
Kami akan tutup mulut. Maafkan aku, tetapi tolong jangan pikir kalau kamu bisa kabur lagi saat ini, Sajocchi. Tidak ada gunanya untuk takut. Sekarang setelah kamu sudah curhat sampai sejauh ini, kami mau kamu menceritakan lebih detail. Sungguh, kalau kamu tidak bercerita, itu akan merusak hubungan di antara kita selama ini.
Saat aku menatapnya, Sajocchi menegakkan postur tubuhnya dan mengubah ekspresinya. Tampaknya, Sajocchi sudah mengambil sikap kalau ia mau mendengarkan kami. Aku merasa agak lega, karena di dalam hatiku, aku pikir kalau mungkin ia tidak akan bisa curhat pada kami.
"...Mungkin ini agak sulit untuk dibicarakan, tetapi—"
Sajocchi mencurahkan isi hatinya. Semakin aku mendengarkan, semakin aku menyadari kalau ini bukanlah kisah yang sepele sama sekali. Menurutku, penjelasannya sangat memperhatikanku dan Aichi yang belum pernah bekerja paruh waktu.
Pada awalnya, aku terkejut dan bingung. Sajocchi bicara dengan serius. Aku pikir itu cuma alasan aneh lainnya yang dibuat-buat oleh Sajocchi, dan aku terkejut karena Sajocchi sangat serius dengan pekerjaan paruh waktunya. Namun, ini agak kasar, Sajocchi.
Mari kita lihat Aichi. Dia mendengarkan Sajocchi dengan penuh perhatian. Kalian dapat tahu kalau dia tidak mendengarkan dengan prasangka yang aneh kayak aku. Aichi, kamu sudah tahu kalau ekspresi Sajocchi itu serius, ya....
Itu benar. Aichi dan Sajocchi sudah saling mengenal sejak SMP. Tidak heran, kalau mereka tahu banyak soal ekspresi mereka satu sama lain yang tidak aku ketahui.
Baik Sajocchi maupun Aichi segera menunjukkan apa yang mereka pikirkan di wajah mereka, dan mereka tidak peka pada seluk-beluk satu sama lain, jadi aku mungkin berpikir kalau aku sudah memperhatikan itu dari samping mereka dan akulah yang paling mengenal mereka ketimbang orang lain. Kayaknya aku agak terlalu terbawa suasana...
Saat aku melirik ke arah Aichi, dia tampak agak sedih sambil mengelus-elus kepala Ai-chan.
"Kamu, eum, jadi emosional..."
"...Iya, itu maksudnya..."
Aku sih sudah pernah melihat Sajocchi yang emosional sebelumnya. Saat Sajocchi dan kakaknya sedang berdebat di atap. Saat itu, tampak jelas kalau itu bukanlah hal yang wajar, dan aku cuma berpikir pada Sajocchi yang sedang kesal: "Kok bisa kamu bicara sepelan itu?". Aku sangat terkejut, sampai-sampai aku lupa akan rasa bersalah karena menguping dan mengintip adegan itu, dan saat itu, tampak jelas kalau ini merupakan situasi yang tidak biasa, jadi aku mau tidak mau aku merasa tidak nyaman....
"Itu benar, apa ini masalah...? Aku tidak tahu apa yang mesti aku lakukan mulai besok..."
"..."
"..."
Tidak ada yang terlintas dalam benakku. Kisah ini memang mudah dipahami, tetapi aku tidak bisa memberi tahunya apa-apa soal pelayanan pelanggan karena aku belum pernah bekerja paruh waktu dan aku jarang punya kesempatan untuk berinteraksi dengan cewek pemalu semacam itu. Tidak ada cewek yang pendiam di Ekskul Bola Voli, dan aku tahu meskipun aku berusaha untuk bicara dengan mereka, pada akhirnya, mereka mungkin akan merasa terganggu.
Tetapi, karena itu masalah dalam pekerjaan paruh waktunya, Sajocchi mesti memaksakan diri untuk berkomunikasi dengan cewek itu, bukan? Aku tidak tahu kalau hal itu mungkin terjadi..., ...aku tidak kepikiran soal itu.
"—Iya! Itulah masalahnya! Ini 100 : 0 merupakan salahku! Aku juga punya masalah semacam ini. Apa kamu paham, Ashida?"
"Wah!? E-Eum... iya! Itu gawat, Sajocchi!"
"Gawat sekali, bukan? Bunuh saja aku... ...Astaga, aku mau mati saja..."
"Sa-Sajocchi, bersemangatlah!"
Saat Sajocchi terjatuh dari sofa, ia memaksakan diri agar suasananya berubah jadi normal. Inilah suasana yang aku kenal dengan baik. Aku tidak dapat memikirkan solusi apa-apa. Yang dapat aku bilang, yaitu kita mesti mencoba yang terbaik untuk menyamai ketegangan Sajocchi. Aku tidak bermaksud begitu, aku cuma mau membantunya dengan cara tertentu...
Paling tidak, aku rasa ini semua bukan sepenuhnya kesalahan Sajocchi. Tetapi mungkin ini terlalu sulit buatku untuk melibatkan diriku dalam mencari solusi...
"—Kamu bukan satu-satunya yang mesti disalahkan dalam hal ini."
Sajocchi dan aku, kami berdua, sama-sama menatap Aichi. Aichi meletakkan tangannya di dahinya dan menatap Sajocchi dengan tampang khawatir. Kayaknya dia mencoba mengeluarkan kata-kata setelah beberapa saat berpikir, seakan-akan dia mau bilang kalau dia tidak akan biarkan hal itu jadi masalah orang lain.
"...Heh?"
"Iya, aku memang tidak tahu mesti bilang apa, tetapi dari apa yang aku dengar, kalau cewek itu bisa berkomunikasi kayak orang normal, hal itu tidak akan terjadi sejak awal. Sebagai senpai-nya di pekerjaan paruh waktu, aku yakin kamu itu mulai merasa tidak nyaman padanya, bukan?"
"Iya... itu benar..."
"Aku tidak menyangka kalau kamu akan memihakku." Sajocchi menjawab dengan wajah yang seakan bilang hal semacam itu. Ia memasang ekspresi menyesal dan segera mengembalikan tubuhnya, yang hampir jatuh dari sofa, ke posisi semula, lalu meluruskan postur tubuhnya lagi. Sorotan matanya yang terkejut juga masih sama.
"Pasti kamu punya alasan tersendiri..."
"..."
Kali ini, Aichi memalingkan wajahnya dari Sajocchi, seakan-akan mencoba menipunya. Dia tampaknya tidak memasang wajah sedih, ...tetapi malah memasang wajah malu, paling tidak dari sudut pandangku. Eh, tunggu sebentar.
"Aichi. Apa kamu sedang menyemangati Sajocchi?"
"Apa...!? Kok bisa kamu bilang begitu?"
"Dari yang aku dengar saja, itu cuma pendapat objektif dariku."
Dia tidak bilang "mana yang lebih buruk", tetapi dia bilang "kamu bukan satu-satunya yang mesti disalahkan, jadi bersemangatlah"? Memang sulit untuk bilang begitu. Aku tidak sadar sampai aku benar-benar melihat wajahnya. Sejenak aku penasaran mengapa dia merasa malu..., butuh waktu sekitar 3 detik untuk menyadarinya. Aku tidak menyangka akan melihat sifat tsundere Aichi pada saat ini...
"...Jadi begitu."
"I-Itu benar."
Sajocchi menatap Aichi dengan wajah melamun, seakan-akan ia jatuh cinta lagi. Oh, tidak, apa kamu akan bermesraan dengannya lagi saat ini? Kalau aku tidak memeriksanya, kamu mungkin tidak akan menyadarinya, bukan? Kamu mesti berterima kasih padaku, Sajocchi, atau lebih tepatnya Aichi. Lebih dari itu...
Aku rasa Sajocchi sudah merasa agak lebih pulih. Memang sulit untuk dipahami, tetapi Aichi menyemangatinya dengan baik. Aku juga mau melakukan sesuatu... ...Hmm, tetapi pada akhirnya ia membuat cewek itu bersujud di lantai... ...itu lain lagi ceritanya...
Ah, tetapi kalau dipikir-pikir, menurutku "pekerjaan paruh waktu" tidak ada hubungannya dengan hal ini. Kayaknya, ini juga bisa diterapkan pada ekskul. Seperti saat kamu bergabung dengan ekskul, tetapi kamu merasa frustrasi dan membuat keluhan yang tidak bisa diterima? Jadi, kalau kamu memarahinya, dia akan bersujud di lantai, bukan?
"...Eh?"
Kalau dipikir-pikir lagi, rasanya ada yang aneh. Dalam situasi normal, dia mungkin akan berhenti datang karena dia merasa kesal, atau karena dia tidak setia, atau karena mereka merasa canggung, bukan? Kemungkinan terburuknya, mereka berdua akan berhenti begitu saja, bukan?
"Eh, apa?"
"Mengapa dia tidak mau berhenti?"
"Eh?"
"Padahal akan lebih mudah buatnya kalau dia berhenti."
Itulah yang dibilang oleh Sajocchi dalam penjelasannya tadi, kalau ia akan lebih bahagia dengan cara begitu. Memang ada tempat yang nyaman di ujung jalan keluar, tetapi cewek itu bilang "Aku tidak mau berhenti!", bukan? Apa tidak ada alasannya? Pasti ada satu atau dua alasan mengapa cewek pemalu itu tidak mau berhenti, sampai-sampai dia mesti bersujud di lantai.
Saat aku menoleh ke arah Sajocchi, ia meletakkan tangannya di atas kepalanya, seakan-akan ia sedang berada dalam masalah. Tampaknya ia sangat kesal karena cewek itu mesti bersujud di lantai, sehingga ia belum sempat menanyakan alasannya secara detail.
"Mungkin saja, tetapi... aku juga akan merasa tidak cocok dengan cewek itu sama halnya dengan Sajocchi. Tetapi, kalau aku memahaminya, akan masuk akal kalau kamu penasaran apa alasannya, bukan?"
"A-Aku yakin itu..., tetapi apa yang mesti aku lakukan?"
"Kalau Sajocchi hancur..., itu akan jadi akhir dari segalanya..., jadi aku rasa kita tidak punya pilihan lain selain mendengarkannya."
"Euh..."
Oh, aku merasa itu sudah memberinya masalah yang sulit... Tetapi, aku rasa akan sulit buat Sajocchi untuk terus jadi senpai buat cewek itu tanpa memahaminya sama sekali. Kalau dipikir-pikir lagi, saat aku masih SMP, aku selalu terlibat dalam kehidupan pribadi kouhai-ku...
"—Kalau begitu, akan aku gunakan."
"...Eh?"
"Hoeh?"
Aichi tiba-tiba berkata. Tetapi apa maksudmu? Apa yang akan kamu gunakan?
""Hukuman" untuk Wataru... ...akan aku gunakan untuk itu."
Eh, sebentar, Aichi?
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/
Baca juga dalam bahasa lain: