Bab 193Setetes Embun
"Iya, iya... ...oke."
Di dekat gerbang sekolah. Cewek itu — Natsukawa Aika — tersenyum karena kenyamanan angin musim gugur yang sejuk dan menyeka pipinya yang berkeringat. Lalu dia memasukkan pena ke dalam kertas daftar periksa tugas dalam binder di tangannya, menyipitkan matanya dengan rasa puas setelah menyelesaikan satu tugas besar, dan meletakkan rambutnya ke samping telinganya. Waktu itu merupakan satu jam tiga puluh menit setelah upacara penutupan berakhir.
Para anggota Panitia Pelaksana Festival Budaya bertugas mengarahkan dan membimbing siswa-siswi dalam tugas bersih-bersih sekolah pasca Festival Budaya. Mereka bertanggung jawab dalam memastikan kalau setiap bagian sekolah sudah kembali ke keadaan semula seperti saat sebelum diadakan Festival Budaya. Saat Aika melihat sampah selotip warna-warni di sudut matanya, dia memungut sampah itu dan memasukkannya ke dalam kantong sampah yang dipegang oleh seorang cowok di dekatnya.
Apa para anggota Panitia Pelaksana Festival Budaya akan segera pulang? Memikirkan hal itu, Aika melihat ke sekelilingnya, dan ada sebuah bayangan membentang di punggungnya.
"─ He-Hei!"
"?"
Suara seorang cowok yang agak serak terdengar, seakan-akan ia hendak mengubah suaranya. Bersamaan dengan siswa-siswi di sekitarnya, Aika menoleh ke arah suara itu. Di sana, ada seorang cowok yang mengenakan jaket bertudung (Hoodie) putih dan celana kargo besar, dengan rambut pendek yang disisir ke belakang dengan produk penataan rambut, berdiri di tepi gerbang sekolah. Mungkin karena terbakar sang surya, kulitnya belang dan merupakan ciri khasnya. Kalau itu memang bukan khayalannya, cowok itu menatap lurus ke arah Aika.
"Ah, tunggu dulu. Tidak ada orang lain lagi di sini."
"—Ada kok, yang di depanku ini!"
"Eh?"
"A-Aku sudah memikirkanmu sejak kamu menunjukkan SMA ini padaku. Aku mendapati diriku memikirkanmu sepanjang waktu...! Kalau aku diterima di SMA Kōetsu ini, aku mohon jadilah pacarku!"
(TL Note: Wah, kamu salah pilih orang, Dik.)
Pengakuan cinta yang penuh semangat dan tiba-tiba itu mengagetkan. Suaranya nyaring dan bergema kuat di seluruh gedung sekolah. Ditambah dengan isi pesannya, Aika sangat terkejut sampai-sampai dia terdiam di tempat. Apa yang terlintas dalam benaknya yaitu kenangan saat mengajak sekelompok siswa-siswi SMP berkeliling lapangan SMA Kōetsu selama liburan musim panas. Tentu saja, dia ingat kala itu, ada seorang cowok SMP di antara mereka yang sangat memberontak.
"Eh, apaan tuh, pengakuan cinta, ya?"
"Yang benar saja, anak SMP?"
"Wah, benarkah itu...?"
"...Iya...!"
Setelah jeda lima detik tercipta, alur pemikiran Aika dimulai kembali dengan suara pelan yang berbisik. Merasa malu dan sadar wajahnya memanas karena begitu mencolok, Aika mengalihkan perhatiannya ke cowok SMP tadi, menyadari bahwa dia mesti melakukan sesuatu soal itu.
"─Ah, kamu. Kamu mesti tahu waktu dan tempatnya, dong, anak SMP."
"Ah!"
Seketika, lengan seorang siswa bertubuh besar yang mengenakan kaus hitam melingkari bahu cowok SMP itu. Ini merupakan senpai cowok yang bertugas membongkar alat peraga tadi. Di sana, ada satu atau dua orang siswa dari SMA Kōetsu lagi yang mendekat dan menjauhkan cowok SMP itu dari gerbang sekolah.
"Hei, tunggu sebentar...!"
"Nyali anak ini luar biasa, ya...?"
"Jangan ganggu dia."
"Hei, kamu baik-baik saja? Siswi kelas sepuluh."
"Ah..., I-Iya."
Berkat upaya beberapa senpai cowok membuat situasi itu mereda sementara waktu saat Aika sedang tercengang. Senpai yang mengenakan kaus hitam sudah kembali dari luar gerbang sekolah. Aika tidak tahu bagaimana caranya, tetapi mereka tampaknya telah berbincang dengan cowok SMP itu dan dengan cara mereka sendiri. Aika dapat mendengar beberapa suara perasaan lega dari teman sekelas cowok di sekelilingnya dan sedikit kekecewaan dari cewek-cewek, yang menyukai hubungan cinta yang penuh warna.
"Eum, kalau anak itu benar-benar diterima di SMA ini, mengapa kamu tidak mempertimbangkannya?"
"Eum, ...Ahaha."
Seorang senpai cewek yang berada di dekat Aika mengatakan ini padanya seakan-akan itu merupakan masalah orang lain. Kenyataannya memang benar, sih, tetapi walaupun dia tidak menyarankan begitu dengan mudahnya.., Aika diselimuti oleh perasaan yang kurang meyakinkan. Dia berhasil tersenyum ramah dan menggunakan itu sebagai jawabannya.
Tugas berlanjut. Meskipun begitu, yang tersisa tinggal mengambil barang bawaan dan beres-beres. Aika mengikuti kerumunan itu dengan kehilangan konsentrasi. Di dalam kepalanya, ide-ide panas yang diceritakan langsung padanya berulang-ulang. Kesan itu benar-benar tertanam di dalam benaknya.
Namun, anehnya, itu bukan rasa terkejut karena pertemuan dengan orang yang tidak dikenalinya, tetapi sesuatu yang membuat Aika agak bernostalgia. Suara yang berulang-ulang itu tanpa sadar sudah berubah jadi suara cowok lain...
♦
Banyak siswa-siswi sudah datang di ruang rapat Panitia Pelaksana Festival Budaya. Aika datang terlambat. Merasa menyesal karena dia mungkin sudah membuat para senpai-nya menunggu, dia menurunkan postur tubuhnya dan berjalan cepat ke bangku yang sudah ditentukan. Sasaki, anggota cowok dari Panitia Pelaksana Festival Budaya dan teman sekelas Aika, duduk di sebelah kirinya, dan Inoue, senpai cewek dari kelas sebelas, juga duduk di belakangnya.
Saat Aika semakin dekat, matanya berhadapan p dengan mata para senpai-nya.
"─Aku dengar ada cowok yang menyatakan cintanya padamu, ya?"
"Heh!?"
Inoue mengeluarkan kalimat itu sambil tersenyum dengan seringai, Aika terkejut pada kalimat yang belum pernah dia ucapkan sebelumnya, namun keluar dari mulut senpai-nya, dan tanpa sadar menutup mulutnya. Aika merasa malu dan kendor dengan kenyataan bahwa semua mata di sekelilingnya tertuju padanya lagi, dan lalu Inoue sangat senang saat dia melontarkan kata-kata kasarnya itu.
"Dia panik! Astaga, lucu sekali, ya!"
"Ah, euh..."
"Tunggu sebentar, Senpai...! Kamu benar, kamu benar...!"
"Wah, itu menjijikkan."
Inoue meraih Sasaki dan menepuk-nepuk punggung Aika. Aika dengan naif menerima godaan itu, yang jarang dia alami, dengan wajahnya yang masih memerah. Sasaki menerima dada pacar senpainya di samping kepalanya sebanyak mungkin, dan ia kayaknya tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Semoga ada keselamatan buatnya, yang baru saja mendapatkan pacar—.
"Kalau begitu, kerja bagus, kalian. Kita akan mengadakan pesta pembubaran kecil-kecilan saat jam makan siang nanti, jadi jangan lupa datang, ya."
"I–Iya."
Setelah sambutan terakhir, Festival Budaya yang penuh dengan drama ini pun akhirnya selesai. Di antara para anggota Panitia Pelaksana Festival Budaya, perubahan penampilan yang paling menonjol mungkin ada pada sang Ketua, Hasegawa. Kuncir rambutnya, yang melambangkan keseriusannya sudah hilang dan sudah diganti dengan potongan pendek. Dia mengganti kacamatanya dengan lensa kontak, memberikan kesan pada orang-orang di sekitarnya kalau dia sudah menjadi semakin kuat. Itu seakan-akan dia sedang patah hati. Suara penutupan acara ini membuatnya mendapatkan kembali ketenangannya.
"Baiklah! Kalau begitu, mari kita kembali ke kelas!"
"Saitou-san juga sudah menunggumu, bukan?"
"I-Iya, itu benar!"
Aika berhasil mendapatkan kembali ketenangannya selama rapat terakhir ini, rapat yang menegangkan ini sampai dibubarkan. Aika menanggapi Sasaki yang marah karena baru bisa kembali ke kelas, dengan mengobrol soal tren baru-baru ini. Seorang cewek mulai jatuh cinta, dan — tidak terkecuali Aika — tingkat perhatiannya pada Sasaki jelas lebih tinggi saat ini daripada saat sebelum ia memulai hubungannya dengan Yamato Nadeshiko yang mungkin sedang menunggunya di kelas.
(—Begitu ya...)
Aika, tidak berjalan berdampingan dengan Sasaki, akan tetapi berjalan satu langkah di belakangnya, dia berpikir sambil melihat ke punggung Sasaki, yang tidak punya ruang untuk hal lain. Akhir-akhir ini, ada peningkatan dalam kisah semacam itu, menurut Aika. Aika tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak merasakan berlalunya waktu, karena hubungannya dengan orang-orang sudah berubah dari saat dia masih SMP.
(Apa yang mesti aku lakukan, ya...?)
Sambil mengingat kejadian yang mengejutkan sebelumnya, tangisan emosional cowok SMP itu, Aika membuka penutup lapisan dangkalnya dan mengintip ke dalamnya.
Jauh di lubuk hatinya, Aika punya perasaan yang samar-samar. Mungkin ini merupakan perasaan yang baru. Ini seperti kumpulan tetesan embun dalam foton, dan saat kalian telusuri permukaan itu, itu mengembalikan rangsangan yang kuat pada Aika. Saat Aika menyentuhnya dengan satu pikiran, dia merasakan dorongan untuk meninggikan suaranya dan mengirimkan tenaga yang tidak terkendali ke tangan dan kaki Aika. Maka dari itu dia tidak bisa sembarangan menyentuh itu.
Sasaki, yang sedang berjalan di depannya, dan cewek yang menjalin hubungan dengannya, pasti merasakan hal yang sama seperti yang Aika rasakan. Saat dia menelusurinya, ketika dia disentuh, dia pasti terkejut karena merasakan rangsangan yang sama dipindahkan melalui tubuhnya. Dia pasti terganggu dengan hal itu. Dan sekarang, dengan keberadaan yang akhirnya dapat ia genggam, ia mesti siap untuk menyentuhnya dengan sekuat tenaga. Tentunya — itu dalam bentuk yang ideal.
(Apa yang mesti aku lakukan, nih...?)
Rasa haus di dalam hatinya sangat cepat sampai-sampai terasa masih belum cukup. Baru setelah itu dia menyesali masa lalu. Cara untuk memusnahkannya itu tidak tertulis dalam buku panduan, yang disebut dengan "insting". Hati manusia sama sekali tidak lengkap.
Manusia membereskan kesalahan-kesalahan ilahi semacam itu dengan mengendalikan diri mereka sendiri yaitu melalui akal pikiran. Tepat ketika seseorang telah mencapai hal ini, barulah dia menjadi dewasa. Aika, yang tidak menyadari kalau dia terkadang membutuhkan orang lain untuk memenuhi dirinya sendiri, sudah mencapai batas akhir dari ketidakdewasaannya.
Di tengah-tengah semua ini, dia mendapati betapa sepinya rasa haus dari lubuk hatinya. Apa yang mesti dia lakukan untuk menghindari kehilangan setetes embun ini? Melalui kemampuan khusus, yaitu hati cewek itu, Aika merasakan kalau jawabannya mungkin terletak pada nasib sampel yang ada di depannya.
"─Ah!"
"Ups."
Aika merasakan ada semacam kejadian dan mengangkat pandangannya, yang dia sadari diarahkan ke lantai. Di sebuah sudut koridor, seorang cewek mungil tampaknya telah menabrak Sasaki yang berjalan di depan Aika. Untung saja, tampaknya dia tidak terjatuh atau mengalami cedera serius. Cewek itu memegang ponsel pintarnya di dadanya dengan kedua tangannya seakan-akan itu merupakan jimat. Melihat cewek itu sangat berdedikasi, mata Aika menyipit.
"Hei, Ichinose-san. Ada apa?"
Aika penasaran apa Ichinose Mina juga punya perasaan yang sama dengannya di dalam hatinya.
Author Note: Keterampilan Menulisku... ...Diaktifkan kembali!
Translator Note:
Apa akan ada perang antara Aika vs. Mina di chapter berikutnya? Kalian sendiri suka dengan heroin yang mana nih?
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/
Follow Channel WhatsApp Resmi Kami: https://whatsapp.com/channel/0029VaRa6nHCsU9OAB0U370F
Baca juga dalam bahasa lain: