Takane no Hana no Imakano wa, Zettai Motokano ni Maketakunai you desu [WN] - Seri 1 Bab 42 - Lintas Ninja Translation

 Bab 42
Kamarnya

Setelah Sakai-san menyeka keringat dari tubuh Takane-san, kami mengobrol sejenak dan dia memutuskan untuk pulang duluan.

Takane-san tetap di kamarnya untuk beristirahat dan aku mengantar Sakai-san ke pintu depan.

"Terima kasih untuk hari ini. Tanpa Senda-kun, mungkin aku akan pulang tanpa bertemu Takane-san."

"Akulah yang seharusnya berterima kasih. Ada banyak hal yang tidak bisa aku lakukan kalau aku datang sendirian saja."

Seperti yang diduga, meskipun aku pacar Takane-san, aku masih belum ada di posisi yang cocok untuk menyeka tubuhnya – Begitulah pikirku.

Aku tidak tahu apakah itu mungkin karena kami sudah SMA, atau apakah ini berbeda bagi masing-masing orang? Bukankah ini tidak biasa untuk menghadapi situasi semacam ini dari awal?  Bagaimanapun juga, yang terpenting itu perasaan Takane-san. Akan lebih baik untuk meminta bantuan pada seseorang dari jenis kelamin yang sama.

"...Aku saja deh yang melihat badan Takane-san... Iya, aku tadi melihatnya, tetapi bukannya aku ini memikirkan sesuatu yang aneh-aneh."

"...I-Itu wajar, aku rasa... Kalau Sakai-san punya ketertarikan semacam itu, aku tidak akan membantahnya."

"Ka-Kamu salah! ...Bukan begitu kok. Saat aku masih SMP, memang ada rumor tentangku karena aku sangat sering memanggil nama Takane-san. Ngomong-ngomong, bukan begitu, oke. Aku benar-benar ingin melakukan sesuatu untuk Takane-san."

"Aku penasaran mengapa Sakai-san... sangat mengagumi Takane-san."

"Kami sudah berada di kelas yang sama sejak kelas satu SD. Takane-san itu sudah menjadi orang yang luar biasa sedari dulu... Aku benar-benar terkejut karena mengetahui bahwa benar-benar ada orang macam dia. Dia dapat belajar dengan baik, lari lebih cepat dari orang lain, berenang dengan baik, menggambar dengan indah, dan menulis dengan rapi. Kalau saja aku telah menyalin tulisan tangan Takane-san, aku mungkin sudah memenangkan penghargaan untuk lomba kaligrafi."

Aku memang tahu kalau Takane-san itu hebat, tetapi aku tidak tahu kalau dia itu sehebat itu — Dia itu memang manusia super yang sempurna.

Tetapi aku sudah tahu. Takane-san itu sangat sempurna karena usahanya yang tidak kenal lelah.

"Selain itu, Takane-san itu juga sangat jago dalam bermain piano... Bahkan sejak SD, Takane-san selalu menjadi orang yang mengiringi paduan suara. Seluruh siswa dan siswi menganggap Takane-san itu orang yang istimewa..."

"...Aku rasa Sakai-san ingin berteman dengan Takane-san, ya."

Kamu tidak bisa menjadi seorang "teman " kalau kamu masih mengistimewakan orang tersebut. Saat aku mengobrol dengan Sakai-san tentang apa itu seorang teman, aku melihat jawabannya di dalam pikiranku.

Untuk berada dalam hubungan yang santai. Bukan untuk berada dalam hubungan yang terlalu tertutup satu sama lain.

—Dan itu semacam hubungan di mana kita dapat bermain bersama kapanpun kita mau.

"Pada tanggal 3 Mei ini, aku mau nongkrong bareng teman-teman sekelasku... Apa kamu punya rencana, Sakai-san?"

"E-Em... Pada tanggal 3, ya? Aku akan pulang kampung ke rumah kakek-nenekku dari ibuku kalau begitu. Sepanjang liburan akhir pekan sebenarnya."

"Begitu ya... Kalau begitu bisa lain waktu saja deh. Tidak masalah sih kalau kamu tidak bersamaku, meskipun Sakai-san dan Takane-san tidak nongkrong bersama, aku rasa kalian sudah berteman."

"...Aku... Dan Takane-san...?"

"Kalau tidak... Aku rasa dia tidak akan meminta seorang teman sekelas untuk melakukan sesuatu semacam itu barusan."

Aku penasaran apakah aku tidak agak mencoba untuk menahannya. Sakai-san hampir saja ingin pergi, tetapi aku menahannya cukup lama untuk mengobrol dengannya.

Sakai-san sendiri tampaknya mengerti hal itu juga. Aku mesti kembali ke tempat Takane-san segera — Tepat sebelum itu,

"...Aku sudah lama penasaran mengapa sih Senda-kun. Tetapi aku rasa aku sudah sedikit mengerti sekarang."

"Itu... Bolehkah menganggap ini sebagai pujian?"

"Aku rasa boleh saja. Kita akan berada di klub membaca bersama-sama mulai dari sekarang."

Sakai-san bilang begitu, dan memberiku senyuman yang ramah yang belum pernah aku lihat sebelumnya.

Sakai-san menatapku sejenak, bermain-main dengan ujung rambutnya, dan kemudian segera berbalik arah.

"Baiklah kalau begitu. Senda-kun. Sampaikan salamku pada Takane-san, ya."

"I-Iya... Sampai jumpa di aktivitas klub."

"Iya, di aktivitas klub. Kalau ini tidak masalah, kamu juga bisa mengajakku lagi seperti barusan, kapanpun kamu mau nongkrong bersama Takane-san."

Sakai-san berjalan keluar pintu depan. Aku mesti mengikutinya untuk memastikan kalau pagarnya sudah terkunci.

Setelah dia melangkah keluar pagar, dia menatap kembali ke arahku dan melambaikan tangannya, dan langkahnya tampak ringan dan melenting.

———————————————————————

Aku kembali ke depan kamar Takane-san dan mengetuk pintunya pelan-pelan.

"Iya, masuk."

"Maaf mengganggu... Takane-san..."

"...Iya. Sekarang, aku sudah segar kembali berkat bantuan Sakai-san."

Saat aku menatap ke Takane-san yang sedang berseri-seri saat dia mengatakan ini, aku duduk di sana, merasa sangat lega.

"Nagito-san... Maafkan aku karena telah membuatmu khawatir."

"Aku senang bisa melihatmu, Takane-san. Lagipula, aku sangat khawatir padamu... Tidak, ini bukanlah hal yang buruk sama sekali. Ini penting buatku."

"...Penting?"

"Iya. Em... Bagaimana bilangnya ya... Aku rasa wajar saja buat seorang 'pacar' untuk khawatir terhadap 'pacar'-nya. Kalau tidak, ini tidak akan masuk akal."

"...Aku. maafkan aku karena tidak mau kita saling ketemu sampai aku benar-benar pulih..."

"Aku tahu kalau kamu itu mengkhawatirkanku. Tetapi, aku tetap mau bertemu denganmu, Takane-san."

Aku sudah datang sejauh ini, dan aku akhirnya mampu untuk mengatakan apa yang benar-benar aku pikirkan. Ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa disampaikan dengan baik melalui sebuah pesan.

"Saat Jum'at kemarin, Takane-san tidak ada sepanjang hari dan aku mengerti itu dengan baik. Aku telah memikirkan tentang Takane-san semenjak aku bertemu denganmu... Itu telah menjadi bagian dari siapa diriku saat ini."

"...Kamu telah memikirkan tentangku sebanyak itu...?"

Aku cuma berpikir. Wajar saja untuk berpikir.

Tetapi Takane-san sepertinya tidak merasa begitu. Namun,

Aku rasa aku mesti mengobrol dengan Takane-san sekarang. Pada hari saat masa orientasi, aku cuma berduaan dengan Asatani-san. Aku penasaran apa yang Takane-san rasakan saat itu.

"...Hari itu saat hujan deras. Seorang anak di kelas kita terluka dan dua orang pengurus kelas dan Inagawa-san seharusnya bersama kami."

"...Iya. Asatani-san langsung memberi tahuku setelahnya, 'Aku bersama Nagi-kun, tetapi kami tidak mencoba melakukan sesuatu bersama-sama. Tetapi maafkan aku ya."

"Begitu ya... Itu memang benar-benar seperti Asatani-san."

Walaupun dia sendiri tidak mau melakukan itu, Asatani-san berpikir dia mesti minta maaf pada Takane-san karena berduaan saja denganku.

Apa yang kami bicarakan saat itu. Jarak macam apa di antara kami sebelum para guru menemukan kami. Memikirkan tentang itu, itu mungkin masuk akal untuk berpikir kalau dia mesti minta maaf.

Ini bukan di antara 'kedua teman'. Kami mungkin seperti 'sepasang mantan pacar' kala itu.

"Ketika aku mendengar hal itu... Aku kira Asatani-san itu sangat disiplin. Dia telah berusaha untuk menjaga apa yang dia bilang soal ingin mendukung kita sebagai 'teman'..."

Aku tidak mengenal Asatani-san dengan sangat baik. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, mungkin dia itu orang yang mengubah pikirannya dengan mudah, atau begitulah yang pernah aku pikirkan.

Tetapi sekarang, aku pikir dia itu bukan orang yang akan dengan mudah merubah apa yang telah dia katakan tanpa alasan apapun. Tidak peduli betapa banyak aku tidak dapat mengerti perasaannya yang sesungguhnya, aku percaya kalau dia itu punya sebuah keyakinan yang pasti di dalam dirinya dan dia tidak membungkuk dari hal itu, meski aku tidak tahu apa-apa soal itu.

"...Aku bilang dia tidak perlu minta maaf. Saat itu sedang hujan deras dan kalau seseorang telah cedera, aku mungkin akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh Yamaguchi-san dan apa yang lainnya lakukan."

Tetap saja, bahkan dengan tidak ada orang yang bisa disalahkan, bahkan saat dia sendiri tidak mau, 

Asatani-san berpikir kalau dia mesti minta maaf pada Takane-san karena cuma berduaan saja denganku.

"Tetapi... Ketika Asatani-san memberi tahuku... Aku merasa lega."

Takane-san, yang mengatakan itu, tidak menatap ke arahku. Dia berada di ranjang, menatap ke bawah ke tangannya.

"...Dia bilang, 'Maafkan aku karena telah meminjam Nagi-kun.' Kalau saja Asatani-san belum bilang hal ini, aku mungkin akan terasa sangat berbeda kalau aku mesti tetap di rumah sendirian."

"...Maaf."

Aku minta maaf. Kalau tidak ada alasan untuk merasa bersalah, atau begitulah yang Takane-san bilang, maka seharusnya aku tidak datang menjenguknya... Aku telah membuatnya sangat gelisah dan aku bahkan tidak tahu tentang itu.

Tetapi ketika dia menatap ke atas, Takane-san tersenyum. Matanya tampak sedikit basah.

"Tidak apa-apa. Karena kamu datang kemari..."

Aku tidak peduli kalau demamnya mungkin akan menular. Yang lebih penting saat ini adalah sesuatu yang lain.

Kalau saja aku tidak datang kemari hari ini, aku mungkin akan menyesali hal ini nantinya. Kalau saja aku tidak menerima apa yang kakakku katakan — Memikirkan tentang itu saja, itu bahkan membuatku tidak tahu di mana aku berdiri.

"...Nagito-san?"

Kalau aku tiba-tiba melakukan ini, aku akan membuat Takane-san terkejut – tetapi tubuhku kehilangan kekuatan dan aku pun duduk.

"...Aku merasa lega karena kita bisa mengobrol seperti ini... Dan saat kamu hampir saja pingsan sebelumnya, aku kira jantungku akan berhenti berdetak. Aku bersyukur aku ada di sini sekarang."

"...Orang tuaku sedang di luar kota untuk bekerja dan pembantuku akan berada di sini saat siang hari nanti. Sampai saat itu, aku rasa aku ingin tidur saja."

"Maaf, aku tidak bermaksud mengganggumu."

"Tidak... Kamu tidak perlu minta maaf."

Takane-san keluar dari futon dan duduk di pinggir ranjang. Dia mencoba membuka matanya serendah mungkin agar pas dengan mataku saat aku sedang duduk di lantai.

"Aku bahagia. Nagito-san bilang kalau kamu akan datang ke sini, dan kamu datang sedikit lebih awal dari yang kamu bilang... Aku sudah menunggu di pintu depan, berharap bisa bertemu denganmu secepat mungkin."

"...Begitu ya. Terima kasih sudah menunggu."

"...Iya. Aku selalu menunggumu."

Kami saling tertawa. Tetapi mata Takane-san tiba-tiba berubah – Matanya sedih cuma dengan melihatku saja.

Takane-san bangkit.

Kemudian dia meringkuk di belakangku saat aku sedang duduk dan dia memelukku.

Takane-42

Tubuhnya hangat – Mungkin ini karena dia sedang mengenakan pakaian tidurnya, tetapi aku dapat dengan jelas merasakan perasaan lembut di punggungku.

"Takane-san..."

"...Untuk saat ini, biarkan aku melakukan hal ini sedikit lama lagi."

"...I-Iya..."

Takane-san menyandarkan pipinya ke bagian belakang leherku. Kemudian dia dengan berani menggosokkan pipinya padaku.

"Terima kasih banyak, Nagito-san."

"Dengan senang hati."

Aku berharap saat-saat ini akan berakhir selama mungkin. Dengan harapan ini ada dalam pikiranku, aku melihat ke kamar di mana Takane-san menghabiskan waktunya dan sekali lagi sangat senang berada di tempat itu.


---------

Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/


←Sebelumnya          Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama