KuraKon - Jilid 3 Bab 4 Bagian 1 - Lintas Ninja Translation

Bab 4
Cincin
(Bagian 1)

Di kamar Shisei, Saito mengirim data terjemahan yang sudah selesai ke penyunting yang bertanggung jawab. Saito tidak menggunakan surat konvensional, melainkan aplikasi obrolan yang hanya digunakan di dalam lingkungan perusahaan. Pesan Saito langsung dibaca, dengan pimpinan perusahaan mengirimkan tanggapan.

'Terima kasih banyak. Merupakan suatu kehormatan untuk menerima bantuan murah hatimu untuk proyek ini, Saito-sama. Kami akan mencoba yang sebaik mungkin agar layak dengan bantuanmu, dan kami tidak akan pernah melupakan bantuan ini...'

Saito dengan canggung membaca teks ini yang sepertinya tidak terdengar seperti akan dikirim ke karyawan paruh waktu.

"Begitu banyak informasi yang tidak perlu… Buatlah menjadi singkat dan efisien." Saito mengerang.

Di saat yang sama, Shisei mengintip ke layar ponsel Saito.

"Mau bagaimana lagi. Karena Abang berhubungan dengan Hojou Group, pada dasarnya Abang dapat memutuskan hidup dan mati untuk mereka. Mereka mungkin ingin mendapatkan sisi baik Abang."

"Paling tidak buatlah itu menjadi samar, ini cuma akan menyakitkan..."

"Hal yang sama juga terjadi pada Shisei. Mereka memberiku permen."

"Abang rasa mereka punya niat lain selain mendapatkan sisi baikmu."

Saito sangat mempertanyakan struktur perusahaan ini kalau bahkan putri pimpinan perusahaan saja diperlakukan seperti satwa di kebun binatang. Tidak lama, Shisei menempel ke leher Saito.

"Abang, ayo main dengan Shisei. Aku ini gadis yang baik dan menunggu Abang menyelesaikan pekerjaan Abang."

"Kena kamu. Kamu mau main apa memangnya?"

"Concentration Satu Orang."

Saito tidak pernah mendengar kombinasi macam itu sebelumnya.

"Bukankah kalau begitu seharusnya kamu memainkan permainan itu sendiri?"

"Shisei akan makan camilan sementara Abang bermain Concentration Satu Orang."

"Mari kita main Old Maid saja, oke?"

"Oke." Shisei duduk di pangkuan Saito.

"Bagaimana kita bisa bermain dengan posisi begini?"

"Tidak perlu bermain, ini akan memperdalam ikatan kita."

"Abang rasa kita tidak membutuhkan ikatan yang lebih dalam dari ini." Saito membangunkan Shisei, dan membuatnya duduk di bantal di depannya.

Kamu tidak boleh meremehkan permainan kartu semacam itu. Dengan kemampuan berhitung Shisei yang menakjubkan, permainan Old Maid yang biasa ini dipenuhi dengan strategi tingkat tinggi, menciptakan sensasi yang tidak seperti permainan kartu lainnya. Karena mereka dapat berpikir, mereka suka pertempuran yang sungguh-sungguh dan serius begini. Setelah bermain kartu sebentar begitu, Reiko pun tiba.

"Kerja bagus. Tante mendapat laporanmu yang sudah mengirimkan berkas. Ini gajimu."

Diserahkan sebuah amplop yang tebal, Saito terkejut.

"Apa Tante yakin tidak mau mengecek ini?"

Reiko tertawa terbahak-bahak.

"Apa kamu tipe orang yang suka salah hitung uang, Saito-kun?"

"Aku mencoba untuk menjadi yang selengkap mungkin."

"Benarkah? Kesalahan apapun tidak dapat kamu temukan, mana mungkin itu dilakukan oleh karyawan kita. Itu mungkin cuma Tante saja."

"Kalau begitu, aku akan dengan senang hati menerima ini." Saito memasukkan amplop itu ke dalam tas sekolahnya.

Mengetahui dari mana asalnya dokumen-dokumen ini, pimpinan perusahaan mungkin tidak akan repot-repot memeriksanya.

"Kamu akan makan malam bersama kami, bukan?" Reiko bertanya, seakan-akan itu merupakan hasil yang jelas.

Saito melihat ke arah jam. Saat ini, Saito harus sudah sampai ke toko perhiasan sebelum tutup. Karena Saito sudah bekerja keras untuk cincin itu, ia tidak mau cincin itu terjual habis.

"Tidak, aku akan pulang lebih awal hari ini. Kalau tidak, rumahku akan berubah menjadi medan perang."

"Apa kamu memberi tahu cewek itu tentang kamu bekerja di sini?"

Dengan panggilan 'cewek itu', Reiko pasti sedang membicarakan Akane. Reiko tampaknya tidak senang menggunakan nama Akane.

"Aku merahasiakannya kok."

"Hmmm…Kalau begitu mengapa dia bisa…" Reiko sedang memikirkan sesuatu. "Mau bagaimana lagi, Tante akan membiarkanmu pulang hari ini. Sebagai gantinya, kamu akan segera mengunjungi kami lagi, oke?"

"Iya, aku akan segera mampir lagi. Lagipula aku benar-benar berterima kasih atas segalanya."

"Ya ampun, kamu itu tidak usah sungkan begitu. Tante cuma berharap atas kebahagiaanmu, Saito-kun." Reiko dengan lembut memeluk Saito, dan mengelus kepalanya.

Orang yang paling menjaga Saito menggantikan orang tua Saito itu Reiko. Karena Saito tahu kalau Shisei dan Reiko ada untuknya, Saito dapat melewati hari-hari suram karena menyendiri.

Setelah meninggalkan pintu depan, sopir pelayan sudah menunggu, dan Shisei menawarkan bantuan pada Saito.

"Abang, lakukan yang terbaik."

"Iya."

Saito dengan lembut memberikan Shisei tos kecil, dan masuk ke dalam mobil. Saito turun di dekat pusat perbelanjaan, dan menuju toko perhiasan. Dengan sedikit kecemasan mengganggunya, Saito mencari koper itu, dan untungnya masih menemukan cincin yang tersisa. Ia menghela napas lega, dan memanggil seorang pegawai.

"Permisi, aku ingin membeli cincin ini."

"Hadiah buat pacarnya, ya Mas!?" Pegawai itu tampaknya lebih dari sekadar penasaran, dan bergegas menuju Saito.

Namun Saito tersendat.

"Bu-Bukan, ini bukan untuk pacarku."

"Jadi buat kakaknya, atau ibunya mungkin?"

"Bukan, bukan keduanya juga..."

Saito tidak dapat mengakui kalau cincin ini akan dijadikan hadiah buat istrinya. Pegawai itu tampak bingung, tetapi tetap memasang senyuman bisnis yang sempurna.

"Dimengerti. Bisakah Anda memberi tahu saya ukuran jari orang terkasih Anda itu?"

"Ukuran…!?" Saito bingung.

Saito tidak pernah sekalipun memikirkan hal itu. Karena ini merupakan pertama kalinya ia membeli cincin, ia cuma memikirkan harganya dan tidak ada yang lain lagi. Keringat dingin mengalir di punggung Saito. Paling tidak, Saito tahu kalau jari Akane itu kecil.

"Yang S, tolong…"

"Kalau cincin yang ini, kami punya dari ukuran 5 sampai ukuran 10…"

"Erk…"

Pegawai itu memasang wajah bersalah, pada dasarnya mengatakan 'Pasti sulit bagi seorang perjaka untuk membeli cincin begini'. Begitu saja sudah membuat Saito ingin kabur di tempat.

Haruskah aku kembali lagi setelah mengukur ukurannya...? Tetapi kalau aku melakukan itu, aku akan merusak kejutannya… Belum lagi dia sendiri mungkin tidak mengetahuinya…

Saito masih punya pilihan lain untuk mengukur ukuran saat Akane sedang tidur, tetapi kalau Akane bangun di tengah jalan, Saito akan dibunuh dengan tuduhan pelecehan seksual. Saat Saito tengah berada di jalan buntu, pegawai itu menunjukkan senyuman.

"Tidak apa-apa, bahkan kalau ukurannya tidak cocok, Anda masih dapat menyesuaikannya, atau mendapatkan cincin yang berbeda."

Diperlakukan dengan baik cuma akan melukai harga diri Saito.

"Apa kamu punya sampel ukuran yang bisa aku lihat? Aku akan dapat mengetahuinya dengan sampel itu." Saito bertanya.

"Kecuali Anda seorang veteran, menebak ukuran cuma dengan melihat saja itu cukup sulit..."

"Tidak apa-apa."

Dengan begitu, pegawai itu mengeluarkan model dengan contohnya. Setelah memeriksa berbagai sampel, Saito menambahkan informasi yang ia dapatkan dari jari Akane dengan kode visual di depannya. Karena Saito memperhatikan Akane memasak beberapa kali, ia ingat kalau jari-jari Akane itu sangat ramping. Membandingkan ukuran cincin itu dengan tampilan jari Akane saat dia memegang pisau dan peralatan masak lainnya, Saito menebak ukuran cincin itu. Saito tidak akan membuat kesalahan dengan begini.

"…Tolong yang ukuran 5."

"Dimengerti."

Pegawai itu mulai membungkus cincin itu dengan sutra, memasukkannya ke dalam kotak kecil, dan menghiasinya dengan pita.

"Anda juga punya pilihan untuk menambahkan kartu secara gratis. Kamu bisa memilih antara 'Cinta Abadi' dan 'Untuk orang yang aku sayang', mana yang Anda pilih?"

"Aku tidak membutuhkan keduanya!"

"Saya yakin pacar Anda akan sangat senang melihat kartu semacam itu. Ini cara terbaik untuk menyampaikan cintamu."

"Ini bukan buat pacarku!"

Dan juga, tidak ada cinta semanis apapun yang terlibat di dalamnya. Menerima kantung plastik dengan desain toko perhiasan di atasnya, Saito pun pergi. Saito berhasil melewati rintangan pertama, tetapi ia masih belum berada di lampu hijau. Memberikan Akane cincin itu merupakan hal yang terpenting. Namun, Saito khawatir kalau ia dapat melakukannya dengan semulus yang ia inginkan.

Saat memasuki pintu depan, wajah Saito gemetar dengan suasana tegang memenuhi rumahnya. Berdiri di lorong yang menuju ke ruang tamu—ada Akane. Akane berdiri di sana dengan tangan bersilang, menyerupai penampilan sang legendaris Musahibou Benkei, berdiri di Jembatan Gojo. Bibir Akane terangkat ke atas menjadi seringai yang menakutkan, membentuk wajah mengerikan yang dapat kamu lihat pada iblis.

Mati aku!

Tidak lihat setelah melihat hal ini, Saito menyesal tidak mendaftar asuransi jiwa. Dan lagi, diasuransikan pun tidak akan menyelamatkan Saito dari kematian tertentu, jadi pada akhirnya itu tidak ada gunanya. Tidak lama, dengan suara yang seperti itu datang langsung dari neraka, tenggorokan Akane bergerak.

"Kamuuu…Mengapa kamu tidak menjawab panggilanku…?"

"Panggilan…? Apa yang kamu bicarakan sih…?"

"Jangan pura-pura bodoh! Kamu bilang kalau kamu sedang sibuk, padahal kamu mungkin sedang bermesraan Shisei-san, bukan!? Kamu sedang melakukan sesuatu yang mesum, bukan!?"

"Em…" Saito bingung.

Namun, melihat Akane yang sedang mengambek, dan sudah menangis, Saito menyadari kalau jawaban setengah-setengah cuma akan mengarah pada malapetaka tertentu.

"Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku berada di rumah Shisei?"

"Kekuuuuuatan superku!"

"Kekuatan super?"

Saito mengira kalau Akane cuma mengarang sesuatu, tetapi menyangkal kalau itu mungkin akan bertindak seperti menuangkan lebih banyak minyak yang ke dalam api yang menyala. Akane memelototi Saito.

"Kalau kamu sangat menyukai Shisei-san, mengapa kamu tidak menikahinya saja!? Maka kamu pasti akan mendapatkan perusahaan itu!"

"Aku rasa kamu salah paham akan sesuatu, tetapi Shisei dan aku tidak dalam hubungan semacam ini!"

"Kalau kamu tidak ingin pulang lagi, maka menjauh saja! Aku akan tinggal di sini sendiri! Karena aku dapat menabung untuk biaya makan dan biaya hidup, aku tidak perlu khawatir lagi setelah aku tua!" Akane menginjak-injak lantai sambil marah.

Akane cuma mengoceh demi nasibnya pada saat ini. Akane mungkin sangat kesepian di sini tanpa kehadiran Saito. Tidak, mengetahui kalau ini Akane, itu pasti bukan alasan yang konyol.

Sekarang setelah sampai pada titik ini, menyembunyikannya lebih jauh lagi bukanlah pilihan yang tepat. Kalau Saito mengungkapkan semuanya di sini, ia akan mendapatkan lebih sedikit cedera. Saito bergerak untuk membuka ranselnya dengan cincin di dalamnya, tidak lama tangannya terhenti.

Aku akan memberikan Akane...sebuah cincin? Aku…untuk Akane…?

Tepat di garis finis, Saito jadi gugup. Saito tidak pernah benar-benar memikirkannya, tetapi bukankah itu masalah besar bagi seorang anak laki-laki untuk memberikan seorang anak perempuan, cincin yang mahal sebagai hadiah? Akane mungkin akan salah mengira niat Saito sebagai sesuatu yang lain pada tahap itu. Saito pun jadi ragu-ragu. Meskipun begitu... kembali saat ini juga bukanlah pilihan yang tepat.

Saito ingin menghabiskan hari-harinya bersama Akane dengan damai. Saito tidak ingin melihat Akane marah sepanjang waktu, malahan ingin menikmati senyumannya selamanya. Itu merupakan perasaan jujur Saito, dan ia ingin menghargai semuanya. Sambil mencoba menahan jantungnya yang berdebar kencang, Saito menunjukkan Akane kotak kecil itu.

"Ini... hadiah buatmu."

"Eh…?" Akane bingung. "Bo-Bom…?"

"Bukan, jadi silakan buka saja."

"O-Oke…" Akane dengan hati-hati membuka kotak kecil itu, lalu mendapati cincin yang berkilau di dalamnya. "Ini... yang aku lihat waktu itu..."

"Aku bekerja paruh waktu untuk tanteku sebagai penerjemah. Karena suatu syarat, aku mesti bekerja di rumah Shisei selama waktu itu, aku akhirnya pulang terlambat. Maaf tentang hal itu."

"E-Eh…? Mengapa…? Untuk apa semua ini…?" Akane menatap ke cincin itu sambil sangat tidak percaya.

Akane jelas tidak menduga akan hal semacam ini. Akane memeluk cincin itu di dadanya, dan berlari keluar ruangan seperti dia habis dikejar iblis.

Mungkin saja…bagaimanapun juga dia akan merasa jijik, bukan…?

Tampaknya negosiasi damai telah berakhir dengan kegagalan. Saat Saito tengah diserang oleh perasaan lesu yang parah, Akane tiba-tiba kembali. Akane menjulurkan kepalanya keluar dari kusen pintu yang baru saja dia lewati, wajahnya jadi merah padam. Akane barusan tampak hampir meledak karena malu, saat dia menyatakannya dengan suara gemetaran.

"Te…Te-Terima kasih!"

Kali ini, Akane tampaknya sudah mencapai batasnya, dan menjerit sambil melarikan diri.

Apakah ini berarti…aku sudah berhasil…?

Saito tidak begitu yakin, tetapi pipinya terasa panas.


←Sebelumnya          Daftar Isi           Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama