Bab 2Tinggal Bersama Sang Dewi.(Bagian 2 dari 5)
Mikoto-san bilang kalau rumah ini merupakan satu-satunya tempat yang bisa dia tempati.
Apa maksudnya itu?
Apakah itu berarti dia telah diusir dari rumahnya yang sebelumnya?
Kalau memang betul, apa alasannya?
Banyak pertanyaan yang terlintas dalam benakku, tetapi kemudian Mikoto-san mengeluarkan bersin kecil yang imut.
Pemanasnya belum dinyalakan.
Aku baru saja sampai, dan Mikoto-san mungkin tidak tahu pengendali jarak jauh (remote control)-nya ada di mana.
Pengukur suhu ruangan digital di dinding menunjukkan 3°C, menandakan kalau ruangan ini cukup dingin.
Terlebih lagi, Mikoto-san cuma mengenakan seragam sekolah.
Itu seakan-akan dia sudah datang jauh-jauh ke sini tanpa mengenakan mantel atau syal di malam yang cukup dingin.
Melihat Mikoto-san yang agak menggigil, aku buru-buru menawarkan mantel hitamku sendiri padanya.
"Kamu mesti mengenakan ini untuk saat ini. Memang aneh kalau memakai mantel di dalam rumah, tetapi lebih baik daripada tidak mengenakan apa-apa sampai ruangan ini jauh lebih hangat."
"Aku tidak perlu itu..."
"Nanti kamu masuk angin, loh. Kamu mungkin tidak mau mengenakan mantel yang bekas dikenakan oleh cowok seperti aku, tetapi tolong pakai saja."
"Bukan begitu maksudku. Aku tidak mau berutang apa-apa padamu."
Mikoto-san berkata dengan nada yang gemetar namun jelas.
Dia tidak ingin berutang apa-apa padaku, ya?
Aku tidak merasa kalau meminjam mantel itu benar-benar masalah yang besar.
Jadi aku bertanya-tanya mengapa dia bilang kalau dia tidak mau berutang apa-apa padaku.
Aku berpikir sejenak soal itu dan kemudian berkata.
"Untuk membuatmu berutang padaku, kamu tahu. Bukan begitu maksudku memberimu mantelku. Ini rumahku dan aku tidak mau ada orang yang menggigil kedinginan di depanku karena itu membuatku merasa tidak nyaman."
"Itu bukan masalahku apakah kamu merasa nyaman atau tidak. Lagian, aku tidak merasa kedinginan sama sekali."
Mikoto-san memegang bahunya dengan kedua tangannya dan mengatakan itu dengan suara yang teredam.
Aku tidak percaya padanya, mana mungkin dia tidak merasa kedinginan.
Maksudku, gigiku saja sudah gemetaran dan wajahku sudah semakin pucat dari beberapa saat yang lalu.
Kalau aku tetap berada di situasi ini, aku yakin kalau aku akan mati membeku.
Bingung, aku berbicara.
"Aku mohon padamu kenakan saja. Ini permintaan dariku, jadi kamu seharusnya menganggapnya sebagai aku yang berutang padamu, Mikoto-san."
"Tetapi..."
"Ahh... Aku rasa selimut akan lebih baik daripada mantel? Yang mana yang lebih kamu pilih?"
Mikoto-san menatap dengan agak ragu-ragu, tetapi kemudian membisikkan, "Dua-duanya.".
Aku mengangguk dan menyodorkan mantelku pada Mikoto-san terlebih dahulu, lalu mengeluarkan selimut dari lemari dan menyerahkan itu padanya juga.
Aku menyuruhnya untuk duduk di depan meja makan, dan dia mengangguk sedikit dan duduk di kursi.
Aku mengambil pengendali jarak jauh untuk penyejuk ruangan (AC) dari bawah rak televisi dan mengganti pemanasnya.
Lalu, aku membuka kulkas di dekat meja makan dan mengintip isi dalamnya.
Aku ingin memberinya sesuatu yang hangat untuk diminum.
Aku menatap balik ke arah Mikoto-san.
"Apa kamu mau minum cokelat atau susu panas dengan madu? Kalau kamu tidak suka susu, aku bisa membuatkanmu kopi."
"A-Aku tidak mau kamu melakukan itu untukku, Akihara-kun."
"Aku mau minuman karena aku kedinginan juga. Jadi aku membuatkanmu biar sekalian dengan punyaku. Selain itu, itu tindakan yang benar bagiku sebagai tuan rumah untuk menyuguhkan minuman pada tamuku."
Aku berusaha untuk mengurangi perlawanan psikologisnya dengan menekankan bagian "biar sekalian dengan punyaku.".
Jujur saja, aku memang menyiapkan minumannya buat Mikoto-san, dan malahan, aku baru merasa kalau aku mau minum juga.
Kalau aku mengatakan hal semacam itu, dia mungkin akan mengatakan "Aku tidak mau berutang apa-apa padamu." lagi.
Tampaknya sang Dewi Es itu merasa tidak enak dalam menerima niat baik orang-orang.
Bagaimanapun juga, Mikoto-san juga tamu di rumah ini.
Dia bilang kalau dia akan tinggal di rumah ini, tetapi itu masih belum diputuskan.
Aku tidak tahu tentang situasinya atau bahkan apapun tentangnya.
Mikoto-san melihat sambil menunduk dan menjawab dengan singkat, "Susu panas dengan madu," sehingga aku menjawab, "Ditunggu ya.".
Aku menuangkan isi kulkas ke dalam dua gelas dan menaruhnya ke dalam oven untuk dipanaskan selama satu menit.
Ini sudah sesuai dengan perkiraan jumlah waktu yang tepat untuk diminum hangat-hangat tanpa membakar diriku sendiri.
Lalu aku pergi ke kamar mandi, aku sudah membersihkan bak mandinya pagi ini.
Aku mengatur suhunya sedikit lebih panas dan mulai memenuhi bak mandi itu dengan air panas.
Butuh waktu yang lumayan lama untuk mengisi penuh bak ini, jadi aku meninggalkan itu sendiri.
Ketika aku kembali ke dapur lagi, ovennya sudah selesai memanaskan.
"Silakan dinikmati."
Dengan begitu, aku menawarkan gelas ini dengan agak ragu-ragu.
Melihatnya, aku merasakan keringat dingin mengucur deras ke bawah tulang belakangku sejenak.
Bibir Mikoto-san yang lembab menyentuh gelas yang biasa aku pakai.
Pemandangan Mikoto-san yang meminum susu itu juga agak s****i.
Saat aku sedang berpikir, aku rasa, seorang Dewi akan tampak cantik tidak peduli apa yang dia lakukan, Mikoto-san kemudian bergumam.
"Enak."
"Itu cuma susu panas, kok."
"Tetapi ini terasa sangat enak, mungkin karena aku sangat dingin barusan."
Mengatakan ini, Mikoto-san menaruh tangannya di atas mulutnya dengan ekspresi terkejut di wajahnya menyadari kesalahannya.
Sudah kuduga itu kebohongan besar kalau dia tidak kedinginan.
Sebagai gantinya, aku mengatakan sesuatu yang lain.
"Aku sudah mengisi bak mandi dengan air panas. Aku akan siap ketika kamu selesai minum, jadi kamu bisa menggunakannya setelah itu."
Mikoto-san bilang kalau dia tidak punya tempat lain lagi untuk ditempati dan kalau dia akan tinggal di apartemen ini mulai hari ini.
Kalau itu berarti dia tidak tahu lagi harus pergi ke mana, dia tentu saja mesti mandi di sini.
Pondok mandi itu lumayan jauh dari sini, dan selain itu, dia mungkin akan kedinginan saat perjalanan menuju ke sana dan pulang dari sana juga.
"Tetapi..."
Mikoto-san tampak memikirkan tentang itu sejenak.
Meskipun Mikoto-san mungkin akan merasa tidak nyaman mandi di rumah seorang cowok, dia mesti menggunakan bak mandi di sini setiap hari kalau benar-benar akan tinggal di sini.
"Cara terbaik untuk menghangatkan dirimu adalah dengan mandi air hangat!! Tidakkah kamu setuju, Mikoto-san?"
"...Benar."
Akhirnya, Mikoto-san menganggukkan kepalanya dengan sikap jujur.
Setelah itu, Mikoto-san tampak menyadari sesuatu dan tampak agak bermasalah.
"Akihara-kun."
"Hmm?"
"Aku tidak punya pakaian ganti."
Bukan cuma Mikoto-san tidak mengenakan pakaian yang cocok untuk musim dingin, tetapi dia juga tidak membawa barang bawaan apapun.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Tidak normal bagi seorang siswi SMA untuk kabur malam-malam di musim dingin sendirian.
"Aku paling tidak bisa meminjamkanmu pakaian ganti. Sebagai gantinya, bisakah kamu memberi tahuku alasan mengapa kamu memutuskan untuk tinggal di rumahku, Mikoto-san?"
"Aku ini sepupumu, Akihara-kun. Kita ini kerabat jauh."
Mikoto-san meletakkan gelasnya di atas meja, menatapku dengan mata birunya dan bilang begitu.