Bab 2Kencan(Bagian 2)
Sekitar lima jam kemudian, Akane mengeluarkan suara yang ceria.
"Itu benar! Aku mulai mengingat lebih banyak lagi kosakataku tanpa harus menuliskannya!"
"Benar kan? Usaha yang sia-sia itu cuma membuang-buang waktu semua orang saja, baru tahu kan caranya meretas dunia." Saito tertawa.
Akane mengepalkan tangan, lalu bergumam.
"Jadi yang berbohong sebenarnya itu adalah para guru…Aku harus segera membalaskan dendamku…"
"Memangnya kamu mau merencanakan apa…? Dan juga, mereka juga sebenarnya tidak punya niat yang buruk. Semuanya berawal dari sistem pendidikan Jepang yang busuk di masa sekarang ini."
"Kamu terdengar sangat sombong lagi."
"Karena aku punya hak untuk terdengar begitu."
Akane memberi Saito tatapan jijik, tetapi ia tidak mempermasalahkan hal itu.
"Karena mereka bilang kalau tidak ada cara yang nyata untuk belajar, semua orang jadi menyia-nyiakan upaya mereka karena kerja keras yang setara dengan kemajuannya. Namun, itu hanyalah halusinasi. Ada cara belajar yang lebih manjur—yaitu caraku."
"Seberapa tingginya sih tumpuanmu itu!?"
"Begitu kamu berhenti memikirkan tentang efisiensi, pikiranmu akan langsung terhenti. Sejak zaman kuno, manusia sudah menggunakan alat untuk membuat hidupnya lebih efisien, sehingga hal yang sama juga dapat diterapkan pada saat belajar. Masuk akal, bukan?"
"Memang benar metode belajarmu ini sangat efisien…dan kamu…Be-Begitulah, lumayan jago dalam mengajar, aku rasa…" Akane bergumam, dan mengalihkan wajahnya.
—Apa dia barusan memujiku!?
Tubuh Saito dipenuhi dengan ketakutan yang tidak masuk akal. Ia mungkin harus segera menulis wasiatnya nanti pada hari itu, atau mungkin ini sudah terlambat.
"Sebenarnya ini bukan metode yang aku gunakan dalam belajar. Aku tidak pernah belajar mandiri seperti ini."
"Lalu metode belajar ini apa, dong!?"
"Aku telah membaca buku tentang mekanisme ingatan manusia, jadi aku menciptakan metode ini dan mencobanya. Aku telah mengujinya dengan beberapa siswa-siswi, dan memastikan keefektifannya."
"Apakah teman sekelas kita ada yang tahu kalau kamu menggunakan mereka sebagai tikus percobaan?"
"Ngomong-ngomong, orang yang aku uji dengan hasil terbesar itu kamu, Akane. Aku rasa menjadi orang pintar sejak awal itu memang akan meningkatkan hasil."
"Ap…" Akane sempoyongan ke belakang.
Dia mungkin tidak menduga pujian yang datang tiba-tiba ini, dan malah merasa waspada terhadap Saito. Dengan begini, Saito pun menyadari kalau memuji Akane akan membuatnya lebih patuh dalam celaan apapun yang akan mereka lakukan ke depannya.
"Ini sudah larut malam, jadi cukupkan saja sampai di sini lalu tidur."
"Aku belum mau tidur, aku kan masih punya delapan jam lagi sampai sekolah dimulai." Akane berkata dengan mata yang berbinar.
"Tidur! Kalau tidak kamu cuma akan merusak tubuhmu kalau kamu sampai melewatkan waktu tidur yang penting ini!"
"Tidak mau ah, semua kelelahanku ini akan langsung kutularkan padamu, Saito."
"Kutukan macam apa yang kamu kasih padaku…" Saito mencoba mengambil buku referensi dari Akane, tetapi dia memegang erat buku itu seakan-akan buku itu merupakan hartanya yang paling berharga.
Mereka berdua saling menarik buku referensi itu, hingga berubah menjadi bentuk mochi. Saito beristirahat dulu selama sepersekian detik, hingga Akane dapat memasukkan buku referensi itu ke dalam blusnya, lalu menyembunyikannya.
"Se-Sekarang kamu tidak akan bisa mengambilnya dariku, bukan…" Dengan pipinya yang memerah, Akane terengah-engah.
Pakaian Akane sudah berantakan karena percekcokan mereka barusan.
"Sialan... Sangat licik..." Saito menggertakkan giginya.
Saito belum pernah melihat seseorang yang sangat bersemangat dan bertekad dalam belajar. Jelas ini bukanlah pada tingkatan siswa-siswi SMA. Ini seperti orang tua Akane memaksanya untuk belajar sampai-sampai dia tidak bisa melepaskan diri dari belajar lagi.
"Katakan, mengapa kamu begitu matian-matiannya ingin belajar sekeras ini?"
"Kan aku sudah pernah bilang sebelumnya, aku ini ingin menjadi dokter."
"Aku ingat itu. Sekarang aku mau tanya mengapa sih kamu harus banget jadi dokter."
"Itu... tidak ada kaitannya denganmu, bukan?" Akane memelototi Saito dengan jijik.
"Tentu saja tidak ada. Profesi apapun yang kamu tuju, selama aku bisa memenuhi tujuanku dengan pernikahan ini, aku tidak peduli."
"Be-Benar…"
Saito merasa ingin menentang hal itu, tetapi tetap mengungkapkan perasaannya yang jujur.
"Karena Itulah, aku ingin mengenal lebih banyak… tentangmu."
"……!" Mata Akane terbuka lebar. "Ka-Kamu ingin mengenal lebih banyak tentangku…Untuk alasan apa…?"
"Aku tidak punya alasan apa-apa, aku juga tidak punya tujuan maupun niat tertentu dengan hal ini. Aku cuma ingin mengenal lebih banyak. Ketika kamu melihat buku dengan sampul yang menarik, kamu ingin membaca apa yang ada di dalamnya, bukan?"
"A-Aku ini bukan buku…" Akane menundukkan wajahnya, dan pipinya sedikit memerah.
Tentu saja, tubuh Saito terasa panas sampai-sampai ia mulai berkeringat. Ia baru saja menyadari betapa lancangnya pernyataan yang ia biarkan berkeliaran dengan bebas. Itu mungkin cuma akan merusak suasana hati Akane. Dan saat ini, Akane tidak berusaha untuk keluar dari ruangan ini. Sebaliknya, dia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengangkat kepalanya.
"…Saat aku masih kecil, aku punya seorang adik cewek, yang umumnya tiga tahun lebih muda dariku."
"Adik cewek…?"
Ini pertama kalinya Saito mendengar hal itu. Ia memang telah bertemu orang tua Akane selama acara sekolah, tetapi ia tidak pernah melihat adik cewek yang di sekitar mereka.
"Dia memang selalu sangat lemah, dan sering sakit di tempat tidur. Ibu dan Ayah terus-terusan bekerja keras demi membayar biaya rumah sakitnya, itulah sebabnya mereka hampir tidak pulang ke rumah."
"Jadi itu sebabnya kamu jago memasak, kamu harus mengurus adikmu sendirian."
Akane mengangguk.
"Aku cuma bisa melihat adikku menderita. Bahkan ketika dia mulai menangis, dan memohon 'Mbak, tolong selamatkan aku', aku cuma bisa mengusap kepalanya dan terus mengawasinya. Itu cuma akan menggangguku, dan membuatku gelisah… dan aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri." Akane mulai bercucuran air mata.
Mendengar cerita ini saja, Saito dapat merasakan keputusasaan dalam suara Akane, dan rasa sakit muncul di dalam dadanya.
"Itulah sebabnya…kamu ingin menjadi dokter?"
"Aku mungkin tidak bisa menyelamatkan adikki, tetapi juga ada orang lain yang menderita di dunia ini. Aku ingin berhasil menjadi dokter yang sukses dan profesional agar semua orang bisa bahagia dan sehat. Kali ini, aku ingin kekuatan untuk menyelamatkan orang lain." Akane berbicara dengan suara pelan, tetapi dengan tekad yang memenuhi suaranya.
Karena beberapa alasan, Akane tampak berbeda di mata Saito dibandingkan sebelumnya, seperti Akane yang ini merupakan orang yang sepenuhnya terpisah.
—Benar-benar bodoh, dan terus terang sekali.
Akane memang punya kepribadian yang buruk, kasar, dan tidak bisa jauh dari kata 'orang yang dermawan', namun dia begitu polos. Dia seperti semangat yang membara yang dipersonifikasikan.
"Lalu bagaimana dengan adikmu…?"
"Aku tidak dapat bertemu dengannya lagi… Dia saat ini sedang berada di tempat yang sangat jauh…" Akane menggigit bibirnya.
Menyadari apa yang Akane maksudkan dari kata-kata itu, Saito tidak dapat berkata apa-apa.