Bab 17Masing-Masing Cara
Aku memasang topeng tangan dengan kedua tanganku dan mengambil napasku yang berbau keju. Satu-satunya cara untuk melihat langsung ke 'Gap Moe-nya Senpai' saat ini yaitu dengan mengendurkan ototku. Keluarlah, diriku 'yang bijak'.
[TL Note: Gap moe merupakan sebutan orang Jepang kalau mereka melihat jarak yang besar antara penampilan serius seseorang dengan kepribadian imut seseorang.]
"...Jadi, apa yang mau kamu konsultasikan padali?"
"Hmmm… tidak lain tidak bukan yaitu soal kekhawatiranku."
"Kekhawatiranmu? Bukan kekhawatiran anggota Komite Disiplin yang selalu membuatmu bersemangat?"
"Itu benar."
Meskipun dia sangat jago dalam membuat orang lain semangat, tetapi tampaknya Senpai juga punya kekhawatiran tersendiri. Kalau kalian cuma melihat sikapnya yang bermartabat, dia tampaknya tidak punya kekhawatiran apapun…
"Sebagai Ketua Komite Disiplin, aku mau membantu rekan-rekanku, tetapi saat aku memberikan saran dan motivasi, "Kamu dapat melakukannya karena kamu itu Ketua.", itulah jawaban yang selalu aku dapatkan."
"Ah... ...begitu ya."
Aku paham apa yang mau dia bilang.
Aku pikir dari kata-kata itu, aku dapat merasakan nuansa yang mirip dengan apa yang aku bilang pada Ketua di lorong tadi, "Meskipun itu cewek lain...", ya yang itu. Tampaknya dia tidak dapat menjangkau mereka, aku rasa?
"'Kamu tidak bisa mengerti perasaanku.', Aku rasa Inatomi-senpai dan yang lainnya pernah bilang begitu padamu."
"Mmm... ...benar. Mereka dapat mengatakannya dengan jelas padaku."
"Dan kamu mau membahasnya denganku, yang cuma cowok kelas sepuluh…"
"Aku tidak bisa benar-benar menanyakan hal semacam ini pada mereka, dan kayak yang kamu bilang, aku tidak punya banyak kesempatan untuk bicara dengan teman sekelasku, jadi aku rasa, mungkin kalau itu kamu…"
"…"
Mungkin saja, Senpai punya wawasan yang lebih dalam ketimbang orang lain. Ini bukan soal wawasan dalam belajar atau semacamnya, tetapi soal hal-hal yang lebih berhubungan dengan kehidupan sehari-hari kalian. Karena dia itu Ketua Komite Disiplin, dia mesti memahami perasaan orang lain, termasuk siswa-siswi yang berada di tengah kelas dan bahkan siswa-siswi yang pendiam di pinggir kelas. Dari posisinya, ide yang tidak masuk akal namun ribet kayak gitu mungkin muncul dalam benaknya.
"Aku ada di posisi yang sama dengan Inatomi-senpai, jadi aku yakin kalau aku tidak bisa memahaminya meskipun kamu jelaskan caramu memandang orang lain."
"….Jadi begitu ya."
"Tetapi, iya, aku rasa aku tahu apa yang mereka mau Shinomiya-senpai lakukan."
"...! Be-Benarkah!?"
Shinomiya-senpai tiba-tiba mendekatkan wajahnya. Meskipun dia tahu kalau kami ada di dalam Ruang BK yang kecil, kalau dia melakukan hal semacam ini, itu akan jadi masalah besar buatku… ...Kamu itu cantik, bolehkah aku menciummu? Dan, kamu tidak keberatan meski napasku ini bau keju, bukan?
...Iya, kayak yang aku bilang pada Shinomiya-senpai, aku bisa paham dengan perasaan Inatomi-senpai. Itu karena aku ada di "posisi Inatomi-senpai" dalam artian spesifikasi yang biasa-biasa saja, bukan berada di "posisi Shinomiya-senpai". Malahan, meskipun aku dan Inatomi-senpai mirip, kami tidak tampak mirip dalam hal penampilan.
