KuraKon - Jilid 4 Bab 2 Bagian 1 - Lintas Ninja Translation

Bab 2
Kakak Beradik
(Bagian 1)

"Mbaaak!"

"Kyaa?"

Seperti tembakan peluru dari pistol, Maho berlari ke arah Akane. Tidak dapat melawan momentum itu, Akane jatuh ke belakang, dan Maho meringkuk ke arahnya.

"Aku kembali, aku kembali, aku kembali! Ini sudah sangat lama! Aku tidak sabar untuk bertemu Mbak lagi! Aku sangat ingin memeluk Mbak!"

"Ma-Maho…tahanlah sedikit…"

Dipeluk dengan erat oleh Maho, Akane mulai pucat. Akane sudah mulai menampar telapak tangannya di lantai, menandakan kalau dia sudah menyerah. Namun Maho membenamkan wajahnya ke dada Akane, dan mengambil napas dalam-dalam.

"Ngus…Ngus…Haaaaaa, bau Mbak…baunya sangat harum…"

"Ayolah…kamu ini memang gadis yang manja, Maho."

"Hanya padamu, Mbak…Ayolah, elus kepalaku…"

"Mau bagaimana lagi, sini." Akane dengan lembut mengelus kepala Maho.

Apa sih... yang aku lihat di sini...?

Saito berdiri terdiam kaku di pintu masuk depan, merasa sangat bingung. Saito belum pernah melihat Akane bertingkah sealim seperti saat ini, dan ia merasa ragu apa orang yang dilihatnya itu benar-benar Akane. Maho juga telah benar-benar kehilangan sikap nakalnya, dan berubah menjadi makhluk yang tujuan utamanya adalah untuk menggosok dirinya sendiri pada Akane. Belum lagi persentuhan kulit mereka ternyata melampaui batas normal kakak beradik seusia mereka. Pada titik tertentu, Maho tidak bisa puas lagi cuma dengan menggosokkan pipinya ke dada Akane, sekarang beralih ke membelai payudaranya di atas seragamnya.

"Payudara Mbak, sangat lembut! Dan sepertinya sudah tumbuh lebih besar~."

"Be-belum kok…"

Saat Saito menyentuh dada Akane dengan satu jari, Akane hampir mengeksekusi Saito di tempat, tetapi Akane tidak menunjukkan perlawanan terhadap pelecehan seksual Maho, dan hanya menerimanya. Sekali lagi, Saito merasakan ketimpangan yang menimpa bumi ini.

KuraKon-4-2-1


"Pasti sudah tumbuh~ Tubuhku ini mengingat ukuran payudara Mbak~."

"As-Astaga…Saito sedang menyaksikan…"

"Jadi tidak masalah kalau Si Mas tidak ada~? Sebelah sini, sini~." Maho menjadi lebih tegas, sekarang menjulurkan jarinya ke dada Akane seperti orang mesum.

"Hiyan!?" Bahu Akane tersentak.

"Ahhh, Mbak itu sangat menggemaskan! Aku tidak dapat menahan diri lagi, aku akan mencicipinya secara langsung!" Maho bergerak di atas Akane, mencoba membuka kancing blus Akane.

"Bisakah kamu beristirahat sejenak!" Setelah merasa cukup, Akane mendorong Maho menjauh.

Maho jatuh di pintu masuk. Saat Maho dengan lemah mengangkat tubuhnya, dia menatap Akane dengan mata berkaca-kaca.

"Erk, itu sakit, Mbak…"

"Ah, ma-maaf! Apa kamu terluka?" Akane bingung.

"Cuma bercanda! Aku baik-baik saja kok! Karena Mbak menahan diri, aku tidak terluka sama sekali!" Maho melompat, dan menempel pada Akane lagi.

"Kamu cuma…" Tinju Akane bergetar karena marah, tetapi dia tidak mencoba untuk menujukannya ke Maho.

Akane tiba-tiba menjadi Akane yang damai, yang belum pernah Saito lihat sebelumnya. Saito sendiri masih agak bingung dengan tindakan tiba-tiba dari adik kakak itu tetapi mengatakan satu hal yang membuatnya penasaran.

"Jadi kamu punya dua orang adik?"

"Hah? Aku cuma punya satu orang adik, kamu tahu?"

"Betul sekali! Mbak cuma butuh aku sebagai adiknya!"

Akane menunjukkan tatapan ragu, saat Maho memeluknya dengan lebih agresif.

"Tetapi… adikmu itu… seharusnya sudah meninggal sejak lama, bukan?"

Kalau begitu, lalu siapa gadis yang ada di depan mata Saito? Kalau dia itu memang hantu, maka jasadnya pasti punya sifat fisik yang aneh.

"Aku tidak pernah bilang sekalipun kalau dia sudah meninggal."

"Kamu bilang dia pergi ke suatu tempat yang sangat jauh, dan kamu tidak dapat bertemu dengannya lagi, dan kamu tampak seperti hampir menangis."

"Karena aku melakukan kunjungan ke luar negeri!" Maho menimpali.

"Kunjungan…ke luar negeri…?"

"Benar sekali! Saat aku meminta pada Nenek dengan manis seperti biasanya, Nenek memberiku banyak uang untuk uang sakuku! Itu sebabnya aku bepergian sejak kelas sembilan SMP, jadi sudah lama sekali sejak aku pulang ke Jepang!" Maho dengan penuh semangat menunjukkan tanda V dengan jarinya.

"Benarkah…" Saito kehilangan seluruh tenaganya.

Saito beranggapan kalau Akane merasa sedih dan dalam suasana hati yang buruk karena dia ingat fakta kalau adiknya sudah wafat, itulah sebabnya ia membuat rencana untuk mereka berdua berekreasi, membelikannya cincin sebagai hadiah, mencari cincin itu, dan mengalami lebih banyak masalah. Namun, semua itu hanyalah kesalahpahaman Saito. Meskipun itu membantu memperbaiki dan meningkatkan hubungannya dengan Akane, jadi pada akhirnya semuanya baik-baik saja.

"Tetapi, gambaran yang aku punya benar-benar berbeda. Dari cerita yang kamu bilang padaku, dia itu seharusnya seorang gadis rapuh yang anggun, jujur, dan imut…" Saito melihat ke setiap bagian Maho, dan mengangkat satu alis matanya.

"Ehh? Aku anggun, jujur, dan imut, bukan? Lihat, lihat, lihat~" Maho meletakkan kedua jari telunjuknya di pipinya, menunjukkan seringai yang memprovokasi.

Gerakan itu memang imut, tetapi getaran nakal itu lebih kuat dari itu.

"Dengarkan, seseorang yang bisa disebut anggun itu tidak menggunakan pagar sebagai perosotan dan juga tidak mencekik kakak mereka sendiri dengan keras."

"Ayolah, aku tidak mencekik Mbak sama sekali~ Itu cuma pelecehan seksual biasa!"

"Maho?!" Akane berteriak bingung.

"Setidaknya kamu mengakuinya secara terbuka..."

Maho menyilangkan kedua tangannya, berbicara dengan bangga.

"Tentu saja! Itu hak khusus seorang adik cewek untuk melecehkan kakak mereka secara seksual!!"

"Negara mana yang punya hak ini tertulis di dalam konstitusi mereka?"

"Konstitusi di Tanah Maho!"

"Benar... kamu punya negaramu sendiri demi dirimu sendiri..."

Maho dapat bertindak sebagai saingan yang baik melawan Shisei, yang langsung memegang kupon gratis untuk seluruh dunia di tangannya. Mungkin proses berpikir semua adik cewek di dunia ini agak selaras.

"Dengar… Maho. Pelecehan seksual itu bukanlah sesuatu yang harus kamu lakukan, oke?" Akane mencoba mengajari adiknya sesuatu yang bahkan lebih mendasar daripada pendidikan wajib.

Namun, Maho cuma berkedip polos, dan memiringkan kepalanya.

"Mengapa?"

"Me-Mengapa? Karena orang lain tidak menikmatinya."

"Apa Mbak tidak suka saat aku menyentuhmu, Mbak…?"

"Mbak tidak membencinya, tetapi…"

"Maafkan aku, Mbak…Aku tidak mau Mbak membenciku, jadi aku tidak akan menyentuh Mbak lagi…Aku akan rindu memeluk Mbakku tersayang, tetapi aku akan…berusaha menahannya kembali…" Maho mulai menangis dengan satu tangan di depan mulutnya.

Melihat reaksi adiknya itu, Akane jadi panik.

"Tung-Tunggu sebentar, jangan menangis! Tidak apa-apa, kamu tidak perlu menahan diri!"

"Betulkah…? Aku masih boleh menyentuh Mbak…?"

"Tentu saja kamu boleh!"

"Aku juga boleh…menyentuh payudara Mbak…?"

Akane ragu-ragu sejenak.

"E-Em… kalau itu cuma sedikit…"

"Bisakah aku… membelainya…?"

"Sedikit saja…"

"Mbak…" Maho menempel pada lengan Akane, dan tubuh Akane bergetar.

Pemandangan itu memang sangat merusak, saat Maho menggunakan mode adiknya, bahkan Saito dapat melihat kalau meteran kakaknya Akane naik.

"Ahh, baiklah kalau begitu! Belai mereka sebanyak yang kamu mau!"

"Yei~!"

"Kyaaaaaa?!"

Dengan izin yang diterima oleh Maho, air matanya langsung mereda, saat dia melompat ke arah Akane. Dengan kecepatan yang bahkan mesin pemijat tidak bisa dibandingkan dengannya, Maho membelai dada Akane. Sepuluh menit kemudian, Akane terjatuh ke lantai, wajahnya pucat karena dia kehabisan tenaga.

KuraKon-4-2-2


"…Kamu baik-baik saja?" Saito mendekati Akane, dan berjongkok.

"…Aku baik-baik saja…"

Mata Akane telah berubah menjadi titik-titik, jelas kalau dia tidak baik-baik saja. Namun Maho tampak puas, karena dia menunjukkan peregangan yang puas.

“Haaa, aku sudah terisi penuh sekarang~ Aku merindukan Energi Mbak ini~ Karena kita sudah lama tidak bertemu, aku kelaparan~!"

"Apa kamu itu iblis yang menyedot energi kehidupan manusia?"

"Hah? Aku imut seperti iblis?! Aku benar-benar mengerti~!"

"Kamu tidak mengerti apa-apa."

Bahkan kata-kata itu pun tidak sampai pada Maho. Itu mungkin dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Tanah Maho-nya.

"Aku benar-benar mengerti~ Karena aku sangat serius membelai payudara Mbak, Mas jadi cemburu, bukan? Jangan khawatir, aku juga akan merasakan payudara Mas dengan baik!" Maho menggerakkan jarinya seperti tentakel saat dia mendekati Saito, yang dengan panik bergerak mundur.

Kalau bisa, Saito ingin menghindari berakhir seperti Akane.

"Tidak perlu. Dan juga, jangan tiba-tiba memanggilku Mas begitu."

"Mas itu kan suaminya Mbak, jadi itu membuat Mas menjadi abang iparku, bukan begitu Mas."

"Iya, kamu tidak sepenuhnya salah sih, tetapi..."

Cara Maho terus memanggil Saito dengan sebutan "Senpai" sampai saat ini kemungkinan besar hanya dimaksudkan sebagai penyamaran. Apa alasan Maho melakukan itu, Saito tidak tahu, tetapi itu mungkin keisengan yang dimaksudkan untuk mengejutkan Saito dan Akane.

"Belum lagi Mas itu tipe orang yang senang dipanggil "Mas" oleh cewek cantik sepertiku, bukan? Sampai-sampai membuat Mas mengeluarkan iler!"

"Sa-Saito…?"

"Aku tentu saja tidak begitu!"

Menerima tatapan maut dari Akane, Saito dengan keras menyangkal pernyataan itu. Saito tidak dapat membiarkan Akane salah paham kalau ia punya ketertarikan jahat begitu. Itu dapat merusak hubungan mereka. Namun Maho mengangkat tinjunya ke kanan, penuh dengan energi.

"Kalau begitu, aku akan memeriksa kehidupan macam apa yang Mbak dan Mas jalani di sini!"

"Memeriksa…? Apa kamu diminta oleh Nenek?" Akane bertanya, jelas ketakutan mendengar jawabannya.

Saito juga mempersiapkan dirinya. Kalau ini merupakan semacam investigasi yang diperintahkan oleh Tenryuu atau Chiyo, mereka tidak dapat menunjukkan apapun yang mencurigakan.

"Tidak kok~ Sebagai adik Mbak, aku cuma ingin mempelajari gaya hidup pernikahan macam apa yang dibagikan kakakku dengan suaminya, Mbak tahu?"

"Ga-Gaya hidup pernikahan…" Akane mengernyit.

"Untuk saat ini, aku akan menggerebek kamar Mbak! Kalau ada pakaian tidur Mas yang tergeletak di sekitar, itu berarti Mbak dan Mas tidur bersama tadi malam! Deduksi yang luar biasa kalau aku sendiri yang mengatakannya!" Maho menyerbu ke lantai dua.

"Tung-Tunggu sebentar!"

"Aku tidak akan menunggu~! Lagipula ini kan kunjungan kejutan~!"

Akane dengan panik mencoba menghentikan Maho, tetapi dia tidak mau berhenti. Maho membuka setiap pintu yang dapat dia temukan, akhirnya menemukan kamar tidur dan menyerbu masuk.

"Ketemu~! …Tunggu, apa-apaan ini?! Dua bantal dan ranjang dua sisi?! Ranjangnya besar pula!" Mata Maho terbuka lebar karena terkejut.

"I-Iya, itu kan…untuk dua orang…, jadi…" Akane gelisah.

"Dua orang?! Jangan bilang, Mbak dan Mas tidur bersama setiap malam?!"

"Se-Setiap malam…"

"Seberapa jauh kalian sudah melakukannya?!"

"Ka-Kami belum pernah melakukan apa-apa!"

Maho meraih bahu Akane, dan mengguncangnya.

"Itu bohongkan! Mbak dan Mas pasti melakukannya, bukan! Tidur bersama setiap malam tanpa terjadi apa-apa, itu mustahil! Waaaah, keperawanan Mbak! Bunuh! Aku akan membunuhmu, Mas!" Maho melompat ke arah Saito.

Saito dengan mudah menghindari ini, dan menyebabkan Maho terbanting ke dinding, hampir mematahkan hidungnya. Maho berbalik arah dengan mata berkaca-kaca, dan memelototi Saito sambil melolong seperti binatang buas.

"Saat ini, Mas menjadikan seluruh Maho di dunia ini sebagai musuh Mas…!"

"Ada berapa banyak dari kalian di dunia ini sih?"

"Tujuh miliar orang! Dan masing-masing dari mereka itu Maho yang tak tergantikan!"

"Maaf, Mas tidak dapat mengikuti logika itu sedikitpun." Saito benar-benar bingung.

"…Jadi, apa itu enak?"

"…Hah?"

Bahu Maho bergetar karena marah.

"Aku bertanya apa malam pertama dengan Mbak itu enak, oke?!"

"Jangan tanyakan hal itu pada Mas?!"

"Aku akan tanyakan itu pada Mas! Aku ingin tahu bagaimana rasanya!"

"Dan Mbak tadi kan sudah bilang kalau kami belum melakukannya!" Akane berteriak dengan wajah yang merah padam.

"Benarkah? Sungguh?"

"Benar! Mbak dan Mas Saito dipaksa untuk menikah! Atas perintah kakek-nenek kami, kami memang harus menggunakan ranjang yang sama, tetapi tidak mungkin kami akan melakukan sesuatu yang mesum!"

Maho mendekat ke Akane, menatap matanya dalam-dalam.

"Kalian bahkan belum berciuman?"

"Tentu saja belum! Mbak tidak akan pernah melakukan sesuatu yang begitu menjijikkan!"

"Bagaimana dengan berpegangan tangan?"

"Be-Belum pernah…" Akane mengalihkan wajahnya.

Sensasi lembut telapak tangan Akane saat mereka jalan-jalan sambil berpegangan tangan kembali ke Saito. Akane sendiri pasti ingat itu, lalu dia mengepalkan tangannya dengan erat.

"Begitu~ Jadi Mas itu semacam orang cerewet yang tidak tertandingi dan tidak tersaingi sampai-sampai Mas sendiri bahkan tidak akan meletakkan tangan Mas pada gadis imut yang Mas tiduri setiap malam!"

"Iya, maaf tentang itu…"

Senyuman cerah dan lega Maho menembus dada Saito.

"..Tidak dapat memanjangkannya*?" Maho tiba-tiba menggunakan nada peduli dan perhatian yang aneh.

(TL Note: Kalian tahu lah ya, gak perlu Mimin jelasin)

"Tidak!"

"Maaf, Mas…kalau aku tahu…Aku tidak akan mengatakan sesuatu yang akan menyakiti perasaan Mas…Pfft."

"Kamu menyakiti perasaan Mas saat ini juga, kamu tahu?!"

Saito setidaknya berharap kalau Maho akan menahan tawanya sampai akhir kalau dia ingin menunjukkan kebaikan palsu.

"Tetapi, aku masih belum bisa istirahat dengan tenang, jadi aku akan menyelidiki pertunjukan malam kalian!"

"Tidak akan ada yang dapat kamu saksikan!"

"Mungkin sampai saat ini, tetapi tidak ada jaminan kalau itu tidak akan pernah terjadi, bukan? Mungkin Mas atau Mbak setengah tertidur, jadi kalian kebetulan~ Atau mungkin kalian terhanyut oleh hal-hal mes~ tertentu begitu."

"Tidak mungkin ada suasana yang seperti itu di antara Mbak dan Saito." Akane dengan keras membantah asumsi Maho.

"Eh, Mbak yakin? Mbak dan Mas ini cukup rupawan loh, jadi kalian pasti punya setidaknya fantasi mesum satu sama lain."

"Tidak akan terjadi." "Tidak pernah."

Akane dan Saito segera mengalihkan pandangan mereka dari satu sama lain.

Bagaimana dia bisa tahu…?!

Saito mulai berkeringat deras. Saito mungkin tinggal bersama dengan musuh bebuyutannya, tetapi ia juga siswa SMA yang sehat, dan Akane itu gadis yang imut dan feminim, itulah sebabnya pemikiran seperti ini tidak dapat terhindarkan. Saat Akane muncul dalam mimpinya pada satu titik, Saito tidak dapat melihat wajahnya sepanjang hari karena rasa bersalah dan penyesalan.

"Untuk memastikan kalau tidak ada hal aneh yang terjadi, aku akan berjaga-jaga. Itu akan membuat segalanya jauh lebih aman, bukan?"

"Segalanya akan lebih aman kalau kamu tidak tinggal di sini terlalu lama."

"Eh, apa, tunggu, apa itu berarti Mas mungkin akan menyerangku, ya?! Kyaaa, Mas ini memang binatang buas~."

Akane tersentak, sepenuhnya dan bangkit kembali.

"Saito?! Kalau kamu berani meletakkan tanganmu di atas adikku, aku akan menarik organ tubuhmu tanpa anestesi dengan operasi!

"Itu seharusnya penyiksaan, bukan operasi!"

Kalian jelas tidak boleh membiarkan cewek ini mempelajari perawatan operasi dalam bentuk atau jenis apapun, Saito merasakan bahaya yang merayapi tubuhnya. Ia siap untuk melarikan diri kapan saja.

"Mbak, aku mohon…Aku ingin makan masakan Mbak, sudah lama sekali aku tidak memakannya…dan mandi bersama, dan saling membasuh tubuh kita…" Mata Maho berbinar kegirangan, dan memohon pada Akane.

Tidak dapat menahan diri, Akane dengan liar memeluk Maho.

"Tentu saja kamu boleh! Tinggal selama yang kamu mau! Ini juga rumahmu, Maho!"

"Yeeeeei, Mbak itu memang sangat baik deh~!" Maho menempel pada Akane, dan menjulurkan lidahnya pada Saito.

Ekspresi memanjakan diri ini cuma membuat perut Saito mendidih karena marah.

"Cewek ini…" Saito menarik pipi Maho, tetapi dia bersembunyi di belakang Akane, mencari perlindungan.

Betapa kurang ajarnya dia menggunakan seekor naga sebagai perisai.

"Oleh karena itu, karena rumah ini telah menjadi rumahku dan Mbak, aku sudah waktunya bagimu untuk pindah, Mas!"

"Kamu lupa kalau rumah ini itu rumah Mas juga?!"

Karena rumahnya sendiri dicuri darinya, Saito menekankan hak pribadinya atas kepatutan ini. Pada akhirnya, Saito tidak akan pernah dapat lengah sekali pun ketika Maho ada di sekitarnya.

"Benarkah? Aku dan Mbak sudah tinggal di rumah ini sejak kami berdua lahir, bukan?"

"Iya, betul itu… Katakan, siapa sih kamu sebenarnya…?"

Akane dan Maho sama-sama memandang Saito seakan-akan ia adalah penyerbu rumah. Kakak beradik itu menyatukan tubuh mereka, mengancam Saito dengan tekanan besar.

"Bisakah kalian berhenti bertingkah seakan-akan aku ini orang asing?" Saito mulai merasa benar-benar terluka.

Kehilangan rumahmu, satu-satunya tempat di mana kamu dapat pulang, merupakan salah satu kengerian terbesar yang dapat kamu alami. Namun Maho tertawa terbahak-bahak, mengetukkan tinjunya yang melengkung ke dada Saito.

"Cuma bercanda~ Apa itu mengejutkanmu, Mas?"

"Daripada terkejut, Mas ketakutan."

"Kalau aku tidak bercanda, sih…" Akane berkomentar dengan kata-kata yang menakutkan seakan-akan itu bukan masalah.

Mungkin aku harus mulai menulis namaku di seluruh rumah untuk memastikan aku tidak benar-benar diusir.

Saito sedang mempertimbangkan mengamankan bukti untuk hak tinggalnya. Karena Saito sudah diusir dari rumah keluarganya, jika ia kehilangan tempat ini, ia akan berakhir tidur di jalanan. Memasuki dapur, Akane mengenakan celemek, dan mengikat pita di punggungnya.

"Baiklah, aku akan buat banyak bubur nasi kalau begitu."

"Untuk makan malam?!"

Itu jauh dari makan malam yang biasanya yang akan Akane siapkan. Biasanya, makan malam mereka itu daging, kalau tidak daging, atau mungkin beberapa daging.

"Iya, itu karena Maho sudah pulang ke Jepang." Akane tersenyum lembut.

Saito berpikir kalau Maho pasti sangat menyukai bubur nasi, tetapi ketika ia melihat ke arah Maho…

"Tidak! Apapun selain bubur nasi!" Wajah Maho menjadi pucat seperti nasi putih.

"Kamu harus makan apa yang ada di atas meja. Bubur nasi itu sangat baik untuk tubuhmu."

"Aku tidak akan pilih-pilih makanan, tetapi setidaknya jangan bubur nasi! Jangan lagi!" Maho berpegangan pada Akane, terdengar seperti dia memohon untuk hidupnya.

"Mengapa kamu itu sangat benci bubur nasi? Apakah Akane menambahkan racun atau semacamnya?"

"Tentu saja aku tidak! Memangnya menurutmu aku itu apa?!"

"Seorang pembunuh…?"

"Kasar sekali! Kamu sebaiknya berhati-hati saat sedang di luar malam ini!"

Akane bahkan terdengar seperti seorang pembunuh.

"Waktu masih kecil, aku terus-menerus disuapi bubur nasi, aku tidak tahan lagi… Rasanya juga tidak banyak, dan itu lengket seperti nori…"

"Baik."

"Mbak…!"

Akane sepertinya sudah menyerah, sehingga membuat wajah Maho berseri-seri sambil berharap.

"Cuma untuk hari ini, Mbak akan menambahkan acar plum kering."

"Bukan itu masalahnya di sini!" Maho, Si Gadis Nakal, itu hampir menangis.

Maho telah mengusili dengan Saito sepanjang hari, jadi sekarang Saito melihat kesempatannya untuk membalas Maho, dan berdiri di sisi Akane.

"Aku juga ingin makan bubur nasi. Karena kami berdua cuma makan hamburger dalam perjalanan pulang, sesuatu yang ringan di perut itu akan lebih baik sekarang."

"Maho?! Mas kan sudah bilang kalau kamu tidak boleh makan sesuatu seperti hamburger, itu buruk untuk kesehatanmu!"

"Mas keparat! Bisa-bisanya Mas berganti pihak, ya!" Maho menyerang Saito dengan mata berkaca-kaca.

Saito menghindari ini, dan mengungsi ke belakang meja.

"Ehehe…Aku memang suka bubur nasi Mbak, Mas tahu? Aku cuma harus membuat diriku berpikir begitu, dan semuanya akan baik-baik saja…"

Melihat Maho, yang duduk di sudut ruangan, menggumamkan sesuatu pada dirinya sendiri, Saito merasa segar dan puas. Saito mengetahui bahwa satu-satunya tindakan balasan terhadap Maho yaitu bubur nasi.

"Mungkin beberapa protein tambahan itu tidak ada salahnya... apa kita masih punya telur, aku penasaran?" Akane membuka pintu kulkas.

Di dalamnya ada tubuh Shisei, yang meringkuk. Akane menjerit, yang membuat tubuh Shisei jatuh dari kulkas.

"Tung-Tunggu, Shisei-san?! Mengapa kamu ada di sini?!"

"Jangan bilang… Akane, apa kamu..." Saito segera menatap Akane dengan keraguan dan kecurigaannya sendiri.

"Aku tidak melakukan apa-apa! Aku punya alibi!"

"Orang yang pertama kali mengemukakan alibi dialah orang yang paling mencurigakan."

"Itu benar! Aku juga tidak punya motif apapun! Aku punya banyak cara lain untuk membunuhmu, sih!"

"…………Hm." Saito memutuskan kalau ia tidak mendengar bagian terakhir itu, karena ia terlalu takut untuk bertanya tentang itu.

Saito mendekati tubuh Shisei, dengan lembut menyentuh pipinya.

"Dia…dingin…"

"Kulkas kita masih baru dan sangat berfungsi…" Akane dengan hati-hati melirik ke tubuh Shisei.

Ketampakan wajah cantik bawaan Shisei tidak bergerak sama sekali, tampak seperti boneka bahkan lebih dari biasanya. Untuk memastikan apa Shisei masih bernapas, Saito dengan hati-hati meletakkan pipinya di atas bibir Shisei. Dari bibir itu terdengar suara samar.

"Shisei membutuhkan pijatan jantung dari Abang."

"Iya, dia baik-baik saja. Masih hidup dan aktif." Saito mencoba menjauh dengan cepat, namun pergelangan tangannya dicengkeram oleh Shisei.

"Shisei akan mati. Karena itu, cepatlah, Abang. Abang bisa melakukannya secara langsung."

"Memangnya Abang bisa! Kamu seharusnya lebih malu untuk melakukan hal-hal semacam ini!"

"Shisei tidak mengerti bagaimana memberikan pijatan jantung dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang memalukan."

"Apakah jantungmu terbuka atau apa?"

"Itu benar, sehingga membuat jantung itu lemah dan rapuh. Pijat jantungnya dengan ritme yang teratur."

Saito mencoba yang terbaik untuk melawan Shisei, yang mencoba dengan paksa meletakkan tangan Saito ke dadanya. Saito berjuang melawan hal yang terbungkus dalam pelecehan seksual yang dipaksakan padanya. Karena Saito tidak tertarik pada adiknya, atau merasakan nafsu apapun padanya, itu sendiri tidak akan menjadi masalah, tetapi ia punya saksi mata sekarang. Ada kemungkinan besar kalau itu akan mengundang terlalu banyak kesalahpahaman yang menyakitkan.

"Mengapa kamu ada di dalam kulkas…?" tanya Saito.

"Shisei sedang mencari beberapa sisa makanan yang dibuat oleh Akane, lalu aku akhirnya terjebak di dalam kulkas, tidak dapat keluar. Itu sering terjadi."

"Mana ada begitu. Tubuhmu itu terbuat dari apa sih, serius deh."

Shisei memiringkan kepalanya.

"Apa Abang ingin menganalisisnya?"

"Tidak terima kasih."

"Haruskah Shisei buka pakaian."

"Tolong jangan."

Shisei menempel pada Saito, yang tidak mampu mendorongnya menjauh, saat perpaduan mereka dimulai.

"Ini Shii-chan, waaaaaaah!" Maho ikut heboh, ternyata sudah pulih dari trauma bubur nasi.

Shisei langsung bersembunyi ke dalam kulkas lagi, dengan Maho berusaha membuka pintu.

"Kalau begitu, aku yang akan melakukan pijatan jantung untukmu! Serta pernapasan buatan!"

"Tidak terima kasih. Satu-satunya orang yang diizinkan untuk mencium Shisei itu hanyalah Abang."

"Saito?! Kamu…!" Akane memegang centong nasi hitamnya seperti pedang legendaris yang digunakan untuk mengusir Raja Iblis.

"Bukan begitu, oke?!" Saito melolong, jelas tidak ingin terkena amarah Akane.

Namun, Akane jelas tidak mendengarkannya. Dengan kecepatan kilat, Akane mengayunkan centong nasi, dan menghantam pilar di belakang Saito.

"Tidak aku sangka Mas bukan cuma mengambil Mbak, tetapi juga Shii-chan…Tidak dapat dimaafkan." Maho memandang Saito dengan jijik, lalu Shisei berkomentar.

"Hehe… Shisei itu saluran pengeluaran Abang untuk dorongan seksualnya."

"Mengapa kamu mencoba memperburuk situasi ini?!"

"Yang pasti aku tidak memperburuk situasi. Untuk menjaga situasinya tetap samar, Shisei akan menembakkan serangan meteor dan menghancurkan kota secara keseluruhan."

"Abang juga akan mati nantinya, kamu tahu itu, bukan?!"

Saito jelas tidak punya kekuatan pertahanan yang diperlukan untuk bertahan dari serangan meteor begitu. Shisei keluar dari kulkas, dan bersembunyi di belakang Saito. Maho meraih dua sumpit panjang di dekatnya, dan perlahan mendekati Saito.

"Mas, serahkan Shii-chan padaku… Aku pasti akan merawatnya…!"

"Caramu merawatnya itu berbau sangat ilegal menurut Mas, jadi Mas tidak akan menyerahkannya!"

"Setidaknya itu lebih baik dari apa yang Mas lakukan! Aku akan menjadikan dia peliharaanku plus boneka mainanku plus kekasihku!"

"Sebagai abangnya, Mas tidak akan pernah membiarkanmu mengambil adik Mas!" Saito menggunakan seluruh tubuhnya untuk melindungi Shisei.

Kecuali jika orang yang melamar Shisei itu diberkati dengan kecerdasan dan kecakapan, dikaruniai dengan kepribadian yang sempurna, dan punya segunung uang yang mereka punya, Saito tidak berniat menyerahkan Shisei.

"Mengapa…dia memanggil Abang 'Mas'…?" Shisei mengeluarkan suara yang sangat dingin, saat dia berlindung di dalam rangkulan lengan Saito.

"Karena aku itu adiknya Mas?"

"Cuma Shisei… sajalah yang merupakan adiknya Abang…"

"Mas itu kan kekasihnya Mbak, jadi itu otomatis membuatnya menjadi Mas-ku. Benar begitu, Mas?" Maho tidak ragu sedetikpun untuk berpegangan pada lengan Saito.

"Itu…tempatnya Shisei…"

"… Shii-chan?"

"…Shisei?"

Fluktuasi beku yang aneh itu dipancarkan dari Shisei. Meskipun Shisei sekarang sering menunjukkan ekspresinya, dia jelas marah—Bukan, merajuk. Dengan ekspresi ini, dia menunjuk Maho.

KuraKon-4-3-3


"…Kontes."

"Kontes macam apa? Kita akan menggelitik satu sama lain sampai orang pertama pingsan? aku terima!"

"Mengapa kamu mau melakukan itu…" Saito melangkah di depan Shisei, dan menghalangi Maho.

"Ini merupakan kompetisi kekuatan adik untuk melihat siapa yang layak menjadi adiknya Abang yang sesungguhnya."

"Aku mengerti~! Jadi kita harus memutuskan aturannya. Menghancurkan bola mata itu tidak apa-apa, kan ya?"

"Oke." Shisei mengangguk.

"Tunggu sebentar, jangan ubah ini menjadi pertarungan mematikan."

"Tidak masalah, aku tidak akan menghancurkan bola mata Shii-chan. Aku akan melakukan itu pada Mas sebagai gantinya."

"Santai aja."

Maho dan Shisei setuju akan hal ini.

"Dengan cara apa ini seharusnya akan membuat Abang santai, ya?"

Saito mulai berpikir kalau kekuatan adik yang mereka bicarakan sebenarnya itu 'kekuatan pembunuh Abang'. Kemudian lagi, Saito tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Di saat yang sama, Maho menyilangkan tangannya, dan mulai berpikir.

"Mmm, kesulitannya ini… kalau menghancurkan mata itu tidak bagus, maka tidak ada lagi yang dapat aku lakukan…"

"Siapa kamu, alat penyiksaan khusus yang menghancurkan mata?"

"Setelah menghancurkan mata Mas, aku akan dengan lembut merawat Mas! Ini akan meningkatkan kasih sayang Mas padaku, dan aku akan diterima sebagai adik yang terhebat! Atau semacam itu."

"Ide itu memang benar-benar kacau sejak awal, jadi Mas senang kamu tidak benar-benar mencoba melakukannya," seru Saito dari lubuk hatinya.

Diperlakukan dengan baik setelah disiksa tentu saja tidak akan meningkatkan kasih sayang Saito. Sebaliknya, itu akan membuat Saito tidak akan pernah mempercayai manusia.

"Baiklah, ayo langsung saja! Aku akan mulai duluan!"

"……?!"

Maho mulai berlari, langsung menutup jarak di antara dia dan Saito. Aturan yang menghancurkan mata itu memang dilarang, tetapi serangan fisik lainnya masih menjadi pilihan. Saito meletakkan tangannya di depan wajahnya dalam bentuk X, siap untuk memblokir setiap serangan yang masuk dengan penjagaan yang kuat. Setelah menjalani berbagai perkelahian melawan Akane, Saito sudah menjadi cukup baik dalam bertahan. Namun, dampak yang diharapkan itu tidak pernah tiba. Saat ia memeriksanya, Maho telah menghilang.

Apa dia menyelinap ke sekitarku?!

Saito merasakan tekanan aneh dari belakangnya, dan berbalik arah, lalu Maho tiba-tiba menempel padanya. Lengan Maho melingkari leher Saito, dan Maho berbisik ke telinganya dengan nada yang imut.

"Hei, Mas…Kalau Mas menjadikan Maho sebagai adik Mas, aku akan melakukan sesuatu yang akan terasa sangat enak, Mas tahu…?”l"

"Maaf, tetapi Mas tidak akan merasa senang kalau mata Mas hancur." Saito berkata, cuma untuk memastikan.

"Aku tidak akan melakukan hal semacam itu~ Memijat bahu Mas, membersihkan telinga Mas, memijat seluruh tubuh Mas… sesuatu semacam ini, Mas tahu?" Tangan Maho menyelinap ke dalam kemeja Saito.

Jari-jari Maho yang ramping memijat kulit Saito.

"He-Hei, Maho?! Apa yang sedang kamu lakukan?!" Akane berteriak tidak percaya.

"Ini merupakan pijatan untuk Mas~."

"Menjauhlah! Ini berbahaya! Tanganmu akan meledak!"

"Bagaimana bisa aku membuat tangannya meledak…" Saito berkomentar tetapi merasa lega saat Akane menarik Maho menjauh.

"Bagaimana dengan itu, Mas? Kekuatanku sebagai adik benar-benar kuat, bukan? Berapa poin untuk itu?"

"Nol."

"Haaaah?! Mengapa?!"

"Itu terlalu erotis untuk seorang adik."

"Itulah bagian terbaiknya! Setiap anak laki-laki akan lebih suka adik perempuan yang melakukan hal-hal mesum pada mereka! Aku tahu itu!"

"Pengetahuanmu juga terlalu naif. Nol poin."

"Aku rasa aku memang harus menghancurkan mata Mas! Apa Mas tidak masalah dengan itu?!"

Saito mencegat lengan Maho yang datang untuk menyerangnya, dan berusaha mendorongnya menjauh. Alih-alih kontes kekuatan adik, itu berubah menjadi kontes kekuatan lengan. Tidak lama setelah itu, kekuatan Maho pun habis, dan dia terjatuh ke lantai.

"Apa kamu baik-baik saja…?" Akane berjongkok di sebelahnya.

Dengan suara yang gemetar, dan hampir menghilang, bibir Maho bergerak samar.

"Aku tidak dapat berjuang lagi, jadi Mbak…Tolong balaskan dendamku…"

"Iya, serahkan saja pada Mbak. Tidak peduli metode apa yang diperlukan, aku akan mengalahkanmu, Saito."

"Aku tidak pernah melakukan hal yang salah, bukan?!"

Maho mulai meneteskan air mata kesakitan.

"Iya, Mas itu memang tidak bersalah… Yang salah itu aku, karena tidak bisa menolak Mas kesayanganku…"

"Saito, tidak ada lagi makan malam untukmu selama seratus tahun ke depan!"

"Tolong jangan begitu?!" Saito memohon.

Saito mulai menantikan masakan Akane setiap hari. Saito mungkin sudah dijinakkan oleh masakan Akane yang terampil dan lezat. Shisei menggelengkan kepalanya dengan bermartabat.

"Maho tidak cocok sama sekali. Shisei-lah orang yang layak menjadi adiknya Abang."

"Shii-chan… serangan mesum macam apa yang kamu rencanakan untuk menyerang Mas?!"

"Lupakan omong kosong tentang serangan mesum itu."

"Tidak perlu melakukan hal itu. Saksikan kekuatan adik Shisei yang tidak tertandingi." Shisei menyatakan.

Shisei bergerak menuju Saito, tergelincir dengan cara yang mencolok, dan terjatuh. Shisei berusaha mendorong dirinya sendiri, tetapi terjatuh lagi. Upaya lain pun diikuti tetapi tetap tidak berhasil. Pemandangannya itu cuma bisa dibandingkan dengan—seorang bayi kecil yang mencoba langkah pertamanya. Keinginan Saito untuk melindungi pun tumbuh semakin Shisei mencobanya. Saito tahu kalau ia tidak dan membantunya dan Shisei harus berdiri dengan kekuatannya sendiri, tetapi Saito secara perlahan mendorong tangannya ke arah Shisei. Saito telah mengawasi pertumbuhan Shisei sejak dia masih kecil, jadi rasa nostalgianya cukup kuat. Dengan mata yang gemetar, Shisei menatap Saito.

"Abang... gendong Shisei?"

"Erk…!" Saito menerima kerusakan yang merugikan.

Dan Shisei belum selesai dalam melancarkan aksinya. Suara keroncongan yang samar dari perut Shisei dapat terdengar. Shisei punya bakat khusus untuk membuat perutnya keroncongan kapanpun dia mau. Karena Saito telah menghabiskan hidupnya untuk menyediakan camilan pada Shisei setiap kali dia memintanya, saat Saito mendengar suara keroncongan ini, ia merasakan dorongan tanpa syarat untuk menyuapi Shisei sesuatu. Cara Shisei terjatuh, dan perutnya yang keroncongan, itu membuat Saito gelisah. Kalau Saito tidak dapat menyelamatkan manusia yang lemah dan rapuh ini, dia mungkin akan mati kelaparan di suatu tempat. Situasi ini membangkitkan naluri ini, yang berasal dari hati seorang abang. Seakan-akan Shisei telah memperkirakan semua itu, dia dengan lembut menarik pakaian Saito.

"Gendong………"

"Poin penuh!!" Saito menggendong Shisei.

Atau lebih tepatnya, Saito melemparkan Shisei ke udara. Itu bercandaan abang dan adiknya. Shisei menunjukkan tanda V dengan ekspresi datar seperti biasanya. Maho terpaksa menggertakkan giginya.

"Aku memang benci mengakuinya…tetapi keimutan Shii-chan itu ada di level yang berbeda…aku ingin menjadikan Shii-chan sebagai adikku sendiri…"

(TL: Gak bisa lah, Dek, umur lu aja lebih muda dari doi.)

"Tidak apa-apa, Maho, bagi Mbak, kamu itu akan selalu menjadi adik nomor satu di dunia ini."

"Mbak…! Dan Mbak itu memang Mbak nomor satuku di dunia ini!"

Akane dan Maho menyatukan tangan mereka, menciptakan suasana kakak beradik yang benar-benar yang tidak akan dapat diinvasi oleh siapapun.

"Jadi, bolehkah aku mencium Mbak~?"

"Hah?! I-Itu agak…"

"Tidak apa-apa, ciuman tanpa lidah saja kok!"

"Ka-Kalau begitu, mungkin… tidak apa-apa…? Tunggu, tidak!"

"Sekarang, tidak apa-apa~ Serahkan saja semuanya padaku, Mbak. Mbak diam saja~."

Akane berusaha melawan, tetapi Maho sudah mendorong bibirnya lebih dekat ke arah Akane.

"Kalian berdua benar-benar dekat, ya."

"Kriuk! Kriuk!"

Shisei telah mengambil beberapa keripik kentang dari orang entah siapa, memakannya tanpa peduli—atau lebih tepatnya, itu ternyata itu lobak daikon. Saito juga memakan beberapa, dan menyaksikan adegan cinta itu di depan mereka yang terungkap itu seperti sedang menonton film di televisi.

"Kalian berdua! Berhenti menonton dan selamatkan aku!"

"He he he~ Tidak ada yang akan menyelamatkanmu, Mbak~ Mari kita pergi ke suatu tempat di mana hanya ada kita berdua~." Maho pergi bersama Akane.


←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama