Bab 4Perang(Bagian 4)
"Hei, Mas! Bangun, woi!"
Maho menggeleng-gelengkan kepala Saito, sehingga membuat Saito kembali ke dunia nyata. Saat Saito sadar, ia menyadari kalau ia sedang duduk di bangku taman di halaman sekolah, dengan Maho dan Shisei berdiri di depannya.
"…Apa yang kamu mau?"
"Ada apa dengan sikap itu?! Kami telah memanggil Mas selama beberapa menit dari tadi, tetapi Mas mengabaikan kami! Apa itu yang Mas sukai?! Dasar Mas mesum!"
"Jangan paksakan kesalahpahaman yang aneh, Mas cuma melamun kok."
"Abang sudah melamun sepanjang pagi ini. Apa ada sesuatu yang terjadi?" Shisei bertanya.
"Tidak…"
Saito tidak bisa menyangkal itu sepenuhnya karena ingatannya dari tadi malam masih terlalu segar. Itu merupakan serangan mendadak yang tidak dapat dihindari Saito tepat waktu. Himari akhirnya melarikan diri dengan wajah memerah, meninggalkan Saito untuk menyelesaikan perjalanan belanjanya dalam kebingungan yang mutlak. Itu merupakan keajaiban, Saito bahkan berhasil pulang tepat waktu. Saito juga lupa membeli banyak barang, tetapi mana mungkin ia bisa tetap tenang setelah kejadian itu.
"Ah! Lihat wajah Mas, pasti ada sesuatu yang terjadi! Nah... aku tahu, Nih! Mas telah mencium Mbak, bukan?!"
"Bukan begitu!" Saito membantah dengan panasnya momen itu.
"Bukan begitu?! Kalau begitu siapa yang Mas cium?! Tunggu…Mas mencium Nenek?!" Maho terhuyung mundur.
"Mengapa Mas mah melakukan itu?!"
"Maksudku, usia dan ras tidak punya peran dalam hal cinta, bukan? Mas bisa saja punya hubungan romantis dengan kutu air."
"Kamu tentu saja tidak bisa!"
Maho terperangah.
"Apa kamu mengolok-olok kutu air?! Mas tidak akan maafkan kamu walaupun itu kamu, oke!"
"Mengapa Mas begitu dekat dengan kutu air?"
Apa hidupnya telah diselamatkan oleh kutu air atau semacamnya?
"Jadi, siapa yang Mas cium?"
"Tidak ada, harus dibilang berapa kali."
"Aku tidak percaya itu! Indra detektifku bereaksi! Pelakunya itu berwarna ungu!"
(TL Note: Thanos kah?)
"Penjahat macam apa itu?!"
"Abang, jujurlah." Shisei meraih dagu Saito.
Maho juga mengepalkan tangannya, saat mereka berdua mendekatinya.
"Kalian semua sedang apa?"
Tepat sekali, orang yang dimaksud muncul.
"Himarin! Waktu yang tepat, kami baru saja akan menyiksa Mas, jadi tolong bantu kami!"
"Aku lebih senang kalau tidak menyiksanya."
"Tidak apa-apa! Kita cuma akan biarkan Mas minum obat yang akan membuatnya merasa sangat baik, dan kemudian kita akan memberi Mas serangan gelitikan!"
"Kamu berencana untuk membunuh Mas?" Saito segera membuat rencana untuk melarikan diri dari keadaan itu.
"Tetapi tidak ada metode lain yang bisa kami lakukan untuk membuat Mas bicara..."
"Abang, beri tahu kami, siapa yang Abang cium?"
"…Ah, itu yang ingin kalian ketahui?" Himari duduk di sebelah Saito.
Himari mencondongkan tubuhnya ke depan lalu rambutnya berkibar ke bawah, tergantung di antara kedua pahanya.
"Himarin, kamu tahu sesuatu?"
"Hmm, aku mungkin tahu. Bisakah kalian tinggalkan kami sendirian sebentar?"
"Dimengerti! Pastikan untuk mendapatkan informasi dari Mas, ya!" Maho dan Shisei meninggalkan mereka.
Dengan begitu, cuma ada Saito dan Himari yang tersisa.
"……"
"……"
Keheningan yang canggung ini terlalu berlebihan, membuat Saito sulit bernapas. Karena kejadian ini terjadi sehari sebelumnya, Saito tidak tahu wajah macam apa yang mesti ia pasang saat bertemu Himari, namun mereka sekarang duduk bersebelahan.
"...Aku minta maaf soal ini, Saito-kun. Semua ini terjadi karena apa yang aku lakukan"
"Iya… kamu mengejutkanku, tentu saja."
"Aku tahu kalau aku seharusnya tidak melakukan itu, tetapi aku tidak bisa menahan diriku. Pikiranku jadi kosong, dan aku sangat menginginkanmu… aku langsung melakukannya begitu saja." Himari mengaitkan lengannya pada Saito, dan membawa tubuhnya lebih dekat pada Saito.
Himari mungkin tampak seperti cewek yang penurut, tetapi identitas aslinya itu sangat berbeda. Di dalam diri Himari, ada gairah kuat yang membara.
"Apa kamu... pernah mencium seseorang sebelumnya, Saito-kun?"
"Belum pernah."
"Begitu juga denganku. Kamu itu orang yang pertama buatku, jadi aku senang."
"Aku tidak sepenuhnya setuju dengan hal itu…" Saito menunjukkan senyuman pahit.
Semakin lama obrolan itu berlanjut, semakin jelas ingatan mereka dari malam sebelumnya. Saito masih dapat merasakan sensasi lembut itu, merasa seakan-akan ia telah tersedot. Bibir Himari menarik tatapan Saito. Himari mengetahui tatapan ini, dan mencibir.
"…Mau melakukannya lagi?"
"Tidak."
"Kita sudah melakukannya sekali, jadi dua atau tiga kali lagi tidak masalah, bukan? Kita bisa banyak berlatih dengan berduaan saja."
"Kamu itu cuma…"
Rayuan yang datang dari Himari begitu kuat sehingga Saito tidak dapat menemukan kata-kata.
"Aku suka kamu, Saito-kun." Himari meletakkan kepalanya di bahu Saito.