Bab 3Menyelamatkan Sang Dewi.(Bagian 4 dari 4)
Setelah kami berhasil keluar ke jalan raya, aku dan Mikoto-san akhirnya sampai di apartemen kami setelah beberapa lama.
Ini lumayan memalukan buat kami berdua, aku menggendong Mikoto-san yang mengenakan seragam sekolah di punggungku dan buat Mikoto-san yang digendong, tetapi mau bagaimana lagi.
Aku menengok ke dapur dan menghela napas lega.
Sekarang kami sudah berhasil melarikan diri dari orang-orang yang telah menyerang Mikoto-san.
"Maafkan aku, tetapi aku akan masuk ke kamar tempatmu tidur kemarin, Mikoto-san."
"Kamu tidak perlu minta maaf."
Setelah mendapatkan izin dari Mikoto-san, aku membuka pintu geser itu dan masuk ke kamar tidur belakang.
Setelah masuk, aku perlahan menurunkan Mikoto-san ke kamarnya.
Pada saat itu, aku merasakan ponselku bergetar.
Aku melihatnya dan mendapati bahwa Kaho meneleponku.
Aku lupa meneleponnya.
Saat aku buru-buru mengangkat teleponnya, suara Kaho yang jelas berdering dengan keras di telingaku.
"HA RU TO!! Memangnya kamu pikir sudah berapa kali aku meneleponmu!!"
"Ma-Maaf."
"Kami telah menunggumu sangat lama."
Menurut penjelasannya, dia dan Yuki telah menungguku.
Tetapi aku tidak bertemu dengan mereka karena aku telah mengambil jalur berbeda dari jalan yang biasanya aku lalui untuk mengelabui orang-orang yang menyerang Mikoto-san.
"Aku sudah bilang pada kalian untuk pulang duluan karena tadi itu berbahaya."
Ketika aku bilang begini, Kaho membalas dengan suara yang agak marah.
"Apa menurutmu aku akan pulang duluan setelah diberi tahu begitu? Aku benar-benar mengkhawatirkanmu."
"Aku baik-baik saja, jadi tidak usah khawatir. Mikoto-san juga aman."
"Apa yang terjadi?"
"Maafkan aku, ada hal yang mesti aku lakukan saat ini. Aku akan menjelaskannya padamu besok di sekolah."
"...Kamu mesti menjelaskan semuanya padaku. Itu janji, oke?"
Dengan begitu, Kaho menutup teleponnya.
Aku menyimpan ponselku di sakuku.
Untuk saat ini, aku punya hal yang lebih penting untuk dilakukan ketimbang menjelaskan berbagai hal pada Kaho.
Aku membaringkan futon tepat di sebelah Mikoto-san.
Aku secara perlahan mengelus futon itu dan menunjukkan padanya.
"Mikoto-san, bisakah kamu duduk di sini untukku?"
"Mengapa?"
Pipi Mikoto-san berubah merah, jadi aku buru-buru berkata,
"Aku tidak akan melakukan sesuatu yang aneh-aneh."
"Aku tidak merasa kalau kamu akan melakukan sesuatu yang aneh-aneh sih, Akihara-kun..."
"Kamu tadi keseleo, dan kamu perlu diobati. Euhmm, bisakah kamu melepaskan kaus kakimu?"
Mikoto-san berbisik, "Begitu ya," dan dengan patuh menggeser tubuhnya ke atas futon.
Lalu, dia melepaskan kaus kakinya dari kaki kirinya yang keseleo dengan tangannya dan membentangkan kakinya yang putih dan tipis padaku dengan tak tertahankan.
"Akihara-kun, apa begini yang kamu ingin aku lakukan?"
"Oke."
Sekarang, untuk pengobatannya, mengangkat area yang terdampak dan melakukan penekanan dengan menggunakan plester. Setelah itu, mendinginkan area yang terdampak.
"Maafkan aku, Mikoto-san. Aku akan menyentuhmu sedikit."
"Ehh?"
Aku menyiapkan pijakan.
Lalu aku menyentuh kaki Mikoto-san, mengangkatnya dan meletakkannya di pijakan.
Aku membawa plester dari lemari dan memasangnya di sekitar kaki Mikoto-san.
Wajah Mikoto-san semakin dan tambah memerah, tetapi dia berteriak sedikit dalam prosesnya.
"Aww..."
"Apa kamu baik-baik saja?"
"...Iya, aku baik-baik saja. Tetapi aku rasa plesterku agak membuatku geli."
Kata Mikoto-san, merasa malu, dan kemudian sedikit batuk.
Aku pergi ke dapur, membuka mesin pembeku (freezer), mengeluarkan beberapa es dari tempat itu, dan mengemasnya ke dalam kantung plastik.
Aku membawa sekantung es itu dan meletakkannya ke pergelangan kaki Mikoto-san.
"Di-Dinginnn."
"Maafkan aku. Tolong tahan di sana."
"...Euhmm, Akihara-kun, kamu tidak perlu minta maaf. Kamu pasti melakukan ini untukku, bukan?"
"Hmm, iya."
"Kemarin, aku bilang kalau aku tidak akan berterima kasih padamu lagi, iya kan?"
Kalau dipikir-pikir lagi, Mikoto-san memang bilang begitu ketika orang-orang berbuat baik padanya dan bilang padaku kalau aku tidak perlu repot-repot mengurusnya lagi.
Aku penasaran apakah itu tidak diperlukan.
Namun, Mikoto-san berkata dengan matanya tertunduk dan wajahnya memerah.
"Aku tahu, aku sudah bilang kalau kemarin merupakan terakhir kalinya aku akan mengucapkan terima kasih padamu, tetapi aku harus membuat ulang kata-kataku. Hari ini merupakan terakhir kalinya aku berterima kasih padamu. Aku mau berterima kasih padamu karena telah menyelamatkanku dari diserang, dan karena telah meng"gendong belakang" aku dalam perjalanan pulang sampai ke sini, dan karena telah merawat cederaku. Jadi, aku berusaha agar tidak merepotkanmu lagi besok."
"Kamu tidak perlu khawatir soal itu."
"Aku mesti khawatir."
"Apa yang lebih ingin kamu makan untuk makan malam, malam ini, rebusan putih atau kare?"
"Kare."
Mikoto-san langsung menjawabnya, dan kemudian meletakkan tangannya di atas mulutnya.
Aku tersenyum, berpikir kalau dia bertindak ceroboh dengan menjawab pertanyaanku.
"Kalau begitu, aku akan membuat kare."
"Tunggu! Jangan siapkan porsiku!"
"Hari ini merupakan terakhir kalinya kamu berterima kasih padaku, bukan? Kalau begitu, aku rasa itu tidak apa-apa kalau aku menyiapkan makan malam buatmu untuk sisa hari ini."
Mikoto-san dengan enggan menutup mulutnya.
Aku mengulang apa yang aku katakan.
"Kamu mesti beristirahat. Kalau keseleonya makin buruk, itu akan membuat rasa sakitmu bertambah."
"...Iya."
Mikoto-san mengangguk membaringkan dirinya sendiri di atas futon, dengan kaki putihnya yang diplester diregangkan.
Lalu dia menatap ke arahku dengan kosong.
Setelah beberapa lama, Mikoto-san menatap seakan-akan dia menyadari sesuatu dan bertanya padaku.
"Aku dengar kalau ayahmu bekerja sendirian, tetapi bagaimana dengan ibumu?"
Aku ragu-ragu sejenak dan kemudian aku memberi tahu kebenarannya padanya.
"Beliau sudah berpulang lima tahun yang lalu. Terjebak dalam kebakaran dahsyat di Hazuki."
Mikoto-san terengah-engah.
Kebakaran Dahsyat di Hazuki merupakan bencana yang terjadi lima tahun lalu di kota kami, Kota Hazuki.
Malapetaka ini menghancurkan ratusan bangunan dengan cepat, merenggut banyak korban jiwa.
Rumahku juga kebakaran, dan ibuku serta orang tuanya Kak Amane juga tewas dalam peristiwa itu.
"Maafkan aku. Aku menanyakan sesuatu dengan tidak peka."
"Tidak masalah, kok. Aku juga punya pertanyaan untukmu. Maafkan aku kalau aku menanyakan sesuatu yang membuatmu ingat pada sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi mengapa kamu terlibat dengan cowok-cowok itu, Mikoto-san? Apa kamu tahu alasannya?"
Cowok-cowok itu bilang kalau mereka tahu kalau Mikoto-san merupakan putri dari keluarga Tomi dan kalau mereka diminta untuk menyakitinya.
Namun, aku tidak yakin mengapa klien itu menargetkan Mikoto-san.
Mikoto-san sedikit gemetaran.
Mungkin dia tidak mau menjawabnya.
Aku merasa tidak enak karena aku mencoba untuk memaksanya memberi tahuku sebagai ganti dari aku menceritakan soal ibuku.
"Kamu tidak mesti menjawabnya kalau kamu tidak mau."
Mikoto-san menggelengkan kepalanya dan menjawab dengan singkat,
"Aku itu, kamu tahu, putri haram."
"Haram?"
"Makanya, aku hampir diserang."
"Apa maksudmu?"
"Akan lebih baik kalau kamu tidak tahu, Akihara-kun, aku tidak berniat melibatkanmu dalam hal ini."
Aku merasa kalau aku sudah terlibat, sih.
Bagaimana kalau sesuatu yang sama terjadi lagi besok atau setelahnya?
Aku cukup beruntung karena berada dekat dengan Mikoto-san hari ini, tetapi aku tidak bisa selalu ada di sana menolongnya seperti tadi.
Aku penasaran apa yang aku yang mesti aku lakukan sambil merebus kare-ku.
Tetapi untuk saat ini, aku tidak lagi khawatir soal dia akan diserang.
Aku mesti mengkhawatirkan hal lain.
Pagi berikutnya, Mikoto-san terkena demam tinggi dan terbaring di ranjang.
[TL English Note - Gambar sudah dihapus.]
[TL Note: Mimin juga ikut tidak menampakkan gambar agar tidak bernasib sama dengan versi English.]
←Sebelumnya Daftar Isi Selanjutnya→