KuraKon - Jilid 5 Bab 3 Bagian 5 - Lintas Ninja Translation

Bab 3
Suara
(Bagian 5)

Akhir-akhir ini, Akane merasa seakan-akan dia dan Himari sedang mengobrol melewati satu sama lain. Kata-kata dan ekspresi Himari sama seperti sebelumnya, tetapi ada yang tidak beres. Sejak SD, Himari belum pernah menunjukkan ekspresi negatif di wajahnya, dan selalu tertawa dalam situasi apapun, tetapi selama beberapa hari terakhir ini, Akane tidak dapat menebak apa yang sebenarnya dirasakan oleh Himari. Oleh karena itu, saat Saito saat sedang tidak ada di rumah, Akane menggunakan kesempatan itu untuk mengundang Himari. Akane ingin mengobrol baik-baik dengan Himari, dan memastikan kalau ikatan mereka tidak putus.

Akankah dia datang, aku penasaran...?

Akane menunggu dalam ketidakpastian dan kecemasan lalu bel pintu berbunyi. Detak jantung Akane semakin cepat lalu dia bergegas ke pintu, dan membukakannya.

"Senang kamu bisa ke sini, Hima—."

Himari melompat ke arah Akane sebelum dia bahkan dapat menyelesaikan kalimatnya. Itu merupakan pelukan erat seakan-akan mengatakan kalau Himari tidak akan pernah melepaskan Akane lagi. Dan Himari tidak membiarkan Akane bergerak sedikitpun.

"He-Hei, apa yang merasukimu…?"

"Aku sangat senang kamu memanggilku… aku kira kamu bakal mulai membenciku!" Lengan Himari sedikit gemetaran saat dia memeluk Akane.

"Mana mungkin aku membencimu! Mengapa kamu mengira bakal begitu?"

Malahan, Akane-lah yang khawatir kalau dia mungkin telah menyakiti Himari.

"Karena aku pulang bersama Saito-kun pada kencan itu…bahkan mengajaknya ke rumahku sampai larut malam…aku takut kalau kamu bakalan marah padaku…"

"Tentu saja, aku tidak marah! Aku tahu kalau kamu melakukan ini demi kami! Apa yang kamu lakukan dan ke mana kamu pergi dengan Saito itu tidak ada hubungannya denganku!"

"Sungguh…?"

"Sungguh!" Akane menyatakan dengan sekuat tenaga.

Akane tidak dapat menyangkal fakta kalau dia merasa sedikit gelisah saat bilang begitu, tetapi dia memutuskan untuk menelan perasaan itu karena dia tidak ingin kehilangan sahabatnya. Yang paling Akane hargai di sini yaitu hubungannya dengan Himari.

"Syukurlah… aku sayang kamu, Akane."

"Aku juga sayang kamu."

Mereka berdua meletakkan tangan mereka di pipi mereka satu sama lain, dan tersenyum. Cuma dengan membuat Himari begitu dekat saja, Akane merasakan kehangatan yang menyenangkan memenuhi dadanya. Tidak peduli apapun situasinya, Akane tidak boleh kehilangan hubungan ini.

"Ini akan baik-baik saja, bukan…? Apapun yang terjadi, kita akan selalu menjadi sahabat…?"

"Ten-Tentu saja, apa yang kamu bicarakan?"

Akane mencoba meyakinkan Himari, tetapi saat dia mempertanyakan hatinya sendiri, dia tiba-tiba merasa cemas. "Tidak peduli apapun yang terjadi." Apa yang dimaksud Himari dengan itu? Akane ingin tahu tetapi juga tidak ingin tahu.

Tidak apa-apa, kami akan selalu bersahabat.

Akane menutup bayangan yang mengintai di lukanya dan mengajak Himari masuk. Untuk saat ini, Akane tidak mau memikirkan hal yang tidak perlu. Himari menyediakan waktunya sekarang, jadi Akane tidak ingin menyia-nyiakannya untuk hal lain.

"Apa yang mesti kita lakukan hari ini?" tanya Himari.

"Aku sudah beli banyak stroberi segar hari ini, jadi aku rasa kita bisa membuat kue mangkuk. Mau ikut denganku?"

"Tentu saja, tentu saja! Dan aku juga bawa teh herbal Darjeeling sebagai tambahan!"

"Itu akan sangat cocok dengan kue mangkuknya."

Mereka berdua mendiskusikan ini dan itu saat mereka mulai membuat kue mangkuk. Akane menambahkan beberapa krim mentah ke dalam mangkuk, mengaduknya sampai berbusa. Sementara itu, Himari menambahkan telur mentah ke mangkuk lain, serta gula pasir, mengaduknya. Walaupun mereka tidak membahas hal-hal secara langsung, mereka sudah selesai membagi peran mereka. Ini merupakan kerja sama yang telah mereka peroleh selama bertahun-tahun.

"Sudah aku duga, adanya kamu di sini merupakan hal yang terbaik, Himari."

"Aku benar-benar mengerti~! Kamu memang yang terhebat, Akane. Rasanya seperti kamu akan memaafkanku apapun kesalahanku!"

"Aku tidak akan memaafkanmu atas segalanya."

"Ah, ayolah. Maafkan aku."

"Oke, mau bagaimana lagi~."

Melihat senyuman Himari yang berseri-seri, Akane merasa seperti dia dapat dengan tulus memaafkan apapun kesalahan Himari. Mereka berdua memasukkan adonan ke dalam cangkir kecil dan memasukkannya ke dalam oven. Butuh waktu 15 menit lagi untuk menyelesaikan ini, jadi mereka duduk di dekat oven untuk mengawasi segalanya.

"Oh iya! Mari kita ambil foto lalu kita kirimkan ke Saito-kun!" Himari mengambil ponsel pintarnya dari meja dan mengambil foto kue mangkuk di oven, dan menambahkan beberapa kata tambahan.

"Hi-Himari…kamu dan Saito bertukaran identitas (ID)?"

"Hmm? Iya, beberapa waktu yang lalu."

"Beberapa waktu yang lalu?!" Akane benar-benar bingung.

Akane secara membabi buta beranggapan kalau, selain Shisei, dialah satu-satunya oleh yang punya alamat kontak Saito. Namun, Himari telah mendahului langkahnya.

Tukang selingkuh s*alan itu...!

Pemikiran itu terlintas dalam benak Akane, tetapi dia dengan cepat menggelengkan kepalanya untuk menyingkirkan hal itu. Saito tidak selingkuh dengan cara apapun, karena ia dan Akane bahkan tidak pacaran. Dan bertukaran informasi kontak sama saja dengan selingkuh merupakan jalur pemikiran yang menghujat, dari awal. Begitu Saito menjadi kepala Keluarga Houjo, ia mesti bertukar identitas (ID) dengan sekretarisnya dan bawahan lainnya, dan pasti ada banyak lagi wanita yang bercampur di sana.

Aku yakin ia pasti akan mendapatkan seorang sekretaris yang cantik dan seksi…! Saito itu tipe cowok yang begitu! Menjijikkan!

Cuma membayangkannya saja sudah membuat Akane mendidih karena marah.

"…Akane? Mungkin aku seharusnya menghapus ID Saito-kun saja, ya…?" Himari bertanya dengan nada khawatir, sehingga membuat Akane kembali ke dunia nyata.

Akane pasti memasang wajah yang buruk karena Himari beranggapan kalau Akane sedang marah.

"Ti-Tidak! Tidak usah! Selama Saito tidak terlalu mengganggumu…"

"Tentu saja tidak! Malahan, akulah yang mengiriminya pesan setiap malam!"

(TL Note: Pelakor.)

"Setiap malam?!"

"Iya. Tadi malam, aku mengiriminya foto tepat setelah aku keluar dari kamar mandi~." Himari menunjukkan layar ponselnya pada Akane.

Ada Himari, yang cuma mengenakan jubah mandinya, sambil dia duduk di lantai. Karena jubah Himari sangat pendek, pahanya terlihat jelas, dan kamu bisa melihat sekilas belahan dadanya. Pipi Himari juga memerah.

"Mengapa kamu tidak memberi tahuku?!" Akane meraih bahu Himari dengan air mata di matanya.

"A-Apa maksudmu?"

"Ia memerasmu, bukan?! Makanya ia memaksamu untuk mengirimkan foto mesum kapanpun ia mau, bukan?!"

"Tentu saja tidak! Aku merasa kalau aku mungkin dapat membuat jantungnya berdebar, jadi aku mengiriminya foto itu."

"Ka-Kamu melakukan sejauh itu…?"

"Tentu saja. Aku tidak dapat memilih metodeku untuk memenangkan cowok yang aku sukai. Iya, soalnya ia benar-benar mengabaikanku…" Himari menggaruk pipinya.

"Memaksa sahabatku melalui rasa malu dan perasaan malu begitu… aku tidak akan memaafkannya…!"

"Aku tidak apa-apa, sungguh. Selama ia tidak memblokirku, itulah yang terpenting. Ah, aku mendapat balasan!"

Pesan Saito muncul di ponsel Himari.

'Kalian sedang membuat kue? Bagus.'

Himari menyeringai sendiri saat membaca pesan itu.

'Aku buat bagianmu jadi tertutup. Dipenuhi dengan cinta, tentu saja.'

'Aku tidak butuh cinta.'

'Kalau begitu aku akan mengirimimu cinta sebelum itu!' Himari terus mengirimi Saito arus stiker hati yang tidak ada habisnya.

Saito membalas saat mengirim stiker tengkorak, dan spam stiker tidak berujung dimulai.

Apa-apaan ini?!

Bahu Akane gemetaran saat dia melihat mereka berdua dan percakapan mereka yang aneh. Akane dan Saito telah bertukaran informasi kontak beberapa waktu lalu, namun Saito belum pernah menghubungi Akane sekalipun. Setiap kali Akane mengirimi Saito pesan, ia akan memberikan tanggapan yang blak-blakan dan singkat, benar-benar memutuskan semua kontak. Namun, perbedaan macam apa yang Akane lihat sekarang? Mungkin Saito lebih menikmati obrolan dengan Himari. Mata Himari langsung terpaku pada ponselnya, jadi Akane mengurus kue mangkuknya, mengeluarkan kue itu dari oven dan mengeluarkannya dari cetakan. Setelah itu, Akane meletakkannya di jaring. Himari meletakkan ponselnya dan bergegas mendekat.

"Maaf membuatmu melakukan semua itu sendirian! Biarkan aku membantu."

"Tidak apa-apa…Aku tidak bisa apa-apa dalam hal mengobrol…Parameter obrolanku terlalu rendah…"

"Apa itu parameter obrolan?!"

Mereka menyimpan kue mangkuk itu agar dingin. Akane terus mengocok krim, dan Himari yang mendekorasi kue mangkuknya. Bahkan saat mereka melanjutkan pekerjaan mereka, Akane terus-menerus memperhatikan ponselnya, dan dia melirik ponselnya.

Mengapa Saito tidak mengirimiku pesan…? Ia setidaknya dapat memberi tahuku kalau ia berhasil sampai ke keluarga utama dengan selamat…

Namun, menghubungi Saito terlebih dahulu membuat ini tampak seperti Akane sedang kesepian.

'Kikikik...aku tahu itu, kamu kesepian dan ketakutan, bukan? Seperti yang aku bilang.'

Akane membayangkan seringai jahat Saito saat ia mengirimkan pesan itu, sehingga membuat Akane marah sekali lagi.

"Aku tidak kesepian!" Akane menghantamkan tinjunya tepat ke mainan empuk di dekatnya.

"Akane?! Apa yang terjadi?!" Himari menatap Akane dengan terkejut.

"Ti-Tidak ada apa-apa kok…" Akane mengambil mainan empuk itu dan meminta maaf.

Beberapa kapas keluar dari mulut mainan itu. Akane mesti memperbaiki mainan itu nanti saat dia punya waktu luang.

"Apa kamu…menunggu Saito-kun menghubungimu?"

"Bu-Buat apa aku begitu?!"

Himari memukul tepat sasaran yang membuat Akane memerah dengan marah.

"…Akane, apa kamu tahu lawan kata dari 'Suka'?"

"Itu 'Benci,' bukan?"

Itulah yang Akane rasakan terhadap Saito.

"Bukan itu."

"Ap…?"

"Lawan kata dari menyukai seseorang adalah bersikap acuh tak acuh terhadap mereka. Kamu tidak akan membenci seseorang yang tidak kamu pedulikan, bukan?"

"Itu... tetapi bagaimana dengan itu...?"

Untuk pertama kalinya, senyuman lembut Himari benar-benar membuat Akane ketakutan. Haruskah Akane benar-benar bertanya apa yang Himari coba katakan? Mungkin kebenaran yang mengerikan akan menantinya kalau Akane mengikuti utas itu. Karena beberapa alasan, lutut Akane gemetaran. Himari menghela napas.

"Mari kita tambahkan stroberi untuk bagian atasnya?"

"Iya…"

Akane kembali membuat kue mangkuk itu. Biasanya, Akane akan merasa senang dan bersemangat setiap kali dia melihat stroberi, tetapi baru hari ini, ada sesuatu yang aneh dari dirinya. Dan lebih dari itu, Akane masih kesal karena Saito tidak menghubunginya. Ponsel pintar Akane yang diletakkan di atas meja tidak mengeluarkan suara.

Aku yakin ia sangat bersenang-senang dengan beberapa cewek atau kerabat imut! Baiklah, kalau begitu jangan pernah pulang lagi!

Akane memelototi ponsel pintarnya seakan-akan memanggil sebuah pesan.


"Hari ini menyenangkan! Mari kita lakukan ini lagi!"

"Iya! Sampai jumpa!"

Himari melambaikan tangannya dengan senyuman yang berkilau saat dia meninggalkan teras depan. Bagian dalam rumah ini terasa jauh lebih gelap sekarang, karena matahari mulai terbenam. Berkat kehadiran Himari, Akane mungkin sudah lupa sampai saat ini, tetapi dia akan sendirian malam ini. Akane merangkul lengannya saat dia merasakan hawa dingin yang samar dan menuju ke ruang belajarnya.

Tetapi dengan adanya Saito, aku tidak bisa banyak belajar! Mungkin sekarang aku akhirnya dapat mendahuluinya!

Akane meletakkan segunung buku referensi di mejanya, menggenggam pena dengan erat, dan mengalihkan pikirannya ke mode belajar. Namun, Akane masih tidak dapat fokus karena suatu alasan. Rasanya seperti ada kekosongan besar di dalam hati Akane. Akane teringat akan obrolan hangat dan menyenangkan Himari dan Saito melalui teks dan melihat ke ponsel pintarnya. Akane membuka obrolannya dengan Saito, memeriksa beberapa kali apakah dia sudah mendapat pesan darinya atau belum.

Aku tidak… kesepian.

Akane memalingkan wajahnya dari ponsel pintar itu dan meninggalkan ruang belajarnya. Ingin mendapatkan ketenangan pikiran, Akane menuju ke lantai satu, ke dapur, dan menyeduh teh segar. Akane duduk di kursi dan meletakkan cangkirnya di meja. Teh yang dibawa Himari benar-benar enak, tetapi…

Aku penasaran apa yang akan ia pikirkan kalau ia meminumnya seteguk. Apa ia akan menceritakan kisah tentang daun teh, ataukah mungkin ia tidak dapat membedakan rasanya?

Pemikiran sederhana itu terlintas dalam benak Akane. Selama hari lain, Saito sekarang akan duduk di sofa di ruang tamu, dan membaca buku. Akane membaca buku referensinya, bertukar beberapa patah kata dengan Saito di sana-sini, berakhir dengan pertengkaran dengannya, dan kemudian menonton film bersama. Namun, Saito tidak ada di sana saat ini. Saito berada di suatu tempat yang jauh di sebuah apartemen yang mahal, dikelilingi dengan makanan lezat. Saito mungkin tidak peduli dengan Akane sama sekali.

Sejak kapan Akane selalu memikirkan Saito? Setelah pernikahan mereka? Tidak, bahkan sebelum itu. Sejak masa kelas sepuluh SMA mereka, Akane terus memikirkan cara untuk mengalahkan Saito setiap malam. Akane ingin menjatuhkan cowok yang sombong itu, semuanya agar Saito mengakui Akane.

Aku tidak kesepian.

Akane meneguk sisa tehnya dan kembali ke lantai dua. Dercit papan lantai menyakiti telinga Akane. Keheningan yang menyesakkan memenuhi rumah Akane, membuat itu terasa seperti semua umat manusia telah lenyap. Tepat setelah memasuki ruang belajarnya, mata Akane tertuju pada ponselnya. Tidak ada lampu berkedip untuk memberi tahu Akane tentang sebuah pesan. Akane mengebut aplikasi, dan dia bertemu dengan hasil yang sama. Frustrasi mulai muncul dari dalam diri Akane, lalu dia membuang ponselnya. Catatan Akane masih terbuka lebar, tetapi dia cuma meletakkan kepalanya ke atas meja, membenamkan wajahnya ke lengannya.

"Aku tidak… kesepian sama sekali." Akane bergumam dengan suara tangisan.


←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama