Bab 2Tinggal Bersama Sang Dewi.(Bagian 5 dari 5)
Aku berdiri di dapur dan membuka pintu kulkas yang berwarna putih.
Aku memeriksa untuk memastikan kalau aku punya semua bahan makanan yang aku perlukan, walaupun aku tidak akan masak banyak.
Lalu aku mengeluarkan bawang merah dan daging, lalu masing-masing dicincang menjadi potongan-potongan kecil.
Di saat yang sama, aku mulai membuat sup Consommé sederhana.
Tepat setelah itu, Mikoto-san keluar dari kamar mandi.
Dia muncul sambil menyeka rambutnya menggunakan handuk.
Rambut perak Mikoto-san yang indah tampak lebih berkilau ketimbang biasanya karena rambutnya basah.
Aku rasa itu karena dia baru selesai mandi atau lumayan lama, tetapi pipinya berkilau dan kulitnya berwarna merah.
Aku tanpa sadar tercengang pada ketampakan penampilan Mikoto-san yang tidak biasa.
Namun, yang membuat penampilannya s***i yaitu jersiku.
Ketika Mikoto-san mengenakan jersi merahku, ini masih terlalu ketat dan tampak agak aneh.
"Mengapa kamu menatapku?"
Mikoto-san berkata dengan tajam.
Mungkin saja dia waspada.
Tidur di rumah cowok yang belum begitu dia kenal itu sendiri merupakan tindakan yang berbahaya buat Mikoto-san.
Wajar saja kalau dia waspada.
Aku mengangkat bahuku.
"Jersi itu, apakah ukurannya pas?"
"Apa kamu punya yang lebih kecil lagi?"
"Sayangnya, aku tidak punya."
"Kalau begitu tidak ada gunanya bertanya padaku."
Mikoto-san berkata dengan dingin.
Mungkin badannya sudah menghangat dan dia sudah merasa baikan, karena suasana hati Mikoto-san mulai mirip dengan dirinya saat di ruang kelas.
Dengan kata lain, tampang ketakutan yang dia punya sebelumnya telah menghilang dan dia sudah mendapatkan kembali dirinya yang biasanya.
Kalau memang benar begitu, aku rasa ini hal yang bagus.
"Tetapi tetap saja, kamu benar-benar meluangkan waktumu."
"Aku rasa memang begitulah semestinya mandinya anak cewek."
Aku penasaran apakah memang benar begitu.
Kalau itu ayahku atau aku sendiri, kami mungkin akan menyelesaikan mandi dengan cepat, tetapi Kak Amane selalu menetap di kamar mandi lumayan lama.
"Sekarang kamu sudah merasa hangat, ya. Aku mau bertanya satu pertanyaan padaku. Apa kamu punya alergi terhadap makanan tertentu? Dan juga, apakah kamu benci hidangan telur atau tomat?"
Mikoto-san memiringkan kepalanya.
Dia seakan-akan tidak tahu apa yang coba aku katakan.
Namun, dia menjawab pertanyaanku dengan jujur.
Tidak ada alasan khusus sama sekali yang sampai membuatnya tidak bisa makan karena penyakit, dan dia bilang kalau dia tidak benci telur dan tomat.
Aku mengangguk.
"Baiklah kalau begitu, aku akan membuat nasi omelet untuk dua orang."
"Nasi omelet? Mengapa?"
"Karena tampaknya itu makanan yang dapat aku buat dengan bahan yang aku punya saat ini, dan itu juga hal pertama yang terlintas di kepalaku yaitu nasi omelet. Kalau kamu mau makanan lain, bilang saja padaku."
Ini karena itu merupakan hidangan yang dapat diterima secara universal yang juga disajikan panas-panas.
Tetapi Mikoto-san menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak bertanya mengapa kamu memilih menu itu, aku bertanya mengapa kamu membuat itu untuk dua orang."
"Karena kamu akan memakannya juga."
"Aku tidak pernah bilang apa-apa soal makan."
"Kamu tadi bilang kalau kamu lapar. Aku rasa kamu mesti makan. Lagipula tidak masalah buatku, memasak untuk satu atau orang."
"Tetapi... aku..."
"Kamu bisa duduk dan tunggu, Mikoto-san."
Tanpa menunggu kata-kata Mikoto-san yang berikutnya, aku membuka mesin pembeku (freezer) dan mengeluarkan nasi sisa.
Aku meletakkan dua porsi kecil nasi yang dibungkus dengan bungkus plastik di oven dan mulai memanaskannya.
Mikoto-san mungkin berusaha untuk menginap tanpa makan ataupun minum, dan aku mungkin akan merasa tidak nyaman makan sendirian di depan Mikoto-san yang kelaparan.
Kalau memang benar begitu, akan semakin mudah buatku memasak untuk kami berdua.
Aku mulai menggoreng bahan-bahan di penggorengan terlebih dahulu.
Aku dapat menggunakan saus tomat sendiri, tetapi aku menambahkan mentega dan sake untuk memberinya rasa yang agak lebih mewah.
Memasukkan beberapa nasi di tengahnya dan bumbu agar berasa, dan nasi daging sudah siap disajikan.
Aku menaruhnya di atas dua buah piring.
Berikutnya adalah omeletnya.
Memang agak sulit untuk membuat omeletnya setengah matang.
Aku dengan hati-hati memanaskannya dengan api besar dan mengadukannya.
Untungnya, itu muncul dengan indah, jadi aku meletakkannya ke atas piring nasi daging tadi dan itu siap disajikan.
Aku meletakkan sepiring nasi omelet di depan meja Mikoto-san dengan sup sebagai hidangan pendamping, dan aku ikut dengannya di meja.
Mikoto-san menatapku dengan tampang bingung di wajahnya.
"Bolehkah aku memakan ini?"
"Tentu saja kamu boleh. Makanya aku membuatkannya."
Dengan takut-takut, Mikoto-san menggunakan sendok untuk memotong omelet dan memasukkannya ke mulutnya bersamaan dengan nasi daging.
Pada saat itu, ekspresi Mikoto-san menjadi santai.
Dia mungkin merasa kalau itu enak.
Iya, hidangan punya risiko kecil untuk gagal, tetapi kalau itu masih cocok dengan seleranya, itu akan membuatku agak bahagia.
Seperti yang diharapkan dari seorang nona muda dari mansion Tomi, bahkan caranya menyantap nasi omelet saja sangat elegan, tetapi Mikoto-san memakannya dengan cara itu dalam waktu singkat.
Aku tersenyum padanya.
"Aku senang kalau kamu puas."
"Aku belum pernah bilang kalau ini enak."
"Hmm? Tidak enak, ya?"
"Ini enak, sih, tetapi..."
Mikoto-san berkata dengan ekspresi yang rumit di wajahnya.
Dia bukan tipe orang yang akan menyanjungku, dan menilai dari suasana hatinya saat ini ketika dia sedang makan, aku rasa dia berkata jujur ketika dia bilang kalau makanannya enak.
Namun, meskipun begitu, ekspresi Mikoto-san tidak jelas.
Lalu, setelah ragu-ragu sejenak, Mikoto-san mulai bicara dengan suara pelan.
"Kamu itu agak aneh, iya kan, Akihara-kun?"
"Apa aku aneh?"
"Kalau aku jadi kamu, aku mungkin tidak akan sebaik itu."
"Apa aku sudah baik padamu? Mikoto-san?"
"Aku rasa kamu sudah. Ketika aku kedinginan, kamu meminjamkan selimut buatku, membuatkanku minuman panas, dan bahkan menyiapkan air panas buat aku mandi. Kamu bahkan memasakkan makan malam untukku walaupun aku tidak memintanya. Kalau itu tidak baik, namanya apa, dong?"
"Aku rasa itu benar-benar biasa saja."
"Sepanjang waktuku di rumah-rumah lamaku, itu tidak pernah seperti ini."
"Begitu ya."
Dari cara Mikoto-san mengatakannya, dia telah berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain, bukan cuma mansion Keluarga Tomi, tetapi juga beberapa rumah lain.
(TL Note: Sebelum kalian mikir yang aneh-aneh, Mimin ingin memastikan kalau dia tidak seperti karakter Ogiwara Sayu dari seri Higehiro ya.)
Kalau dibicarakan secara normal, seorang nona muda dari Keluarga Tomi yang kaya raya tidak perlu melakukan hal itu.
Siapa sih sebenarnya Mikoto-san ini?
"Terima kasih atas makanannya. Terima kasih, Akihara-kun."
Mikoto-san mengatakan ini dengan suara pelan seakan-akan memudar.
Aku telah menduga kalau dia mengungkapkan rasa terima kasihnya dengan cara langsung, tetapi kata-katanya yang berikutnya bukanlah apa yang aku duga.
"Tetapi ini terakhir kalinya aku akan berterima kasih padamu atas kebaikanmu, Akihara-kun, dan terakhir kalinya aku akan berterima kasih padamu atas makanannya."
Seakan-akan dia menguatkan tekadnya untuk melakukan sesuatu, Mikoto-san menyatakan kalau dia tidak akan pernah mengatakan "Terima kasih!" atau "Terima kasih atas makanannya!" padaku lagi.
Apa maksudnya itu?
Ketika aku bertanya, Mikoto-san menjawab.
"Aku tidak suka ketika orang berbuat baik padaku."
"Mengapa?"
Aku mungkin punya banyak pertanyaan yang ditandai di wajahku ketika mendengarkannya.
Apa yang akan Dewi ini katakan?
"Aku tidak mau berutang apa-apa pada siapapun, dan aku tidak mau menyebabkan masalah. Aku tidak suka akrab dengan orang lain."
"Itu gambaran negatif kalau kamu mengungkapkannya sebagai pengakraban, tetapi kamu dapat mengatakannya dengan cara lain, seperti membantu satu sama lain atau pertemanan."
"Itu sama saja, kalau kamu membantu orang lain, kamu akan merasa berutang budi pada mereka, dan kalau kamu punya rekan istimewa, kamu akan mengurus rekan itu juga, itu merepotkan."
"Itu mungkin memang akan merepotkan, tetapi itu akan sepadan."
Kataku, tetapi Mikoto-san membantah kata-kataku.
"Kamu mungkin akan berpikir begitu, Akihara-kun, tetapi aku tidak. Jadi kamu tidak perlu repot-repot denganku lagi, dan kamu tidak perlu memasak buatku lagi."
"Ah–, tentu."
Ketika aku memberinya tatapan lurus, Mikoto-san berpaling dariku, tersipu, dan berkata dengan suara pelan.
"Aku menghargai semua kebaikan yang kamu tunjukkan padaku hari ini. Omeletnya juga sangat enak. Tetapi... Tidak, itu berarti kamu tidak perlu berbuat baik padaku mulai besok."
Ada tanda senyuman dari wajah Sang "Dewi Es".
Mikoto-san terdiam sejenak, kemudian berkata.
"Aku akan pindah segera setelah aku menemukan tempat yang baru untuk ditinggali, jadi jangan khawatir. Aku akan berusaha untuk tidak menyebabkan masalah apapun."
Lalu Mikoto-san bertanya padaku di mana ranjangnya.
Aku memberi tahunya kalau aku punya satu futon yang biasa Kak Amane gunakan ketika beliau tinggal di sini dan itu ada di lemari pakaian, dan dia bilang dia akan mengeluarkannya sendiri.
Lalu dia berjalan ke ruang belakang.
Apartemenku itu bernomor 301 dan sebuah apartemen 2DK (TL Note: Apartemen dengan 2 ruangan terpisah.), tetapi cuma ada pintu geser yang tipis di antara kamar tidur depan dan kamar tidur belakang, dan itu tidak bisa dikunci dari sisi manapun.
Mikoto-san menatap balik ke arahku.
"Aku yakin kalau kamu mengerti tanpa aku mesti memberi tahumu, Akihara-kun, tetapi..."
"Kamu bisa pastikan kalau aku tidak akan masuk ke sana. Kalau aku memang mencoba melakukan sesuatu, kamu bisa membunuhku."
Aku mengangkat tanganku dengan posisi banzai.
Aku sambil bercanda memasang pose menyerah dan tanpa perlawanan, tetapi Mikoto-san tidak tertawa, cuma berbisik mengatakan "Terima kasih.".
Aku menatap Mikoto-san dengan serius, dan agak terkejut. Dia baru saja menyatakan kalau dia tidak akan pernah mengatakan "Terima kasih" lagi, tetapi dia sendiri menghancurkan kata-katanya begitu saja barusan.
Aku rasa Mikoto-san telah menyadari maksud dari tatapanku, dan wajahnya memerah.
"Yang-Yang satu ini tidak dihitung, ya!"
Lalu Mikoto-san mundur ke kamar belakang.
Aku menoleh ke langit-langit dan bersin.
Aku rasa aku mesti mandi juga.