Bab 3Memikat(Bagian 3)
Limusin itu akhirnya sampai juga ke taman hiburan—dengan pengemudian yang sembrono seperti biasanya. Saito dan Akane merasa mereka sedang naik atraksi. Namun, cewek-cewek lain sangat bersemangat.
"Kita sampai! Inilah taman hiburan! Mari kita naik banyak wahana!"
"Ohhhh!"
Berdiri di gerbang masuk, Maho dan Himari mengeluarkan suara gembira. Tampak seperti gyaru, mereka tampaknya sangat berpengalaman dengan taman hiburan. Segera setelah itu, Maho menempel ke lengan Saito.
"Mari kita pergi, Mas! Ini merupakan awal dari kencan mesra kita! Tujuan kita hari ini adalah seratus kali ciuman!"
"Apa yang seru sih dari melakukan hal itu sebagai tujuan..."
"Pada dasarnya, Mas ingin berciuman bahkan tanpa tujuan?! Ciuman yang penuh gairah yang akhirnya akan membuat kita lupa hitungan?! Serahkan padaku! Mmmnn!"
"Jangan terlalu dekat dengan Mas, dasar cewek sesat!"
Maho mengerutkan bibirnya seperti tentakel gurita saat dia mendekati Saito, lalu dihentikan oleh cakar besi Saito. Himari yang menyaksikan pertukaran ini, jelas bingung.
"Em…Saito-kun dan Maho-chan, hubungan macam apa yang kalian berdua miliki?"
"Aku mengakui perasaanku, dan Mas bilang iya! Jadi pada dasarnya, kami itu pasangan!"
"Sa-Saito-kun…? Haruskah aku mengucapkan selamat…?" Tubuh Himari mulai gemetar.
"Mas tidak bilang iya, oke! Jangan mengarang kenyataan palsu!"
"Aneh…dalam ingatanku, Mas bilang iya…Kita melalui masa pernikahan emas kita, dan punya banyak cucu dan cicit…"
"Satu-satunya hal yang aneh di sini adalah ingatanmu." Saito merasa seperti ia melakukan perjalanan ke satu abad yang akan datang.
"Tetapi, dia mengakui perasaannya padamu, bukan?" Himari berusaha memastikan.
"…Iya."
"Itu berarti aku saingannya Himarin dalam hal cinta! Aku akan mendapatkan Mas pada tingkat ini, kamu tahu?" Maho berpegangan pada lengan Saito, dan menariknya ke arahnya.
"A-Aku tidak akan kalah!" Himari menarik lengan Saito yang lain.
"Oh, Himarin, kamu akhirnya termotivasi, iya! Aku tidak akan menahan diri cuma karena kamu itu guruku, oke?"
"Itulah yang aku harapkan! Saito-kun, siapa di antara kami yang kamu sukai?"
"Pasti aku, bukan~?"
"Bukan, itu aku."
Maho dan juga Himari secara bersamaan mengencangkan cengkeraman mereka ke lengan Saito, dan mendekatinya. Karena mereka berdua mengenakan pakaian yang relatif terbuka, rangsangannya sangat kuat. Suara aksesori yang saling bergesekan pun terdengar, dan aroma dewasa Himari dari parfumnya dan aroma harum Maho dari kulitnya bercampur, dan merangsang hidung Saito.
"Lepaskan aku, kalian mencekikku!"
"Ahaha~ Mas jadi merasa sangat malu~." Maho menusukkan jarinya ke pipi Saito.
"Kamu itu sebenarnya senang kan, Saito-kun?" Himari berbisik ke telinganya.
"Aku tidak merasa malu ataupun senang!"
Atau begitulah yang Saito nyatakan, tetapi ia jelas tidak merasa tidak enak menerima kasih sayang sebanyak ini dari dua cewek itu. Terutama karena Himari dan Maho adalah cewek yang menawan. Itu pasti terlihat di wajahnya entah bagaimana, karena—
"…Menjijikkan." Saito menerima tatapan dingin dengan kata-kata kasar dari Akane.
Ini seratus kali lebih buruk daripada hinaan yang biasa dilontarkan oleh Akane setiap hari, membuat Saito merasa seperti ia hanyalah sampah dalam bentuk manusia. Saito merasa sangat terisolasi, mengingat karena ia tidak punya sekutu. Tetapi tidak lama, dari loket tiket datang Shisei, yang sedang memegang tiket.
"Abang, aku telah membeli tiket bebas untuk semua orang."
"…Kerja bagus."
"Mgh."
Merasa emosional, Saito meremas Shisei dengan erat. Shisei mengeluarkan suara seperti dia sedang dihancurkan, tetapi Saito tidak terlalu peduli dengan itu. Di tengah semuanya melakukan apapun yang mereka inginkan dan menyalahkan Saito pada akhirnya, Shisei-lah satu-satunya yang benar-benar memikirkan Saito. Saito sekali lagi menyadari kalau satu-satunya sekutu yang ia punya di dunia ini hanya Shisei.
"Mari kita pergi, Shisei! Kita akan menikmati taman hiburan sampai kita kenyang!"
"Tentu, mari kita makan semuanya sampai mereka kehabisan makanan."
Saito meraih tangan Shisei yang setia dan berjalan melewati gerbang masuk. Mereka mendapati pemindai membaca tiket mereka dan memasuki taman itu secara berurutan. Tepat setelah masuk, mereka disambut dengan alun-alun terbuka, sebuah monumen besar yang berdiri di tengah yang diterangi oleh matahari, dengan air mancur di sekelilingnya ke segala arah. Di depan monumen berdiri apa yang tampaknya menjadi maskot dari taman hiburan ini, dan menyambut pengunjung dan berfoto. Maskot itu dirancang seperti kucing dengan tampilan yang agak jahat di matanya. Namun, wajah Akane bersinar gembira.
"Benar-benar kucing yang imut! Mari kita minta foto kenang-kenangan dengan mereka!"
"…Imut?" Saito dipenuhi dengan keraguan.
"Dia itu imut! Itu merupakan matanya yang terbuka lebar yang mungkin telah mengering, dan dia menyeringai mirip seperti seseorang yang sedang merencanakan sesuatu yang jahat!"
"Karena itu kamu menganggapnya imut?"
"Itu membuatnya tampak imut, iya!"
"Walaupun kamu berpikir begitu, yang mengenakan kostum itu kemungkinan besar itu om-om."
"Mengapa sih kamu harus menghancurkan harapan dan impianku begitu?!" Akane mulai menangis.
Maho menunjukkan seringai nakal, menggoyangkan jari telunjuknya.
"Ck ck ck, Mas tidak boleh bilang begitu. Tidak ada orang di dalam kostum itu, Mas tahu?"
"Lalu apa yang ada di dalamnya, hah?"
"Organ, tentu saja!"
"Itu jelas terdengar aneh!"
"Itu tidak aneh sama sekali! Kita semua punya organ yang disatukan di dalam diri kita!"
"Ati ampela… lezat…" Shisei mulai mengiler.
"Jangan lapar sekarang…" Saito melindungi perutnya.
Adik sepupu Saito yang tampak polos ini sebenarnya tidak dapat membedakan antara apa yang bisa dia makan dan yang tidak bisa dia makan—atau lebih tepatnya, boleh dan tidak boleh dimakan. Di saat yang sama, Himari meletakkan satu jari di bibirnya, dan berpikir.
"Hmm, tidak ada jaminan kalau yang mengenakan kostum ini om-om, kamu tahu? Saat aku bekerja paruh waktu sebelumnya, aku sendiri harus memakai kostum semacam ini."
"Kamu benar-benar bekerja di mana-mana, ya."
"Yap! Apapun yang dapat memberiku uang, aku akan mencobanya!"
Meskipun tampak seperti seorang gyaru di luar, Himari itu cewek yang berkemauan keras. Masuk akal kalau seseorang yang sangat fokus dalam menabung seperti Akane akan memilihnya sebagai teman. Di saat yang sama, Akane dengan panik menyatakan.
"Apa yang ada di dalamnya itu tidak masalah! Ini kucing! Dan ada kucing di dalamnya juga! Dan di dalam kucing itu ada lebih banyak kucing! Jadi ini murni kucing 100%!"
"Memangnya apa ini, boneka matryoshka?" Saito membayangkan sekotak kucing dengan lebih banyak kucing di dalam kucing-kucing itu.
"Bagaimanapun! Aku ingin berfoto! Kalau aku tidak memotret kucing itu, aku akan gagal sebagai juru kamera tempur!"
"Sejak kapan kamu berubah menjadi juru kamera tempur..."
Akane pasti sudah kesurupan, karena dia tidak menanggapi, dan cuma berlari ke arah kostum kucing itu. Akane berbicara dengan staf terdekat, menyerahkan ponselnya, dan meminta untuk memotret foto bersama. Dengan badut kucing itu di tengah, Saito berdiri di sebelah kiri, dan Akane di sebelah kanan. Saito mendapati Maho dan Himari berpegangan pada kedua lengannya, Shisei bersandar di dadanya dengan bagian belakang kepalanya, menciptakan populasi yang sangat tinggi di sekitarnya. Staf wanita yang memegang ponsel itu menunjukkan tawa.
"Anda itu cukup populer, ya, Tuan~."
"Tidak sama sekali." Saito segera membantahnya.
Mengesampingkan Himari, Shisei itu adik sepupunya, Akane itu istrinya, dan Maho itu adik iparnya, jadi ini terasa lebih seperti perjalanan keluarga daripada apapun. Namun, Maho secara alami memberikan penjelasannya sendiri.
"Mas ini memang buaya darat! Dua dari cewek-cewek di sini sudah mengakui perasaannya padanya, dan dua lagi selalu tidur bersama dengannya!"
"Kamuuuuu?!"
Saito berusaha membungkam Maho, tetapi dia terus saja tertawa, berlarian sambil menghindari Saito. Sekali lagi, benar-benar keisengan yang nyata.
"Saito-kun?! Siapa dua cewek yang sering tidur bersamamu?!" Himari berteriak, warna wajahnya berubah drastis.
"Itu Shisei… saat kami masih kecil." Saito dengan enggan menjawab.
"Dan siapa yang satunya itu?!"
"Tidak ada… Dengan siapa aku akan tidur di luar kelompok ini…"
"Maukah kamu memberi tahuku semua detailnya, hmm?!"
Saito merasakan tekanan langsung di lengannya, dipegang erat oleh Himari. Saito khawatir Akane mungkin panik dan mengatakan sesuatu yang bodoh, tetapi orang yang dimaksud cuma menatap kostum kucing dengan mata mengantuk, tidak menangkap perkelahian yang terjadi. Meskipun mereka semua berteriak, kucing itu jauh lebih penting, ya. Di saat yang sama, suara yang dalam sampai ke telinga Saito.
"…Membusuklah di neraka."
"?!" Saito bingung dan melihat ke sekeliling untuk mencari sumber suara itu.
Tidak perlu diragukan lagi, kutukan ini datang dari orang yang ada di dalam kostum itu. Bahkan aura gelap terpancar ke luar kostum. Itu tidak dapat lebih jauh dari kucing yang imut, mirip gumpalan kemarahan dan dendam yang terpendam. Namun, tidak ada cewek yang menunjukkan reaksi apapun terhadap kutukan itu.
—Apa ia mengatakan itu pada frekuensi yang cuma aku yang dapat menangkapnya?! Apa taman hiburan ini benar-benar tanah fasilitas percobaan?!
Saito merasa seperti sampai ke teori konspirasi. Saat kekacauan terjadi begini, staf wanita menyiapkan ponsel pintar agar siap memotret.
"Baiklah semuanya, apa kalian sudah siap? Aku akan memotretnya~!"
"Aku sudah siap dari satu miliar tahun yang lalu!"
"Kamu akan berubah menjadi fosil pada saat ini!"
Akane tampak sangat bersemangat. Kedengarannya seperti hidup Akane bergantung pada pemotretan tunggal ini, tangannya di tas bahunya, dan sedikit memiringkan kepalanya, memamerkan senyuman yang sempurna. Tepat pada saat itu, Saito menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Badut kucing yang memancarkan frekuensi jahat melingkarkan tangannya di pinggang Akane, perlahan-lahan menggerakkannya ke bawah menuju bokongnya.
"Menjauhlah darinya!" Saito menarik tangan Akane, menjauh dari badut itu.
Di saat yang sama, staf wanita memotret, menciptakan suara cekrik.
"Hei?! Mengapa kamu mengacaukan foto itu?!" Akane menyerang Saito.
"Karena bajingan kucing itu akan meraba-rabamu!"
"Hah?! Seekor kucing tidak akan pernah melakukan hal semacam itu!"
"Dia itu bukan kucing!"
"Dia itu kucing!"
Saat mereka berdua beradu mulut, badut kucing yang dimaksud itu mengangkat cakarnya tinggi-tinggi, mengeluarkan suara ngeongan yang keras.
"Lihat kan, dia itu kucing!" Akane menekankan.
—Orang bodoh ini!
Keinginan untuk menampar habis badut kucing memenuhi Saito, tetapi karena Akane bertindak sebagai perisai di antara mereka berdua, itu tidak mungkin. Namun di belakang Akane berdiri badut kucing itu, jelas mengacungkan jari tengahnya ke arah Saito. Ia bahkan tidak berusaha menyembunyikan niat buruk dan perasaan irinya.
(TL Note: Badut doang bikin emosi!)
"Silakan diperiksa fotonya~." Staf wanita itu mendekati mereka dengan ponsel pintar di tangan.
Tampil di layar ada Saito dan Akane, yang berpegangan tangan dengan posisi yang sempurna tepat setelah foto itu diambil.
"A-Aku ingin mengulang fotonya!" Akane memohon dengan wajah merah padam, tetapi staff itu terpaksa untuk menundukkan kepalanya.
"Saya minta maaf, tetapi kami sangat ramai sekarang..."
"Ah…"
Antrean panjang telah terbentuk di sekitar monumen, semua pengunjung menunggu untuk berfoto. Tatapan mereka sangat menyakitkan, dan mereka sepertinya siap untuk melempar batu ke kelompok itu kapan saja. Terutama ke Saito.
"Oke…ini saja cukup…" Akane menghela napas dan berjalan menjauh dari monumen.
Melihat Akane begitu sedih, Saito merasa bersalah.
"Kamu tahu… maafkan aku. Kalau kamu tidak menyukai foto itu, kamu bebas menghapusnya."
