Bab 1Rumor(Bagian 3)
Dikejar-kejar oleh para pemirsa yang kepo sepanjang hari, membuat Saito kelelahan dan terasa seperti ia habis lari maraton. Setiap kali Saito kebetulan berpapasan dengan Akane di lorong, orang-orang di sekitar mereka akan membuat kehebohan lagi, dan bersorak, "Pertemuan rahasia?!" atau "Pertemuan yang ditentukan?!" karena mereka terus mengikuti mereka berdua. Dengan begitu banyak orang yang menelusuri perjalanan gila itu, tentu saja tidak ada lagi ruang aman yang tersisa di sekolah.
"Mari kita pulang." Shisei membawa tasnya di bahunya, dan berdiri di depan meja Saito.
"Iya…"
"Sangat merasa tidak enak, Bang?"
"Sudah pasti… ada paparazi yang mengikuti Abang ke manapun Abang pergi…"
Meskipun jam pelajaran telah berakhir, sejumlah besar siswa-siswi masih tetap berada di dalam kelas, semua melirik ke arah Saito dan Akane dengan waspada dan semangat. Mereka tampaknya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mendapatkan satu momen emas pun, karena mereka semua telah menyiapkan dan memuat ponsel pintar mereka.
Kalian tidak akan mendapatkan apa-apa, jadi berdengung sajalah kalian laksana ngengat!
Saito sama sekali tidak tertarik pada berita dan rumor selebritas, namun ia ditempatkan ke pusat wahana gosip terbaru, itu benar-benar misteri baginya. Shisei tampaknya relatif acuh tak acuh tentang hal ini, rupanya, karena dia cuma mengacungkan jempolnya.
"Tidak masalah. Ada yang bilang kalau rumor cuma akan bertahan selama 75.000 hari."
"Abang lebih berharap kalau rumor ini akan hilang setelah 200 tahun. Kalau tidak, rumor ini akan menjadi legenda atau mitos."
"Abang dan Akane nantinya akan diabadikan sebagai nama rasi bintang."
"Dengkulmu."
Perkataan yang benar itu kalau rumor cuma akan bertahan selama 75 hari, dan itu masih terlalu lama bagi Saito. Akhirnya, mereka berdua pergi melalui gerbang depan. Saat mereka sedang dirahmati dengan cuaca cerah sore ini, aroma bunga yang terbawa oleh angin memang menenangkan. Shisei meraih tangan Saito saat dia berlari di sampingnya. Tidak peduli dengan situasi yang Saito hadapi sekarang, sikap Shisei terhadap Saito tidak berubah. Satu-satunya tempat yang dapat Saito kembali itu ya di sisi Shisei.
Saito beranggapan kalau ia akan aman dari paparazi setidaknya dalam perjalanan pulang, namun pemikiran itu ternyata naif. Saito dapat mendengar suara langkah kaki yang terburu-buru, gemerisik dedaunan, suara foto yang diambil, dan gumaman samar dari kejauhan. Saat Saito sedang berhenti di jalurnya, langkah kaki itu juga berhenti, tak lama mulai kembali begitu ia mulai berjalan sekali lagi.
"Shisei…Apa kamu merasakan itu?" Saito berbisik sambil melihat ke depannya.
"Yap. Tiga orang sedang membuntuti kita."
"Abang cuma dapat menangkap keberadaan dua orang..."
"Shisei bisa tahu. Aku ini memang profesional dalam hal dikuntit." Shisei berkata dengan bangga.
"Abang tidak merasa kalau kamu mesti berlagak sombong dalam hal itu."
"Karena Shisei mendapati orang-orang yang mengikutiku setiap saat, itu sebenarnya jauh lebih aman bagiku…kata para satpam."
"Dan kamu percaya pada orang-orang itu?"
"Tentu saja. Karena banyak para penguntit yang andal yang terampil dan sangat nafsu untuk mengikuti Shisei telah diurus oleh mereka."
Saito merasa lebih khawatir setelah mendengar kata-kata itu. Saito ingin adik sepupunya yang berharga itu tumbuh di lingkungan yang lebih aman daripada apapun yang diberikan padanya. Dan lagi, Saito paham betul bagaimana paras wajah Shisei bisa membuat orang-orang tergila-gila. Di saat yang sama, Shisei mengajukan pertanyaan.
"Bagaimana dengan orang-orang yang menguntit itu? Haruskah kita memanggil unit penembak jitu?"
"Tolong jangan perlakukan teman-teman sekelas kita seperti teroris. Kamu seharusnya tidak memanggil mereka ke sini untuk sesuatu yang masih dalam skala ini."
"Shisei juga akan memanggil mereka ketika ada hadiah yang aku inginkan di kios tembak menembak selama festival."
"Itu bahkan dalam skala yang lebih kecil lagi!"
Saito cuma bisa merasa menyesal karena pemilik kios itu dirampok oleh seorang profesional.
"Orang-orang dari unit penembak jitu juga senang. Mereka bilang kalau mereka akan menembak semua orang selama itu membuat Shisei senang."
"Abang rasa kalau mereka telah berubah menjadi pasukan pribadimu, daripada melayani keluarga secara penuh."
Saito sekali lagi menyadari bahwa, bahkan setelah ia menjadi kepala keluarga, ia tidak akan pernah membiarkan dirinya menjadikan Shisei menjadi musuhnya. Kalau Saito merusak suasana hati Shisei dengan cara apapun, ia akan menghadapi kudeta pada hari berikutnya, dan kantornya akan diserbu oleh pasukan pribadi Shisei.
"Orang-orang yang membuntuti kita mungkin ingin memeriksa apa Abang dan Akane benar-benar tinggal bersama. Akan buruk kalau mereka mengikuti kita lebih lama lagi…"
"Mau tinggal di rumah Shise sebentar? Kedengarannya bagus bukan. Dapat jatah makan tiga kali sehari, tidur siang dengan Shisei, dan sekelompok pelayan cantik yang akan melayani Abang." Shisei berseru dengan penuh semangat—dan tanpa ekspresi sedikitpun.
"Abang lebih suka kalau tidak tinggal di tempat lain terlalu lama."
"Abang tidak ingin pelayan ya? Kami punya mantan pembalap, mantan militer, mantan pembunuh, dan masih banyak lagi mantan-mantan lainnya."
"Abang benar-benar mempertanyakan prasyarat untuk bekerja di bawahmu."
Dan Saito ingat kalau ia mungkin sudah pernah bertemu dengan mantan pembalap itu sebelumnya. Sebagai bonus tambahan dari mantan pembunuh itu mungkin yang akan dia kirim padamu sampai kamu tidur nyenyak.
"Abang… tidak ingin tinggal bersama Shisei?"
"Bukan itu masalahnya. Kalau Abang tidak segera kembali ke rumah, Kakek dan yang lainnya mungkin akan mulai meragukan kami."
Akan buruk kalau mereka menilai kalau Saito dan Akane tidak memenuhi syarat pernikahan mereka. Itu akan merampas hak Saito untuk menjadi pewaris Houjo Group, dan Akane tidak akan menerima biaya pendidikan untuk masuk ke sekolah kedokteran.
"Kalau begitu, kita cuma bisa menyingkirkan mereka. Serahkan saja pada Shisei." Shisei berkata dengan percaya diri sambil membenturkan satu kepalan tangan ke dadanya.
"Kamu sudah punya ide, ya?"
Karena Shisei membanggakan dirinya sebagai si jenius terhebat di keluarga, dia pasti akan membuat rencana pelarian yang sempurna. Atau begitulah Saito menaikkan harapannya, akan tetapi…
"Abang cuma perlu memberi Shisei gendongan putri sambil berlari dengan kecepatan penuh."
"Itu tidak terdengar kalau dengan begitu akan berhasil dengan baik."
"Yang sederhana itu efektif. Berjuang, berjuang."
"…Baiklah, kalau begitu."
Saito mulai berlari, dengan Shisei menempel padanya untuk mencapai titik gabungan. Meskipun Saito tidak yakin apa ini benar-benar memenuhi syarat kalau ini dapat disebut sebagai gendongan putri. Namun, tindakan yang tiba-tiba ini tampaknya berhasil dengan cukup baik, karena langkah kaki yang mengikuti mereka tampak sepenuhnya kacau. Saito mencoba mempercepat langkah untuk membuat jarak di antara mereka, tetapi ternyata sia-sia.
"Bukankah akan lebih cepat kalau Abang berlari tanpa menggendongmu?!"
"Tanpa beban, ini bukan olahraga yang tepat untukmu, Bang."
"Kapan Abang bilang kalau Abang ingin ini jadi olahraga?!"
"Olahraga itu penting. Sebagai calon kepala Keluarga Houjo, Abang harus cukup kuat untuk mengalahkan naga dengan tangan kosong."
"Kamu itu berharap sedikit terlalu banyak, Abang jadi takut!"
Saito bukanlah seorang pahlawan ataupun pembunuh naga. Shisei menunjuk ke truk sampah yang sedang melakukan mengangkut di sebelah trotoar.
"Sembunyi di sana. Itu akan menjauhkan Abang dari para penguntit kita."
"Kita nantinya malah akan jadi kacau dan terjepit dalam prosesnya, tahu."
"Biarkan Shisei mengurus tubuhmu, Bang. Aku akan memperbaikinya."
"Abang menghargai kesediaanmu untuk mengambil langkah sejauh itu demi Abang, tetapi Abang tidak merasa kalau kamu akan mampu melakukannya."
"Shisei akan mampu melakukannya. Aku pernah belajar cara membuat zombi dari buku-buku yang aku baca."
"Abang tidak ingin jadi zombi, jadi tidak usah repot-repot!"
Saito mengangkat pinggang kecil Shisei dan berbelok tajam ke ujung. Sebuah bus kebetulan sedang parkir di halte bus di depannya, baru saja ingin berangkat. Saito tidak mau melompat ke truk sampah, tetapi bus itu pilihan yang lebih baik. Saito masuk ke dalam bus dan menutup pintu di belakangnya. Memastikan keselamatannya, Saito terengah-engah dan melihat teman-teman sekelasnya yang mengutuk. Shisei turun ke lantai dan melihat ke sekeliling dengan bingung.
"Ohh. Sudah lama sekali sejak Shisei terakhir kali naik bus. Bisakah kita pergi ke New York?"
"Kita mesti menyeberangi Samudra Pasifik, jadi Abang rasa itu tidak akan berhasil."
"Kalau begitu Shisei akan membakar samudra sampai rata dengan tanah."
"Itu akan memusnahkan jutaan spesies dan mungkin akan membunuh kita juga dalam prosesnya. Bagaimanapun, kita akan turun di tempat perhentian berikutnya."
"Shisei tidak mau ah."
"Kamu tidak mau? Ini bukan waktunya untuk egois."
"Itu tidak ada hubungannya dengan menjadi egois atau semacamnya. Kalau New York terlalu berlebihan, maka setidaknya gendong Shisei sampai ke tempat perhentian terakhir." Shisei duduk di lantai, dan menunjukkan betapa keras kepalanya dia.
Shisei tampak seperti anak kecil yang memprotes karena tidak mendapatkan permen yang dia inginkan, dan tentu saja menarik perhatian penumpang lain.
"Baiklah, kalau begitu…" Saito membangunkan Shisei dan membuatnya duduk di jok.
"Hehe…kemenangan lagi untuk Shisei."
"Ini sama sekali bukan kemenangan."
Saito menyentil dahi Shisei saat dia meletakkan bahunya ke bahu Saito. Dan lagi, tanpa ada urusan mendesak lainnya yang mesti diurus, mengambil jalan memutar pasti akan membantu mengusir orang-orang yang mengejar mereka.