KuraKon - Jilid 4 Bab 4 Bagian 1 - Lintas Ninja Translation

Bab 4
Kasih Sayang Adik
(Bagian 1)

Saito dan Maho menunggu di depan pintu masuk, tetapi pintu itu sudah terkunci rapat, tidak menunjukkan tanda-tanda akan terbuka lagi, tidak peduli berapa lama mereka menunggu. Meskipun begitu, mereka dapat meredakan amarah Akane yang ganas bahkan melalui pintu yang tebal.

"Itu akan memakan waktu lama sampai dia tenang..."

Kalaupun begitu, Saito merasa khawatir kalau hari seperti itu tidak akan pernah datang.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Tidur di luar?"

Bahkan dalam situasi begini, Maho tampak bersemangat membayangkan berkemah di luar ruangan. Kamu tidak akan mengira kalau Maho pernah sakit parah pada satu titik dalam kehidupannya, melihat berapa banyak tenaga yang dia punya sekarang.

"Laporan cuaca mengatakan kalau akan ada hujan malam ini, jadi Mas ingin menghindarinya."

Belum lagi lingkungan sekitar akan memperhatikan mereka, jadi mereka tidak dapat tidur di depan rumah mereka sendiri begitu saja. Saito mungkin telah mengenakan pakaian tidurnya, tetapi Maho masih dalam penampilan babydoll-nya. Kalau seseorang melihat mereka di sini, itu akan menyebabkan keributan bagi semua orang yang terlibat.

"Mas akan pergi membeli beberapa pakaian, kamu tunggu di sini saja."

Saito menggunakan ponsel pintarnya yang untungnya berhasil ia ambil di tengah semua kekacauan tadi, dan mulai berjalan.

"Aku akan ikut dengan Mas!" Maho menyatakan.

"Kamu tetap di sini! Bagaimana jika kemungkinan itu menangkap kita?!"

"Bagaimana kalau ada orang asing yang menyerang kita?!"

"Kamu cuma perlu berteriak kalau begitu, Akane akan menyelamatkanmu."

"Aku lebih khawatir pada Mas!"

"Mas tidak lihat ada alasan untuk khawatir akan hal itu."

Namun Maho melontarkan komentar yang penuh gairah.

"Kalau itu aku, aku pasti sudah menyerang Mas! Apalagi dengan pakaian seksi Mas itu!"

"Kamulah satu-satunya penjahat di seluruh dunia yang akan melakukan hal itu."

Saito memperbaiki pakaiannya yang berantakan. Saito benar-benar lupa kalau Maho telah membuka kancing kemejanya. Kalau Saito terus berjalan begitu, ia pasti akan dilaporkan.

Maho mungkin merasa seperti aku mencuri kakaknya darinya.

Sambil mencari toko serba ada terdekat, Saito mulai berpikir. Mereka berdua mungkin sangat dekat sebagai kakak beradik. Ini mungkin lahir dari ikatan yang mereka tempa saat Akane merawat Maho yang sakit-sakitan, tetapi Maho sekarang sangat menempel dengan kakaknya. Sekarang setelah kakaknya menikah dengan cowok acak, Maho mungkin merasa disingkirkan dan dilupakan. Itulah sebabnya Maho berusaha untuk memenangkan Saito dengan tujuan memisahkannya dari Akane. Pasti ini alasan untuk tindakan Maho malam ini. Dan kalau memang begitu, Maho sudah berhasil dengan itu.

Saito memasuki toko serba ada terdekat, mencari pakaian yang dapat digunakan. Tentu saja, dia tidak dapat mencari celana atau rok. Saito malah mengambil kaus ukuran pria, membayarnya dengan ponsel pintarnya. Mensyukuri peradaban modern dalam hal ini. Setelah kembali ke rumahnya, Saito mendapati Maho menunggunya, duduk di lantai. Maho mengenakan kaus itu, dan karena itu terlalu besar untuknya, setidaknya itu menutupi pahanya dengan aman. Orang yang lewat yang baik hati mungkin mengira Maho cuma mengenakan kaus dengan celana pendek di bawahnya. Namun, orang yang dimaksud sepertinya tidak terlalu menyukai kaus itu, karena dia menurunkan ujung kausnya.

"Wah, ini terlihat sangat payah~ Mas itu tidak punya selera sama sekali."

"Berhentilah mengeluh, itu cuma untuk sementara saat ini."

"Maksudku, pakaian yang Mas kenakan selama perjalanan kita ke taman hiburan itu juga sama saja. Sepertinya Mas mengenakan pakaian-pakaian yang populer sepuluh tahun yang lalu. Aku tahu kalau pakaian-pakaian itu setidaknya mahal~."

"Kakek yang mengirimnya pada Mas."

"Orang yang tidak punya selera seharusnya berjalan-jalan tanpa pakaian~."

"Kamu tidak bisa menipu Mas."

Saito dan Maho pergi menjauh dari rumah mereka. Jauh di dalam distrik perumahan ini, kamu hampir tidak menemukan mobil apapun. Lampu jalan mengeluarkan suara yang mendengung, lalu beberapa serangga beterbangan di sekitar mereka. Aroma samar bunga melayang ke arah mereka dari pagar yang tidak terlihat. Setelah jalan mereka diterangi oleh lampu malam yang berkala, mereka berdua berjalan menyusuri jalan yang gelap.

"Mas itu harus berpakaian dengan benar. Aku akan mengajari Mas dasar-dasarnya lain kali~."

"Tidak terima kasih. Mas melihat tidak ada gunanya untuk tampil bergaya."

"Mas akan lebih populer di kalangan para cewek?"

"Tidak perlu itu."

Sekarang Saito sudah menikah, ia hanya akan membuat lebih banyak masalah kalau ia terlibat dengan urusan cinta. Seperti malam ini, contohnya.

"Mas dapat membuat semua cewek di dunia menghujani Mas dengan uang?"

"Mas tidak mau menjalani gaya hidup yang buruk begitu."

"Sungguh, Mas ini cowok yang tidak berguna…" Maho menghela napas tidak percaya.

Saito bingung mengapa Maho sebegitu tidak percayanya. Maho tidak sepenuhnya menyangkal ide dan nilai dari gaya, tetapi itu tidak membantu dalam mewujudkan mimpinya, jadi Saito lebih suka mengumpulkan informasi yang lebih berharga dengan membaca buku.

"Dan juga, kamu bisa kembali ke rumahmu sendiri, bukan? Mas akan mengantarmu."

"Kyaaa~ Mas berencana untuk menyerang rumahku dan memperkosaku~." Maho memeluk tubuhnya sendiri, berbalik arah dan berputar-putar.

"Mas tidak tahu apa yang kamu bicarakan."

"Mengantarku pergi ke makamku?"

"Mas kira kamu masih hidup."

"Mengirim kapibara ke rumah?"

"Kedengarannya itu cukup aman buat Mas."

"Mengirim jamur ke rumah?"

"Bagaimana Mas dapat melakukan hal itu, Mas bahkan tidak dapat bergerak."

Saito bukanlah jamur, ia itu manusia biasa.

"Bagaimana denganmu, Mas? Apa Mas akan kembali ke rumah keluarga utama Mas? Kalau memang begitu, maka aku akan pergi dengan Mas! Aku ingin menginap di rumah Mas~ Deg deg~."

Saito sangat percaya bahwa orang yang menggunakan onomatopoeia* dalam ucapan mereka tidak dapat dipercaya. Seperti biasa, menurunkan kewaspadaan Saito di sekeliling Maho dapat berakibat fatal.

(TL Note: Onomatopoeia, itu kata yang terdengar seperti apa yang dimaksud atau kata-kata yang secara fonetis mengintimidasi bunyi yang mereka gambarkan, misalnya kwek-kwek, guk-guk, dll.)

"Mas tidak bisa kembali ke sana. Sekarang setelah Mas menikah, mereka telah mengganti kunci masuk di pintu depan."

Maho meletakkan satu tangan di mulutnya.

"Ap… orang tua Mas tidak menyukai Mas?"

"Begitulah... Kurang lebih begitu."

"Ha-Hah…Kalau begitu…maaf?"

"Itulah satu-satunya bagian di mana kamu bisa tertawa!"

Itu merupakan topik serius bagi Saito, jadi ia merasa tertekan dengan reaksi yang sangat serius itu. Saito memang sudah menyerah untuk punya harapan apapun dari orang tuanya, tetapi ini sudah setengah tahun tanpa diperhatikan.

"Akan sangat bagus kalau kita bisa menginap di rumah Shisei, tetapi…Mas tidak ingin merepotkan mereka selarut ini. Mas cuma akan mencari kafe acak untuk melewatkan malam ini."

"Aku akan ikut dengan Mas, kalau begitu! Aku akan merasa tidak enak kalau Mas pergi sendirian." Maho mengepalkan tinjunya di dadanya.

"Tidak, tolong pulang saja." Saito melambaikan tangannya dengan ekspresi yang serius.

"Mas tidak perlu menahan diri! Aku baik-baik saja!"

"Mas sendiri saja tidak apa-apa."

"Tidak baik menahan diri! Percayakan saja padaku saat Mas kesepian!"

"Tolong, pulang saja."

Saito lebih suka mengantar Maho pulang ke orang tuanya, tetapi sayangnya ia tidak tahu alamatnya. Memaksa Maho untuk membawa Saito ke sana juga bukan pilihan yang tepat.

"Ayolah, Mas, mari kita melihat-lihat kota di malam hari!" Maho berpegangan pada lengan Saito, mengangkat kepalan tangannya. "Ohh!"

"Ohhh…" Saito tidak terlalu bersemangat.

Rasanya seperti Saito diseret oleh seorang pemabuk yang ingin mengunjungi bar berikutnya. Kalau itu Saito sendiri, ia bisa saja menetap di warung internet, dan membaca manga sepanjang malam, tetapi membawa seorang cewek bersamanya begini, Saito tidak terlalu suka.

"Mau bagaimana lagi kalau begitu, mari kita cari hotel."

"Hotel cinta?! Pasti hotel cinta, bukan?!" Mata Maho berbinar karena kegembiraan.

"Cuma hotel bisnis biasa."

"Ehhh, sama sekali tidak romantis~."

"Selama kita punya tempat berlindung, cuma itu yang akan Mas butuhkan."

"Aku maunya hotel cinta! Aku rela mati demi melihat ranjang yang berputar itu!"

"Ditolak. Kalau kamu punya keluhan, maka kembalilah ke rumahmu sendiri."

Hubungan Saito dengan Akane sudah berada di titik terendah, jadi kalau ia membawa adik Akane ke hotel cinta, itu cuma akan memperburuk keadaan, dan mungkin akan membunuh Saito dalam prosesnya. Melangkah keluar di jalan raya, Saito menggunakan ponselnya untuk mencari hotel bisnis terdekat. Pada akhirnya, Saito menemukan sebuah gedung sederhana berlantai sepuluh. Di tempat parkir yang luas, ada beberapa truk telah berhenti, sisa garasi diisi oleh mobil pengunjung.

"Terserah, itu akan berhasil. Ini tetap tidak mengubah fakta bahwa aku dan Mas akan menginap bersama, jadi kita mungkin akan menaiki tangga sampai ke masa kedewasaan!" Maho berkata, melewati pintu masuk otomatis.

Saito memesan dua kamar untuk satu orang, menyerahkan satu kunci pada Maho.

"Ini." Saito mengangkat tangannya, memberikan salam perpisahan sesingkat mungkin, dan memasuki kamarnya.

"Ma-Ma-Mas, dasar bodoh! Perjaka tak bertulang!"

Saito mendengar raungan amarah Maho dark balik pintu, tetapi ia tidak punya waktu untuk menanggapinya. Saito akhirnya berhasil mendapati kedamaian untuk dirinya sendiri. Lalu ia menurunkan pinggangnya ke ranjang yang kokoh, ia menghela napas dan melihat ke sekeliling ruangan. Dari luar, hotel itu memang tampak seperti hotel biasa, tetapi interiornya itu ternyata cukup mewah. Ada meja yang ditempatkan di dinding, dengan televisi yang berharga tinggi. Selain itu, ada sofa yang dapat memuat dua orang, dengan meja mini, dan lampu lantai unik di mana-mana.

Kamar mandinya agak kecil, terhubung ke ruang penyiram, tetapi Saito sudah mandi di rumah, jadi ia belum membutuhkannya. Kulkasnya penuh dengan air mineral gratis, jadi Saito seharusnya baik-baik saja sampai pagi. Saito meletakkan ponselnya di pengisi daya, mengeluarkan sebotol air mineral untuk diminum ketika seseorang sedang mengetuk pintu.

"Ah…iya, aku ada." Saito menggelengkan kepalanya dan memberikan jawaban yang tidak jelas.

"Aku tahu kalau Mas ada! Buka pintunya! Kalau tidak, aku akan mendobrak masuk!" Maho berteriak dari balik pintu.

"Lakukan saja apa yang kamu mau. Mas ragu kamu dapat mendobrak pintu hingga terbuka dengan kakimu yang rapuh itu."

"Tidak dengan kakiku! Aku akan menggunakan alat pemadam api ringan dari lorong!"

"Kamu akan ditangkap karena merusak properti hotel!"

"Mas yang akan ditangkap karena aku akan berteriak!"

"Kamu sudah berteriak..."

Maho jelas akan mengganggu pelanggan lain di hotel ini, mengingat ini sudah larut malam.

"Aku akan berteriak kalau Mas membawaku ke hotel ini tanpa izin orang tuaku! Mas sebut apa ini, penculikan anak? Aku juga cumq mengenakan kaus, menurut Mas apa yang akan dipikirkan polisi, hah?!"

"Baiklah, mari kita bicarakan semuanya, silakan?!" Saito dengan panik membuka pintu.

Maho menggunakan celah terkecil untuk menyelinap, dan melompat masuk ke dalam kamar Saito. Di tangannya, Maho masih membawa alat pemadam api ringan. Maho benar-benar berencana mendobrak pintu. Kesadaran ini membuat punggung Saito merinding.

"Ha ha ha, sekarang aku ada di sini, aku akan menjadi penguasa! Aku telah menaklukkan kamar ini!"

"Bisakah kamu berhenti mengarahkan selang alat pemadam api ringan itu ke arah Mas?"

"Tidak masalah! Aku memang tahu cara menggunakan benda ini, tetapi aku tidak tahu  cara menghentikannya!"

"Itu tipe orang yang paling berbahaya!"

Kalau seluruh ruangan ditutupi dengan busa alat pemadam api ringan, biaya perbaikannya pasti akan memakan biaya setengah harga. Polisi akan datang, dan kemudian orang tua mereka juga akan diberi tahu. Saito berusaha mengambil alat pemadam api ringan itu dari Maho, berlari ke arah Maho. Di saat yang sama, Maho menghindari Saito, melompat ke ranjang, menendang bangku, dan jatuh ke sofa. Namun, ini merupakan kamar satu orang yang sempit, jadi Maho tidak dapat melarikan diri selamanya. Setelah beberapa menit, Saito berhasil mencuri alat pemadam api ringan dari Maho, menahan kedua tangan Maho dalam prosesnya.

"Sekarang, ini saatnya bagimu untuk keluar..."

"Jadi, bahkan Mas… juga akan mengusirku…?" Air mata mengalir ke pipi Maho.

"Hen-Hentikan air mata palsu itu." Saito berkata tetapi sangat ketakutan.

"Ini bukan air mata palsu! Apa salahnya kalau aku ingin bersama dengan Mas sebentar?! Apa Mas sekarang juga membenciku?!" Maho tenggelam di ranjang, bahunya gemetaran saat dia menangis.

Semakin banyak tetes air yang jatuh, mewarnai seprai itu.

"Em…apa itu sangat mengejutkan? Kamu tahu, saat Akane mengatakan kalau dia membencimu."

"Itu benar! Ini pertama kalinya Mbak mengatakan hal semacam ini padaku! Tidak peduli candaan macam apa yang akan aku mainkan pada Mbak, Mbak tidak pernah benar-benar marah! Namun... Mbak sekarang... Mbak sekarang benar-benar membenciku... Mbak tidak akan pernah berbicara lagi denganku." Maho menangis seperti anak kecil yang dimarahi oleh orang tuanya.

Sikapnya yang energik dan nakal yang biasa tidak ditemukan di manapun.

Benar-benar cewek yang merepotkan…

KuraKon-4-4-1

Saito menghela napas. Saito memang tidak senang digoda setiap waktu, tetapi setidaknya ia lebih suka begitu daripada berurusan dengan cewek yang sedang menangis. Itu membuat Saito merasa seperti ia telah melakukan sesuatu yang buruk.

"Ini terjadi dari waktu ke waktu. Belum lagi Akane bilang pada Mas setiap hari kalau dia membenci Mas."

"Mas bercanda…"

"Itu benar. Mbakmu itu mengharapkan kematian Mas setiap hari, dan dibangunkan dengan teriakan amarah itu sudah menjadi rutinitas harian Mas."

"Bagaimana Mas bisa tahan dengan itu? Dibenci oleh orang tua Mas, dibenci oleh istri Mas, kalau aku jadi Mas, aku sih lebih baik mati daripada terus hidup seperti itu…"

"Iya, kamu memang tidak salah. Mas sering memikirkan hal itu ketika Mas sudah tenang."

Terlebih lagi karena teman-teman sekelas Saito juga tidak tahan dengannya, jadi sulit buat Saito sendiri. Namun, Saito punya Shisei. Hanya dengan punya seorang sekutu di sisi Saito pada saat tertentu, ia sama sekali tidak merasa kesepian. Saito dapat mengatakan pada dirinya sendiri kalau ia baik-baik saja.

"Akane mungkin sedikit ekstrem dengan gerakannya sekarang, dan sering putus asa, akan tetapi Mbakmu itu cepat tenang, jadi Mas yakin kalau Mbakmu itu akan segera memaafkanmu."

"Benarkah…?" Maho menatap Saito dengan mata yang berair.

"Iya. Meskipun itu akan memakan waktu tambahan sebelum Mbakmu memaafkan Mas. Lagipula dia sudah membenci Mas untuk waktu yang lama."

"Maaf…"

"Tidak... Tidak usah khawatir tentang itu."

Mendengar permintaan maaf yang jujur dari Maho membuat Saito merasa gelisah. Itu cuma akan menunjukkan betapa lemah dan rapuhnya Maho sekarang. Bagi Maho, Akane pasti segalanya. Tidak dapat benar-benar merespons dengan apapun, Saito cuma bisa menggerutu atas respons yang mungkin, saat Maho tiba-tiba melepas kausnya.

"Apa yang kamu lakukan?!"

"Melepas pakaianku."

"Mas juga bisa melihatnya! Mengapa?!"

"Ini salahku, Mas diusir dari rumah, jadi aku pikir setidaknya aku harus bertanggung jawab…dan menawarkan tubuhku pada Mas…"

"Tidak perlu!"

"Apa aku ini… tidak cukup menawan?" Bahu Maho bergetar.

Pakaian dalam Babydoll itu ditarik di sepanjang kaus yang coba Maho lepas, memperlihatkan dua batas putih dan pinggangnya yang ramping. Melihat Maho menangis di ranjang dengan pakaian begini, sangat memikat untuk membangkitkan naluri cowok manapun.

"Kamu itu memang sangat menawan, tetapi mana mungkin Mas dapat melakukan hal semacam itu dengan anak kecil yang sedang menangis!"

"A-Aku bahkan tidak menangis lagi! Dan aku sudah dewasa, jadi aku bisa melakukannya dengan baik!" Maho tampaknya gelisah dengan komentar Saito, dengan paksa mencoba melepaskan celana Saito.

"Hentikan itu! Memangnya kamu itu apa, semacam pemerkosa?! Lepaskan tanganmu dari Mas!" Saito dengan putus asa memegangi celananya.

"Mas sudah harus melepaskannya! Kalau Mas tidak diam dan berbaring, aku akan memotongnya!"

"Menakutkan! Mana mungkin Mas bisa berbaring di sebelah seseorang yang mengancam Mas begitu!"

"Diamlah! Aku mencoba melayani Mas sebagai ucapan terima kasih, jadi diamlah dan terima saja!"

Maho mengajukan argumen yang konyol satu per satu, karena mereka berdua terus berjuang sampai-sampai mereka berdua terengah-engah. Karena ini masih hari yang sama setelah perjalanan mereka ke taman hiburan, mereka berdua kehabisan stamina.

"Mas tidak akan mencoba mengusirmu lagi, jadi mari kita tidur saja, oke?"

"Maukah Mas membuatku tertidur…?"

"Apapun yang kamu mau."

"Bahkan dengan bantal lengan?" Maho meminta  seperti biasanya dilakukan Shisei.

"Iya… Mas rasa Mas bisa."

Kalau Saito tidak menganggapnya sebagai adik kelasnya, tetapi cuma sebagai adiknya sendiri, ia tidak akan merasakan emosi jahat sama sekali. Saito berbaring di ranjang, Maho berbaring tepat di sebelahnya. Maho masih belum selesai menangis, karena dia terus terisak dengan hidungnya, membenamkan wajahnya di dada Saito.

Kalian kakak beradik memang selalu menyebabkan keributan begitu…

Saito menghela napas, dan dengan lembut membelai kepala Maho.


←Sebelumnya            Daftar Isi         Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama