Bab 1
Rumor
(Bagian 5)
Sudah tiga hari berlalu sejak rumor tentang Saito dan Akane yang mungkin tinggal bersama menyebar. Saat ini, pasokan makanan darurat di rumah mereka sudah semakin menipis. Karena mereka tidak tahu kapan dan di mana teman-teman sekelas mereka mungkin akan melihat mereka, mereka jadi tidak bisa untuk berbelanja dengan benar, apalagi meninggalkan rumah bersama-sama. Jalan-jalan singkat juga bukan pilihan, tidak dapat membiarkan mereka berdua punya kehidupan yang layak. Meskipun Saito dan Akane berhasil berbaikan setelah perkelahian mereka sebelumnya, hari-hari mereka terasa tegang seperti sebelumnya.
"Sebentar lagi… kita akan kehabisan beras… Kita akan mati kelaparan!"
Akane melirik ke dalam bakul dengan matanya diwarnai keputusasaan.
"Kita tidak akan mati kelaparan."
"Saito, apa kamu sudah berpengalaman dalam budidaya padi...?"
"Tidak perlu begitu. Dan sepertinya kita juga tidak akan berhasil tepat waktu."
"Jadi ini sudah terlambat…Dunia sudah akan kiamat, ya…" Akane memeluk tempat sampah dan meneteskan air mata.
"Tahan dirimu dulu, oke. Aku cuma perlu beli beras dari toko serba ada terdekat."
"Harganya itu 1,5 kali lipat dari harga beras pasar swalayan pada umumnya! Kita akan bangkrut!"
"Kita itu tidak semiskin itu!"
Mereka menerima uang dengan jumlah yang lebih dari cukup dari Tenryuu untuk menutupi biaya hidup mereka.
"Kalau kalian kehabisan beras, buat kue saja sana, nyam nyam." Shisei mengisi pipinya dengan semangkuk nasi putih.
Shisei masih ada sisa nasi jagung yang menempel di kedua pipinya, mengunyah itu tanpa rasa penyesalan. Belum lagi porsinya untuk posisi beberapa orang.
"Ini salahmu, kita kehabisan beras, ingat?"
"Shisei sangat menyesal menyelinap ke sini untuk makan lima kilo nasi."
"Di mana kamu menyimpan semua makanan itu?"
"Shisei bahkan dapat memakan sebuah tank."
"Apakah kamu itu Godzilla?"
"Shisei akan bertanggung jawab dan jadi darah dan daging Abang." Shisei duduk di lantai dan menyatukan kedua tangannya seperti sedang berdoa.
Akane menatap Shisei sambil kaget.
"Jangan bilang… kalau Keluarga Houjo itu mempraktikkan kanibalisme?!"
"Bisakah kamu berhenti mengarang omong kosong itu?!"
"Abang…memangnya Abang tidak mau makan Shisei…?" Shisei berbisik dengan nada yang menggoda, sambil menarik kemeja Saito.
"Tidak mau."
"Abang juga bisa makan aku dengan ditambah banyak krim. Shisei tidak keberatan dengan permintaan apapun yang Abang punya."
"Saito…? Apa kamu sudah biasa memakan adik sepupumu dengan tambahan krim? Kamu sudah gila!"
"Abang benar-benar gila."
Akane melompat menjauh dari Saito, dengan Shisei yang berjongkok. Sekali lagi, reputasi Saito mendapat pukulan telak. Dan jika itu masih belum cukup buruk...mereka tiba-tiba mendengar suara berdecit datang dari lantai atas.
"?!" Akane secara alami terdiam.
Wajah Akane menjadi pucat, saat dia menatap ke langit-langit.
"A-Apa kamu... dengar suara yang barusan...?"
"Iya. Itu mungkin cuma tikus atau semacamnya."
"Itu pasti penyusup! Semua orang dari kelas kita menyelinap ke rumah kita!"
"Apa kamu benar-benar berpikir kalau orang-orang itu akan melakukan pelanggaran sampai sejauh itu?!" Saito membalas, tetapi Akane sudah kehilangan semua akal sehatnya.
"Aku harus menyingkirkan mereka…Setiap orang pun dari kelas kita…!"
Akane menyerbu keluar dari dapur, dan Saito mengejarnya. Tidak ada yang tahu apa yang akan Akane lakukan dalam keadaan ini.
"Di mana…? Di mana mereka…? Aku tidak akan membiarkan kalian kabur…" Akane berlari menaiki tangga, memeriksa ruang belajarnya sendiri, dan diikuti oleh ruang belajar Saito, serta ruang kosong di lantai yang sama.
Mata Akane yang haus akan darah menatap ke mana-mana, karena dia mirip iblis yang haus darah. Kalau Akane kebetulan bertemu dengan penyusup, dia mungkin akan segera membantai mereka saat melihat itu. Saat mereka masuk ke kamar tidur, mereka melihat selimut di ranjang yang tampak besar.
"Ada seseorang… yang bersembunyi di bawah sana, bukan?"
Untuk jaga-jaga sebagai tindakan pertahanan diri, Akane membawa tongkat pemukul logam.
"Aku rasa tidak begitu?"
"Aku bisa tahu! Sembunyi itu sia-sia, jadi tunjukkan diri kalian!"
Akane mengayunkan tongkat pemukul logam dengan kekuatan yang sedemikian rupa sehingga menembus angin dan menciptakan penyok di ranjang. Akane kemudian melepas selimut, memastikan apa ada sesuatu di bawahnya, dan menghela napas lega.
"Bagaimana kalau seseorang benar-benar bersembunyi di bawah itu?!"
"Bunuhlah sebelum terbunuh! Kalau perlu, Kita akan hidup dalam Zaman Negara-Negara Berperang!" Akane menyatakan itu tanpa penyesalan.
"Perang itu sudah lama berakhir. 400 tahun yang lalu, tepatnya."
"Zaman Negara-Negara Berperang-ku itu masih belum berakhir!"
"Baiklah, baiklah! Singkirkan saja tongkat pemukul sialan itu, oke!"
Kalau Akane terus mengayunkan senjata pembunuh itu, dia mungkin akan memenggal Saito dalam prosesnya. Akane memukul ranjang itu sekali lagi, tak lama dia memastikan saat dia mendekati jendela dan dengan samar membuka gorden.
"Sa-Saito, lihat!"
"Apa lagi sekarang?" Saito mendekati Akane saat dia sedang menunjuk orang asing di luar.
"Mereka melihat ke arah kita! Pasti dikirim oleh teman-teman sekelas kita."
"Apa ini gambaran yang kamu punya tentang kelas kita? Mereka tidak akan mengirim seorang pembunuh untuk mengejar kita."
"Itu mungkin saja…"
"Tentu saja tidak mungkin. Pikirkan lagi tentang itu, mana mungkin nenek-nenek itu dapat membunuh seorang pria."
Akane menunjuk ke seorang nenek yang pasti sudah berusia 80-an. Dia menaiki kursi roda elektronik dengan kecepatan 20 km/jam. Namun, Akane masih tampak ragu, atau setidaknya sedikit.
"...Dia pasti seorang pembunuh!"
"Aku terus menyuruhmu untuk tetap tenang!"
"Aku sudah tenang, memikirkannya lagi, dan masih sampai ke kesimpulan yang sama!"
"Itu... menakutkan." Saito merasakan keringat dingin mengalir di tulang punggungnya.
"Itu pasti semacam riasan khusus. Dia mungkin tampak seperti nenek, tetapi dia bisa jadi balita di dalamnya…"
"Balita itu tidak akan jadi ancaman."
"Itu mungkin tiruan (klon) balita, tetapi dikendalikan oleh seseorang yang berusia dua puluh tahunan. Itu merupakan senjata biologis rahasia. Pemerintah mengincar kita. Kita akan terbunuh."
"Kamu sudah gila, ya?!" Saito dengan agresif mengguncang bahu istrinya, yang sudah benar-benar gila.
Namun, Akane sepertinya sudah tenggelam dalam pemikirannya, tidak menunjukkan tanda-tanda pemikiran yang masuk akal. Ketakutan dan emosi negatif yang memenuhi diri Akane telah merampas pilihan itu.
"Dan juga, apa yang akan diterima oleh orang-orang dari kelas kita kalau mereka membunuh kita?"
"Sekarang kalau dipikir-pikir lagi... mereka cuma menginginkan bukti bahwa kita berdua tinggal bersama..."
"Benar, kan?" Saito menghela napas lega setelah ia melihat sedikit alasan kembali ke Akane.
"Kalau mereka tidak ada di dalam rumah kita, lalu…? Saito, apa kamu memancarkan gelombang radio yang aneh?"
"Tidak, aku tentu saja tidak!"
"Kamu berbohong! Jadi selama ini kamu itu mata-mata musuh, ya?! Ada alat sadap di dalam pakaianmu!!" Akane menuju ke arah Saito dengan mata berkaca-kaca.
Akane mencoba merobek kemeja Saito. Saito terpeleset dan mendarat di bokongnya, dengan Akane berada di atasnya. Akane menekan paha Saito ke bawah agar tidak ada jalan keluar sambil membuka kancing kemeja Saito dengan sekuat tenaga.
"Lihat saja kamu... Aku akan mengungkap alasan rapuhmu..."
"Bukankah kamu itu sangat menentang pelecehan seksual?! Standar ganda macam apa ini!"
"Apa yang aku lakukan ini bukanlah pelecehan seksual! Ini penyiksaan!"
"Itu bahkan lebih buruk! Tidak bisakah kamu berhenti?!"
Tepat saat Saito berhasil mendorong Akane sedikit, ia mendengar suara cekrikan kamera. Maho berdiri di pintu masuk ruangan itu, dan mengambil foto bukti.
"Mbak dan Mas melakukan hal-hal mesum di siang bolong! Aku harus mengunggahnya ke Insta!"
"Eeeeek?!" Akane segera menyingkir dari Saito. "Ka-Kamu salah! Kami tidak melakukan sesuatu yang mesum, Mbak cuma mencoba mengulitinya!"
"Jangan coba mengulitiku hidup-hidup!"
Namun Maho mengangguk seakan-akan dia tidak peduli sama sekali.
"Oke, aku mengerti. Tetapi keperjakaan Mas itu punyaku, oke!"
"Kamu tidak mengerti sama sekali!"
Disaksikan pada saat yang menegangkan seperti itu, wajah Akane jadi merah padam.
"Kapan kamu datang kembali? Mas tidak mendengar suara bel pintu berbunyi…" Saito mengambil inisiatif.
"Mengapa aku harus melakukannya? Ini kan rumahku juga!"
"Mas tidak merasa kalau ini rumahmu juga...?"
Shisei juga punya kunci cadangan untuk rumah ini, yang membuat Saito khawatir kalau keamanan di rumah ini itu terlalu rendah. Saito juga tidak terlalu berniat untuk menghabiskan waktu berduaan dengan Akane, tetapi ia merasa kalau privasi di rumah ini sangat kurang.
"Himarin juga ada di sini!"
"Aku masuk, ya!" Himari menampakkan wajahnya dari belakang Maho.
"Ah…" Ekspresi Akane mulai tegang.
"Karena rumor kalian berdua tinggal bersama, semuanya jadi sangat berantakan, ya? Kami datang ke sini dengan harapan untuk berusaha mematahkan rumor itu."
"Maho, kamu ini…" Saito terkejut melihat begitu banyak perhatian dan kebaikan dari Maho.
"Mana mungkin aku mengabaikan sesuatu yang begitu menarik—sangat merepotkan."
"Sialan kamu…" Saito menggosokkan kedua tinjunya ke kepala Maho yang membuatnya menjerit kesakitan.
Namun, Maho tampak tertawa dan menikmatinya sendiri. Setelah itu, Saito melirik ke arah Himari.
"Iya… sepertinya aku harus minta maaf padamu."
"Hah? Mengapa?" Himari mengedipkan matanya dengan bingung.
"Aku merahasiakan fakta bahwa aku dan Akane tinggal bersama. Aku tidak bermaksud untuk menipumu, tetapi memang tidak ada cara lain."
Himari dengan panik melambaikan tangannya ke arah depan.
"Kamu tidak bersalah sama sekali! Lagipula, aku juga punya firasat kalau ada sesuatu yang terjadi di antara kalian berdua."
"Benarkah?" tanya Saito.
"Iya! Bekal makan siang kalian selalu sama, aroma rambut kalian seperti dari sampo yang sama, dan kamu Saito* sepertinya juga akrab dengan rumah ini. Itu cukup jelas."
(TL Note: Gak tau apa ini kesalahan penulisan cerita atau penerjemahan ke bahasa Inggris, di situ tertulis nama "Akane", kami putuskan untuk ganti ke "Saito", karena kita sama-sama tahu, kalau Himari pernah datang ke rumah ini sebelumnya sebagai rumah Akane, lihat Jilid 3.)
"Astaga..." Saito memegangi kepalanya.
Saito beranggapan kalau mereka telah melakukan tugas yang cukup baik dalam menyembunyikan pernikahan mereka, tetapi ternyata itu tidak sepenuhnya benar. Ditambah lagi, Himari selalu peka dan cepat dalam menangkap hal sekitar.
"Dan juga, alasan kalian berdua tinggal bersama itu karena beberapa keadaan rumit memaksa kalian, bukan? Bukan karena kalian berdua saling suka."
"Bagaimana kamu bisa tahu?"
Untuk berpikir kalau Himari telah mengerti bahkan sampai sedetail itu.
"Akane pernah meminta saranku, dia bilang 'Seandainya keluargamu memaksamu untuk menikah dengan seseorang yang tidak kamu cintai, bagaimana cara kamu mengatasinya?', kamu tahu."
(TL Note: Kalau yang ini silakan kembali ke Jilid 1 untuk detail lebih lanjut.)
"Akane…" Saito memelototi Akane dengan jijik.
"A-Aku memang bilang begitu, tetapi cuma 'Seandainya', oke!"
"Jangan minta saran padanya sejak awal, oke!"
Akane-lah orang yang membocorkan informasi ini sejak awal, sepertinya.
"Mengetahui kamu itu putra dari Houjo Group yang terkenal, aku merasa kalau ini itu pernikahan melalui perjodohan, Saito-kun. Aku mengerti kalau kamu tidak dapat memberi tahu orang lain tentang keadaan keluargamu."
Melihat betapa baik dan berpemikiran terbukanya Himari, rasa bersalah Saito semakin bertambah. Saito memutuskan akan lebih baik untuk mengungkapkan semuanya sekaligus.
"Ini bukan pernikahan yang terpaksa. Kakekku dan neneknya Akane punya rasa saling suka ketika mereka masih muda, tetapi mereka tidak dapat bersama. Untuk mewarisi perasaan nakal mereka berdua, mereka sekarang memaksakannya pada cucu-cucu mereka."
"Aku mengerti. Jadi pada dasarnya, sama sekali tidak ada rasa cinta di antara kalian berdua?"
"…Iya."
Himari mendorong tubuhnya ke arah Saito. Mereka sampai jarak yang hampir menyentuh bibir mereka. Aroma wangi namun sangat bergairah merangsang hidung Saito, dan membungkusnya.
"Itu artinya… aku masih punya kesempatan, bukan?"
"Emm…" Saito berusaha memberikan jawaban, tetapi Akane mengintervensi.
(TL Note: Cemburu nih ye!)
"Ma-Mari kita turun saja, oke?! Tidak ada gunanya kita berdiri sambil mengobrol di sini! Aku akan buatkan teh untuk kita semua!"
"Kami juga membawa kue! Aku dan Himarin membelinya dalam perjalanan menuju ke sini~." Maho berlari ke bawah dengan kaki yang enteng, dan Akane pun mengikutinya.
Meskipun begitu, kalau mereka meninggalkan kue di lantai pertama, itu mungkin sudah jadi korban Shisei. Dan lagi, itu lebih baik daripada tetap di kamar tidur dari semua tempat.
"…Aku rasa kita harus pergi dari sini?"
"…Iya." Himari berkata sambil menatap ke ranjang pasangan itu.