Bab 1Dicampakkan oleh Teman Masa Kecilku.(Bagian 2 dari 3)
Kita sudah bersama-sama sejak kami masih kecil, kita sudah seperti adik kakak.
Begitulah yang Kaho bilang.
Aku mendekam di ranjang selama dua hari akhir pekan itu dikarenakan patah hati itu.
Tetapi masalah sesungguhnya datang setelah itu.
Kaho tampaknya merasa canggung dan mulai menghindariku.
Aku mengerti apa yang dia rasakan.
Memang benar kalau sulit memperlakukan seseorang yang sudah kamu tolak dengan cara yang sama dengan yang biasa kamu lakukan.
Apalagi kalau itu merupakan seorang teman masa kecil yang telah menghabiskan waktu sepanjang hidupnya, itu akan jauh lebih sulit.
Namun, aku ingin terus bersama Kaho walaupun kami cuma sebatas teman, dan itu juga menyakiti perasaanku kalau aku melihat Kaho menghindariku.
Aku menduga kalau Kaho sebenarnya sangat membenciku sampai-sampai dia tidak mau bicara padaku.
Kalau memang benar begitu, aku mungkin mesti menyerah saja memperbaiki hubungan kami.
Namun, hasil pengamatan yang dilakukan oleh para siswi yang merupakan temannya, aku jadi tahu kalau dia tidak membenciku dengan cara apapun.
Dia cuma tidak melihatku sebagai orang yang dijadikannya minat asmara, dan ketika aku mengakui perasaanku padanya, dia langsung merasa canggung jadi dia menghindariku.
Begitulah maksudnya.
Kalau memang benar begitu, setidaknya masih ada kesempatan kalau kami akan kembali ke hubungan asli kami.
Aku lalu berusaha semampuku untuk mengembalikan hubunganku dengan Kaho yaitu "seorang teman masa kecil dan seorang teman baik".
Melalui pengamatan yang teliti, perhatian yang hati-hati, dan dukungan yang kuat dari teman-teman Kaho, aku mampu mengembalikan hubungan kami sampai ke titik di mana dia akan mengobrol denganku dengan santai di ruang kelas.
Aku rasa aku telah melakukan yang terbaik.
Kerja bagus! Diriku!
Meskipun sedih juga karena hasil dari usahaku yaitu hubungan kami cuma jadi semakin berkurang dari yang sebelumnya.
Kalau aku tetap di dekat Kaho, meskipun cuma sebatas teman, mungkin saja aku akan punya satu kesempatan lain.
Aku mengharap sedikit seperti itu, dan kenyataannya, teman-temannya menganggukkan kepala mereka dan menyemangatiku, sambil bilang, "Iya, itu benar."
Tetapi aku tahu.
Kalau hari itu mungkin tidak akan pernah datang, saat aku bisa lebih dekat dengan Kaho lebih dari diriku saat bulan Juni saat masa kelas sepuluh SMA-ku, tepat saat aku mengakui perasaanku padanya.
Bagaimanapun, apa yang aku lihat di depan mataku ini merupakan Kaho yang sekarang.
Ketika Kaho bertanya padaku ke arah mana aku menatap, aku cuma menjawab dengan jujur, "Aku sedang menatap ke arah Mikoto-san."
Kalau Kaho menyukaiku, dia mungkin akan berada dalam suasana hati yang buruk kalau aku mengatakan sesuatu semacam itu, atau mungkin dia akan merasa cemburu.
Tetapi aku tidak perlu khawatir soal itu.
Dia itu tidak berpacaran denganku atau semacamnya.
"Kamu dari tadi menatap ke arah Mikoto-san? Mengapa?"
Kaho memiringkan kepalanya karena penasaran.
Aku berpikir sejenak kalau Kaho itu imut dengan gestur macam itu, lalu segera menghilangkan pikiran nakalku.
Tidak ada alasan khusus buatku menatap ke arah Mikoto-san.
"Maksudku, Mikoto-san, dia pergi UKS tadi, iya kan?"
"Iya?"
"Jadi aku penasaran apakah dia tahu ruang kelas mana yang akan kita tuju setelah istirahat makan siang?"
"Begitu ya. Aku penasaran apakah dia tahu soal itu?"
"Kalau begitu aku akan memberi tahunya."
"Haruto, kamu itu sangat baik, ya?"
Kaho tersenyum dengan lembut.
Aku tidak sebaik itu kok, dan aku rasa akan lebih baik kalau dialah yang menghampiri dan memberi tahu Mikoto-san sih.
Ketika aku bilang begitu, Kaho dengan tegas memegang bahunya dengan kedua tangannya dan gemetaran.
Aku rasa itu merupakan gestur ketakutan.
Kaho menggembungkan pipinya dan berkata padaku dengan cemas,
"Maksudku, Mikoto-san membuatku takut."
"Dia itu siswi yang cantik dan teladan yang dapat melakukan segalanya, bukan?"
"Itulah sebabnya aku takut pada Mikoto-san."
"Aku pernah dengar kalau Mikoto-san itu lebih kasar dengan cowok ketika dia bicara pada mereka."
Aku bersikeras dengan rendah hati, dan bertanya pada Kaho apakah dia mau pergi sebagai penggantiku.
Dia lalu menyatukan kedua tangannya untuk berdoa padaku dan berkedip padaku dengan satu mata tertutup.
"Wahai Dewa, Wahai Buddha, Wahai Tuan Haruto. Kumohon pergi dan bicara pada Mikoto-san, jangan aku!"
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
"Berdoa?"
"Aku kira Mikoto-san yang disebut Dewi, bukan aku."
Aku menatap ke arah Mikoto-san, yang mereka sebut sebagai seorang dewi.
Memang benar apa yang mereka bilang soal Mikoto-san yang cantik, dia tampak cantik tidak peduli apa yang dia lakukan.
Bahkan cuma duduk di sana saja, dia tampak seperti adegan dari lukisan yang indah.
Singkatnya, dia itu sangat sempurna sehingga sulit buatku untuk bicara padanya.
Tetapi tidak ada orang lain lagi yang dapat memberi tahu Mikoto-san soal pergantian ruang kelas.
Aku tidak punya pilihan lain selain bangun dari bangkuku dan menghampirinya.