Yumemiru Danshi wa Genjitsushugisha [WN] - Seri 8 Bab 200.1 - Lintas Ninja Translation

 Disclaimer:

1. Chapter ini sebenarnya tidak ada dalam versi Web Novel, melainkan berasal dari Light Novel, tetapi ini merupakan kelanjutan cerita dari versi Web Novelnya.

2. Untuk Chapter 200.1 mungkin kurang disarankan di baca di siang hari di bulan puasa, tenang tidak mengandung unsur yang berbahaya sampai membatalkan puasa, hanya saja tidak disarankan.


Bab 200.1
Sebanyak Itu Kah?

"…"

Jam pelajaran pertama itu sosiologi modern.  Suara kapur yang membentur papan tulis meramaikan ruang kelas yang tadinya sunyi.  Di depan berdiri Ibu Guru dengan buku paketnya terbuka, berbicara tanpa henti, dan kami cuma duduk di belakangnya, menyalin semuanya ke buku catatan, mendengarkan dengan rasa takut dan bosan… Aku penasaran. Aku memang menggerakkan penaku di atas kertas seperti orang gila, namun aku merasa sangat bosan.  Apa tidak ada cara lain untuk meningkatkan motivasiku?

Saat aku sedang menggaruk-garuk kepalaku, tangan Ibu Guru terhenti lalu beliau meletakkan kapur di papan tulis, membolak-balik halaman buku. Akhirnya aku dapat istirahat sejenak.  Kami siswa-siswi menggunakan waktu ini untuk memeriksa pena kami atau menggaruk-garuk hidung kami, memeriksa poni kami dan lain sebagainya.  Aku penasaran apa yang sedang dilakukan Natsukawa di belakangku... Dia tidak bersuara. Aku jadi penasaran sekarang.  Apa tidak ada cara lain untuk memeriksanya...Oke, aku tahu apa yang mesti aku gunakan. Aku meletakkan sikuku di mejaku, pura-pura mengendur, sambil menggunakan jendela di sebelah kiriku untuk memeriksa pantulan Natsukawa—Namun aku cuma merasa sangat ketakutan.

"…Uhhh?!"

"Hah? A-Apa?"

"Apa itu barusan?"

Gaaaaaaaaah! Aku lupa kalau ada cedera di tangan kiriku! Rasa sakitnya menguasaiku, dan memaksaku untuk memegang pergelangan tangan kiriku yang kesakitan. Karena perban masih melilit di tanganku, sepertinya memang tidak terlalu buruk dari luar, sehingga membuatku melupakan semuanya. Aku kebetulan menusuk hinaanku sendiri tepat ke telapak tanganku, benar-benar kacau. Kenapa aku bisa sebodoh itu, sih…!?

"…Apa kamu baik-baik saja di sana, Sajou?"

"I-Iya…"

Ibu guru melirikku, mencari tahu apa yang barusan terjadi. Sambil menangis, aku entah mengapa berhasil menanggapi. Sa-Sangat memalukan... Kalau saja ada lubang di sekitarnya, aku mungkin akan melakukan penyelaman Lupin langsung ke dalamnya.

"…B*d*h."

Aku mendengar suara kecewa dari orang di belakangku. Benar-benar hancur, aku meletakkan tanganku di atas lutut dan duduk diam selama sisa jam pelajaran.

 ♦

Menjalani hidup tanpa tangan kirimu? Gancil! Sebelum hari dimulai, aku memang sangat percaya diri, tetapi tidak lama kemudian aku berteriak kesakitan untuk yang ketiga kalinya karena aku dengan ceroboh berusaha mengambil sesuatu dengan tangan kiriku. Menambah kejadian sebelumnya, aku menyadari kalau aku memang terus mengandalkan tangan kiriku terlalu banyak secara tidak sadar. Mungkin… Aku memang benar-benar kidal dari sananya?

"…Ya ampun…"

"Sepertinya kamu agak kesulitan, ya, Sajocchi."

"Ini cuma terlalu berlebihan."

