Bab 3Suara(Bagian 4)
Limusin Shisei telah berhenti di depan rumah mereka. Secara pribadi, Saito lebih suka naik alat transportasi resmi, atau setidaknya pengawalan dari keluarga Tenryuu, tetapi Shisei bersikeras untuk menjemput Saito. Cuma dengan memikirkan tentang didorong dan dipaksa masuk ke dalam mobil yang dikendarai oleh sopir pelayan itu saja sudah membuat Saito merasa pusing. Yang cukup mengejutkan, Akane mau mengantar Saito sampai ke depan pintu masuk.
"Aku akan berangkat."
"…………"
Saito cuma bermaksud untuk berpamitan pada Akane, tetapi Akane memasang ekspresi yang aneh. Akane mungkin khawatir akan ditinggal sendirian di rumah sebesar itu.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Apa maksudmu? Aku sedang sibuk, jadi berangkat saja sana!"
Kata-kata Akane tetap dingin seperti biasanya. Melihat tidak ada pilihan lain, Saito naik limusin itu dan berangkat ke kediaman utama Keluarga Houjo. Shisei sudah menunggu di dalam mobil, mengenakan gaun, cocok dengan ibunya, Reiko, yang mengenakan jas. Dengan Reiko ada di mobil itu, sopir pelayan untungnya tahu cara menghindari pengekangan, memungkinkan perjalanan yang senyaman mungkin.
Kediaman utama Keluarga Houjo mirip dengan kediaman samurai, memancarkan tekanan besar semakin dekat mereka. Dinding mortar putih membentang tanpa ujung, dengan atap bata berwarna hitam berkilau. Di luar gerbang megah, ada taman Jepang, dengan akumulasi keindahan. Cabang-cabang gelap dari pohon pinus melengkapi ikan koi yang berenang di kolam. Lorong papan menyebar ke segala arah mata angin, melewati sungai kecil dengan jembatan batu.
"Selamat datang kembali, Tuan Saito."
"Kami telah menunggu kedatangan Anda, Nyonya Reiko."
"Kami senang melihat Anda kembali, Nona Shisei."
Para pelayan kediaman berbaris di pintu masuk depan, dan menyapa kelompok itu. Mereka menerima tas tangan Reiko dan membantu Shisei melepas sepatunya dengan hati-hati. Reiko dan Shisei mungkin saja sudah terbiasa menjadi calon keluarga kerajaan, tetapi Saito, yang orang biasa saja, tidak dapat menghadapi semua ini.
"Aku ini tidak kembali, kalian tahu..."
Reiko mengangkat bahunya.
"Bagi keluarga utama, kamu itu putra dari tempat ini. Ayah juga mencoba mengadopsimu berkali-kali, ingat?"
"Iya… dan aku selalu bilang tidak sebelum pemikiran itu membuatku takut."
Tenryuu bersedia membiayai kehidupan cucunya sebanyak yang ia mau, jadi kalau ia juga akan mendapatkan hak asuh atas Saito, semuanya akan berakhir. Saito mungkin akan diseret ke pesta demi pesta setiap malam, dibawa terjun lenting (bungee jumping) dari helikopter tanpa tali tambang. Walaupun orang tuanya tidak menyayanginya, itu jauh lebih baik ketimbang apapun yang dilakukan oleh Tenryuu.
"Abang, mari kita berski."
Shisei melompat-lompat ke lorong yang dipoles dengan baik dan meluncur ke lantai dengan perutnya. Semua pelayan menjerit keras di sepanjang barisan "Nona, tolong berhenti sekarang juga!" atau "Itu bukan makanaaaan!!" tetapi Shisei tidak keberatan dan cuma melirik Saito. Shisei menyuruh Saito untuk bergabung dengannya.
"Baiklah kalau begitu!"
Saito mengikuti Shisei dan meluncur di lantai. Bagi siapapun yang merupakan bagian dari dunia bisnis keuangan ini, rumah ini mungkin sarang singa, tetapi bagi mereka berdua, rumah ini cuma rumah kakek mereka. Aula besar yang berfungsi sebagai lokasi perjamuan itu semewah dan boros seperti yang kalian harapkan, seukuran satu kamar di sebuah istana. Gorden lipat dari emas tempa bergambar naga atau harimau, dengan ornamen emas menggantung di langit-langit. Tenryuu duduk di kursi ketua, dan sudah minum.
Di sebelahnya, ada adik sepupunya Shizu. Beliau sudah mencapai usia 70 tahun yang luar biasa, namun kecantikan bawaannya membuatnya sulit untuk menebak usianya cuma dari penampilannya. Karena beliau masih tampak sama persis seperti pada saat Saito pertama kali melihat beliau, Saito mulai melihat beliau sebagai jenis binatang abadi.
"Hei, Saito, Shisei! Duduklah di sini!" Tenryuu memberi isyarat pada mereka, jelas sedang dalam suasana hati yang baik.
"Aku lebih suka tidak duduk di sebelah pemabuk."
"Kami semua akan mabuk malam ini! Sudahlah menyerah saja."
Karena Tenryuu telah memutuskan ini, tidak ada gunanya berdebat. Apalagi tidak di depan keluarga dan tamu utama pada malam itu, jadi Shisei dan Saito mendekati Tenryuu.
"Sudah lama, Selamat atas ulang tahun Nenek yang ke-70."
"Selamat. Mudah-mudahan, Nenek dapat terus bersama kami dalam waktu yang lama."
Baik Saito maupun Shisei menyerahkan kado mereka, sehingga membuat Shizu tersenyum.
"Terima kasih. Nenek kira Nenek dapat terus hidup selama ribuan tahun lagi."
"Ha ha ha, itu benar-benar tidak terdengar seperti lelucon saat kamu mengatakannya!" Tenryuu tertawa, tetapi Saito cuma bisa setuju. "Jadi, di mana istrimu? Apa dia masih belum datang?"
"Akane tidak akan datang hari ini. Dia itu terlalu malu untuk diperkenalkan pada kerabat kita."
"Ya ampun, itu sangat menggemaskan." Shizu terkekeh.
"Kalian berdua akur? Kapan Kakek dapat mendambakan cicit Kakek?" tanya Tenryuu.
"Tidak dalam waktu dekat. Pernikahan itu memang syaratnya, tetapi kami tidak berada dalam hubungan yang seperti itu."
"Mengapa kalian menyia-nyiakan waktu kalian? Kalian itu pengantin baru, ingat? Ini merupakan waktu terbaik dalam hidup kalian. Kalian paling tidak sudah mandi bersama, bukan?"
"Kami belum!" Saito merasakan darah mengalir deras ke kepalanya.
Kalau semuanya sudah berjalan jadi seperti ini tanpa perjamuan dimulai, Saito mungkin harus mempersiapkan dirinya untuk beberapa rasa malu yang pasti nanti di malam hari.
"Biarkan saja, Tenryuu. Anak-anak muda zaman sekarang itu cukup sensitif." Shizu membungkam si kakek pemabuk.
Di dunia zaman sekarang ini, satu-satunya yang dapat melawan Kaisar Tenryuu itu Shizu. Mungkin itu sebabnya kerabat lainnya sangat percaya pada Shizu.
"Tidak bisakah Nenek Shizu juga memarahi Kakek karena telah memaksa cucunya menikah tanpa persetujuan darinya?" Saito memohon pada Shizu.
"Nenek sudah memberikan Kakekmu sedikit pemikiran Nenek sejak awal. Iya, Nenek memilih untuk mengikuti Tenryuu selama sisa hidup Nenek, jadi Nenek seharusnya tahu apa yang Nenek hadapi."
"Nenek tidak menentangnya?"
"Chiyo mungkin cuma orang biasa saja lima puluh tahun yang lalu, tetapi sekarang dia itu nyonya dari Keluarga Sakuramori, yang dapat menyipitkan matanya pada aset negara. Tidak ada ruginya kalau kedua keluarga kami mencapai kesepakatan bersama. Pastikan untuk menjaga istrimu dengan baik, oke?"
Tenryuu mungkin telah bertindak dengan alasan pribadi, tetapi Shizu selalu memikirkan manfaat dan kehormatan bagi Keluarga Houjo. Saito juga tidak tertarik, tetapi ia juga tidak berniat melawan dua individu yang berpengaruh ini. Shizu melanjutkan.
(TL Note: Ini cuma opini pribadi Mimin, mungkin Tenryuu itu juga punya kehidupan yang sama dengan Saito dulu, perempuan yang akan istrinya Tenryuu itu bagaikan Akane, Chiyo itu bagaikan Himari, dan Shizu itu bagaikan Shisei, sementara yang hubungannya sama dengan Maho belum kami temukan, sekali lagi, ini cuma opini pribadi Mimin, jangan dipedulikan.)
"Nenek beranggapan kalau kamu pada akhirnya mungkin akan menikah dengan Shisei, kamu tahu?"
"Hah, mana mungkin…" Saito menunjukkan senyuman pahit saat ia melihat ke arah Shisei.
"……!" Wajah Shisei jadi merah padam.
"Ada apa?" tanya Saito.
"Apa maksud Abang?"
"Maksud Abang, wajahmu itu memerah..."
"Tidak ada apa-apa sama sekali kok. Shisei cuma memakan sejumput cabai merah utuh, cuma itu."
"Bagaimana kamu dapat menyelundupkan benda itu ke sini?"
“Shisei itu kan penguasa ruang dan waktu, aku dapat membawa benda apapun dari dunia paralel ke dunia kita kapan saja."
"Kalau kamu punya kekuatan yang luar biasa, mungkin kamu harusnya gunakan untuk sesuatu yang lebih berharga, oke?"
Mengapa kamu membatasinya pada cabai merah?
(TL Note: Ah imut amat muka Shisei yang sedang tersipu ini.)
"Apa kamu merasa malu?"
"Sama sekali tidak kok." Shisei berjalan ke bangkunya dan duduk di bantal lantai.
Shisei mungkin mencoba untuk mendapatkan kembali ketenangannya, tetapi telinganya menjadi merah padam, dan tubuhnya gemetaran. Saito belum pernah melihat Shisei sebingung ini sebelumnya, itu sudah jelas. Saito maju dan duduk di sebelah Shisei.
"Itu cuma bercanda, jangan khawatirkan itu."
"…Jadi Abang tidak memikirkannya sama sekali?"
"Ini jauh lebih baik daripada Kakek yang terus-terusan melecehkan Abang."
"…Oh begitu."
Tinjuan kecil Shisei menghantam tepat ke mulut Saito. Meskipun Saito tidak mengalami kerusakan langsung, Shisei terus memegangi sehingga Saito tidak dapat bergerak. Selain itu, Shisei bahkan mendorong dan menyeret tinjunya.
"Me-Mehh...Apa yang kamu..." Saito mengerang.
Shisei menarik kembali tinjunya, dan menyandarkan kepalanya ke pangkuan Saito.
"Shisei meminta Abang untuk mengusap kepalaku."
"Abang tidak keberatan, Abang rasa…" Saito agak bingung tetapi tetap setuju untuk memberikan pelayanan yang Shisei minta.