Bab 2Kakak Beradik(Bagian 2)
Pada akhirnya, mereka berdua berakhir di ruang belajar Akane.
"Fiuh~ Akhirnya cuma ada kita berdua! Perasaan lega ini cuma aku dapatkan di rumahku sendiri~." Maho duduk di kursi Akane, berputar-putar. Maho bersandar di antara kedua paha Akane, meregangkan kakinya lalu mengayunkannya ke atas dan ke bawah. Cuma dari itu saja, Maho tidak tampak seperti siswi kelas sepuluh SMA.
"Dengar, Maho, Mbak rasa ciuman antara adik kakak itu tidak…" Akane berusaha membujuk Maho, yang cuma tertawa terbahak-bahak.
"Jangan khawatir tentang itu, Mbak~ aku cuma bercanda."
"Be-Benarkah…?"
"Tentu saja~! Aku tidak akan melakukan apapun yang Mbak tidak mau. Meskipun aku senang melihat kalian semua bingung."
"Karena menangis dengan keras… Bisakah kamu berhenti menggoda Mbak?" Akane menghela napas.
"Salahku, salahku. Tetapi, kita selalu dapat melakukannya kalau Mbak mau~." Maho mengedipkan mata, melemparkan ciuman Akane.
Dengan seberapa jauh Maho telah tumbuh dan menjadi cantik, Akane khawatir tentang masa depannya.
"Kalau kamu berencana untuk datang berkunjung, kamu seharusnya memberi tahu Mbak. Mbak akan menyiapkan sesuatu untukmu."
"Aku ingin mengejutkan Mbak~ Apa aku berhasil?" Maho menatap Akane.
"Tentu saja… Terutama saat kamu berdiri di pintu depan, dan bergandengan tangan dengan Saito."
"Itu wajar~ lagipula, kami habis berkencan dalam perjalanan pulang."
"Kencan?! Dengan Saito?!" Akane bingung.
Saito menolak ajakan Himari untuk berkencan, namun dia menanggapi Maho. Tentu saja, Maho punya banyak pesona, tetapi tetap saja.
"Sebut saja ini kencan, atau mungkin sedikit penyelidikan. Aku ingin melihat orang seperti apa yang akhirnya Mbak nikahi. Cowok macam apa ia, dan bagaimana perasaannya pada Mbak."
"Mbak penasaran... bagaimana perasaan Saito tentang Mbak?" Akane anehnya penasaran tentang itu.
Mereka memang masih musuh bebuyutan yang sama seperti sebelumnya. Namun, Saito telah bertindak seperti kebalikannya akhir-akhir ini. Membuat rencana untuk jalan-jalan dan menghibur Akane, membelikan cincin sebagai bukti perdamaian mereka—Akane tidak dapat membaca apa yang Saito rasakan.
"Yang lebih penting, aku punya tawaran untukmu, Mbak."
"Apa itu?"
Maho mendorong tubuhnya ke depan, mengintip ke wajah Akane. Saat ini, ekspresi Akane telah berubah menjadi sangat serius, sesuatu yang tidak kamu duga darinya.
"Haruskah aku menikahi orang itu?"
"Ap………" Akane benar-benar kehilangan kata-kata, tidak menyangka akan hal itu.
"Tujuan kakeknya dan nenek kita adalah agar cinta pertama mereka yang belum tercapai diwujudkan melalui cucu-cucu mereka, bukan?"
"Sejujurnya menyakitkan untuk memikirkan hal ini, tetapi begitulah adanya, ya."
"Kalau memang begitu, maka aku seharusnya dapat mengganti posisi Mbak, bukan? Bernegosiasi dengan Nenek, dan bayar biaya pendidikan Mbak dan segalanya sebagai hadiah. Bagaimana kedengarannya?" Maho meraih tangan Akane, dan bertanya padanya.
"Eeeeem…" Akane tidak dapat langsung menjawabnya.
Pikiran Akane benar-benar terhenti, dan bahkan pemandangan di depannya itu terasa begitu kabur dan jauh. Sejauh ini, Akane berasumsi kalau dia terpaksa menjalani kehidupan pernikahan dengan Saito untuk mencapai mimpinya sendiri, jadi dia tidak pernah membayangkan akan kemungkinan itu.
"Jadi, em…Mbak rasa dia bukan pasangan yang cocok untukmu…" Akane menjelaskan dengan kata-kata yang tidak jelas.
"Mengapa?"
"Ia benar-benar egois. Ia juga harus memastikan kalau ia yang terbaik, dan memandang rendah orang-orang di sekitarnya…" Akane berkata, mengingat kegiatan Saito yang biasanya, dan mulai marah.
"Tidak masalah! Ia mungkin yang paling pintar dari kami berdua, tetapi aku jauh lebih imut, jadi aku bisa menang! Aku akan membuatnya jatuh cinta padaku dengan pesonaku!" Maho berkata dengan penuh percaya diri.
Dengan betapa Maho mencintai dirinya sendiri, dia mungkin dapat menyaingi cinta Saito untuk dirinya sendiri. Akane terus mengeluh tentang Saito.
"Ia benar-benar aneh dalam hal kebersihan, mengatakan kalau tidak perlu mencuci mangkuk nasi setelah sepanjang waktu."
"Itu berarti aku cuma harus tenang dalam hal pekerjaan rumah~."
"Ia juga tidak bisa memasak banyak, dan begitu Mbak membuang muka, ia lebih memilih untuk membuat ramen gelas."
"Aku suka ramen gelas, jadi aku sangat senang tentang itu!"
"Ia sering memainkan gim zombi yang menjijikkan begini."
"Kedengarannya seru, menembak zombi begitu!"
"………"
"Apa?" Maho memiringkan kepalanya saat Akane tiba-tiba terdiam.
Saito dan Maho mungkin akan benar-benar cocok. Paling tidak, mereka tidak bertengkar sebanyak Akane dan Saito.
"Apa kamu… tidak masalah dengan itu? Menikahi seseorang yang bahkan tidak kamu sukai?"
“Hah~? Haruskah Mbak benar-benar menjadi orang yang mengatakan itu?"
"Mbak… Mbak tidak tertarik pada cinta. Selama Mbak bisa mencapai impian Mbak, ini merupakan pengorbanan yang diperlukan."
"Benar, Mbak itu memang tipe orang yang begitu, ya."
"Apa itu buruk?"
"Tidak, itu meyakinkan~." kata Maho sambil tersenyum.
"Meyakinkan? Dalam hal apa?"
"Bahwa Mbak belum berubah sama sekali dibandingkan sebelumnya, dan Mbak masih belum dewasa."
"Kamu mengolok-olok Mbak, bukan?"
"Sama sekali tidak! Aku suka cara Mbak yang tidak punya ketertarikan seksual sama sekali, tanpa ada laki-laki yang tertarik pada Mbak, jadi Mbak mungkin akan berakhir sendirian sebagai seorang nenek-nenek!"
"Itu... bukan sesuatu yang Mbak sebut sebagai pujian." Akane bingung.
Akane ingin hidup dengan dikelilingi oleh teman dan kucing, meskipun satu-satunya teman yang dapat diandalkannya hanyalah Himari.
"Memang, aku tidak terlalu mengenalnya, tetapi setidaknya wajahnya itu tipeku."
"Ha-Hah, Mbak mengerti…"
"Kalau soal gaya rambutnya, ia memang tidak punya kepedulian sama sekali, tetapi ia punya kemampuan untuk menjadi tampan, bukan? Kalau aku dapat mengatur modenya dengan benar, ia mungkin akan menjadi cowok yang tidak akan pernah membuatku malu ke manapun kami pergi."
"Dan ke mana kalian akan pergi, kalau begitu."
"Luar angkasa, aku rasa?"
"Kalian berdua akan mati."
"Kami dapat menggunakan fungsi pernapasan di dalam ruang hampa, bukan?"
"Apa kamu tahu kalau kalian hanyalah manusia?"
Akane khawatir kalau Maho mungkin melihat dirinya sendiri sebagai robot.
"Karena wajahnya itu tipeku, aku dapat dengan mudah melakukan hal-hal mesum dengannya, jadi tidak ada masalah, bukan?"
"Ha-Hal-hal mesum..." Akane merasakan kekayaan bersih Saito jadi memanas setelah mendengar kata-kata yang terang-terangan adiknya.
Maho meletakkan lututnya di kursi, dan memeluk kakinya yang indah.
"Jika kalian sudah menikah, kalian harusnya melakukan hal-hal mesum, bukan? Tanpa seks, kalian hanya akan berakhir dengan perceraian. Apa Mbak berencana untuk menjadi pasangannya selama sisa hidup Mbak?"
"Itu…Ia juga tidak menginginkan itu, dan pernikahan kami cuma sah di mata hukum, itulah yang kami setujui…"
"Aku benar-benar berpikir kalau pernikahan yang tulus akan membuat kalian berdua bahagia~."
"Erk…"
Itu terlalu masuk akal, Akane tidak punya cara untuk membantah. Orang tuanya memang tampak dekat, dan pasangan yang sakinah. Akane tidak dapat memungkiri kalau hubungan dan pernikahan mereka dapat dibilang ideal. Hubungan Akane dengan Saito tidak dapat jauh dari itu.
"Ayolah, ayolah, lihat ini~ Kami berdua sudah sampai sedekat ini~." Maho mengeluarkan ponsel pintarnya, menunjukkan sebuah foto pada Akane.
Foto itu menunjukkan Maho di mana dia sedang mengisap jari Saito, menunjukkan tanda damai. Saito tidak mencoba menyangkal itu, karena ia menunjukkan ekspresi yang kesulitan tetapi bahagia.
"A-Apa ini…" Akane meragukan matanya.
"Ia ada saus hamburger yang menempel di jarinya, jadi aku menjilatnya sampai bersih. Ia senang, bilang kalau aku 'imut seperti orang yang bahagia'."
"Ti-Tidak mungkin...Saito tidak akan pernah..."
Mengesampingkan Shisei, Saito tidak akan pernah membuka hatinya dan menunjukkan kelemahannya begitu pada gadis lain. Akane tidak pernah bisa membayangkan kalau Saito melakukan hal semacam itu. Saito lebih dari orang yang keras kepala dari apapun.
"Itu benar. Aku benar-benar mengisap jarinya!" Kata Maho memperagakan kembali gerakan yang dia lakukan.
Cara lidahnya bergerak di sepanjang jarinya benar-benar tampak mesum. Kalau seorang cewek dengan penampilan seperti Maho melakukan itu pada seorang cowok, mereka akan langsung jatuh ke dalam pesonanya.
"Kalian itu baru saja bertemu, bukan…?"
"Iya! Tetapi, aku kira kami cuma punya kecocokan yang hebat. Kami langsung segera akrab! Sekarang kami cuma perlu menikah, menjadi pasangan suami istri yang mesra, dan Mbak akan bisa hidup dengan tenang, bukan?"
"Iya, itu akan… melegakan, Mbak rasa?"
Setidaknya mereka akan menjadi pasangan yang lebih baik daripada Saito dan Akane yang selalu bertengkar.
“Aku senang~! Serahkan saja ia padaku, kami akan benar-benar akur~!"
"Ah…"
Akane mencoba meraih tangan Maho dalam upaya untuk menghentikannya, tetapi Maho sudah menyerbu keluar ruangan. Langkah kaki Maho terdengar berlari menuruni tangga.
—Mengapa…mengapa aku mencoba menghentikannya?
Akane bingung dengan tindakannya sendiri. Dan itu bukan satu-satunya hal yang membuatnya bingung. Mengapa dia tidak dapat segera menanggapi ketika Maho menawarkan untuk menikahi Saito sebagai gantinya? Itu merupakan kesempatan sempurna untuk menyingkirkan teman sekelas cowok yang paling dia benci, dan menggapai impiannya dengan biaya pendidikan yang akan dia terima. Dan kalau itu masih belum cukup...saat dia melihat foto Maho dan Saito, mengapa dadanya jadi sakit? Rasa sakit itu belum hilang, mencabik-cabik Akane sebagai perasaan tidak nyaman yang tajam.
"Mungkin… aku hanya sedang tidak enak badan." Akane menekan tangannya di dadanya, dan berdiri di sudut ruangan.