"Aku tidak akan melakukan itu…Aku harus terus hidup dengan ingatan yang tidak akan pernah dapat aku hapus…" Akane menunjukkan senyuman yang bermartabat namun sama rapuhnya.
—Mungkin aku seharusnya menyuruh om-om itu menyentuh bokongku saja?!
Saito meragukan pilihan yang ia buat. Belum lagi ia seharusnya tidak peduli walaupun om-om itu melakukan sesuatu pada Akane. Namun, Saito malah ikut campur begitu karena beberapa alasan.
"Astaga… Mau bagaimana lagi." Akane melihat foto itu, mengangkat bahu sambil meletakkan ponsel pintar di tas bahunya.
Akane tidak menunjukkan banyak amarah di luar itu benar-benar pemandangan yang langka.
"Hei hei, mari kita cepat naik suatu wahana!" Maho menarik lengan Saito, dan Himari melihat peta taman.
"Di sana ada wahana air hutan. Ini adalah jenis arung jeram juga. Haruskah kita memeriksanya?"
"Bagaimana kalau kita basah?!" Akane bertanya dengan ekspresi serius yang mematikan.
"Kita akan berada di dalam perahu besar, jadi tidak masalah."
"Kita mungkin akan menabrak gunung es..."
"Ini bukan Titanic, oke."
"Seekor buaya dari hutan mungkin akan menyerang kita…"
"Jangan khawatir, mereka tidak akan punya buaya asli di hutan taman hiburan."
"Ayolah, ayolah, tidak usah takut, Mbak!"
"M-M-Mbak tidak takut sama sekali!" Kata Akane, jelas ketakutan, tetapi Maho tanpa henti mendorongnya ke belakang.
Dengan waktu yang tepat, sebuah perahu yang mampu memuat lima orang tiba di depan kelompok itu di peron. Kelompok sebelum mereka meninggalkan perahu sambil mengatakan hal-hal seperti 'Itu gila!' atau 'Aku pikir aku akan mati!'. Percikan air kali ini tampak cukup ekstrem karena membasahi rambut dan celana mereka.
"Apa aku…akan mati…?" Akane tampak khawatir akan nyawanya.
"Kamu tidak akan mati. Ini merupakan wahana yang sangat aman dan terkendali."
"Tunggu sebentar, aku akan mencari kecelakaan di masa lalu secara daring."
"Aku rasa kamu cuma akan semakin takut kalau kamu membacanya…?" Himari berkomentar.
"Pengunjung yang terhormat, kapal akan pergi tanpa kalian dengan kecepatan begini~!"
Didesak oleh staf, kelompok Saito yang terdiri dari lima orang itu naik ke atas kapal. Bergerak mengikuti aliran air, perahu menjauh dari peron, menyusuri sungai buatan. Untuk menciptakan rasa orisinal yang kuat, mereka menambahkan patung binatang seperti harimau atau jaguar di kedua sisi sungai. Beberapa buaya menjulurkan kepala mereka keluar dari sungai, menyemprotkan air ke udara.
"Abang, ada ikan. Banyak sekali ikannya." Shisei mengiler, mendorong tubuhnya keluar dari perahu.
"…Jangan terjatuh, oke?" Saito meletakkan Shisei di pangkuannya, dan menahan Shisei.
"Ikan yang bagus, untung Shisei bawa jala."
"Jangan mulai memancing di atraksi taman hiburan, oke."
"Shisei berhasil meraihnya dengan tangannya, maukah Abang menggigitnya?" Shisei mendorong makhluk kenyal dan bergerak (masih hidup), yang tidak tampak seperti ikan itu ke mulut Saito.
"Jangan dekatkan makhluk itu pada Abang!"
"Ahhhh."
Saito mengambil makhluk hidup itu dari Shisei, melemparkannya menjauh. Saito ingin menjauhkan segala kemungkinan bahaya dari keluarga dan teman-temannya. Di saat yang sama, Maho menarik lengan Saito.
"Mas, Mas! Ada gajah di sana yang melakukan senam kelompok sambil menari!"
"Mana mungkin ada…"
Saito berasumsi kalau itu cuma omong kosong karangan Maho lagi, tetapi saat ia melirik ke sana, ternyata benar. Sekelompok gajah sedang melakukan senam berkelompok sambil menari. Yang pertama, gajah berkepala tiga, lalu gajah berkepala dua, dan pada anak tangga terakhir di bawah mereka berdua ada gajah bermahkota, yang berdiri dengan kaki terbuka dan tangan bersilang, menggoyangkan pinggulnya dengan keras. Gajah di atas kelompok itu menggunakan belalainya sebagai penyiram air, menyemprotkannya ke mana-mana.
"Siapa yang merancang tempat ini?!"
Sebagai calon pemilik dan manajer, Saito merasakan dorongan kuat untuk mempertanyakan beberapa pengambilan keputusan di balik wahana ini. Entah membuat hutan tampak realistis, atau menjalankannya dengan membuat perasaan yang lebih fantastis, tetapi buatlah itu menjadi salah satu dari keduanya.
"Kita akan berakhir jatuh, bukan?! Kita pasti akan basah kuyup!"
"Itu membuatku ingat, mereka menjual jas hujan di pintu masuk... haruskah kita membelinya?" Himari mengemukakan sebuah ide.
"Sudah terlambat untuk itu!"
"Kita harus turun dari perahu ini!"
"Kalau begitu kalian pasti akan basah!" Saito mencengkeram pakaian Akane, menghentikan penyelamannya.
"Terserahlah! Mari kita semua basah! Ahoi!"
"Ahoi."
Maho dan Shisei mengangkat genggaman tangan mereka, saat perahu itu menabrak tepat ke area efek oleh alat penyiram. Percikan air yang lebih kuat dari yang diperkirakan menghantam perahu itu, membuatnya tidak seperti alat penyiram, dan lebih seperti tornado.
"Abang…mari kita bertemu lagi di suatu tempat…"
"Jangan mati di depan Abang!"
Shisei hampir terbawa oleh arus air, jadi Saito melakukan yang terbaik yang ia bisa untuk memeluk Shisei erat-erat. Maho dan Himari bersorak, dan Akane berteriak ketakutan. Itu benar-benar kekacauan di manapun kamu melihatnya.
"Siapa yang baru saja menyentuh bokongku?! Saito?!"
"Itu bukan aku! Aku tidak menyentuh siapapun!"
"Ah, itu aku!" Maho mengangkat tangannya.
"Kamu lagi!" "Kamu lagi!"
Di tengah semua kekacauan ini, dengan perahu yang bergetar hebat, tidak seorangpun yang punya waktu untuk melindungi diri mereka dari kemungkinan pelecehan seksual. Di depan semua kesenangan dan kegembiraan, umat manusia jadi tidak berdaya, dan begitu pula hukum. Pada akhirnya, mereka turun dari perahu sebagai orang yang basah kuyup di akhir perjalanan. Kemeja Maho menempel di kulitnya, memperlihatkan celana dalamnya di bawahnya. Tetesan air di bahu dan paha Maho menciptakan pesona yang aneh. Namun, Maho tidak menunjukkan penyesalan apapun, dan cuma menarik celananya sambil tertawa.
"Ahahaha! Itu tadi menyenangkan! Bahkan celana dalamku sampai basah kuyup!"
"Maho! Hati-hati dengan bahasamu!"
"Maksudku, itu memang benar, bukan? Bahkan celana dalam Mbak juga basah kuyup, iya kan Mbak?"
"Hentikan itu!" Akane mencoba menangkap Maho, tetapi dia terus kabur sambil cekikikan.
Saito mencoba yang terbaik untuk tidak melihat cewek-cewek yang basah kuyup, itulah sebabnya ia menjauhkan arah pandangannya. Namun, Akane tidak puas dengan upaya ini, dan tetap memelototi Saito.
"Jangan lihat ke sini! Sampai pakaian kami semua kering, kamu tidak boleh melihat!"
"Kalau begitu bagaimana caranya aku berjalan?!"
"Kamu bisa menggunakan suara ultrasonik, bukan?!"
"Memangnya aku bisa!"
Shisei mengangkat tangannya.
"Shisei bisa."
"Seriuskah?!"
Yang paling gila dari mereka semua itu Shisei yang mungkin benar-benar dapat melakukannya.
"Aku… tidak masalah walaupun Saito-kun melihat, kamu tahu…?" Himari bergumam malu-malu, menarik pakaiannya agar lebih menempel ke kulitnya, menekankan dadanya yang besar hingga tidak dapat diabaikan. Cara rambut Himari yang basah menempel ke pipinya juga cukup memikat.
Maho mendengar ini dan meletakkan jari-jarinya di dagunya.
"Ohh? Jadi Himarin mau muncul dalam mimpinya Mas sebagai penenang seksual?!"
"Hah?! Itu… aku akan senang kalau memang begitu.
"Himari mesum!"
"Ya ampun! Aku ini tidak mesum sama sekali!"
Maho dan Himari menyatukan tangan mereka, dan melompat-lompat. Sangat menyenangkan melihat kedua gyaru itu bersenang-senang, tetapi sebagai topik pembicaraan itu, yang Saito rasakan hanyalah rasa malu. Belum lagi Akane mengirimi Saito tatapan tajam dengan niat membunuh.
"…Orang mesum."
"Tetapi aku tidak melakukan apa-apa?!" Saito mengaku tidak bersalah dengan sekuat tenaga.
"Kamu mungkin punya mimpi yang mesum tentang aku, bukan?!"
"Jelas... bukan... begitu...?"
Itu memang terjadi sebelumnya. Namun, itu di luar kendali Saito, jadi ia berharap ada sedikit pengertian dari pihak Akane.
"Mengapa kamu meraba-raba kata-katamu sendiri begitu?! Seperti yang aku pikirkan…kamu mungkin membuatku mengenakan kostum kelinci di mimpimu, bukan?!" Akane mundur selangkah.
Fantasi Akane, seperti sebelumnya, masih di tingkat SD.
"Segitu saja seharusnya tidak apa-apa, bukan?!"
"Sama sekali tidak boleh! Aku melarangmu tidur mulai hari ini!!"
"Jangan konyol!"
Saito bukanlah seorang manusia super yang dapat hidup tanpa tidur. Kalau Akane melarang Saito dari tidur, itu pasti akan mempengaruhi kehidupannya di sekolah.
"Semuanya, mari kita coba wahana yang itu selanjutnya!" Maho menunjuk ke sebuah bangunan di dekatnya.
Itu merupakan bangunan kompak dengan atap yang berbentuk kubah. Dindingnya dipenuhi dengan gambar beruang kutub dan penguin, bertuliskan 'Rumah Es'.
"Kita akan… masuk ke dalam sana? Tertulis kalau ini merupakan dunia dengan suhu minus 30°C."
"Kita semua masih basah kuyup karena perjalanan di wahana hutan tadi, jadi kita mungkin akan mati kedinginan saat ini, kamu tahu…?"
Baik Saito maupun Himari ragu-ragu.
"Kalian berdua ini benar-benar tidak mengerti, ya! Ini seru karena kita kedinginan!"
"Apanya yang seru dari melakukan itu ?!”
"Terserahlah, terserahlah~ Mari kita kedinginan, semuanya!" Maho menarik semuanya.
Maho kemungkinan besar sangat suka pergi ke taman hiburan, karena dia bahkan lebih bersemangat dari biasanya, tidak dapat menahan diri. Mereka berjalan melalui pintu plastik yang tembus pandang ketika mereka terkena gelombang udara yang dingin. Pakaian mereka yang basah segera mengeras. Bagian dalam gedung terbuat dari dinding balok es, dan jalannya hampir seperti labirin. Beberapa patung es menampilkan Sinterklas, rusa kutub, atau beruang kutub. Maho menggerakkan telapak tangannya ke sepanjang dinding es.
"Lihat, lihat, Mbak! Tanganku menempel ke dinding!"
"Hentikan itu! Kamu tidak akan dapat melepaskannya!"
"Kalau begitu aku dapat melepaskan kulitku!"
"Apa kamu yakin mau begitu?!" Akane dengan hati-hati menjauhkan Maho dari es.
Akane menyatukan tangannya dengan tangan Maho, seperti sedang memegang kaca, dan menggosoknya sebaik mungkin.
"Apa kamu baik-baik saja? Kamu tidak terluka di manapun, kan? Apa kamu merasakan sakit?"
"Aku baik-baik saja, kok~! Mbak hanya terlalu khawatir!" Maho tertawa dengan sepenuh hati, dan berjalan ke depan.
"Astaga..." Akane menghela napas.
Saito melihat ini dari samping, dan menekankan kekaguman.
"Kamu itu benar-benar kakak yang baik, ya."
"Apa? Apa kamu menyerang kepribadianku?"
"Aku tidak, kok! Mengapa kamu berpikir begitu?!"
Akane menyipitkan matanya, dan menatap Saito.
"Kita akan bertemu di pengadilan."
"Kedengarannya seru, tetapi tolong jangan ada tuntutan hukum."
"Kalau begitu aku akan memberimu penilaian di sini, sekarang juga."
"Aku rasa kalau itu akan menjadi hukuman mati."
"Tepat."
"Tolong jangan."
Sekali lagi, dari lubuk hatinya, Saito senang karena Jepang merupakan negara dengan pemerintahan konstitusional. Kalau pemerintahan diserahkan kepada iblis seperti Akane, Saito pasti sudah mati sepuluh kali lipat sekarang.
"Hei… Ke mana Shisei-chan pergi…?"
Mendengar kata-kata Himari, Saito dan Akane sama-sama berhenti.
"Sekarang kalau dipikir-pikir... aku belum melihatnya lagi untuk beberapa lama..."
"Mungkin dia baru saja pergi?" Saito menatap Akane.
"Aku berjalan di depan sepanjang waktu ini!" Maho berbalik arah.
"Kita semua memasuki tempat ini bersama-sama, bukan?"
"Iya, aku rasa dia tepat di sebelah Saito-kun."
Akane menyilangkan tangannya, menunjukkan wajah seorang detektif saat dia mulai menyimpulkan.
"Ada juga kemungkinan kalau dia dimakan oleh beruang kutub…"
"Tidak, itu tidak mungkin."
"Itu bisa saja, bukan?! Beruang kutub kan makan daging, ingat?!"
"Mana mungkin. Mereka tidak punya beruang kutub sungguhan di sini." Saito segera merusak suasana hati detektif Akane.
Kalau memang ada area pemeliharaan untuk beruang kutub di sini, akan ada korban terus-menerus dengan pengunjung.
"Shisei! Kamu ada di mana?! Shisei!" Saito berteriak, tetapi cuma keheningan yang kembali sebagai jawaban.
Himari menjadi pucat.
"Jangan bilang... apa dia akhirnya tersesat...?"
"Di ruangan sempit ini?!" Saito mengeluarkan ponsel pintarnya, hendak menelepon Shisei.
"Ah! Di sana! Itu Shii-chan!"
Maho menunjuk ke suatu arah, memperlihatkan Shisei yang telah pingsan di depan tali sudut pameran. Seperti sebuah boneka, Shisei bahkan tidak berkedip, anggota tubuhnya terentang, dam membeku kaku. Rambut panjangnya sudah mulai membeku di lantai, membuatnya terlihat seperti roh es. Di belakangnya berdiri patung es Sinterklas, mulutnya terbuka saat ia tertawa.
"Bertahanlah!"
Saito menarik Shisei dari lantai es, yang menciptakan suara pecahan es. Dengan bibir yang pucat, Shisei bergumam.
"Pembunuhnya... itu Sinterklas ini..."
"Abang akan segera mencairkanmu!" Saito membawa Shisei keluar dari labirin es, dan meninggalkan gedung.
Saito meletakkan Shisei di bangku yang terkena banyak cahaya matahari, lalu es di tubuh Shisei mulai mencair. Shisei akhirnya dapat bergerak lagi, dan meregangkan setiap bagian tubuhnya.
"Abang benar-benar membantu Shisei di sana. Aku ingin makan es, dan berbaring lalu aku membeku di lantai."
"Abang juga berpikir kamu akan melakukan itu..."
"Aku makan es sebelum aku benar-benar beku."
"Kamu pasti kuat."
Bahkan setelah menjadi siswi SMA, Shisei masih terlalu berbahaya untuk ditinggal sendirian. Saito sepenuhnya mengerti bagaimana perasaan Akane dalam menjaga Maho. Setelah Rumah Es, mereka selanjutnya pergi ke kereta luncur (rollercoaster). Saito memang tidak terlalu nyaman dengan itu, tetapi setidaknya itu lebih baik daripada yang dilakukan oleh sopir pelayan Shisei. Tidak seperti wahana sensasi yang sangat aman ini, duduk di mobil itu sebenarnya dapat mengancam jiwa.
"Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku dan Mbak naik kereta luncur! Aku tidak sabar ingin naik lagi!"
"Iya…Mbak juga tidak sabar…" Akane diseret oleh Maho, tidak menunjukkan sedikitpun rasa gembira dalam ekspresinya.
Kaki Akane gemetaran, seperti akan dipenggal guillotine.
"Wuhu! Baris pertama terbuka! Mari kita duduk di sini! Kita benar-benar beruntung!"
"Mbak merupakan orang yang paling beruntung di dunia ini..." Akane tampak seperti dia akan mati sebentar lagi, dengan Himari ada di belakangnya, dan satu baris di belakang mereka ada Saito dan Shisei.
Saito terlalu khawatir dengan Shisei untuk meninggalkannya sendirian, jadi ia harus menjaga Shisei.
"Abang, aku lapar..."
"Setelah kita turun, Abang akan membelikanmu curo, oke."
"Sudah beli nih. Cuma tinggal dimakan kalau begitu."
"Mari kita makan itu setelah kita turun, oke!" Saito memasukkan curo itu kembali ke saku Shisei setelah dia mencoba mengeluarkan curo itu.
"Dapat menikmati pemandangan indah sambil makan merupakan salah satu kenikmatan hidup."
"Kamu tidak akan punya waktu untuk menikmati pemandangan. Dilarang makan selama perjalanan."
"Shisei cuma akan memasukkan curo itu ke pipiku, dan menelannya setelah turun."
"Apakah kamu ini sejenis hamster?"
Saat mereka berdua mengobrol, kereta mulai bergerak. Itu bergerak ke puncak dan berhenti total dengan suara metal. Tepat setelah itu, kereta luncur itu meluncur ke bawah. Tidak lama kemudian mereka merasakan kaki Saito melayang, dan perasaan tidak nyaman yang aneh karena organ-organmu bergerak. Himari dan Maho menjerit. Shisei tidak menunjukkan reaksi apapun, cuma mengobrol dengan Saito.
"Mereka rupanya menjual taiyaki yang asli di sini. Bagian dalamnya terbuat dari okonomiyaki, menggunakan saus yang rasanya seperti makanan laut."
"Jangan mencoba melanjutkan obrolan santai di sini!"
"Mengapa? Shisei ingin mengobrol banyak dengan Abang."
"Pikirkan sikon-nya dulu sebelum itu!"
Tidak seperti Shisei, yang terbiasa dibawa berkeliling oleh pelayan gila itu, Saito membutuhkan segalanya untuk menghadapi pengalaman kereta luncur ini. Karena Saito lebih menyukai perdamaian daripada perang, ketenangan daripada pertempuran, ia tentu saja tidak menyukai wahana semacam ini. Kalau bisa, Saito lebih suka membaca buku di hutan, dan mengonsumsi beberapa protein. Bahkan Akane, yang tampak ketakutan sebelum menaiki kereta ini, tidak berteriak sedikitpun. Akane cuma duduk tegak di bangkunya, selalu menjadi yang pertama yang melayang ke bawah.
—Mungkin Akane benar-benar jago dalam hal ini?
Saito menganggap hal ini sebagai hal yang tidak terduga, lalu dia bersiap untuk menuruni jalur berikutnya. Melanjutkan beberapa putaran, kereta itu mencapai garis finis. Setelah dampak yang lebih besar, kereta itu berhenti total.
"Ahhh, itu terasa luar biasa~."
"Ini yang terbaik di kala kamu ingin menghilangkan stres~."
Maho dan Himari tampaknya merupakan pengunjung tetap dalam urusan kereta luncur ini, menuju ke pintu keluar dengan senyuman yang cerah. Shisei acuh tak acuh seperti sebelumnya, mengeluarkan curo itu dan mengunyahnya. Di saat yang sama, Akane tidak bergerak sedikitpun.
"Tunggu, apa dia ingin melakukan putaran kedua setelah ini…?" Saito mendekati Akane, menatap wajahnya.
Di sana, Saito melihat Akane dengan mata tertutup, menunjukkan ekspresi damai.
"Akane pingsan?!" Saito berteriak, sehingga Akane perlahan membuka matanya, melihat sekelilingnya dengan tatapan yang bingung.
"Oh, kita bahkan belum berangkat?"
"Belum lagi dia kehilangan ingatannya!?"
“Jangan berdiri begitu, masuklah, Saito. Sesuatu semacam ini sama sekali tidak menakutkan. Naik kereta luncur ini semudah membuat sarapan." Akane berlagak tangguh, lalu Saito berjuang keras untuk menahan air mata.
"Akane…pertarungannya telah berakhir…"
"Pertarungan? Apa yang kamu bicarakan? Menaiki kereta luncur itu semudah menaiki sepeda roda tiga. Aku ini tipe cewek yang tidak punya masalah dengan kereta luncur!"
"Aku mengerti…Aku mengerti, jadi mari kita pergi…" Saito menyeret cewek yang bisa saja menaiki kereta luncur itu menuju pintu keluar.
Bahkan staf yang menyaksikan pertukaran ini terjadi menyeka mata mereka, mengatakan 'Em, mungkin akan lebih baik baginya untuk tidak naik kereta luncur sesering itu…' dan Saito mengangguk dalam diam, mengambil keputusan kalau ia tidak akan membuat Akane memaksakan dirinya begitu sampai begini lagi.
"Mari kita coba ini selanjutnya!"
"Kamu masih belum puas, ya?!" Perasaan jujur Akane tumpah tepat saat Maho mulai berjalan.
Wahana yang Maho tunjukkan saat ini jauh lebih jinak daripada kereta luncur. Itu merupakan Komidi Putar dengan gondola yang terpasang, perlahan membentuk lingkaran.
"Katanya kita cuma bisa naik berempat, tetapi bagaimana kita membagi kelompoknya?" Himari bertanya, dan Akane mengangkat tangannya.
"Ah, kalau begitu aku akan menunggu kalian di sini saja. Kalian bisa pergi tanpa aku—"
"Tidak, Mbak! Mbak harus ikut dengan kami! Aku tidak ingin meninggalkan Mbak." Maho berkata dengan ekspresi serius, dan membentuk kepalan tangan.
"Erk…Terima kasih…Maho…"
"Astaga, jangan menangis karena ini, Mbak! Inilah yang dapat diharapkan dari adik Mbak!" Maho dengan malu-malu mengangkat bahunya.
Namun, Saito dapat dengan mudah menebak kalau air mata ini tidak keluar karena kegembiraan dan emosi, melainkan dari ketakutan dan kesedihan yang sederhana.
"Baiklah, mari kita berpisah dalam kelompok kalau begitu!"
Mereka melakukan suten singkat dengan hasil akhir, Maho, Himari, dan Shisei berakhir dalam satu kelompok, dan Saito dengan Akane di kelompok yang lain, menjadikannya kelompok yang beranggotakan tiga dan dua orang. Setelah memasuki gondola, Akane menyatukan ujung sandalnya, tidak bergerak satu milimeterpun dari tempat dia duduk. Meskipun mereka tidak banyak bergerak dari permukaan, Akane mungkin berpikir kalau dia akan kalah kalau dia melihat ke permukaan, karena Akane terus menatap ke arah langit.
"Kamu itu… benar-benar buruk dalam hal-hal semacam ini, ya?" Saito mulai benar-benar merasa kasihan.
"A-Aku baik-baik saja! Aku cuma tidak bisa fokus saja pada hal ini! Pergi dari titik A ke titik B dan menggunakan listrik, itu buruk bagi lingkungan."
"Kok kamu tiba-tiba berubah menjadi pemerhati lingkungan, ya."
"Ini salah kita umat manusia karena membuat hal semacam itu! Akar dari semua kejahatan itu adalah umat manusia… Andai saja manusia itu tidak ada…" Akane mulai terdengar seperti bos terakhir dari kelompok lingkungan.
Akane tidak punya niat untuk menjadi jujur, jadi Saito harus menggunakan metode yang kuat.
"Sebagai perwakilan dari umat manusia yang jahat ini, izinkan aku membagikan kisahku ketika Komidi Putar itu berhenti di udara. Itu terjadi ketika aku dan Shisei masih berusia enam tahun, saat gondola mencapai ke bagian atas, dan—"
"Hentikan itu!!" Akane menutup telinganya.
Akane menempelkan punggungnya ke dinding, dan memeluk lututnya, lalu dia masuk ke mode pertahanan, dan mengakui segalanya.
"Itu benar! Baik itu kereta luncur, Komidi Putar, aku tidak dapat menangani banyak wahana! Bunuh saja aku! Dan selesaikan itu!"
"Aku tidak akan membunuhmu…"
"Jadi, kamu ingin aku menurunkan kewaspadaanku dan kemudian mendorongku keluar dari Komidi Putar ini, begitu! Selamatkan akuuu! Seseoraaaang!"
Pertama, Akane ingin dibunuh, sekarang dia malah memohon untuk diselamatkan, dia benar-benar terbelah di antara dua pilihan itu. Tetapi mungkin, Akane juga bingung dengan dirinya sendiri.
"Tenang, tidak akan ada yang datang meskipun kamu berteriak, dan kita akan segera kembali ke permukaan."
"Komidi Putar ini tidak begitu nyaman untuk dibangun dengan tujuan itu!"
"Tentu saja nyaman. Kalau kamu memang seburuk itu dengan taman hiburan secara umum, mengapa kamu setuju untuk bergabung?" Saito bingung.
Akane menunjukkan ekspresi terganggu, dan memalingkan wajahnya.
"Aku ingin… membuat Maho bahagia."
"Benar-benar Siscon."
"Jangan mengejekku."
"Aku tidak mengejekmu, kok."
Mengikuti kereta luncur yang membuatmu pingsan cuma karena mau membuat orang lain bahagia, sebenarnya itu sesuatu yang sangat mengagumkan. Terlebih lagi, mempertimbangkan kalau ini Akane, yang takut akan segalanya.
"Cewek itu menyukai hal-hal seperti taman hiburan atau festival, apapun yang akan memberinya banyak kesenangan. Dan, dia lebih suka pergi dalam sekelompok orang. Mungkin karena dia selalu sendirian, dan terbaring di ranjang."
"Mundur ke masa lalu, ya…"
"Maho telah melalui banyak hal, itulah sebabnya aku ingin membuatnya bahagia sebaik mungkin." Akane menggigit bibirnya seakan-akan dia sedang menghidupkan kembali kenangan yang pahit itu.
Bagi Akane, rasa sakit adiknya harus sama dengan rasa sakitnya sendiri. Itulah betapa Akane peduli dengan Maho, membuat Saito merasa iri karena suatu alasan.
"Tetapi, aku rasa kamu tidak perlu memaksakan dirimu sebanyak ini. Kamu dapat menyerahkan Maho pada kami, dan—"
"Maho sudah sejauh ini, dan sekarang dia akhirnya dapat kembali ke Jepang. Itu merupakan mimpi Maho untuk bepergian ke luar Jepang, jadi aku ingin dia bebas, tetapi…aku kesepian. Setidaknya saat dia ada di rumah, aku ingin bersamanya sesering mungkin." Akane mengangkat bahunya sambil tersenyum.
Biasanya, Akane memang menonjol karena kelebihannya, tetapi hari ini dia benar-benar seperti seorang kakak. Namun, wajah Akane pucat, dan lututnya gemetaran. Bahkan saat mereka berdua mengobrol, Akane berusaha sekuat tenaga untuk tidak melihat ke arah bawah. Saito memperhatikan cewek itu, tidak mampu menahan senyuman masam.
"Haruskah kita berpegangan tangan?"
"Hah?! Me-Mengapa tiba-tiba begitu?! Jangan mencoba melakukan hal-hal aneh hanya karena kita sedang berduaan saja!"
"Aku rasa kamu tidak akan terlalu takut kalau kita berpegangan tangan."
"U-Urus saja urusanmu sendiri…" Akane cemberut, tetapi masih dengan enggan menerima tangan Saito.
Ketika Saito memegang tangan Akane dengan erat, ia dapat merasakan Akane gemetar lebih sedikit dari sebelumnya.
—Kamu selalu berusaha terlalu keras.
Sambil merasakan telapak tangan lembut Akane di dalam telapak tangannya sendiri, Saito melihat ke luar jendela. Gondola yang mereka naiki mencapai puncak, membuatnya tampak seperti berdiri diam. Orang-orang di tanah tampak seperti semut kecil, memenuhi bumi di bawah mereka. Saito mendengar napas samar Akane. Akane menutup matanya, dan menyerah pada Saito.
—Meskipun dia sangat imut saat dia tetap tenang…
Melihat musuh bebuyutannya sangat tidak berdaya, Saito tidak dapat menahan diri untuk tidak terpesona. Waktu damai yang singkat di antara mereka itu terasa sangat memuaskan, Saito mendapati dirinya berharap kalau waktu berhenti sepenuhnya. Bahkan sebelum menyadarinya, gondola sudah kembali ke permukaan. Dengan suara pintu terbuka, mata Akane terbuka. Akane dengan panik menarik tangannya dari Saito, menyerbu keluar dari gondola sampai dia hampir jatuh. Karena itulah, Himari memiringkan kepalanya.
"Hah? Akane, apa kamu baru saja berpegangan tangan dengan Saito-kun?"
"A-Aku tidak, kok! Mana mungkin aku melakukan itu dengan Saito!"
"Oke…Kamu tahu, itu jelas tampak seperti itu."
"Mana mungkin! Tanganku akan membusuk!" Akane berteriak, wajahnya semerah tomat.
Saito ingin protes pada bagian terakhir itu, tetapi akhirnya menyimpannya untuk dirinya sendiri. Saito cuma menganggap Akane lucu untuk sesaat, jauh di lubuk hati, mereka itu masih musuh bebuyutan. Saito cuma tertipu sementara karena kecantikan Akane. Di saat yang sama, Maho berpegangan pada lengan Akane.
"Mbak, Mbak, mari kita periksa wahana rumah hantu selanjutnya! Ini terkenal sebagai wahana rumah hantu paling menakutkan di seluruh dunia!"
"Di seluruh dunia?!"
"Itu benar! Mereka menyewa para profesional, jadi ketika kalian masuk, ada peringatan kalau kalian mungkin akan pingsan dan tidak akan bangun selama dua pekan ke depan! Aku sangat menantikannya!"
"…………" Mulut Akane membuka dan menutup seperti dia mengalami hiperventilasi, lalu dia melirik ke Saito.
Tatapan Akane langsung berteriak 'Selamatkan aku'. Walaupun mereka itu musuh bebuyutan, Saito tidak dapat meninggalkan Akane begini.
"Akane bilang kalau dia punya sesuatu untuk diurus, jadi Mas yang akan memeriksa rumah hantu bersamamu."
"Sesuatu yang harus diurus? Apa itu?"
"Em…itu…kamu tahulah, belajar."
"Aku rasa Mbak dapat melewatkan itu sekarang! Kita sedang berada di taman hiburan, Mas tahu?!"
"Sebagai pekerja keras dia, Akane itu punya gejala sarak kalau dia tidak cukup belajar dalam sehari. Akane akan menyerang orang secara acak."
"Mbak, sejak kapan Mbak…" Maho menatap Akane dengan sedih dan kasihan.
"Ba-Baiklah, kalau begitu mari kita pergi. Sampai jumpa lagi, Akane."
"Cobalah untuk tidak melakukan pembunuhan apapun, oke."
Himari dan Shisei juga mengucapkan selamat tinggal pada Akane.
"Terima kasih…"
Atau begitulah yang Akane katakan, tetapi tatapannya berteriak 'Aku akan membunuhmu 3000 kali lagi nanti!'. Saito ingin mendapatkan beberapa poin bonus dari Akane, tetapi karena ia tidak dapat menemukan alasan yang tepat, itu tampaknya cuma akan menjadi bumerang.
"Mau bagaimana lagi kalau begitu, aku akan membiarkan Mas yang mengambil alih~ Lagipula, aku ini orangnya toleran!"
"Kamu ini benar-benar terdengar sombong."
"Cuma bercanda, bercanda! Mari kita banyak bermesra-mesraan!"
"Mas tidak terlalu yakin kalau kita punya waktu untuk melakukan itu jika kita pingsan..."
Maho dan Saito memasuki rumah hantu itu bersama-sama. Bagian dalamnya ditutupi oleh kegelapan, memungkinkanmu untuk cuma melihat beberapa meter ke depan. Beberapa tangan putih muncul dari dinding, gemetaran seakan-akan itu nyata. Bahkan ada beberapa suara erangan yang samar yang dapat terdengar. Cuma cahaya kecil yang tampak di depan jalan. Noda darah bersinar dalam cahaya, mewarnai kedua sisi jalan itu. Dari dalam datang bayangan mendekat, tangan terbuka untuk menyerang mereka berdua. Bau busuk dan tekanan yang kuat bertiup ke arah mereka.
"Ada yang datang! Ini buruk! Lakukan sesuatu tentang itu!"
"Apa yang harus Mas lakukan tentang ini?!"
"Mas akan jadi umpan dan biarkan aku melarikan diri!"
"Kamu saja deh yang jadi umpan!"
"Apa Mas tahu kerugian macam apa yang akan dialami dunia kalau seorang cewek imut sepertiku meninggal dunia?!"
"Akan lebih memalukan kalau dunia kehilangan otak Mas!"
"Mas itu kan masih bisa menumbuhkan otak dari tanah, jadi tidak masalah!"
"Memangnya kamu bisa! Itu terlalu menakutkan."
Saito dan Maho mendiskusikan nilai mereka pada dunia meskipun dalam situasi yang mengerikan. Meskipun mereka ingin melarikan diri, mereka menggunakan kesempatan mereka dan berdiri di tempat. Akhirnya, bayangan itu semakin dekat, dan menyerang mereka.
"Kishaaaaaaaaaaa!"
""………""
Mereka menatap bayangan hitam itu. Kedua bola matanya hampir jatuh dari rongga matanya, tubuhnya membusuk di mana-mana, menyerupai zombi biasa.
"Kishaaaaaaaaaaa!"
""………""
"Guhaaaaaaaaaaa!" Zombi itu mengayunkan satu bola matanya, meludahkan cairan ungu.
"Woah, ini dibuat dengan sangat bagus!" Maho bersorak-sorai, membuat zombi itu bingung. "Hei, hei, Mas, aku belum pernah melihat zombi yang begitu realistis sepertinya!"
"Seperti yang aslinya ya... Tidak Mas sangka kalau itu bisa diludahkan begitu..." Saito mengamati zombi itu dengan cermat.
Itu merupakan musuh yang umum dalam gim, tetapi melihatnya dari dekat terasa segar bagi Saito. Maho meniru zombi itu, dan mengangkat kedua tangannya.
"Kishaaaa! Tadi itu akting yang bagus!"
"Dilakukan dengan sempurna. Itulah yang Abang suka lihat dari pengelolaannya." Saito berpendapat dari sisi pengelolaan.
"Tolong beri aku tanda tanganmu! Dan biarkan aku berfoto denganmu!" Maho mendekati zombi itu, menunjukkan tanda damai.
Mereka bertiga berdiri bersama, berswafoto. Dengan kilatan lamu kamera, dinding berwarna merah darah menyala.
"Waaaaaaah…" Zombi itu sendiri menangis dan berlari kembali ke tempat asalnya.
(TL Note: Langsung down, zombinya.)
"Tidak melupakan aktingnya dalam perjalanan kembali... seorang profesional memang begitu."
"Meskipun itu juga terdengar seperti ia menangis sungguhan..."
Saito menyesal karena tidak bertingkah lebih takut lagi dari itu, tetapi itu merupakan musuh yang familiar dari gim yang biasa ia mainkan, jadi ia cuma bisa bilang padanya "Sampai jumpa lagi!". Tidak lama kemudian, Saito dan Maho melanjutkan perjalanan mereka melewati rumah hantu itu.
"Mas! Ada kepala yang terpenggal! Itu terbang ke arah kita! Sangat menggemaskan!"
"Mas tidak melihat senar piano, jadi Mas penasaran bagaimana bisa mereka melakukannya… Mas tertarik dengan pengaturannya."
"Wah! Aku menginjak sesuatu! Itu mayat!"
"Hmm…dilihat dari kondisinya, dia mungkin meninggal sekitar dua hari yang lalu…"
"Oh! Lihat semua boneka itu berjalan-jalan!"
"Mengapa ada boneka Barat dan Jepang yang dicampur di sana? Setidaknya buatlah konsepnya yang jelas dari awal."
Sambil mendiskusikan ini dan itu dari rumah hantu, rasanya kurang seperti upaya melarikan diri, dan lebih seperti jalan-jalan. Meskipun ini seharusnya menjadi rumah hantu paling menakutkan di dunia, tidak ada satupun dari mereka merasakan ketegangan.
"…Apa kamu yakin kalau kamu mesti berjalan melewati rumah hantu dengan sikap begitu?"
Tanpa ditakuti, rumah hantu itu terasa seperti hanya kediaman yang sederhana.
"Ehh? Mengapa? Aku memang suka rumah berhantu, kok, dan aku suka melihat reaksi ketakutan dari orang-orang yang berjalan-jalan denganku!"
"Perundungan yang tidak terduga macam apa ini!"
Maho mengangkat dagunya, memutar-mutar jari telunjuknya.
"Ini sama sekali bukan perundungan, ini cinta murni! Mendapati seorang cewek yang ketakutan menempel padamu dalam ketakutan itulah yang terbaik, bukankah begitu?"
"Mas tidak tahu apa yang kamu bicarakan."
"Baiklah, baiklah, itulah sebabnya Mas masih perjaka~."
"Kamu itu dara..."
Saito digoda dengan lagu improvisasi, sekarang menarik pipi Maho. Saito memang tidak masalah dengan menjadi perjaka, tetapi dipanggil begitu berulang kali membuatnya kesal.
—Mungkin aku harus meninggalkannya sendirian di rumah hantu ini untuk memberinya pelajaran? Tidak, dia mungkin tidak akan menerima banyak kerusakan dari hal itu...
Saat Saito sedang berpikir, Maho tiba-tiba berjongkok, meletakkan tangannya di lantai, lalu bahunya naik turun, dan terengah-engah.
"Ada apa?"
"Mm…Aku tiba-tiba merasa tidak enak badan…Mungkin aku terlalu bersenang-senang hingga kelelahan menyerangku…"
"Kamu akan baik-baik saja?"
"Aku rasa aku tidak dapat berjalan sendiri… Gendong aku…" gumam Maho dengan suara yang hampir menghilang.
Hanya beberapa detik yang lalu, Maho masih penuh dengan tenaga, jadi tiba-tiba 180 derajat membuat Saito bingung.
"Mau bagaimana lagi. Naiklah." Saito berjongkok di depan Maho, punggungnya menghadap ke arah Maho.
Maho melingkarkan lengannya di leher Saito, menempel padanya dengan kekuatan yang nyaris tidak ada. Saito meletakkan tangannya di paha Maho, mendorong tubuhnya. Sensasi lembut paha telanjang Maho langsung tersampaikan ke tangan Saito, saat paha itu menempel padanya. Aroma wangi melayang dari Maho, menutupi Saito seluruhnya.
Menggendong Maho di punggungnya, Saito berlari menuju pintu keluar. Sebelumnya, Saito mesti menggendong Akane yang sakit-sakitan melewati hujan ke rumah sakit. Dibandingkan dengan itu, Maho terasa lebih ringan. Lengan dan kaki Maho terasa sangat kurus, dan napasnya semakin melemah sehingga membuat Saito benar-benar khawatir. Setelah meninggalkan rumah hantu, terik matahari membuat Saito merasa pusing sejenak.
"Seharusnya ada tempat beristirahat di dekat sini…gendong aku ke sana." Maho menunjuk ke sebuah bangunan di kejauhan.
Di bawah atap berwarna krem bangunan itu ada papan reklame, yang bertuliskan 'Ruang istirahat'. Bergerak melalui pintu masuk, beberapa sofa sudah menunggu, dengan karpet yang padat di lantai. Karena ini terletak di sudut taman, tidak ada seorangpun kecuali Saito dan Maho yang ada di situ. Saito dengan hati-hati menurunkan Maho ke sofa. Maho menutupi matanya dengan lengan rampingnya, dan terengah-engah. Kaki Maho jatuh ke sofa, mengangkat kain celana pendeknya. Saito memanggil Maho.
"Apa kamu butuh obat? Mas akan menelepon Akane, jadi—"
"Haha cuma bercanda! Aku cuma ingin Mas menggendongku~!" Maho melompat, melompat-lompat ke arah Saito.
"Ap…? Bercanda…?"
"Terjatuh ke dalam jebakan bahkan untuk kebohongan yang sederhana seperti ini, itu sebabnya Mas masih perjaka~!" Maho tertawa.
Tampaknya sangat lucu sehingga Maho mulai menangis, menusukkan jarinya ke pipi Saito. Namun Saito tidak merasakan hal yang sama, karena amarah mulai naik dari dalam perutnya.
"Jangan pura-pura sakit! Mas khawatir padamu!"
"…Hah? Khawatir…? Padaku?" Maho tampak bingung.
"Tentu saja! Walaupun itu cuma lelucon, ada hal-hal yang boleh dan tidak boleh kamu lakukan! Bagaimana kalau Mas tidak akan mempercayaimu jika kamu benar-benar jatuh sakit? Bagaimana kalau ambulans datang terlambat? Maka semuanya akan berakhir karena satu lelucon bodoh ini!"
"Ma-Mas tidak perlu semarah itu…"
"Tentu saja Mas akan begitu. Dan Mas akan terus marah sampai kamu memahaminya."
"Erk… Lihat, lihat! Aku baik-baik saja, kan!" Maho berputar-putar di depan Saito.
Karena Maho tiba-tiba bangun begitu, kakinya masih goyah, lalu dia terjatuh ke arah Saito, yang menghela napas panjang.
"Pokoknya, tidak ada lagi lelucon yang begini, oke?"
"…Yep, maafkan aku." Maho menundukkan wajahnya.
Daun telinga Maho berubah warna menjadi merah cerah.