Mata pelajaran berakhir dan aku menatap tangan kiriku sambil menghela napas, lalu Ashida memanggilku. Di belakangnya ada Natsukawa, kasar seperti biasanya. Awalnya, dia juga mengkhawatirkanku. Saat aku pertama kali menjerit kesakitan, dia bergegas untuk memeriksaku. Jujur saja, aku cukup senang dengan cedera ini… pada awalnya. Karena bencana ini baru saja dimulai. Orang-orang di sekitarku berhenti menggangguku...Natsukawa jadi kesal karena kecerobohanku...Yamazaki dan para cowok semuanya seperti "Caper, nih?" Aku bersumpah, aku akan biarkan mereka menerima tinjuku selama istirahat makan siang berikutnya. Aku menunjukkan senyuman seorang penjahat saat aku memelototi Yamazaki si Pengkhayal, dan bersumpah akan balas dendam.

"Me-Memangnya aku akan menyerah cuma karena hal ini… Jangan remehkan kegigihanku. Aku yakin dengan ketangguhan tubuhku. Akan aku tunjukkan pada kalian semua…!"

"Mengapa kamu memelototi mereka begitu?"

"Kalau kamu tidak hati-hati, kamu cuma akan memperburuk keadaanmu."

Begitulah kata Ashida dan Natsukawa, tetapi aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Cewek-cewek semuanya sih tidak masalah dan keren, tetapi cowok-cowok itu... Para b*j*ng*n itu, mereka akan menderita. Mereka menggunakan setiap kesempatan untuk menyeringai padaku dan menggodaku. Aku tidak akan kalah dari mereka!

"Aku sudah bosan terus ditertawakan oleh mereka."

"Sumpah deh… Ini harusnya bukan jadi fokusmu saat ini! Kalau kamu tidak berhenti juga, aku akan adukan pada kakakmu!"

"Hah? Em, itu…curang…"

"Kamu cuma tidak tahu kapan kamu harus menyerah."

"Snif snif…" (*TL Note: Suara mengendus)

"Tidak ada lucunya sama sekali." Komentar Ashida setelah melihat aku mengobrol dengan Natsukawa.

Dengan Natsukawa yang terlahir sebagai seorang kakak, dia tahu persis tombol mana yang mesti ditekan untuk mengomeliku. Itu pertanda kalau dia mengkhawatirkanku, jadi aku memang merasa senang, tetapi aku masih belum bisa santai dulu. Lagipula, mata pelajaran yang dijadwalkan sudah tiba, mata pelajaran yang cuma kami adakan dua kali pada pekan ini—Penjasorkes. Dengan datangnya festival olahraga, kelas-kelas akan lebih fokus pada permainan bola. Siswa-siswi kelas sebelas berhak atas lapangan olahraga, jadi kami pindah ke aula gimnasium. Jelas saja, itu membatasi kami pada apa yang bisa kami praktikkan.

Menyerang dan bertahan, satu langkah maju dan satu langkah mundur, pertandingan mulai memanas… dan aku duduk di pinggir aula karena aku jelas tidak bisa ikut serta. Para b*j*ng*n itu sekali lagi menertawakanku. Sedangkan cewek-cewek itu mencibir betapa payahnya aku. Berusaha menahan rasa malu ini… Memikirkan skenario ini saja sudah membuatku merinding. Aku tidak bisa biarkan ini berakhir cuma dengan aku menonton saja. Aku mesti ikut serta di suatu bidang.

 "…!"

"Apa ini cuma pikiranku doang, atau memang Sajou sedang bersemangat, ya?"

"Sumpah deh... Apa ia benar-benar tidak apa-apa?"

 ♦

Jam pelajaran ketiga sudah berganti, ini artinya sudah waktunya untuk Penjasorkes. Cewek-cewek langsung menuju ke ruang ganti yang sudah ditentukan, sedangkan cowok-cowok melakukannya di ruang kelas. Akhirnya sudah waktunya, ya?

(TL Note: Begini yang benar ya, Adik-adik, kalau cewek jangan ganti baju di kelas, di kamar mandi saja sana, kelas itu khusus cowok.)

"Hei hei, Sajou? Apa kamu benar-benar perlu ikut ganti baju juga?"

"Bukankah lebih bagus kalau kamu istirahat?"

"Ka-Kalian ini…"

"Yang udah punya pacar diem aja deh!"

"Uhh…"

Sasaki menangis setelah menyela dan melindungiku dari Yamazaki dan Iwata yang menyeringai padaku, tetapi mereka mematikannya lebih cepat daripada yang pernah dilakukan Natsukawa padaku. Sepertinya argumen mereka itu sangat mempan karena ia cuma bisa tersipu dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan lagi, Sasaki! Sejak kapan kamu berubah jadi bucin begitu! Dan juga, cowok yang sudah punya pacar memang tidak punya ruang untuk berdebat di sini!

"Jangan remehkan aku. Aku akan jadi wasit utama kalian hari ini. Bola basket, bola voli, bola tangan, tenis meja, aku sudah ingat aturan setiap cabang olahraga. Aku yang akan memutuskan kapan kalian mendapatkan poin… dan kapan tidak. Dan aku baru saja memutuskan… kalau semua poin kalian tidak akan dihitung."

"Hah?! Itu namanya main kotor, Sajou!"

"Apa kamu benar-benar ahli jadi wasit begitu?"

Itu memang benar. Kalaupun aku tidak cedera dan berencana untuk ikut serta pada mata pelajaran hari ini, dua orang siswa cowok akan ditugaskan untuk jadi wasit atau menangani hal-hal lain. Jadi meskipun orang yang cedera sepertiku ada di sini, itu tidak akan mengubah fakta apapun. Akan tetapi, aku dapat gunakan ini untuk keuntunganku. Aku masih punya harapan.

"…Baiklah."

Aku akan pastikan untuk menyesuaikan perbanku dan menuju ke ruang olahraga. Cewek-cewek tampaknya juga sudah selesai berganti pakaian, berkumpul. Di tengah-tengah  itu, aku lihat Ichinose-san. Saat mata kami saling bertemu, dia menatapku dengan ekspresi khawatir dan berlari ke arahku. Apa ada alasan pasti untuk diam-diam begitu? Mungkinkah dia cuma tidak mau terlihat sedang bersamaku…?

(TL Note: Sedih amat Bang!)

Secara alami, tatapannya diarahkan ke tangan kiriku. Musim mulai dingin, tetapi kami cowok-cowok SMA masih mengenakan baju biasa kami. Tidak seperti seragam sekolah kami, tampilan ini memperlihatkan tangan kiriku yang jauh lebih jelas, jadi melihat perban dan semuanya pasti membuatnya khawatir.

"Sa-Sajou-kun, menurutku kamu harusnya istirahat saja hari ini…"

"Tidak usah khawatir, tidak perlu khawatir. Aku akan diganti jadi wasit, jadi aku akan cukup banyak istirahat. Tidak akan menggunakan tangan kiriku, kok."

 "…"

(TL Note: Ternyata perhatian banget, ya!)

Meskipun aku berusaha meyakinkannya, ekspresi khawatirnya tidak hilang. Maafkan aku, Ichinose-san... Tetapi terkadang, kami para cowok tidak bisa mundur dari perjuangan. Kalau aku tetap patuh saat ini, mereka tidak akan pernah membiarkanku menjalaninya. Aku mesti berjuang demi kehidupan SMA-ku.

"…Ah! Hei, Wataru!"

 "Euh…"

Setelah itu, Natsukawa dan Ashida memasuki aula gimnasium. Saat Natsukawa melihatku, dia langsung berlari. Yap, dia jelas sedang marah… aku jadi takut.

"Mengapa kamu pakai baju olahragamu?! Kamu tidak benar-benar berniat untuk ikut serta, bukan?!"

"I-Iya, toh aku tidak akan banyak bergerak! Aku tidak akan melakukan apa-apa yang akan memperburuk cederaku! Benar kan, Ashida?"

"Kata-kata yang sudah diucapkan tidak boleh ditarik kembali loh, Sajocchi."

"Oh...Baiklah…?"

Dengan panik aku mencoba membuat-buat alasan dan bernegosiasi dengan Ashida, tetapi dia sama sekali tidak terlihat sedang memihakku. Sebaliknya, hampir merasa terganggu. Aku dapat melihat api yang samar menyala-nyala di matanya.

"…Apa cewek-cewek akan bermain bola voli?"

"Dia sedang berada di alamnya sendiri."

"Uhh…"

Natsukawa menunjukkan senyuman masam, saat Ichinose-san terhuyung mundur, tidak mampu menghadapi api yang datang dari Ashida secara langsung. Aku menduga kalau dia tidak suka semua gairah dan kegembiraan yang biasanya kalian dapati di klub. Tetapi melihat orang lain sama bersemangatnya denganku membuat nyala api semangatku sedikit mendingin. Aku mesti menampakkan batang hidungku ke dalam permainan.

"…Cowok-cowok dan cewek-cewek dipisahkan, bukan?"

"Jadi kamu cuma akan duduk diam dan menonton saja."

"Ga-Gak mau, ah…"

"Egois banget… Jangan nangis nanti, ye."

 "Eeuh…"

Saat kami berbicara, semakin banyak siswa-siswi memasuki aula gimnasium. Dan akhirnya, guru olahraga datang jadi kami semua berkumpul. Peregangan selesai, cowok-cowok dan cewek-cewek dipisah. Cowok-cowok akan bermain bola basket, sedangkan cewek-cewek akan bermain bola voli. Bola basket, ya? Betapa bagusnya…Aku pengen banget ikutan.

"Sajou, kamu yang menangani papan skor, ya."

"Hah…? Tidak, eum, apa aku boleh jadi wasit—?"

"Apa yang kamu bicarakan? Itu akan memaksamu untuk berlari di sepanjang garis sepanjang waktu. Bukankah kamu tidak bisa melakukan itu dengan cederamu?"

"I-Itu…"

"Tidak ada tapi-tapian. Pergilah."

"Ehm, tunggu…"

Ba-Bapak…! Bapak sudah merusak rencana sempurnaku…! Tetapi, tunggu saja… aku masih bisa melakukan sesuatu meski cuma memegangi papan skor. Seperti pemandu sorak selama Piala Dunia… Jadi kalau aku melakukan itu dengan benar, maka—Iya, tentu saja itu tidak akan terjadi.

"Ya ampun…"

Aula gimnasium dibagi menjadi dua sisi, sisi yang lebih dekat ke panggung disiapkan untuk cowok-cowok dan lapangan basket mereka, setengah lainnya jadi lapangan voli untuk cewek-cewek. Aku meraih keranjang dengan peluit dan kain dengan angka di bawah lenganku, mendorong papan skor dari gudang penyimpanan kecil ke aula. Fiuh, sebagian besar persiapan sudah selesai… Tunggu, apa aku baru saja melakukan pekerjaan kotor?

"Terima kasih banyak, BangCat." (TL Note: *Bang C*cat)

"Diamlah."

Yamazaki dengan cepat menghindari tendanganku. Menggeser tubuhnya, ia tertawa menakutkan lalu ia melompat mundur. Ia benar-benar menyia-nyiakan wajah dan tinggi badannya dengan jadi sangat menyeramkan. Aku tidak merasa kalau ia akan jadi populer dalam waktu dekat. Di bawah keputusan Pak Guru, pemain yang akan memimpin, yang diumumkan jadinya Yamazaki dari Klub Bola Basket. Dia mungkin ingin membagi cowok-cowok jadi tiga grup dengan rapi. Ini memang masuk akal… Tetapi haruskah beliau benar-benar meminta seseorang dari Klub Bola Basket untuk menangani itu?

"Tampaknya kamu tidak bisa jadi wasit, ya, Sajou… Kehehe."

"Uhh…!"

S*-S*alan kamu…! Tetapi aku tidak bisa memulai perkelahian di depan semua orang atau akulah yang akan jadi orang payah...Daripada mengacau dengan mengambil alih perannya, aku mesti fokus untuk tidak mengacaukan skor. Tunggu kesempatanmu, Sajou Wataru…!

'E-Em, Pak Guru?'

'Hm? AH, benar. Hei, Sajou!'

'Ganti peran!'

"…Apa?"

 *

"…Sajou-kun! Ada bola yang bergelindingan di ujungmu!"

"Ke-Kena kamu!"

Melihat ke arah yang ditunjuk cewek itu, aku melihat bola voli berwarna biru, kuning, dan putih. Dan aku mengejar bola itu seperti anjing sungguhan. Aku menghentikannya sebelum bergelindingan ke lapangan putra dan lalu melemparkannya ke seberang net. Tepat setelah itu, aku dapat melihat bayangan yang melompat ke samping jaring di ujung mataku.

"Berikutnya! Hap!"

"Da-Dapat kan… Ah?!"

"Dekat sekali!"

Bola yang melonjak ke tanah diambil dengan ditangkap dengan cewek lain. Aku duga kalau dia pasti jarang melakukan latihan setiap hari, karena sudutnya miring, saat terbang ke samping.

"Maaf soal itu, Sajou-kun!"

"Jangan khawatir, jangan khawatir!"

Aku sekali lagi mengejar bola berikutnya. Karena putaran aneh yang dimilikinya, aku memang bermain dengannya sesaat, tetapi akhirnya aku berhasil menerimanya. Perasaan sukses yang aneh ini membuatku menyeka keringatku. Tugas baruku...menjadi pemungut bola untuk cewek-cewek. Salah satu cewek tidak bisa ikutan dan malah menonton dari samping, jadi aku ada di sini untuk membantu.

"Hehe, terima kasih, Sajou-kun."

"Bukan masalah besar."

Cewek itu mengedipkan matanya dan menjulurkan lidahnya. Dipasangkan dengan keringat samar di wajahnya, senyuman anggun itu benar-benar merusak. Aku akhirnya menyadari… Di sinilah aku semestinya berada dari awal. Kalian para b*j*ngan, bersenang-senanglah di pesta sosismu!

"Berikutnya! Hap!"

"Eeekh?!"

"Wah?!"

Lonjakan keras lainnya ditabrakkan ke jaring, cewek itu tidak dapat menerimanya, makanya bola meluncur melewatiku. Itu terbanting ke dinding dengan suara keras, kejutan itu membuatku mengeluarkan suara tercengang.

"Sajocchi! Kami sudah kehabisan bola!"

"Kamu barusan menganggap ini terlalu serius! Cewek-cewek tidak dapat menerimanya lagi, dan karena itulah aku mesti terus berlari!"

"Tehe. Maaf, aku cuma sangat termotivasi."

Berbeda dengan cowok-cowok, cewek-cewek tidak sedang bertanding. Untuk sebagian besar festival olahraga, itu akan jadi siswa-siswi kelas dua belas yang ikut serta dalam pertandingan, jadi kelas mana pun di bawah kelas dua belas  kebanyakan cuma berlatih saja. Sekarang setelah latihan lempar dan menerima sudah selesai, latihan berikutnya berfokus pada Ashida melakukan lonjakan, dengan cewek-cewek mencoba tangan mereka pada menerima, melempar, dan melonjak. Dari sudut mataku yang tidak berpengalaman, mereka tampaknya berjuang dengan penerima… Tetapi Ashida juga tidak tahu bagaimana cara menahan diri. Berkat itu, aku hampir tidak bisa beristirahat sebagai pemungut bola.

"Ashida-chan… Ini terlalu sulit untuk pemula seperti kita!"

"Kei, bisakah kamu sedikit menahan dirimu…?"

Aku tidak menyalahkan reaksi itu. Melihat tubuhnya berputar kapanpun dia menyiapkan lonjakan membuatku menggigil ketakutan. Maksudku, itu memang sempurna untuk anggota Klub Bola Voli, tetapi tetap saja…

"Tahan… Tahan…"

"Apa kamu bisa?"

"Iya... Seharusnya ini akan baik-baik saja!"

Aku menggunakan pengulangan singkat ini untuk melirik ke para pemain, saat pertandingan mulai memanas. Yamazaki sebenarnya menganggap serius perannya sebagai wasit. Iwata mengacaukan tembakannya dan ditertawakan. Tentu memang tampak menyenangkan…Aku mau banget main sama mereka.

"Ichinose-san, ini dia!"

"I-Iya…"

Oh, giliran Ichinose-san, ya? Aku agak khawatir apakah dia benar-benar bisa menerima bola dengan tangan ramping itu. Aku mesti menyaksikan dengan hati-hati untuk memastikan kalau dia tidak terluka–.

"Haaap!"

"Hah?!"

"Ah?!"

"Apa…?!"

Ashida masih belum terbiasa menahan diri, saat lonjakannya terlempar ke samping. Itu mendarat jauh dari Ichinose-san... dan kurasa aku cuma membayangkan sesuatu, tetapi bolanya memang mengarah ke arahku—Tunggu, bukan cuma aku yang sedang menyadari sesuatu!

"Sajocchi!"

"Wataru!"

"Uhh...?!"

Untuk menghentikan bola, aku akan mendorong kedua tanganku ke depan—Tidak, mana bisa! Lebih banyak tekanan di tangan kiriku dan cederaku cuma akan bertambah buruk! Aku mesti menghentikannya dengan tubuhku...Tidak! Itu tampaknya akan sangat menyakitkan! Aku sudah puas dengan rasa sakit yang setidaknya akan ada selama sepekan lagi! Jadi kalau begitu…!

"…Hngh…!"

Aku percaya pada refleksku dan mencoba menusuk dengan tangan kananku. Melalui hal itu, setidaknya aku dapat mengalihkannya, dan—Apa?! Sebelum aku menyadari apa yang salah, semuanya sudah terlambat. Semuanya berubah jadi gerakan lambat. Bola yang semestinya aku hindari memantul dari tanganku secara diagonal, menggambarkan sebuah lonjong, saat berputar ke depan. Melonjak dari tanah dengan kurva Z, bola mengarah langsung ke tubuh bagian bawahku—- Oh, Dewiku. (TL Note: Tubuh bagian bawah itu daerah selangkangan.)

"XYWEUCHYWXH?!" 

(TL Note: Gak ke bayang sakitnya, ini makanya jangan dibaca pas lagi puasa.)

"Sa-Sajocchii?!"

Rasanya seperti seseorang membanting palu tepat ke intiku. Aku kehilangan semua kekuatan untuk tetap berdiri, hampir tidak sempat membanting tangan kananku ke tanah sehingga aku tidak sepenuhnya jatuh. Karena lantai aula itu berkualitas tinggi, dampak yang dirasakan sebagian besar kembali ke diriku… Dan tubuh bagian bawahku.

"…! Huff…! Ah…! Aw…!"

"Sa-Sajocchi, ia, Sajocchi sudah mati!"

Aku merasa mau mual, rasanya seperti sedang mengalami mabuk perjalanan tetapi 500 kali lebih buruk. Rasa sakitnya hampir membuatku menjerit, tetapi harga diriku tidak akan membiarkan hal itu terjadi di depan cewek-cewek. Aku mengerahkan seluruh kekuatanku ke kakiku untuk bangun lagi, berlutut sambil meletakkan tangan kananku di dahi untuk berpose.

"Uhh…Aaaaa…"

"Sajocchi!"

Langkah kaki mendekatiku. Setiap langkah membuat lantai sedikit bergetar menyebabkan gempa berkekuatan 1 Skala Richter. Tolong… berhentilah… pelan-pelan saja… Jangan berlari.

"Sajocchi! Maafkan aku! Kamu gapapa?!"

"…"

"Sa-Sajocchi…! Oh tidak, apa yang mesti aku lakukan… Haruskah aku mengusap-usap punggungmu?"

Tolong hentikan. Jangan sentuh aku. Jangan guncang aku. Tolong, tinggalkan saja aku sendiri. Lupakan saja aku malahan, kalau bisa.

"Atau… kamu mau aku lakukan itu…"

(TL Note: Mau di-apain, Mbak? Kalian tahu lah yak!)

Hentikan! Jangan merangsang tubuh bagian bawahku dengan malu-malu begitu! Jangan dekati aku dengan kaki telanjangmu yang mempesona itu! Jangan membungkuk dan membiarkanku melihat ke isi dalam bajumu! Dan jangan menatap ke bawah ke bagian tubuhku yang itu!

"Aku… aku tidak apa-apa, kok… Jadi…!"

"Eum..."

Aku menekan telapak tangan kananku di depanku untuk mendesaknya dan mundur. Begitu dia melakukannya, aku mengumpulkan semua kekuatan yang aku punya di tubuhku untuk bangun. Aku menyandarkan tubuhku ke dinding di belakangku, dan berpura-pura tersenyum seolah aku sudah pulih.

"Heh…Hehehe…"

"Ka-Kamu tidak perlu memaksakan dirimu untuk tertawa begitu, kamu tahu…?"

"Hehehehe…"

Baca-yumemiru-danshi-wa-genjitsushugisha-wn-ch-200-1-di-lintas-ninja-translation

(TL Note: Imut sekali kamu, Mbak!)

Sudah berhentilah ikut campur. Terima saja itu sebagai senyumanku yang biasanya. Biarkan aku menjaga pandanganku. Aku tidak keberatan jadi budakmu selama setengah tahun ke depan. Aku tidak akan pernah mengolok-olokmu lagi. Aku akan meninggalkan semua kekayaanku di tanganmu.

"Huff…Huff…Aku baik-baik saja. Kembali saja."

"O-Oke… maafkan aku…"

"Tidak perlu minta maaf… Mundur saja… dan kendalikan itu…"

 "O-Oke!"

Cewek-cewek di kelas kami masih saja menatapku, tetapi aku berpura-pura baik-baik saja. Keinginan untuk mual perlahan meninggalkan tubuhku juga. Tetapi aku harus tetap memeriksa otongku begitu mata pelajaran ini selesai. Lebih tepatnya kalau semua komponen masih sehat dan melekat. Tidak boleh lebih, atau kurang. Kali ini aku tidak mungkin salah dalam matematika.

"Em… Berikutnya yaitu Aichi!"

"I-Iya!"

Di depanku, Natsukawa memasuki lapangan saat gilirannya tiba. Itu benar, aku mesti fokus pada baju olahraganya untuk saat ini! Karena ketatnya, garis di sekeliling punggungnya benar-benar menonjol—Tolong jangan membelakangiku! Lakukan itu setelah otongku sehat kembali!

"Haaap!"

"!"

Baiklah! Bagus sekali, Ashida! Kamu menahan diri dengan baik! Natsukawa pasti dapat melakukan pukulan telak saat ini. Aku tidak perlu lari-lari untuk membantunya!

"Hap…!"

"Ichinose-san!"

"Waaah?!"

"Kaorin!"

"Hayah!"

"Kill yang bagus!"

Natsukawa mengoper bola dengan indah, lalu Ichinose-san dengan canggung mengopernya, dengan Kobayashi-san yang melompat dan menancapkannya ke bagian seberang lapangan. Melihat keberhasilan ini, Ashida dengan riang meninggikan suaranya.

"Kamu juga hebat, loh, Kei."

"Hehe, yang bener?"

"Bisakah kamu lakukan itu lagi?"

"Tentu saja!"

Ah, sangat menenangkan… Cuma ini yang aku butuhkan. Untuk saat ini, aku cuma ingin melihat cewek-cewek jadi imut. Dan melupakan tragedi yang baru saja terjadi. Kalau kebetulan ada lubang, aku pengen pergi ke Brasil.

"…"

"…Hmm?"

Tiba-tiba, aku melihat Natsukawa menatapku dengan ekspresi seperti sedang mengunyah sesuatu yang tidak menyenangkan. Dia tampaknya mengingat sesuatu, saat dia berjalan ke sampingku seperti biasanya Ichinose-san. Ti-Tidak, aku mohon… Jangan sekarang, Natsukawa-san… Ini buruk… aku mengerti kalau aku sedang pilih-pilih sekarang, tetapi cuma buat hari ini saja, aku lebih suka kalau kamu benci kehadiranku seperti biasanya dan menghindariku yang seperti hama. Katakan saja aku membuatmu jijik. Bahkan terkadang aku mau sendirian saja. Dan dengan begitu, aku, maksudku otongku mau.

"He-Hei…"

Ber-Berhenti...Jangan berbisik ke telingaku. Tidak bisakah kita lakukan ini nanti? Kamu terlalu dekat. Ini tidak boleh. Komite Disiplin tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Napasmu yang hangat memukulku…

"A-Apa… zakarmu benar-benar sakit?"

"?!?!?!?!?!?!?!"

Musim gugur tahun pertamaku sebagai siswa SMA, aku mengalami cedera parah, tidak dapat menghabiskan hari-hariku dengan tenang. Meskipun berada di Klub Pulang Pergi, aku tidak bisa istirahat. Dan sekali lagi, aku jadi pusat perhatian.

Catatan Admin:

Siapa di sini yang teamnya Ashida Kei? Komentar di bawah ya?


Eits mau pada ke mana? Masih ada ekstra berikutnya yang kami labeli "Bab 200.2". Jangan lupa dibaca ya!


←Sebelumnya         Daftar Isi           Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama