Takane no Hana no Imakano wa, Zettai Motokano ni Maketakunai you desu [WN] - Seri 1 Bab 41 - Lintas Ninja Translation

Bab 41
Bangku Kosong

Meskipun ada gangguan pada hari kedua ketika hujan deras, jadwalnya tidak terganggu dan tiga hari masa orientasi telah selesai tanpa adanya insiden apapun.

Karena hari terakhir sekolah adalah hari Kamis, hari berikutnya, hari Jum'at, itu hari belajar yang normal. Teman-teman sekelasku tampak lesu, lalu Takadera dan Ogishima juga tampak malas-malasan.

"Senda, apa Takane-san belum sampai hari ini? Dia selalu datang ke sini sangat pagi."

"Aku dapat dengan pasti membayangkan Takane-san ada di sini saat Senda-kun ada di sini."

"Itu benar... Aku penasaran mengapa bisa begitu."

Aku hampir tidak melewatkan satu haripun tanpa menghubunginya (mengontaknya) di malam hari, tetapi kemarin aku tidak dengar kabar dari Takane-san. Aku kira dia mungkin juga lelah, jadi aku tidak mengirim pesan padanya.

Asatani-san berkumpul dengan kelompoknya dan tampaknya khawatir dengan Takane-san. Teman-teman sekelas yang lain juga khawatir – ini sangat berbeda dari biasanya karena Takane-san belum datang bahkan sepuluh menit sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai.

Bel awal berbunyi untuk pembinaan wali kelas pagi. Aku kembali ke bangkuku dan kepikiran untuk meneleponnya sekarang – tetapi aku tidak tahu apakah dia akan absen atau tidak ketika ibu guru sampai, jadi mungkin akan lebih baik untuk menunggu sampai saat itu.

"Selamat pagi, anak-anak. Ibu telah dapat kabar kalau Takane-san akan absen hari ini. Kalau kamu sekelompok dengannya di kelas, tolong beri tahu dia tentang isi dari mata pelajaran selama dia absen ketika dia sudah datang kembali. Ibu akan coba menindaklanjuti sebisa Ibu."

Ruang kelas sedikit heboh – Meskipun kami dapat membayangkan kalau dia absen hanya dengan dia tidak datang ke kelas, teman-teman tampak gelisah ketika itu menjadi fakta.

Asatani-san, yang duduk sangat jauh dariku, menoleh dan melihat ke arahku sebentar. Aku harap aku dapat berhubungan dengan Takane-san, tetapi kalau dia merasa tidak enak badan, memang tidak bagus memaksanya untuk mengontakku – tetapi aku tidak bisa cuma menunggu dan tidak melakukan apa-apa.

Setelah pembinaan wali kelas, aku mengondisikan diriku dan pergi ke tangga di mana orang-orang tidak akan dapat melihatku mengirim pesan pada Takane-san.

[Takane-san, aku terkejut saat dengar kalau kamu absen hari ini. Maafkan aku, aku tidak sadar kalau kamu tidak enak badan. Jangan khawatir tentang sekolahnya, istirahat saja ya.]

Haruskah aku membawa catatanku yang lebih rapi dari biasanya, atau haruskah aku minta tolong seorang cewek dengan tulisan tangan yang indah untuk menunjukkan itu padanya? Saat aku sedang memikirkan hal ini, aku lihat kalau Takane-san telah membaca pesanku.

[Terima kasih banyak. Aku terkena demam, jadi menghabiskan sepanjang hari di rumah, tetapi aku segera pulih secepat yang aku bisa.]

Takane-san menanggapi, dan aku merasa lega sehingga aku tidak bisa apa-apa selain mengelus-elus dadaku.

Lagi pula, memang tidak bagus kalau dia basah saat hujan selama masa orientasi. Aku penasaran bagaimana keadaannya sekarang – Aku khawatir pada kondisinya, tetapi kalau aku tidak dapat mengurus materi sekolah karena hal itu, itu akan membuat Takane-san khawatir.

Takane-san sedang tidak duduk di bangku sebelahku. Beberapa waktu yang lalu itu masih biasa-biasa saja, tetapi sekarang aku merasa seakan-akan ada lubang di dadaku.

Menyentuh sikuku atau menyerahkan sebuah pesan padaku. Setiap kali Takane-san melakukan itu, aku heran seberapa bahagianya aku. Aku rasa hari ini akan menjadi hari di mana aku mengeluh tentang itu.

———————————————————————–

Malam itu, saat aku sedang di kamarku mengulas kembali catatan pelajaran hari ini, Kak Ruru mengetuk pintu dan masuk.

"Tampaknya Nozo-chan terkena demam... Apa yang sedang kamu lakukan, Nakkun?"

"Aku memeriksa catatanku untuk hari ini. Aku akan memberikan ini padanya setelah hari libur."

"...Eh?"

"'Eh?' apa yang Kakak maksud?"

Kak Ruru yang mengenakan pakaian santainya duduk di ranjangku dengan tampak bingung di wajahnya dan menggelengkan kepalanya, cukup untuk menggoyangkan kuncirnya ke kanan dan ke kiri.

"Nakkun, kamu tidak mengerti, ya."

"...Ten-Tentang apa?"

"Nozo-chan mungkin diam saja, tetapi bukankah ini hari di mana kamu harus mengunjunginya? Besok kan hari Sabtu, kamu tahu, kamu libur, bukan? Sangat terasa sepi harus tetap di rumah dan tidur di hari liburmu."

"Takane-san bilang kalau aku tidak perlu mengantar cetakan dan karena mungkin saja penyakitnya akan menular. Jadi aku hanya perlu menunggu sampai dia pulih. ...A-Apa? Jangan rentangkan tangan Kakak!"

"Para cewek itu tidak sepenuhnya jujur. Akan tetapi, kalau Nakkun terkena demam, Nozo-chan akan khawatir, Kakak juga akan sangat khawatir."

Kalau Kak Ruru ada di posisiku, dia mungkin akan mengunjungi Takane-san.

Aku penasaran apa yang akan aku lakukan. Setelah menghabiskan waktu satu hari tanpa Takane-san di sampingku, aku–

"Walaupun Kakak bilang begitu, itu... Dia telah bilang padaku kalau aku tidak usah datang, jadi itu seolah-olah seperti aku akan mengganggu. Aku penasaran apakah ini benar-benar tidak masalah?"

"Itu, em, kalau Kakak bisa tanggung jawab akan hal itu, Kakak akan mengambilnya sebanyak yang Kakak bisa, kamu tahu? Kakak juga khawatir pada orang yang penting bagi Nakkun.  Kakak akan mengantarmu dan memberikan Nozo-chan pelukan hangat."

"Mengapa sih Kakak sangat sayang dengan Takane-san? Semua orang juga... Tidak, aku mengerti."

"Nakkun, memang yang paling tahu, iya kan?"

Tidak ada pilihan untuk dibilang begitu dan masih belum tidak mau pergi. Aku tidak boleh mengejutkannya, jadi aku harus meneleponnya sebelum berangkat untuk memberi tahunya kalau aku mau mengunjunginya.

"Kalau begitu, sekarang Kakak sudah sampaikan apa yang mau Kakak bilang, dia akan melakukan satu hal untuk Nakkun yang Nakkun mau dia lakukan."

"Bukankah itu berarti dia akan memberikanku sesuatu yang bermanfaat, dengan anggapan kalau aku akan mengunjunginya...? Aku masih harus bertanya pada Takane-san terlebih dahulu."

"Kakak yakin kalau itu pasti akan baik-baik saja. Karena Kakak sudah pernah melihat foto Nozo-chan dan Nakkun, dan Kakak tahu betul kalau kalian itu akrab."

"...Kakak seharusnya merasa malu pada diri Kakak sendiri karena melihatnya tanpa izin..."

"Iya, Kakak sedikit merasa malu ketika Kakak mengatakannya sendiri. Betapa indahnya, Nakkun sedang jatuh cinta. Kakak sudah puas hanya dengan jatuh cinta pada manga shoujo."

Karena dia masuk ke sekolah campuran sampai SMP, Kak Ruru dulu sangat populer di kalangan anak cowok, bahkan dari sudut pandangku sebagai adiknya. Ada beberapa orang yang ingin mengenalnya lewat aku.

Namun, meskipun dia diajak ke sebuah pesta yang ada banyak cowok setelah masuk ke sekolah khusus putri, Kak Ruru tampaknya masih belum punya pacar.

"Ada yang bilang kalau eggnog itu bagus saat kamu sedang demam."

"...Tidak, aku tidak akan membuatnya dan membawanya ke sana."

"Jadi Kakak tidak bisa lakukan apa-apa buat Nozo-chan?"

"Aku rasa dia akan senang dengan rasa kesepian itu, sungguh."

Aku penasaran apakah aku akan mampu untuk menghentikan semburan Kak Ruru ketika mereka bertemu empat mata suatu hari. Aku tidak merasa kalau aku dapat menghentikannya kalau aku bertarung dengannya secara langsung, jadi aku akan memintanya untuk santai saja padaku.

———————————————————————–

 Ketika aku bertanya pada Takane-san lagi apakah aku boleh menjenguknya, aku mendapat balasan ini.

[Terima kasih banyak, aku benar-benar senang.]

[Aku akan berhati-hati supaya tidak tertular, jadi beri tahu aku bagaimana menurutmu.]

Setelah pesan itu, Takane-san mengirimkanku sebuah peta (shareloc) ke rumahnya. Takane-san berangkat ke sekolah menggunakan KRL, jadi itu cukup jauh dari rumahku, tetapi itu masih jarak yang masih cukup dijangkau menggunakan sepeda.

Aku pikir aku harus menjenguknya setelah punya waktu yang sesuai, jadi aku bilang pada Takane-san kalau aku akan sampai sekitar pukul sepuluh pagi dan meninggalkan rumah keesokan harinya dengan banyak waktu untuk dihabiskan.

Perjalanan 40 menit bersepeda di jalur sepeda berlalu dalam sekejap mata ketika aku kira kalau aku sedang di jalan menuju ke rumah Takane-san.

–Namun, aku punya firasat akan hal ini dari saat aku melihat ke petanya.

Rumah Takane-san berlokasi di area perumahan kelas atas dekat Sentral Utara. Itu lebih luas secara langsung dari kelihatannya di peta, dan pada awalnya aku berjalan melewatinya tanpa mengetahui apa benar memang di situ rumahnya.

Aku berjalan balik dan mencoba untuk memeriksa plat namanya. Walaupun aku punya banyak waktu, aku tidak yakin apa yang sedang aku lakukan – Saat aku sedang memikirkan ini,

Seseorang ada di depan gerbang. Aku tidak menyadarinya karena orang itu mengenakan pakaian polos – Itu Sakai-san!

Segera setelah dia melihatku, dia mencoba untuk melarikan diri dari TKP. Berteriak di area perumahan memang mengganggu — Tetapi, aku tidak bisa cuma membiarkan hal ini sebagaimana saat ini.

"Sakai-san!"

"......!"

Aku menghentikan sepedaku, berlari dan menyusul Sakai-san. Dia menggunakan sepatu berhak, jadi memang tidak begitu sulit.

"...Jadi Sakai-san juga datang untuk menjenguk Takane-san... Apa benar, begitu?"

"Aku... Aku berada di kelas yang sama dengan Takane-san saat SD, jadi aku tahu di mana rumahnya, lalu... aku dengar kalau dia absen karena demam..."

"Kalau begitu kamu benar-benar menjenguknya.."

"Tidak masalah. Kalau Senda-kun datang, aku hanya akan mengganggumu, bukankah begitu?"

Memangnya akan begitu? Aku tidak merasa Sakai-san harus menahan diri dari menjenguk  hanya karena aku datang.

"Kalian berada di divisi OSIS yang sama saat SMP. Aku rasa itu wajar kalau kalian terdaftar di SMA yang sama, dan kamu mengunjunginya seperti ini... Tetapi aku penasaran..."

"...Te-Tetapi kami hanya berada di OSIS yang sama, belum cukup untuk disebut sebagai teman oleh Takane-san..."

"...Itu memang subjek yang sulit. Aku juga banyak kepikiran tentang apa itu teman sebenarnya."

"...Ada apa dengan itu?"

Sakai-san bilang dengan nada yang agak dingin – tetapi dia tertawa.

"Aku rasa sulit untuk percaya kalau masalah Senda-kun dan masalahku itu sama. Senda-kun itu... pacar Takane-san, dan aku cuma orang yang iseng buat Takane-san, berusaha untuk membuatnya bergabung ke OSIS."

"Tentang hal itu... Aku tidak merasa kalau Takane-san sudah memutuskan untuk tidak bergabung dengan OSIS. Itu cuma dia belum memutuskannya saja."

"Begitu... ya? Apa Takane-san pernah bilang tentang itu pada Senda-kun?"

"Takane-san, dia... Tidak, aku tidak boleh bilang tentang ini. Dia berganti klub dan bergabung dengan komite perpustakaan, semuanya karena satu alasan."

"Alasan... Ah, aku bukan orang yang pacar-pacaran atau semacamnya, tetapi setidaknya aku bisa membayangkannya."

Takane-san ingin bersamaku selama mungkin. Itulah mengapa dia bergabung dengan klub membaca dan komite perpustakaan.

"...Se-Seperti yang aku bilang, aku hanya akan menjadi penghalang kalau aku menjenguknya."

"Aku mau kamu ikut bersamaku, Sakai-san. Aku akan menjelaskan kalau kita bertemu di depan rumah."

"Me-Mengapa? Aku memang telah minta maaf pada Senda-kun, tetapi aku telah bertingkah sangat aneh sebelumnya, dan bahkan saat ini... Apa kamu tidak marah karena hal itu?"

"Aku tidak marah padamu karena hal itu, karena aku dapat mengerti alasanmu. Aku bukan orang yang akan marah karena alasan yang tidak masuk akal."

"...Hah~. Sebenarnya, aku hampir saja ingin pergi karena aku tidak punya keberanian untuk menekan bel rumah. Bukankah kamu seorang pacar yang licik? Kamu akan melakukan apa yang akan aku lakukan dengan sangat mudah."

Aku juga sangat kepikiran tentang itu sebelum aku datang ke sini, tetapi aku tidak memberitahukannya hal itu. Aku penasaran seberapa besar Sakai-san mengagumi Takane-san, sampai-sampai dia ingin pergi bahkan tanpa menekan belnya.

"Baiklah, aku tekan belnya."

"...Silakan. Jangan khawatir, aku tidak akan melarikan diri lagi."

Sakai-san berkata dengan pelan, dan dia berdiri kembali di belakangku, tampak gugup. Ngomong-ngomong, pagarnya cukup besar dan itu pagar besi bergaya Barat. Aku belum pernah mengunjungi rumah dengan pagar semacam ini.

Waktunya menunjukkan pukul 9.55 pagi. Aku menekan bel dan menunggu sebentar. Lalu, setelah beberapa lama, panggilannya terhubung.

[Iya, ini Takane.]

"Takane-san... ini Nagito Senda,"

[Nagito-san, jadi kamu benar-benar datang... Terima kasih banyak. Aku datang untuk menjemputmu sekarang.]

"Takane-san, kamu..."

Sebelum aku dapat mengatakan apa-apa, panggilannya terputus. Aku mendengar suara pintu terbuka ke sebuah taman yang menyebar keluar di dalam pagar, dan sebuah rumah besar di luarnya yang bisa dibilang sebagai sebuah mansion.

Takane-san telah datang dengan mengenakan kardigan di atas baju tidurnya. Aku diberi tahu kalau sedang tidak ada orang lagi di rumah ini, jadi dia tidak punya pilihan lain, tetapi aku  khawatir hanya dengan mendapati dia datang ke sini.

Pada akhirnya, kunci dibuka dari dalam dan pintunya terbuka. Wajah Takane-san sedikit memerah – aku dapat tahu pasti hanya dengan menatapnya kalau dia terkena demam, jadi demamnya masih belum pulih juga.

"...Nagito-san... Dan Sakai-san juga..."

"Kami bertemu di depan pagar. Sakai-san juga datang untuk menjenguk Takane-san..."

"...Takane-san, apa kamu baik-baik saja?!"

Takane-san tiba-tiba kehilangan keseimbangannya. Aku menangkapnya secara refleks – aku bisa tahu dengan jelas hanya dari itu, tubuh Takane-san semakin panas.

"...Maafkan aku... Aku hanya pening sedikit..."

"Kamu harus istirahat di ranjang. Aku akan menggendongku."

Takane-san menatapku dengan mata linglung saat aku menggotongnya. Dia mengangguk dengan lambat, dan aku mengantarnya dan menggendongnya ke rumahnya – pintu depan sudah terbuka ketika Takane-san datang, jadi Sakai-san membukakan pintu untukku.

"Maaf mengganggu... Apa ke kamar Takane-san tidak masalah?"

"...Iya... Kamarku itu...ada di lantai dua..."

"Senda-kun, apa kamu tidak masalah sendiri menggendongnya? Aku juga bisa melakukan sesuatu untukmu..."

"Jangan khawatir, Sakai-san bisa membantuku membukakan pintu lagi. Tanganku sedang bisa digunakan untuk itu."

"Bisakah kamu menaiki tangga sekarang? Kamu tampak kurus, tetapi kamu punya tenaga yang cukup..."

Dia bilang kalau itu sulit untuk menggendong orang yang sedang lemah, tetapi itu tidak begitu sulit karena Takane-san berpegangan padaku ketika aku mengangkatnya.

"Nnn..."

(-!?!?)

Aku berhenti berpikir sejenak – tetapi aku tidak bisa berhenti berjalan, jadi tanpa pikir panjang menaiki tangga ke lantai dua dan sampai ke kamar dengan plat nama yang tampaknya merupakan kamar Takane-san.

Karena postur di mana aku mengangkatnya ini, sesuatu yang seharusnya tidak bersentuhan menempel ke dadaku. Aku selesaikan menggendong Takane-san ini sesegera mungkin dan melupakan hal ini.

———————————————————————–

Aku menurunkan Takane-san dan membaringkannya ke ranjang, dan dia mendapatkan kembali kesadarannya tidak lama kemudian.

"Maafkan aku, Takane-san... Karena datang tanpa memberi tahumu."

"Tidak... Itu tidak masalah. Sakai-san sudah pernah datang ke rumahku, iya kan? Saat kita masih SD."

"Eh... Ja-Jadi kamu ingat..."

Takane-san menatap ke arah Sakai-san di ujung kamar dan tersenyum, pipinya naik. Lagi pula demam itu tampaknya menyakitkan, dan aku ingin menggantikan posisinya kalau aku bisa.

"Jarang sekali mendapati teman-teman mengunjungi rumahku, jadi ibuku senang... Bahkan waktu itu, Sakai-san membawakanku salinan ketika aku absen."

"Begitu..."

"...Aku tidak mengira kalau kamu akan mengingatku waktu itu... karena aku langsung segera pulang."

Dengan kata lain, Sakai-san adalah senpai-ku dalam hal menjenguk Takane-san.

Sakai-san yang seperti gyaru ingin sekali berteman dengan Takane-san sejak SD. Membayangkan peristiwa ini membuatku tersenyum – dan pada saat itu,

"...Andai saja aku berada di SD yang sama denganmu, Takane-san."

"Nagito-san..."

"...Bukankah itu luar biasa karena kamu dapat mengatakannya dengan blak-blakan? Aku merasa malu hanya dari mendengarkannya."

"Ah... Ma-Maafkan aku. Aku mendengarkan obrolan Takane-san dan Sakai-san, dan aku kepikiran hal itu."

"...Aku senang kamu merasa seperti itu. Aku, juga, akan menyukaimu lebih awal kalau kita berada di SD yang sama, Nagito-san... E-Eh, em..."

Itu merupakan sesuatu yang membuat malu yang sudah sampai ke batas maksimal – Ketika Sakai-san berbalik arah dan melangkah mundur, aku penasaran apakah itu bukan karena dia tertawa, tetapi karena suasananya.

"...E-Em... Sakai-san, terima kasih karena sudah mau datang jauh-jauh ke sini. Bisakah aku meminta tolong padamu untuk melakukan sesuatu untukku...?"

"I-Iya, apa itu? Aku akan lakukan apapun jika kamu tidak apa-apa dengan itu. Aku akan membuatkanmu bubur atau semacamnya."

"Bukan... Sakai-san, bisakah aku memintamu untuk kemari?"

Sakai-san berjalan menghampiri Takane-san, membungkuk dan mendengarkannya – Dia agak terkejut.

"Em... Senda-kun... Bisakah aku memintamu untuk tetap di luar di lorong?"

"Eh...? A-Ah! Maafkan aku, aku akan keluar sekarang juga!"

Pada awalnya, aku tidak mengerti. tetapi kemudian aku kepikiran tentang alasan mengapa aku harus ke luar menuju lorong dan itu akhirnya sampai padaku.

"Maafkan aku, Nagito-san. Aku ingin Sakai-san membantuku."

"Tunggu di sini sebentar dan aku akan memanggilmu saat aku sudah selesai."

Takane-san sudah banyak berkeringat, dan Sakai-san akan membantunya menyeka keringat itu. Aku langsung berjalan ke luar menuju lorong dan bersandar ke dinding dengan jarang sedikit lebih jauh dari kamar Takane-san.

"...Betapa senangnya... Aku bisa melihat wajah Takane-san."

Aku akhirnya merasa lega. Aku bersyukur karena mengikuti saran Kak Ruru untuk menjenguknya – Kalau saja aku tetap di rumah hari ini, aku mungkin akan menyesali hal ini.

Aku menatap ke ponselku dan melihat kalau Kak Ruru bertanya bagaimana keadaanku. Aku memberi tahunya kalau aku berhasil berjumpa dengan Takane-san dan kalau aku sedang menjenguknya sekarang, dan menunggunya sampai dia memanggilku ke kamarnya.


←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama