Bab 4Cincin(Bagian 4)
Baru-baru ini, istri Saito sedang berada dalam suasana hati yang sangat baik. Ketika Saito bangun di pagi hari, ia mendengar suara dengungan dari dapur. Bersamaan dengan itu, ia mendapati ritme penggunaan pisau dapur, dengan langkah berjalan yang samar-samar. Itu cuma menunjukkan betapa Akane sangat senang membuat sarapan. Saat Saito memasuki dapur, Akane menoleh ke arahnya. Akane menata rambutnya, mengenakan celemek di atas seragamnya, dan dia menunjukkan senyum berseri-seri pada Saito.
"Pagi, Saito. Sarapannya akan selesai dalam sekejap mata~."
"O-Oke."
Suasana hati Akane yang sangat positif membuat Saito bingung. Efek dari cincin itu sebagai hadiah buatnya sejujurnya cukup menakutkan. Saito menyadari kalau bekerja paruh waktu seperti itu pasti ada kesepadanannya sendiri, tetapi ia juga takut untuk mengatakan sesuatu yang salah dan merusak semuanya.
"Ini dia! Menu istimewa untuk orang yang istimewa! Silakan dimakan~." Akane membuka kedua tangannya, dan tampak senang dengan karyanya.
Tertata di atas meja dengan uap yang mengepul darinya yaitu steik yang berair, tampak seperti yang dapat kamu temukan di artikel ensiklopedia.
"Steik sebagai makanan pertama di pagi hari bukankah itu sedikit…" Saito merasakan ketakutan memenuhi tubuhnya.
"Kamu sangat suka steik, bukan?"
"Tentu saja…iya, tetapi…bukankah ini terlalu berat untuk dinikmati di pagi hari?"
"Mungkin saja, iya. Tetapi mengangkat penggorengan itu juga kerja keras, kamu tahu."
"Aku sedang membicarakan steik itu akan berat di perut…"
"Apa kamu tidak akan memakan steik ini...?" Bahu Akane bergetar.
—Astaga jangan!
Saito mempunyai firasat buruk, dan rasa bahaya merayap di kulitnya. Saito meraih pisau dan garpu dengan kecepatan kilat, dan menjejalkan pipinya dengan steik itu.
"As-Astaga, ini luar biasa lezat! Aku bisa makan steik setiap hari, bahkan di pagi hari!"
Seluruh mulut Saito dipenuhi dengan steik itu, dengan ukuran yang bahkan tidak memungkinkannya untuk mengeluarkan suara, tetapi ia tidak boleh mundur saat ini. Kedamaian dunia ini dapat berubah menjadi neraka, kedamaian di rumah itu jauh lebih penting, dan Saito harus menjamin hal itu meskipun yang ia lakukan itu mungkin akan mengorbankan nyawanya.
"Saito makannya banyak sekali, yeeeei~." Akane meletakkan dagunya di tangannya, dan menunjukkan senyuman yang bak bunga yang baru saja mekar.
Akane tampak seperti bocah berusia tiga tahun yang sedang melihat hewan langka diberi makan, atau pertunjukan sirkus. Fakta bahwa Akane mengatakan sesuatu seperti 'Yeeeei' menunjukkan betapa tidak teraturnya situasi saat ini.
Saito entah bagaimana berhasil menelan seluruh steik itu, dan berlari keluar dari dapur sebelum Akane dapat menyiapkan yang kedua dan seterusnya. Saito merasa senang melihat Akane senang dengan hadiah itu, tetapi dipaksa untuk makan begitu banyak steik di pagi hari akan mengancam nyawanya. Akane yang mengantuk dan bahagia mungkin jauh lebih berbahaya ketimbang Akane yang pemarah.
Saito berganti pakaian ke seragamnya, dan berangkat secara terpisah dari Akane. Tepat setelah Saito memasuki ruang kelas 3-A, sebuah suara terkejut hampir keluar dari mulutnya. Akane masih memakai cincin itu.
—Mengapa dia lupa melepas cincin itu!?
Saito mulai berkeringat deras. Kalau itu cuma cincin biasa, tidak akan jadi masalah, tetapi cincin itu terlalu mahal untuk dibeli oleh seorang siswa SMA biasa. Kalau ada teman sekelas yang melihat itu, mereka pasti akan terus bertanya tentang dari siapa Akane mendapatkan cincin itu. Secara alami, Akane pada akhirnya akan menyerah, dan mengungkapkan segalanya.
Untungnya, tidak ada siswa-siswi lain di sekitar Akane saat ini. Namun begitu Himari yang sangat teliti tiba, Saito dan Akane akan kurang beruntung. Saito harus memperingatkan Akane saat ini, jadi ia mendekati Akane, dan berbicara.
"Hei... di jarimu."
"Pagi! Akane, Saito-kun!"
Di belakang Saito, sebuah suara yang energik bergema, membuat Saito terdiam kaku. Saito menggunakan upaya terakhirnya dan secara refleks meraih tangan kanan Akane, untuk menyembunyikan cincin itu.
"A-Apa!? Jangan tiba-tiba menyentuhku seperti itu! Dasar mesum! Pelaku pelecehan seksual!"
"Apanya yang pelaku pelecehan?!"
Akane dengan panik berusaha untuk melepaskan Saito, tetapi ia tidak mau melepaskan dirinya meskipun begitu. Teman-teman sekelas di sekitar mereka menjadi heboh.
"Saito-kun melecehkan Akane-chan…"
"Pasangan komedi sudah sampai ke tahap selanjutnya..."
"Tidak apa-apa, lakukan lagi!"
"Sepertinya sudah ada kesepakatan mutlak di antara mereka!"
"Belum ada kesepakatan mutlak di antara kami!"
Akane mati-matian berusaha menyangkal kata-kata itu, tetapi teman-teman sekelas mereka dipenuhi dengan rasa ingin tahu. Sekarang karena mereka telah mendapat banyak perhatian, mereka harus terus menyembunyikan cincin itu sedikit lebih lama lagi. Di saat yang sama, Himari menyipitkan matanya.
"Aku rasa kalian seharusnya tidak melakukan hal itu di depan umum, kalian tahu?"
"Himari! Lakukan sesuatu dengan cowok ini! Serang ia!"
"Ehh? Aku tidak ingin menyerang Saito-kun."
"Jadi kamu tidak masalah kalau aku akan ternodai di depan semua orang!?"
"Aku tidak mau melakukan hal semacam itu!"
Saito sama sekali tidak punya niat buruk dengan hal ini, namun ia diperlakukan sebagai penjahat. Betapa kejamnya dunia ini. Belum lagi ada beberapa siswa-siswi lain yang mengeluarkan ponsel pintarnya, siap untuk memfotonya.
"Mmm…maka sebanyak ini seharusnya sudah cukup, bukan? Ambil ini~." Himari tiba-tiba menempel di punggung Saito.
"…!?" Tubuh Saito berkedut dengan sensasi lembut yang tiba-tiba menghantamnya.
Sensasi lembut itu tentu saja merujuk pada payudara Himari. Meskipun Himari seharusnya mengenakan beha, Saito dapat merasakan kelembutan dan volumenya hampir secara langsung.
"Di sana, dan di sana." Himari terus menempel pada Saito, mencoba dengan paksa memisahkannya dari Akane.
Napas Himari mencapai telinga Saito, lalu ia merasakan darahnya mendidih karena gairah. Bahkan Shisei menatap Saito dengan tatapan dingin.
"Dipegang oleh satu cewek cantik, lalu berpegangan tangan dengan cewek cantik yang lain… Abang sangat serakah."
"Abang tidak melakukan ini karena Abang mau!"
Tatapan para siswa (laki-laki) di sekitar mereka berkisar mulai dari "Minat" sampai "Niat membunuh", menandakan bahwa kehidupan Saito yang seperti obor kecil sedang di tengah badai. Jangankan Akane yang memiliki peringkat kecantikan tinggi, mendapatkan semua perhatian dari gadis populer Himari, jelas para siswa tidak akan menyukainya.
"Biarkan Shisei ikut juga."
Kali ini, Shisei menempel di perut Saito.
"Jangan memperburuk keadaannya!!"
Saito merasakan tatapan dari penggemar cewek Shisei, bawahan, penjaga, atau apalah itu, dan ia hampir teralihkan karena aura gelap dari niat membunuh. Itu merupakan topan, dan akhir dunia. Kiamat. Semua kata-kata ini memenuhi kepala Saito, saat ia entah bagaimana berhasil lolos dari cengkeraman mematikan Himari dan Shisei. Cuma Akane yang terus ia pegang, menyeretnya keluar dari ruangan itu.
"Lepaskan! Lepaskaaan!"
Akane masih menolak perlakuan ini, saat Saito dengan terampil menghindari paparazi, berlari menyusuri lorong. Mereka sampai ke bayang-bayang sebuah gedung tanpa ada orang lain di sekitarnya, dan akhirnya berhenti di sana. Segera setelah itu, Akane mulai memprotes.
"Mem-Membawaku ke sini…A-Apa kamu ingin menghukumku!?"
Imajinasi Akane sama mengerikannya seperti biasanya. Saito memastikan sekelilingnya, dan berbisik ke telinga Akane.
"Cincin itu."
"Cincin…?" Akane memiringkan kepalanya dengan bingung.
"Jangan pakai cincin itu ke sekolah."
"Ah." Akane akhirnya menyadari, dan melepaskan cincin itu dengan tergesa-gesa.
"Aku senang kalau kamu menghargainya sebanyak ini, tetapi akan merepotkan kalau seseorang melihatmu memakai cincin itu.,"
"A-Aku bukannya menghargainya atau semacamnya! Aku sebenarnya cuma benar-benar lupa tentang itu, itulah saking aku tidak pedulinya!" Akane berteriak dengan wajah yang merah padam.
"Jadi kamu tidak peduli…" Saito merasa sedikit tertekan mendengarnya.
"Betul sekali! Aku sangat tidak peduli dengan cincin itu seperti halnya aku dengan air dan udara!"
"Aku rasa kamu membutuhkan keduanya untuk bertahan hidup?"
"Ja-Jangan asal ngomong! Bukan begitu maksudku! Aku dapat hidup tanpa air dan udara!"
"Itu sangat luar biasa…"
Akane sudah melewati batas manusia.
"Kamu mungkin harus meletakkan cincin itu di tasmu..."
"Aku tahu itu tanpa kamu memberi tahuku. Aku akan memasukkannya ke dalam kantung sebelumnya, cuma untuk memastikan kalau aku tidak kehilangan cincin itu."
Meskipun Akane mengeluh sepanjang waktu, sepertinya dia memang menghargai cincin itu.