Bab 4Kasih Sayang Adik(Bagian 2)
Bagian dalam lengan Saito terasa berat. Sesuatu yang lembut dan menyenangkan menempel di tubuh Saito. Terdengar santai, napas yang samar, dengan ritme tenang, sampai ke telinga Saito. Merasa kalau semua kelelahan dari malam sebelumnya masih belum sepenuhnya hilang, Saito perlahan membuka kelopak matanya yang berat. Dari tirai jendela masuk sinar matahari pagi yang redup. AC di ruangan itu tampaknya bukan yang terbaik, karena udara di ruangan yang remang-remang itu terasa pengap, tetapi juga punya aroma wangi yang melayang di dalamnya.
Saito menurunkan pandangannya ke dirinya sendiri, melihat Maho menempel padanya seperti kucing manja—dan terkejut. Maho sedang telanjang. Bukan cuma satu kaus yang Saito belikan, Maho juga telah melepas pakaian dalam babydoll-nya yang tipis. Kulit Maho yang licin menempel pada Saito. Pinggang Maho yang ramping melingkari Saito.
—Sial, apa aku mengacaukannya…?!
Saito merasa jantungnya terdiam. Tidur bersama di ranjang yang sama dengan adik iparnya saja sudah hampir tidak dapat diterima, tetapi kalau mereka melewati batas di sini, Saito sama sekali tidak memiliki alasan pembenaran. Maho akan melaporkan keadaannya pada Akane, dan Akane akan menghancurkan semua yang telah mereka (Akane dan Saito) kerjakan dengan susah payah. Mungkin semua yang terjadi semalam itu merupakan tujuan Maho. Seluruh perkiraannya sehingga Saito akan menunjukkan momen kecerobohannya.
Saito panik dan memastikan penampilannya sendiri. Saito masih mengenakan pakaian tidur dan celana dalam di bawahnya dengan benar, seprai tampak bersih seperti sebelumnya, jadi mereka mungkin tidur dengan posisi begini sejak tadi malam. Saito menghela napas lega saat ia menyadari kalau tubuh Maho terasa sangat panas. Maho mengenakan selimut seperti dia sudah berada di sauna selama tiga jam terakhir, dan napasnya terasa lambat dan tidak teratur. Ekspresi wajah Maho berubah kesakitan.
"Hei, apa kamu baik-baik saja? Apa kamu tidak enak badan?" Saito bertanya, dan Maho dengan enggan membuka matanya.
"Biasanya aku minum obat itu setiap malam, tetapi… aku tidak dapat melakukannya kemarin."
"Mas kira kamu sudah pulih dari penyakitmu?"
"Iya…Selama aku meminum obat itu, aku dapat hidup seperti orang lain…Aku cuma sedikit lebih mudah lelah, tetapi kalau aku tidak berlebihan, aku akan baik-baik saja…"
Itu tidak terdengar seperti Maho benar-benar pulih. Saito ingat bagaimana Maho sering kehabisan napas atau terengah-engah setelah berlarian. Apalagi pada saat di rumah hantu sebelumnya, yang mungkin saja kalau Maho benar-benar sakit, dan bukan cuma berpura-pura. Maho cuma mempermainkan Saito, mencoba menyembunyikan hal ini—cewek pembohong ini.
"Mengapa kamu tidak meminum obat itu?"
"Aku tidak sempat."
"Di mana obat itu?"
"Di rumah Mas. Aku tidak membawanya saat kita diusir. Aku kira aku akan baik-baik saja kalau tidak meminumnya setidaknya satu malam... tetapi aku rasa tidak begitu, haha." Maho menunjukkan senyuman yang lemah.
Maho telah kehilangan semua kekuatannya yang biasanya, senyumannya akan menghilang seperti obor, menunjukkan kalau dia bertindak keras. Melihat hal ini, Saito mengambil ponsel pintarnya di sebelah bantalnya.
"Mas perlu menelepon ambulans—."
"Hentikan!!"
Sebuah teriakan terdengar. Itu pasti beban yang berat di tubuh Maho, karena dia meringkuk di ranjang, dan batuk-batuk hebat. Saito dengan lembut mengusap punggung Maho. Saito tidak ragu-ragu lagi saat ini, tetapi ia merasa khawatir. Punggung Maho terasa begitu lembut dan rapuh, Saito merasa kalau ia dapat memecahkan kulitnya dengan mudah seperti kaca.
"Kalau Mas menelepon ambulans, mereka akan menghubungi keluargaku… dan itu akan menyebabkan keributan. Mbak juga akan tahu…"
"Ini jelas bukan waktunya untuk bilang begitu, bukan?"
"Ini terjadi dari waktu ke waktu…Dokter bilang kalau aku baik-baik saja, dan aku masih bisa hidup normal…"
"Benarkah?"
"Sungguh. Aku masih punya banyak hal yang ingin aku lakukan, jadi aku tidak akan berbohong tentang hal semacam ini…"
"Baiklah, kalau kamu bilang begitu..."
Karena hotel ini merupakan hotel bisnis, mereka telah membayar untuk menginap pada malam sebelumnya. Saito menelepon resepsionis, meminta mereka untuk memanggil taksi, dan membantu Maho mengenakan pakaiannya. Kulit Maho terasa panas terbakar sampai-sampai Saito akan membakar jari-jarinya. Mengangkat lengannya saja tampaknya merupakan pekerjaan yang berat buat Maho, dan kepalanya berayun ke depan dan ke belakang, tidak dapat diapa-apakan. Maho bahkan tidak dapat berjalan sendiri. Saito menerima informasi kalau taksi yang menjemput mereka telah tiba, jadi ia menjemput Maho.
"Ahaha…gendongan putri, ini yang pertama buatku. Sepertinya Mas itu sudah terbiasa, ya…"
"Karena Mas pernah melakukan ini pada kakakmu sebelumnya."
Maho berkedip karena bingung.
"Tunggu, jadi Mas dan Mbak sebenarnya tidak dalam hubungan yang buruk itu…?"
"Kami telah menjadi musuh bebuyutan sejak lama. Sekarang... Mas sendiri juga benar-benar tidak tahu."
"Karena Mas itu masih perjaka?"
"Diamlah."
Saito tidak ingin Maho membuang tenaga berharganya dengan omong kosong singkat itu, jadi ia dengan paksa membungkam Maho. Meskipun Maho dimarahi, dia tampaknya senang dengan itu, melingkarkan lengannya ke leher Saito. Namun, lengan itu segera kehilangan kekuatannya. Saito naik lift ke aula masuk, menempatkan Maho ke dalam taksi. Saito menyuruh sopir untuk membawa mereka ke rumah sakit, dan taksi itu mulai berjalan. Di dalam, bahu Maho bersandar ke bahu Saito, membuatnya jelas kalau dia bahkan hampir tidak bisa duduk tegak.
Saito menyandarkan kepala Maho ke pangkuannya, menelepon rumah sakit. Maho tampaknya masih menderita demam, karena dia masih menggenggam erat pakaian Saito seperti anak kecil. Sesampainya di rumah sakit, Maho langsung dibawa ke ruang periksa. Maho akhirnya dimarahi karena dia tidak meminum obatnya, dan karena dia berpakaian sangat tipis, dan kemudian diperiksa dengan lebih detail. Seperti yang dikatakan oleh Maho, tidak ada bahaya bagi hidupnya, tetapi dia masih harus dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu. Baik dokter maupun perawat sepertinya sudah mengenalnya, menciptakan suasana 'Kembali lagi, ya?' begini.
"Aku rasa aku benar-benar mengacaukannya…" Maho berbaring di ranjang kamar rumah sakit, dan bergumam sambil menatap langit-langit.
Maho disuruh mengganti kausnya yang tipis, dan diberi kaus rumah sakit berwarna merah muda pudar. Maho sudah jauh lebih mendingan dibandingkan sebelumnya, tetapi napasnya masih terasa agak berat.
"Orang tuamu akan tiba di sini dalam tiga puluh menit. Semuanya cuma akan menjadi rumit kalau Mas ada di sini, jadi Mas akan pergi sekarang."
"Tung-Tunggu!" Maho menghentikan Saito, tepat saat ia ingin pergi.
"Apa?"
"Tolong…jangan beri tahu Mbak soal ini…"
"Kalau kamu sedang dirawat di rumah sakit?"
"Dan kalau aku pingsan."
"Akane ingin datang mengunjungimu."
Karena impian Akane untuk menjadi seorang dokter, dia pasti akan merawat Maho dengan seluruh keahlian dan kemampuannya. Alasan Akane bercita-cita menjadi dokter adalah agar dia dapat menyelamatkan orang-orang yang menderita seperti adiknya.
"Mas tidak boleh memberi tahu Mbak. Karena aku ini memang selalu sangat lemah, aku telah merepotkan Mbak sejak lama. Mbak selalu harus menjagaku, itulah sebabnya Mbak tidak pernah punya waktu untuk bermain dengan teman-temannya, apalagi berteman dengan orang banyak."
"Itu tidak terdengar seperti satu-satunya alasan, tetapi… masalah terbesarnya itu tampaknya ada pada kepribadiannya."
"Mbak itu sangat baik hati. Hampir terlalu baik...dan aku tidak ingin membuat Mbak khawatir lagi. Aku ingin Mbak fokus pada dirinya sendiri, daripada khawatir padaku." Maho memohon dengan sekuat tenaga.
Tidak ada tanda-tanda sikap Maho yang biasanya yang dapat ditemukan di sini. Saito merasa seperti inilah Maho sebenarnya.
"…Dimengerti, Mas tidak akan memberi tahu Akane."
"Oke…Dan maaf karena sudah merepotkan Mas begini."
Saat keluar dari ruangan, ekspresi dan gerak tubuh Maho tampak sangat sedih dan kesepian, membuat dada Saito terasa sakit.