Bab 3Menyelamatkan Sang Dewi.(Bagian 3 dari 4)
Siswa SMA berambut menyeringai dengan senyuman rendah dan berusaha menyentuh p******a Mikoto-san.
Mikoto-san mundur dan hendak melarikan diri.
Tetapi ada dinding di belakangnya, dan dia segera memasuki jalan buntu.
Mikoto-san menengok ke arah tangan cowok yang mendekat dan menggelengkan kepalanya.
Lalu, wajah cantiknya berubah terdistorsi dengan ketakutan, dan dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Aku tidak... ...mau begini... aku... membencinya... Seseorang...!! ...Tolong!!"
Cowok itu maju selangkah lagi ke arah Mikoto-san tepat saat dia menjerit.
Namun, tangan cowok itu tidak mencapai Mikoto-san.
"Hah?"
Cowok itu mengeluarkan suara bodoh dan tumbang di tempat.
Aku dengan ringan mendorong kakinya, dan ia dengan mudah terjatuh.
Aku berpikir dalam hati, Ia tidak terlalu berhati-hati sama sekali.
Dua orang cowok lainnya yang tercengang dengan kehadiranku yang tiba-tiba.
Tetapi salah satu dari mereka cuma dengan terpaksa mengayunkan tangannya ke arahku.
Aku mengelak darinya dan menendangnya di bagian perut.
Cowok itu terengah-engah dan menjerit kesakitan.
Maafkan aku, tetapi karena kamu yang duluan yang menyerangku duluan, kamu harus tanggung risikonya sendiri.
Cowok terakhir juga maju ke arahku dengan cara yang sama, jadi aku meraih tangannya dan melemparnya. Cowok yang aku lempar itu dijatuhkan di atas cowok pertama yang aku tendang kakinya tadi, dan mereka berdua tidak berdaya lagi saat ini.
Sekarang, cuma ada satu hal yang bisa kita lakukan selanjutnya.
"Mari kita lari, Mikoto-san."
Mikoto-san tercengang, dengan tampang di wajahnya yang mengatakan kalau dia tidak tahu apa yang barusan terjadi.
Cowok-cowok itu tidak benar-benar cedera, dan segera mereka bisa menyerang lagi.
Pada saat itu, mereka mungkin tidak akan seceroboh sebelumnya, dan kalau mereka bertiga menyerangku sekaligus, aku mungkin akan berada dalam masalah.
Aku tidak punya pilihan selain menggandeng tangannya karena dia tampaknya tidak bergerak sama sekali dan tidak maju ke arahku.
Aku merasakan kehangatan dari tangannya.
Aku tidak punya banyak kesempatan untuk menggandeng tangan cewek.
Kalau saja ini tangan Kaho, ini akan lebih baik.
Wajah Mikoto-san memerah, tetapi aku tidak punya waktu untuk mengkhawatirkan hal itu.
Aku menarik tangan Mikoto-san dan mulai berlari.
Kami meninggalkan tempat itu dan memasuki gang sempit.
"Selama kita bisa masuk ke jalan raya, kita akan aman, jadi mari kita pergi saja ke sana."
"...Iya."
Mikoto-san memberiku jawaban singkat saat kami lari.
Kami berlari melalui area yang penuh dengan apartemen-apartemen lama dan gedung-gedung terbengkalai.
Masih belum ada tanda-tanda cowok-cowok tadi mengejar kami.
Iya, perlarian ini gampang banget, pikirku dalam hati.
Tetapi kemudian...
"Kyaa!"
Mikoto-san terjatuh dengan jeritan yang imut.
Setelah terjatuh dengan keras ke jalan beraspal, dia bilang, "aduh sakit..." dan mengeluarkan air mata.
Aku dengan segera membungkuk dan berbicara dengan Mikoto-san.
"Apa kamu tidak apa-apa? Maafkan aku, mungkin aku berlari terlalu cepat."
"Aku tidak merasa kalau kamu mesti minta maaf soal itu, Akihara-kun. Tetapi..."
Saat Mikoto-san berusaha berdiri, dia merintih kesakitan secara singkat, "Aa...!"
Tampaknya dia membuat kakinya terkilir.
Tampaknya rasa sakitnya sangat kuat, dia bahkan tidak dapat melangkahkan kakinya.
"Akihara-kun. Kamu boleh meninggalkanku..."
"Aku tidak bisa pergi begitu saja dan meninggalkanmu begini, Mikoto-san. Mereka akan menangkapmu lagi."
"Aku tidak memintamu untuk menolongku, Akihara-kun."
"Kamu barusan berteriak "tolong" di gedung terbengkalai, iya kan?"
"Itu... anu... Bagaimanapun! Aku rasa akan lebih baik kalau setidaknya kamu berhasil melarikan diri, Akihara-kun!"
Aku mengangkat bahuku.
Kalau aku hendak melarikan diri setelah diberi tahu begitu, aku mungkin tidak akan datang untuk menyelamatkannya sejak awal.
Aku membungkuk dan membalikkan punggungku ke arah Mikoto-san.
"...Apa?"
Aku dapat mendengar suara Mikoto-san yang kesulitan dari belakang punggungku.
Aku merespons sambil memasang postur yang sama.
"Aku akan menggendongku dengan punggungku. Berpegangan padaku."
"Kamu akan memberiku gendongan belakang?"
Aku cekikikan.
"Apanya yang lucu?"
"'Gendongan belakang', kamu menggunakan frasa yang lucu, Mikoto-san."
"Itu frasa yang biasa saja."
Mikoto-san mengatakannya dengan agak malu-malu.
Itu membuatku tersenyum dan melonggarkan pipiku, tetapi aku mesti terus bergerak.
Ketika aku terburu-buru padanya, dia tampak agak enggan, tetapi pada akhirnya, dia memeluk punggungku.
Bagian lembutnya menempel dengan tubuhku.
Aku hampir tersipu secara tidak sengaja tetapi aku menyingkirkan semua pemikiran nakalku.
Hal pertama yang mesti kami lakukan adalah melarikan diri.
Aku menggendong Mikoto-san dengan punggungku dan mulai berlari lagi.
Tetapi aku rasa Mikoto-san mengerti apa yang aku pikirkan, karena aku mendengar sedikit suara malu-malu datang dari belakangku.
"Akihara-kun... apa kamu memikirkan sesuatu yang aneh-aneh?"
"Tidak kok."
"Pembohong. Aku yakin kalau kamu sedang berpikir kalau p******aku lembut atau semacamnya."
Memang benar kalau p******a Mikoto-san, yang aku rasakan melalui seragam sekolahnya, terasa lumayan lembut.
Aku tidak tahu persis karena aku tidak punya apapun untuk dibandingkan dengan itu sih.
Mikoto-san berbisik ke telingaku.
"Tetapi cuma untuk saat ini, Akihara-kun, aku akan mengizinkanmu memikirkan yang aneh-aneh."
"Terima kasih. Kamu harus sabar sampai kita tiba di rumah."
Saat kami mengobrol, aku terus berbelok ke kanan dan kiri di persimpangan gang.
Sebelah sini, aku mungkin mampu mengalihkan mereka.
Ini kampung halamanku, jadi aku jauh lebih tahu.
Lalu aku menemukan sebuah tempat di mana gang itu melengkung dan mudah untuk bersembunyi dalam bayang-bayang.
Aku berhenti di sana dan membiarkan Mikoto-san turun sebentar.
"Mari kita biarkan mereka melalui jalan ini dulu."
"Aku mengerti. Meskipun begitu, Akihara-kun, kamu sangat kuat. Kamu dengan mudah menggendongku dengan punggungmu dan berhasil lari."
"Iya, aku ini seorang cowok, kamu tahu. Selain itu, Mikoto-san, kamu itu lumayan enteng."
"Begitu ya?"
"Iya."
"Tetapi meskipun begitu, aku terkejut dengan betapa mudahnya kamu mengalahkan cowok-cowok itu tadi."
"Iya, aku terbiasa dengan hal itu karena segala hal yang terjadi padaku di masa lalu."
Aku merasa malu ketika Mikoto-san menatapku dengan tampang yang membuatku memikirkan ulang pendapatku tentangnya sedikit.
Jago dalam berkelahi itu bukanlah sesuatu untuk dibanggakan.
Setelah istirahat sejenak, aku menggendong Mikoto-san dengan punggungku lagi.
Kali ini, Mikoto-san tidak menolak maupun ragu-ragu, karena dia menyandarkan tubuhnya pada punggungku.