Perbedaannya mirip dengan perbedaan budaya, iya sebesar itulah. Walaupun kalian tinggal di tempat yang sama, cara pandang dan berpikir kalian akan berubah meskipun kalian melihat pemandangan yang sama, tergantung apa kalian itu orang baik atau orang jahat. Kalau kamu seorang cewek yang mengawasi orang lain, tidak heran kalau lingkungan di sekitarmu akan merasakan perbedaan yang begitu besar denganmu.
"Kesimpulannya, mereka tidak berharap Senpai menyemangati mereka atau semacamnya."
"Apa… ...Ka-Kalau begitu, apa yang mesti aku lakukan!?"
"Cukup bilang 'Jangan terlalu memikirkannya' saja... dan lakukan sambil menyentuh bahu mereka. Mereka akan lebih dari puas dengan hal itu."
"Hmm…"
Sentuhan tubuh biasa, Uhehehe. Tidak, ini tidak baik, keserakahanku baru saja keluar… ...Ini cuma konsultasi, ingat, dia cuma meminta saran dariku…
"Senpai itu bagaikan bos cuma dengan gelar 'Ketua' itu saja. Makanya cewek-cewek di bawahmu tidak mau kamu bersimpati dengan mereka sampai mereka cocok dengan levelmu, dan mereka mau kamu memimpin mereka tanpa mengajukan pertanyaan, terlepas dari kepura-puraanmu."
"A-Apa dengan melakukan itu akan membuat Yuyu dan yang lainnya jadi lebih berpikir positif…?"
"Begini, 'Jangan terlalu memikirkannya', kata-kata itu keluar dari mulutmu sambil menyentuh bahu mereka, bukan? Aku rasa mereka akan merasa seperti naik ke surga."
"Me-Memangnya aku ini Dewa!?"
"Buat mereka, Senpai mungkin lebih berharga ketimbang Dewa."
Aku membayangkan Ketua Komite Disiplin dengan senyuman kayak 'Dewi Suci', dan aku merasa mau jadi bayinya… …Tidak, aku mesti menguatkan pikiranku. Pada saat begini, aku perlu ingat satu hal soal Natsukawa... ...Hmm? Aku tidak merasa jauh berbeda? Hehehe, aku tidak bisa berhenti tersenyum.
"Jadi… ...Apa yang semua orang harapkan dariku? Aku malu saat seseorang memujiku. Tetapi saat ini, aku rasa aku bisa paham bagaimana penampilanku di mata Yuyu dan yang lainnya."
"…Apa kamu sudah baik-baik saja?"
"Iya… ...tetapi aku juga manusia biasa, dan terkadang aku juga depresi. Siapa yang mesti aku andalkan saat aku jadi kayak gitu?"
"Mereka akan merasa lega kalau Ketua juga manusia biasa, saat mereka melihat sosok yang semacam itu. Mereka pasti mendukungmu selama mereka itu rekanmu. Cuma caramu melakukannya dan cara mereka melakukannya itu berbeda."
"…"
Ada perbedaan usia dua tahun antara Senpai dan aku, tetapi tetap saja kami itu masih siswa-siswi. Ada perbedaan besar antara siswa-siswi dan fakta bahwa harusnya tidak ada perbedaan di antara mereka, tetapi pada dasarnya masih ada perbedaan tingkatan belajar dan itu buat alasan yang bagus. Makanya Shinomiya-senpai punya ilusi kalau dia dan Inatomi-senpai hampir setara dan tidak ada perbedaan.
Tetapi, sama sekali tidak ada hal yang semacam itu. Kesenjangan dikarenakan kemampuan dan gelar tercipta sejak SD, meskipun aku tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata, aku menyadarinya saat aku masih SD.
"…Aku rasa akan jadi ide yang bagus untuk mencari pacar dan memintanya untuk menyemangatimu, Senpai."
"Apa…? ...Hal-Hal tidak murni semacam itu...?"
"Kayak apa tipe cowokmu, Senpai?"
"Dengarkan apa yang barusan aku bilang!"
Aku tidak akan repot-repot mengatakan kata "kesenjangan". Aku jelaskan saja dengan kata-kata yang indah pada Senpai, tetapi cuma dengan beberapa perubahan dari caraku bicara, Senpai akan mengarahkan mataku dengan tajam. Bukan itu yang aku, yang mau hidup damai, inginkan.
Aku menarik napas dalam-dalam dan melihat ke jam dinding.
"Sudah siang... ...jam istirahat ini akan segera berakhir."
"Iya, maafkan aku karena sudah mengambil waktumu."
"Tidak, itu tidak apa-apa, kok."
Kami berdua bangun dan meninggalkan ruang BK. Siswa-siswi dan guru-guru di area itu membuka mata mereka lebar-lebar dan menatapku, "Ia habis diomeli.", itulah yang aku rasakan dari mata mereka. Dan saat aku sedang melihat ke sekeliling, Shinomiya-senpai menyentuh pundakku, kayak dia mau bilang kalau dia sudah lelah.
"Iya, sampai jumpa lagi suatu hari nanti."
"Iya, sampai jumpa lagi. Ngomong-ngomong, aku belum menanyakan namamu."
"Ah, aku Yamazaki."
Salah satu semboyan orang awam yaitu, jangan sampai seseorang yang posisinya menonjol, kayak guru atau Ketua Komite Disiplin, mengingat namamu.
Jadi tanpa pikir panjang, sebuah nama samaran keluar dari mulutku. Iya, aku memang lupa menaruh papan nama di saku dadaku hari ini. Jadi, aku tidak sengaja menamai diriku sendiri, Yamazaki. Dan aku rasa ia akan senang kalau cewek cantik kayak Senpai tiba-tiba memanggilnya.
"Tetapi, serius deh, menurutku niat baikmu saat itu bukanlah hal yang buruk."
"...Apa benar begitu?"
Kalau begitu, aku rasa aku tidak cocok dengan Senpai.
Perbedaan pendapat. Cuma dengan menyangkal, argumen dapat dibangun, dan dengan itulah orang tersebut dapat setara dengan pihak lain. Namun, langkah pertamaku di lorong merupakan batas buatku. Senpai, dia tidak mengerti bagaimana rata-rata kouhai di depannya itu. Selain itu, aku sendiri pun, tidak selalu tahu apa ideku sendiri itu benar atau tidak.
Lagipula, Senpai, yang punya keyakinan dan hal-hal yang dia tidak bisa menyerah, itu memang kuat. Dan aku cuma orang biasa, dan aku tidak punya cukup taring untuk menunjuk siapa saja cuma dengan menembusnya.
♦
Saat aku beli sesuatu di toko serba ada dan makan di sana, sang surya mulai tenggelam. Langit di sebelah barat memang sudah berubah warna jadi jingga. Namun sang surya di senja hari ini terasa cukup jauh. Mereka mengatakan kalau matahari tampak di langit senja zaman dahulu? Aku mau melihat pemandangan macam itu dalam kenyataan meskipun cuma sekali seumur hidup.
Aku melihat ke langit di sebelah timur, dan aku dapat melihat permulaan malam. Malahan, aku suka kontras antara langit di sebelah timur dan sebelah barat, yang terbagi jadi terang dan gelap begini, bukan cuma senja yang indah. Aku terpesona oleh kenyataan semacam itu.
"…Wataru?"
"!"
Sebuah suara cewek memanggil namaku saat aku berdiri di dekat rumahku. Aku terkejut karena aku masih ingat kunjungan Natsukawa sebelumnya, tetapi saat aku memikirkannya, itu merupakan suara yang agak akrab, tetapi agak sulit buatku untuk bicara dengan Natsukawa saat ini. Kalau begitu cuma ada satu pilihan jawaban untuk dari siapa suara ini berasal.
"Kakak? Bagaimana dengan bimbelnya?"
"Suasana hati Kakak sedang tidak enak hari ini."
Eh, apa itu tidak apa-apa? Iya, kalau Kakak bilang Kakak tidak suka, tidak ada yang dapat aku lakukan. Sebenarnya, tampaknya tergantung suasana hati, meskipun Kakak belajar, terkadang itu tidak masuk ke otaknya. Kalau memang benar begitu, suasana hatiku tidak enak buat belajar selama bertahun-tahun. Hahahaha.
Sambil meniup bakpao daging panas, wajahnya mengerutkan kening, dan Kakak baru saja melewatiku dan langsung masuk ke dalam rumah. Saat aku melihat Kakak sedang membeli dan makan di jalanan, aku menyadari kalau kami memang adik-kakak. Itu karena Kakak mau melupakan posisinya sendiri sebagai peserta ujian masuk universitas hari ini. Benar-benar Kakak yang bodoh.
Iya, itu memang Kakak, Kak Kaede, yang sedang dalam suasana hati yang buruk, jadi Kakak memperlakukanku sesukanya. Menyusul Kakak, aku juga bergegas ke pintu depan rumah dan menuju ruang tamu bersama, aku melihat kantong plastik Kakak.
"Tunggu, jangan bilang… Apa Kakak barusan membeli semua rasa?"
"Bukan, itu mereka."
"Mereka…?"
"….Tidak, bukan apa-apa kok."
Aku penasaran apa itu cuma mencoba rasanya ketimbang memakan semuanya. Meskipun Kakak bawa kotak bekal kecil kayak orang bodoh, cuma untuk meningkatkan kesannya sebagai seorang cewek, tetapi Kakak selalu makan banyak di pagi dan malam hari. Mungkin perutnya yang sebenarnya itu cukup besar.
Saat aku hendak memasuki ruang tamu, Kakak yang sedang berjalan di depanku berhenti, aku hampir menabraknya, jadi aku juga berhenti.
"Kakak?"
"Hei, Kamu… Apa kamu sudah bicara dengan cewek itu setelah kejadian waktu itu?"
"…"
Cewek yang Kakak maksud mungkin itu Natsukawa, yang aku ajak masuk ke rumah sebelumnya. Itu merupakan pertama kalinya Kakak bertemu Natsukawa. Kakak meributkan soal aku mendapati cewek yang sudah lama aku cintai, jadi mungkin Kakak sudah tahu kalau itu Natsukawa.
Aku sudah mengobrol dengan Natsukawa dengan cukup normal sejak kunjungannya sebelumnya, jadi entah mengapa aku ragu untuk menjawab pertanyaan Kakak dengan jujur. Makanya aku membalasnya dengan kata-kata sugestif.
"Kalau Kakak sudah mendengarkan obrolan saat itu, Kakak akan paham tanpa mesti aku jelaskan, bukan?"
"…"
Pada hari itu, aku ingat reaksi Kakak dan Ibu setelah kepergian Natsukawa. Karena mereka semua itu wanita, dan cara mereka berdua bereaksi dalam hubungan asmara itu tidaklah aneh. Aku tidak dapat melupakan wajah terkejut mereka saat aku menjelaskan kalau aku itu ada di level yang sama untuk berdiri di samping Natsukawa.
Aku menunggu umpatan Kakak yang biasanya, tetapi Kakak tidak bilang apa-apa dan terus berjalan sambil diam-diam.
Author Note: Apa yang kamu sadari setelah itu?
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/
Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F
Baca juga dalam bahasa lain:
Baca juga: