Bab 4Perang(Bagian 3)
Bahkan saat malam sudah bergulir, Akane tidak kunjung turun dari lantai dua. Saito telah berencana untuk menghabiskan hari itu dengan membaca, jadi ia tidak masalah dengan itu. Namun, Saito melihat ini sebagai sedikit penyesalan karena mereka tidak dapat menonton film-film itu bersama. Saito memutuskan untuk mengobrol dengan Akane, dan mengetuk pintu ruang belajarnya.
"… Akane, apa kamu tidak apa-apa? Kalau kamu tidak enak badan, aku bisa membawamu ke rumah sakit."
"Maaf, aku merasa baik-baik saja. Aku cuma...perlu menenangkan pikiranku."
Saito mendengar suara samar Akane dari balik pintu. Akane juga tidak tampak sangat marah, sehingga membuat Saito semakin khawatir.
"Apa aku mengatakan sesuatu yang membuatmu kesal? Kalau memang begitu, maka aku ingin meminta maaf..."
"Tidak perlu minta maaf. Aku akan pastikan untuk membuat makan malam, jadi beri aku sedikit waktu lagi."
"Aku juga bisa membuat makan malam sendiri kalau itu terlalu berat buatmu."
"Tetapi…"
"Tidak apa-apa, aku tidak menambahkan protein apapun. Kamu istirahat saja sana."
Saat Akane, yang terkenal dengan tenaganya yang tidak terbatas, merasa sedih, itu bahkan mempengaruhi kondisi kejiwaan Saito. Saito berpikir kalau menu yang seimbang didapatkan melalui trik dan memeriksa apa yang mereka punya di dalam kulkas. Sayangnya, Saito tidak punya bahan berharga yang tersisa. Cuma beberapa tauge, irisan wortel, dan sisa kubis. Dengan begini, Saito tidak dapat melakukan sesuatu yang berharga. Karena mereka berdua tidak bisa berbelanja bersama akhir-akhir ini, situasi makanan mereka saat ini tampak tidak terlalu baik.
—Aku rasa aku mesti belanja dulu…
Saito mengambil dompetnya dan melangkah keluar dari rumah. Langit di luar sudah menjadi gelap, lalu malam menyebar ke seluruh kota. Meskipun berjalan kaki melewati kerumunan orang dan mobil yang dilewati Saito, kota itu terasa sepi. Mungkin perasaan yang mencengkeram hati Saito ini lahir karena ia tinggal bersama dengan Akane. Dalam perjalanan ke kawasan bisnis terdekat, Saito melewati stasiun kereta. Itu merupakan alun-alun besar yang diterangi oleh lampu jalan. Beberapa orang duduk di bangku, punggung mereka meringkuk lalu mereka melihat ke ponsel mereka. Para pegawai yang melewati gerbang tiket bubar seperti sekelompok laba-laba.
Saito mendapati Himari dari dalam alun-alun itu. Himari mengenakan pakaian wanpis rajutan dengan sepatu bot panjang, dan berdiri di sekitar itu. Rambut pirang Himari yang indah dan penampilannya yang mencolok membuat dia menonjol bahkan di tengah keramaian. Tentu saja, tidak butuh waktu lama bagi beberapa pria berpenampilan bak pria flamboyan (playboy) untuk mendekati Himari.
"Hei Mbak, kamu ini benar-benar menarik perhatian, ya?"
"Apa kamu punya waktu sekarang? Mari kita pergi ke pantai kapan-kapan."
"Mari kita bersenang-senang dan mabuk, oke?"
"Aku ini masih seorang siswi, dan aku tidak suka hal semacam ini." Himari dengan blak-blakan menolak mereka.
"Ayolah, kamu mungkin menikmatinya?"
"Aku yakin ini akan menyenangkan, jadi bergabunglah bersama kami!"
"Kami bisa memberimu uang kalau kamu mau."
"Tidak butuh, tuh." Himari mencoba pergi, tetapi salah satu pria itu meraih lengannya.
"Dengan penampilanmu yang begitu, kamu pasti mengharapkan hal semacam ini terjadi, bukan?"
"Sudah ikut kami saja!"
Para pria itu mencoba menyeret Himari keluar dari taman. Tidak satu pun dari orang-orang yang melewati mereka yang berusaha membantu Himari, dan cuma mengalihkan pandangan mereka. Mereka mungkin tidak ingin terlibat.
—Para bajingan itu...!
Saito bergegas membantu Himari.
"Bisakah kalian membiarkan dia begitu saja?" Saito berkata.
"Kamu tidak ada hubungannya dengan ini, bukan?"
"Tersesat."
"Diamlah, dasar sampah."
Para pria itu memelototi Saito.
"Aku punya segala hak untuk terlibat dalam hal ini. Lagipula aku ini pacarnya."
"Hah? Pacar?"
"Jangan mengarang omong kosong belaka."
"Apa kamu memandang rendah kami atau semacamnya?"
"Tidak kok. Aku cuma mengatakan kebenarannya. Kami berdua itu pacaran." Saito menarik Himari lebih dekat padanya.
"…!" Jeritan samar keluar dari bibir Himari saat dia menempel pada Saito.
"Kalau kalian tidak meninggalkannya sendirian, aku akan pastikan untuk mencungkil bola mata kalian dan melemparkannya ke lautan yang tampaknya sangat kalian sayangi. Apa kalian tidak masalah dengan itu? Aku juga tidak keberatan." Saito memelototi para pria itu.
"A-Ada apa dengan masalah ini?"
"Ia itu gila!"
"Menjijikkan, ia itu sangat aneh."
Para pria itu menggerutu sambil berjalan pergi.
"Te-Terima kasih, Saito-kun…" Himari tetap terpaku pada Saito saat dia mengucapkan terima kasih. "Tetapi…bukankah itu terlalu berlebihan? Bagaimana kalau mereka melaporkanmu ke polisi?"
"Kamu pikir begitu? Itu merupakan metode hukuman yang cukup populer yang diwariskan turun temurun oleh Keluarga Houjo."
"Keluargamu itu menakutkan! Apa kalian itu seperti mafia?!"
"Cuma terhadap musuh kami. Dan kami tidak melakukan hal itu lagi akhir-akhir ini."
Saito memutuskan untuk tetap diam tentang fakta kalau mereka berhenti melakukan itu karena mereka berhasil mengembangkan teknik penghapusan ingatan atau rekonstruksi pribadi. Ditambah efek sampingnya juga bisa sangat parah.
"Apa yang kamu lakukan di luar rumah malam-malam? Ketemuan dengan seseorang?"
"Tidak, aku sendirian. Cuma iseng jalan-jalan."
"Sudah gelap, jadi mengapa kamu tidak pulang saja? Kalau tidak, lebih banyak cowok yang seperti itu akan mengincarmu."
"…Aku tidak bisa pulang."
"Apa kamu kehilangan kuncimu atau semacamnya?"
Himari mengangkat bahunya.
"Tidak juga… Saat orang itu ada di rumahku, maka aku tidak bisa berada di dekat mereka."
"Orang itu?"
"Istri…ayahku."
Saito segera menebak apa yang sedang terjadi.
"Ibu tirimu, ya?"
Himari mengangguk.
"Setiap kali dia ada di rumah, aku mencoba untuk mencari kesibukan dengan bekerja atau cuma jalan-jalan keluar rumah, tetapi dia tiba-tiba sedang istirahat dari pekerjaannya."
"Iya... itu masuk akal kalau kamu tidak mau berada di rumah." Saito setuju karena ia pernah mengalami hal yang serupa.
"Karena aku tidak punya uang untuk menetap di Mekdi atau warnet sepanjang hari, aku cuma bisa berjalan-jalan ke luar."
"Iya, aku mengerti. Aku juga akan menggunakan taman umum untuk menghabiskan waktu."
"Yap… aku ingat." Himari bergumam, diliputi nostalgia. "Setiap kali aku di rumah, itu cuma akan menyebabkan lebih banyak rasa sakit. Terutama karena aku merupakan sisa dari hubungan lama Ayah, aku cuma pengganggu."
Saito ingin menyangkal kalau Himari itu pengganggu, tetapi ia tidak berhak melakukan itu. Bahkan Saito, anak yang punya hubungan darah dengan orang tuanya, dibenci oleh mereka. Ada dinding yang tidak dapat dirobohkan meskipun ikatannya tebal.
"Apa yang kamu lakukan, Saito-kun?"
"Aku sedang berbelanja, kami kehabisan bahan makanan."
"Oh, itu agak mengejutkan. Padahal kamu itu seorang cowok."
"Tugas semacam ini itu tidak terbatas pada cowok atau cewek."
Terlebih lagi, Akane juga sangat menakutkan.
"Terima kasih telah menolongku. Aku sudah baik-baik saja sekarang, jadi kembalilah ke Akane, oke?" Himari tersenyum, tetapi senyuman itu tampaknya akan segera menghilang ke dalam kegelapan.
Mana mungkin Himari sudah baik-baik saja sekarang. Himari menginginkan tempat yang dapat dia tempati, tempat yang memberinya kedamaian. Saito tahu apa yang Himari sembunyikan di balik senyuman itu, dan tidak bisa membiarkannya pergi.
"…Aku akan tetap bersamamu sedikit lebih lama."
"Mengapa?"
"Aku tidak butuh alasan. Itulah hal yang ingin aku lakukan."
"…" Mata Himari gemetar.
Pipi Himari berubah menjadi warna kemerahan.
"…Kamu bilang kalau kamu mau berterima kasih padaku dengan sesuatu sebagai gantinya karena telah memainkan peran sebagai pacar palsumu, bukan?"
"I-Iya."
Saito bingung, merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Himari. Wajah Himari perlahan mendekati Saito. Aroma wangi dari parfum Himari...dan juga aroma bawaannya menyelimuti Saito. Himari perlahan membuka bibirnya, yang mengeluarkan napas yang samar. Lampu jalan di malam hari menyinari rambut Himari yang keemasan, dan dia tanpa diragukan lagi cukup cantik.
"Aku akan… suka ini." Himari memohon seperti anak kecil dan menempelkan bibirnya pada bibir Saito.
(TL Note: Dasar Pelakor.)