Bab 1Rumor(Bagian 4)
...Namun, pemikiran semacam itu memang lebih dari naif. Setelah turun di pemberhentian terakhir, mereka berakhir di suatu tempat jauh di pegunungan. Tidak ada orang lain selain mereka di sana, dan rumah-rumah pemukiman telah lama menghilang. Cuma hutan lebat dan bendungan yang tersisa. Belum lagi bus yang mereka tumpangi telah pergi, dengan bus yang berikutnya akan tiba pada siang hari di esok hari.
"Kita... ada di mana?!"
"New York?" Shisei memiringkan kepalanya dengan bingung.
"Abang cukup yakin kalau ini bukan New York."
"Benarkah…? Bisakah Abang mengatakan itu dengan lebih percaya diri…?"
"Abang berani bertaruh dengan sejumlah uang untuk hal itu, oke."
Saito tidak ingat kalau ia telah layar melintasi lautan. Bus tadi juga tidak dilengkapi baling-baling atau alat penerbangan lainnya. Itu merupakan bus lokal rata-rata yang berkendara di jalanan.
"Kamu dapat memesan penginapan di luar sana, Shisei?"
"Tidak."
"Abang rasa kita cuma bisa berjalan kembali dari sini…?" Saito terdengar menelan ludah.
Dengan bus saja, perjalanan ini menghabiskan waktu tiga jam, belum lagi dengan banyak tanjakan dan turunan saat mereka masih naik bus di jalanan gunung. Berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi mereka untuk berjalan kembali sejauh itu? Namun Shisei tampak tidak keberatan dengan semua itu, dan cuma mendorong genggaman tangannya.
"Semangat!"
"Kamu cuma akan berjalan tepat di sebelah Abang, mengerti?!"
"Shisei tidak bisa berjalan. Aku menembakkan peluru ke jantungku sambil melindungi Abang."
"Yah, kalau kamu sudah meninggal, berarti Abang dapat meninggalkanmu di hutan sini, ya?"
"Abang itu sangat kejam. Setidaknya ambillah tulang belulang Shisei."
Saat Saito mulai berjalan ke depan, Shisei mengunci kemejanya dan menariknya. Shisei bahkan tidak keberatan dengan fakta kalau pakaiannya jadi kotor.
"Ini malah semakin membuat Abang lelah. Tidak bisakah kamu setidaknya berjalan dengan normal?"
"Shisei cuma mau dimanjakan oleh Abang…apa itu berlebihan?" Mata Shisei berbinar dengan polos saat dia menatap Saito seperti peri.
Tidak ada satupun manusia yang dapat menahan keinginan untuk melindungi Shisei.
"Ini cuma karena kamu merengek-rengek…" Saito berjongkok dan membiarkan Shisei naik ke punggungnya.
"Abang telah bilang apa yang Abang mau, tetapi Abang masih saja tidak akan membantah Shisei, ya?"
"Abang mungkin akan meninggalkanmu di sini untuk selamanya."
"Abang tidak akan pernah melakukan hal itu. Abang sangat menyayangi Shisei, bukan?" Shisei berkata sambil melingkarkan tangannya di punggung Saito agar dapat menjuntai di dadanya.
Persis seperti yang Shisei bilang, Saito tidak punya kata-kata untuk bantahan yang cerdas. Rambut perak Shisei yang panjang menyentuh leher dan bahu Saito, saat aroma wangi yang mirip aroma susu melayang ke hidung Saito. Dengan Shisei di punggungnya, Saito mulai menuruni gunung. Syukurlah Saito cuma mesti mengikuti jalur jalanan yang beraspal, namun ia dikelilingi hutan oleh lebat di kiri dan kanannya. Matahari perlahan mulai terbenam, merentangkan bayangan panjang melintasi area yang tidak dikenalnya.
Keheningan mulai memenuhi area itu dan cuma sesekali terdengar suara seekor burung yang tampaknya ingat tugasnya untuk berkicau. Namun, tidak ada suara mobil yang terdengar, cuma ada suara hampa dari sepatu Saito dan napas Shisei. Setelah berjalan beberapa saat, mereka kemudian sampai di sebuah jembatan kecil sekitar dua meter. Air dari sungai menyapu bebatuan di bawah jembatan itu. Wajah gunung yang nyata juga terlihat, dengan akar-akar pohon yang menggali masuk ke dalam tanah. Lampu jalan yang redup menerangi batang pohon, yang mengumpulkan ngengat, serta beberapa jenis kumbang seperti kumbang badak. Kalau ada anak kecil yang ingin berburu serangga, ini akan menjadi sarang emas. Shisei menunjuk ke salah satu titik di tempat ini.
"Abang, bisakah Abang tangkapkan kumbang badak untuk Shisei?"
"Kena kamu."
Saito melompati lereng kecil dan menyambar seekor kumbang yang sedang beristirahat di batang pohon. Tubuh kumbang itu bersinar terang dengan warna hitam pekat, dan tanduknya yang indah menunjuk lurus. Meskipun Saito tidak seusia itu lagi, namun ia masih merasa bersemangat untuk menangkap spesies yang begitu indah.
"Apa kamu punya sesuatu ketertarikan pada kumbang badak atau semacamnya?"
"Tidak tahu juga sih, tetapi Shisei mungkin bisa saja akan mulai menyukai mereka." Shisei mengambil kumbang itu dengan satu tangan dan membuka mulutnya lebar-lebar.
Saito merasa menggigil dan segera mengambil kumbang itu dari Shisei, dan melepaskannya ke alam bebas.
"Mengapa Abang melepaskannya? Shisei jadi marah, tahu."
"Abang tidak merasa kalau kamu akan benar-benar mencoba dan memakannya mentah-mentah!"
"Memang apa gunanya coba, selain untuk dimakan?"
"Kamu bisa menangkap mereka, memelihara mereka, dan membesarkan mereka, apa sajalah! Kumbang Badak itu sangat keren!"
"Shisei tidak dapat memahami alur pemikiran itu. Itu menjijikkan."
"Jadi kamu baru saja ingin memakan serangga secara acak?! Abang tidak mengerti proses berpikirmu!"
Di samping pemangsa alami ini membuat Saito kepikiran. Jujur saja, Saito bahkan jadi semakin khawatir tentang keselamatannya sendiri, dan kalau Shisei mungkin saja akan mulai mengunyah kepalanya.
"Untuk memperjelas saja… lebih baik kamu tidak memakan Abang, oke?" tanya Saito.
"Shisei akan lakukan yang terbaik."
"Jangan coba-coba! Berjanjilah pada Abang!"
"Mengapa?"
"A-Apa maksudmu mengapa…?"
Saito tidak dapat menyaring makna di balik kata-kata itu. Yang Saito tahu hanyalah bahwa ia harus sudah sampai ke pemukiman manusia sebelum Shisei kehilangan kemampuannya untuk bernalar karena perutnya yang kosong. Kalau tidak, hidup Saito mungkin akan benar-benar dalam bahaya. Dengan rasa bahaya yang besar memenuhi tubuhnya, Saito menambah kecepatan berjalannya. Saito merasakan iler Shisei mengalir di lehernya, tetapi ia cuma menepisnya saat Shisei tertidur. Saito dengan panik mengatakan pada dirinya sendiri kalau Shisei sedang tidak kelaparan dan benar-benar mempertimbangkan untuk memakannya. Saito tidak terlalu takut dengan tempat atau area yang gelap, tetapi cuma berduaan dengan Shisei begini, tiba-tiba berubah menjadi skenario yang horor bagi Saito.
Saat mereka mencapai telah kaki gunung, memperlihatkan cahaya yang jauh dari sebuah pom bensin, Saito menghela napas lega. Di sekelilingnya ada rumah-rumah kosong dan kuno, tetapi cahaya pemukiman itu memberinya sedikit harapan. Begitu ia menyadari ponselnya akhirnya ada pesan masuk, ia segera memeriksa peta.
"Kita akan keluar dari bagian belakang gunung…" Saito duduk saat ia kehilangan kekuatan di kakinya.
"Jadi kita sudah sampai di Brasil sekarang?"
"Kita tidak berjalan melalui pusat bumi. Kita baru saja sampai di arah yang berlawanan dari gunung. Untuk pulang, kita mesti pergi jauh-jauh ke belakang dan kemudian ke arah lain."
"Tidak bisakah kita menelepon taksi?"
"Ongkosnya mungkin akan setengah mahal, tetapi itu satu-satunya pilihan kita, Abang rasa…"
Saito mencoba menelepon layanan taksi, tetapi sambungannya terputus terus-menerus, yang membuatnya kesulitan untuk melewati jalan. Dengan begini, ia bahkan tidak bisa menelepon taksi.
"Sialan, itu tidak bagus!" Saito memasukkan ponselnya kembali ke sakunya.
Saito lebih suka tidak membuang waktunya yang tidak perlu dan ponselnya sudah kehabisan daya baterai. Di saat yang sama, Shisei menarik celana Saito.
"Abang, tidak masalah. Shisei ada di sini bersama Abang."
"Terima kasih…"
"Walaupun kita mesti tinggal di hutan belantara, Shisei tidak keberatan, kok."
"Tolong merasa terganggu, setidaknya sedikit?!"
"Shisei mau jadi seekor beruang kalau kita melakukan itu." Shisei mengangkat tangannya, mencoba untuk berpose menggeram, tetapi itu tampak lucu seperti biasanya. Namun, sebagai abangnya, merupakan tugas Saito untuk membawa Shisei kembali ke pemukiman manusia dan keluarganya.
"Abang rasa kita cuma bisa berjalan…"
"Shisei sarankan untuk menumpang. Ada mobil yang datang dari arah sana."
"Apa mobil itu akan berhenti untuk kita, aku bertanya-tanya..."
Jauh di pegunungan, belum lagi sudah larut malam begini, lebih dari berbahaya untuk menumpang dengan orang asing secara acak. Terutama pada saat-saat terakhir ketika kehidupan berbahaya di setiap ujung jalan, Saito tidak akan terkejut kalau, mobil itu melesat begitu saja melewati mereka.
Shisei berdiri di pinggir jalan, melompat seperti kelinci sambil mengepakkan tangannya. Saito benar-benar ingin Shisei berhenti, tetapi juga mengagumi keimutannya. Cukup mengejutkan, mobil itu terus melaju kencang, membunyikan klakson dengan keras. Saito mengambil Shisei dan melompat ke samping saat mobil berhenti tepat di depan tempat Shisei sebelumnya berdiri.
"Apa yang kamu lakukan?! Apa kamu buta?!" Saito meraung marah saat seorang sopir wanita muncul dari mobil.
Itu merupakan wajah yang familier, dan mengenakan pakaian yang familier—sopir pelayan yang Saito temui sebelumnya.
"Saya datang untuk menjemput Anda, Nona Muda. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas keterlambatannya."
"Jadi itu kamu!"
"Oh, kerja bagus, kerja bagus."
Sopir pelayan mengambil Shisei dari lengan Saito, membuatnya duduk di dalam mobil.
"Bagaimana kamu bisa tahu di mana kami berada?"
"Nona Muda punya alat pelacak yang terpasang padanya. Karena kepulangan Nona tampaknya sangat terlambat, saya menggunakan fungsi pencarian, dan melihat Anda jauh di sini."
"Alat pelacak…?" Shisei memeriksa bagian dalam blusnya dan mengangkat roknya untuk memeriksa bagian bawahnya.
Shisei sendiri tampaknya juga tidak tahu tentang fakta itu.
"Paling tidak, itu membantu kita keluar dari kekacauan ini. Kita mungkin akan terdampar di pegunungan kalau terus begini."
"Saya senang karena saya dapat melayani Anda. Kalau begitu, mari kita berangkat." Kata sopir pelayan dan menutup pintu mobil.
Tentu saja, tanpa peduli masih ada Saito yang belum masuk. Dia bersiap untuk melesat tanpa Saito.
(TL Note: Dih ditinggalin, yang sabar ya, Bang.)
"Hei, hei, hei! Beri aku tumpangan juga saat kamu sudah di sini, oke?!" Saito mengejar mobil itu dengan seluruh tenaga yang ia punya.