Takane Zettai Motokano - Seri 1 Bab 26 - Lintas Ninja Translation

Bab 26
Suka Duka (Manis Pahit)

[Asatani-san, maafkan aku karena menghubungi dalam waktu singkat.]

[Aku juga di sini untuk menyaksikan acaranya, tetapi aku memperhatikan ada beberapa orang yang menunggumu muncul. Jadi jika memungkinkan, akan lebih baik jika kamu tidak keluar melalui pintu keluar staf.]

[Aku yakin kamu akan baik-baik saja jika manajermu bersamamu, tetapi aku rasa kamu harus tetap berhati-hati.]

[Aku tahu kalau ini bukanlah urusanku, tetapi aku hanya ingin memberi tahumu.]

Aku juga berpikir tentang apa yang akan terjadi jika pesan ini tidak dibaca. Setelah perekaman selesai, dia mungkin saja tidak memiliki waktu untuk menatap ke ponselnya.

Kemudian aku harus berurusan dengan orang-orang itu yang menunggunya sendiri – Katakan saja, jika aku memberi tahu mereka bahwa menunggu di sana akan menyebabkan masalah, itu sama saja dengan mengajak berkelahi.

(...Aku harap mereka menyerah.)

Itu seperti panah ganda, memang sulit untuk tidak disadari bahwa aku memata-matai mereka juga. Jika seorang penjaga (pengawal) datang untuk berpatroli di area ini, aku mungkin akan disangka bersama dengan mereka juga...

"....."

Ponsel di sakuku bergetar. Ada balasan dari Asatani-san.

[Nagi-kun, mengesampingkan salam, bolehkah aku menanyakan sesuatu?]

[Iya, itu tidak masalah.]

[Kamu bilang bahwa itu beberapa orang yang baru saja menonton rekaman sedang menungguku di luar pintu masuk staf.]

[Aku rasa begitu. Mereka duduk berdekatan bersama-sama, dan aku kebetulan mendengar mereka mengobrol.]

Ada jeda singkat sebelum balasan berikutnya datang. Pada akhirnya, pintu dari ruang masuk staf dibuka – Satu orang yang sepertinya adalah anggota staf muncul, dan aku menghela napas lega.

[Aku tidak datang bersama manajerku hari ini. Ada konflik kerja yang mendadak dengan seorang gadis dari agensi yang sama.]

[Kalau begitu lebih baik kamu tidak keluar sendirian. Ada dua orang lelaki di sini. Aku dengar mereka mengobrol, dan aku rasa Asatani-san tidak perlu mengobrol dengan mereka secara langsung.]

Pesanku tidak dibalas sejenak. Aku bersembunyi dalam bayang-bayang dan berhasil menghindari staf yang muncul – Dua lelaki itu sepertinya telah tersembunyi dengan baik dan tidak menunjukkan tanda-tanda pergi.

[Oke, aku mengerti. Para penggemar semacam itu telah datang sebelumnya.]

[Ada tangga di sisi lain, jadi turunlah dari sana.]

Itu seharusnya menyelesaikan itu semua sekarang – Aku menghela napas lega dan mengetik balasan secepat yang aku bisa.

[Aku akan mengawasi mereka untuk memastikan mereka tidak berpindah. Ketika kamu mendapatkan tempat di mana kamu merasa aman, beri tahu aku.]

[Oke, terima kasih.]

– Selagi aku memikirkan tentang ini, aku mendapat balasan dari Asatani-san lebih awal dari yang aku duga.

[Nagi-kun, apakah kamu punya waktu sebentar?]

[Aku akan pergi melalui pintu belakang gedung. Bisakah tolong kamu datang?]

Pada titik ini, tidak ada waktu lagi untuk ragu-ragu. Aku akan membawa Asatani-san ke tempat yang aman dan memikirkan tentang segala hal setelah itu.

Ketika aku baru saja ingin membalas dengan "oke", para pria itu mulai berdebat dengan kesal, seolah-olah mereka kesal dengan ketidakmampuan Asatani-san untuk muncul.

"S*al, dia tidak muncul-muncul. Mungkinkah ada rute lain atau semacamnya?"

"Kalau begitu mengapa kita tidak menunggunya saja di luar gedung sampai dia muncul? Mari kita mengintai tempat itu depan dan belakang, jadi kita tidak akan tertangkap."

(... Ini buruk!)

Pada Sabtu siang, bangunan (gedung) ini diramaikan oleh para pembelanja sampai ke lantai empat. Lift akan membawa menghabiskan waktu yang lama untuk naik. Lebih cepat menggunakan tangga untuk turun.

Jika para tamu yang datang ke rekaman terbuka saling terlibat perkelahian, itu mungkin akan menyebabkan masalah untuk Asatani-san. Aku juga tidak sehaus darah itu sih – Aku lebih memilih untuk menghindari masalah jika memungkinkan.

Tanpa memikirkan tentang apapun, aku lari. Aku berlari menuruni tangga secepat yang aku bisa – Sebelum mereka berdua turun dari lift.

Aku berhasil sampai ke bagian belakang gedung – Masih ada banyak orang di sini. Aku melihat ke sekeliling untuk melihat apakah Asatani-san baik-baik saja sendirian, tetapi aku tidak dapat menemukannya.

"...Nagi-kun."

"......"

Sebuah suara kecil memanggilku, dan aku berbalik arah – Di sana, Asatani-san, berpakaian dengan pakaian santainya dan bukan seragam studionya, dan rambutnya terikat dalam sanggul, dia sedang berdiri di sana, mengenakan topi dan kacamata merah menyala.

Ketika tampak dari kejauhan, dia tidak seperti 'Kiritani-san' yang baru saja selesai rekaman. Bagaimanapun, jika kalian melihatnya dari dekat, dia memang akan dikenali.

"Terima kasih karena telah datang... Jadi, tentang orang-orang itu...?"

"Mereka bilang mereka akan terus memantau dari luar gedung, jadi kita harus pastikan kita tidak berpapasan dengan mereka..."

Saat aku mengatakan ini, aku melihat sekilas salah satu dari dua cowok dari sebelumnya yang telah tiba di sekitar belakang gedung. Aku berada di belakang Asatani-san, jadi ia masih belum menyadari kami.

"Mereka datang. Mari kita keluar dari sini jadi mereka menyadari kita."

"Tetapi kami tidak bisa pergi ke sekitar pintu masuk depan... Ada kerumunan besar orang di sana."

Mereka berdua bukankah satu-satunya yang menunggu. Para penggemar yang belum memenangkan tiket untuk melihat acara itu, juga orang-orang baru saja kami lewati, sepertinya telah berkumpul karena beberapa alasan.

"...Nagi-kun, bisakah kamu tetap denganku sebentar?"

"Asatani-san, aku rasa aku punya ide yang lebih bagus..."

Satu-satunya cara untuk keluar dari sini – Dari belakang gedung kosong, adalah melewati salah satu dari dua cowok yang telah sampai.

Ia masih belum menyadari kami. Jika begitu kenyataannya, aku lebih baik mengambil kesempatan ini ketika ia masih terganggu. Saat aku kepikiran ini–

"Mari kita pergi bersama."

"....."

Asatani-san mengambil lenganku saat dia mengatakan ini. Dengan begitu, Asatani-san mulai berakting. Itu seolah-seolah dia sudah menyalakan mode aktingnya dengan kalimat itu. Aku tebak bahwa dia sedang memainkan peran 'seorang gadis yang sedang berkencan dengan pacarnya'. Karena cuaca yang cerah ini, Asatani-san tidak mengenakan pakaian yang tebal. Ketika dia meringkuk ke lenganku, bagian tubuhnya yang seharusnya tidak tersentuh menyerangku.

"...Terima kasih karena telah datang hari ini."

"Oh, iya..."

"Hanya berpura-pura denganku. Sepertinya kamu di sini hanya untuk bersenang-senang."

Tidak peduli seberapa banyak penyamaran yang kamu kenakan, kamu biasanya akan disadari jika kami berjalan sangat dekat dari seseorang. Namun, Kiritani Noa mampu untuk mengacaukan yang bahkan 'biasanya' itu dengan kemampuan aktingnya.

Meskipun cowok itu melihat kami, ia mengerutkan kening dan kemudian mengeluarkan ponselnya.

Ketegangan memuncak sesaat selagi kami melewati itu. Namun,

"Dia tidak muncul dari belakang juga. Bagaimana kalau bagian depan? Karena dia tidak di sini, dia pasti di sana. Oh, lupakan itu, dia pasti di suatu tempat yang tidak mencolok."

Kami meninggalkan gedung ini dan lanjut berjalan sebentar – Kota sedang ramai-ramainya di hari libur, dan perlahan, ketegangan meninggalkanku dan aku menatap ke Asatani-san yang sedang berjalan di sebelahku.

"E-Em... Asatani-san, aku rasa kita baik-baik saja sekarang..."

"Iya. Nagi-kun itu aktor yang hebat, iya kan? Kamu sangat alami."

"Tidak, tidak. Aku hanyalah seorang amatir... Yang paling penting, maafkan aku karena mengirimimu pesan secara tiba-tiba."

Kami mengobrol sebagaimana kami mengobrol – Asatani-san mencoba untuk menuju ke stasiun.

"Aku jadi sibuk dengan pekerjaan, tetapi aku tidak selalu memiliki manajer untuk membantuku. Sesuatu seperti hari ini telah terjadi sebelumnya... Jadi Nagi-kun sangat membantu hari ini ketika kamu memberi tahuku."

"...Em... Aku mendapatkan tiket dari Nakano-san. Aku penasaran apakah aku bisa datang sebagai gantinya, seperti yang kuduga..."

Ada banyak sekali pertanyaan yang ingin aku tanyakan, tetapi aku tidak tahu seberapa banyak yang bisa ditanyakan. Aku dapat mengeluarkan kata-kata itu.

Melihatku seperti ini, Asatani-san tidak kecewa dan tersenyum dengan keren ke arahku.

"Apakah kamu kira aku meminta Yui-chan untuk memberikan tiket itu padamu atau semacamnya...?"

"...Aku tidak tahu."

"...Aku tidak menyuruhnya begitu. Dia ingin memberikannya pada Nagi-kun atas kemauannya sendiri. Aku memberikan dua tiket ke Yui-chan, dan dia bilang dia akan datang juga."

Nakano-san itu yang menerima tiket itu, dan Asatani-san tidak memintanya untuk melakukan apapun

Alasan mengapa Nakano-san melakukan itu mungkin karena dia mengira aku masih seorang penggemar Asatani-san.

Dia tidak mengetahui bahwa aku telah mengakui perasaanku ke Asatani-san dan telah dicampakkan, jadi mungkin dia melakukan ini dengan niat yang baik – Aku rasa inilah jawaban yang tepat.

"Ah... Aku penasaran apakah aku seharusnya sudah bilang ini sekarang. Ini bukan kesalahan Yui-chan. Kamu pasti tidak nyaman, bukan? Aku yakin."

"Jika begitu kenyataannya... Fakta bahwa adanya aku di sini,  Asatani-san..."

Aku penasaran bagaimana yang dia rasakan tentang aku yang datang ke rekaman, ketika aku bahkan tidak diberi tiket itu. Apakah itu hanya akting ketika dia menatapku dan tersenyum selama rekaman – Atau apakah itu wajar seperti yang aku lihat?

"...Memiliki seseorang yang kamu kenal membuatmu merasa nyaman, iya kan? Tetapi ketika aku berpikir bahwa Nagi-kun menontonku, aku masih merasa gugup. Aku tidak bisa menunjukkan sisi payahku, tetapi aku harus memasang pose."

"Oh, iya... Tetapi itu tampak brilian."

"Terima kasih. Aku tidak merasa itu akan cocok denganku, tetapi aku sudah banyak latihan.. Ah, baru saja aku membayangkan kalau aku pasti tampak sangat bodoh. Melakukan ini di depan cermin."

Asatani-san memasang pose yang dia telah tunjukkan selama rekaman.

Bahkan jika aku mengawalinya dengan "secara objektif" atau "secara umum" atau pembukaan yang sama, aku seharusnya tidak berpikir seperti seorang penggemar. Aku tidak datang ke sini untuk itu.

"Aku tidak merasa seperti kamu buruk dalam hal ini sama sekali. Aku pikir kamu sangat hebat..."

"Nagi-kun, kamu memujiku dalam segala hal, iya kan?"

"Be-Begitulah... Tidak sepenuhnya dalam segala hal..."

Dia sepertinya tidak berpikir bahwa itu bagus atau apapun semacam itu. Aku pikir aku melihat ke aktivitas umum 'Kiritani Noa' tanpa bias.

– Ekspresi Asatani-san berubah. Ada sesuatu yang mengintip dari balik senyuman itu yang tidak mengungkapkan keinginan aslinya.

"...Apakah kamu juga memuji Takane-san seperti ini juga?"

Aku tahu bahwa aliran ini akan dengan jelas menuntun ke topik tentangnya.

Aku ingin memastikan bahwa Asatani-san baik-baik saja, dan kemudian pulang – Itulah semua yang ingin aku lakukan. Aku belum memikirkan tentang percakapan macam apa yang akan aku miliki dengan Asatani-san.

"...Memang tidak bagus untuk berbicara seperti itu saat ini, iya kan? Aku tahu, aku tahu. Aku memiliki kepribadian yang buruk."

"Aku... Aku selalu berterima kasih pada Takane-san. Dan aku tidak memaksudkan itu sebagai pujian..."

"Aku mengerti... Itu berjalan dengan baik. Nagi-kun dan Takane-san tampaknya berjalan dengan kecepatan yang tepat, iya kan?"

–Kalau begitu, apakah itu berarti bahwa aku dan Asatani-san tidak memiliki kecepatan yang tepat?

"Apakah Takane-san tahu tentang hari ini?"

"Aku memberi tahunya dengan benar. Takane-san bilang... Jika aku ingin mendukung seorang 'teman', dia bilang aku harus pergi."

"Aku mengerti... itu terdengar persis seperti Takane-san."

Dengan cara segala sesuatu yang sudah berjalan, tidak ada kesempatan bagi kami untuk melanjutkan percakapan kami. Saat aku memikirkan ini, Asatani-san melakukan sesuatu di luar imajinasiku – Saat dia berjalan di sebelahku, dia berkata,

"Nagi-kun, maukah kamu minum teh bersamaku sekarang?"

Dia belum pernah mengajakku keluar seperti ini sebelumnya.

Sebagai 'teman', itu biasa untuk pergi ke kafe bersama. Aku juga bisa tahu bahwa Asatani-san mencoba untuk berterima kasih padaku.

"Sebagai tanda terima kasih, aku akan mentraktirmu sepotong kue. Apakah kamu suka yang manis-manis? Atau mungkin kamu ingin makan malam? Apapun tidak masalah, asalkan itu sesuai dengan sakuku."

Asatani-san tampak berusaha keras.

Aku berpikir untuk menerima tawarannya – Tetapi, aku harus menolaknya.

"Aku akan mengantarmu ke suatu tempat di mana kamu bisa santai dan kemudian aku akan pulang. Jika kamu ingin aku menunggu jemputanmu datang, aku akan menatap sampai saat itu."

Belum pernah sebelumnya aku merasakan sakit semacam itu seperti yang aku rasakan saat kata-kata itu turun ke tenggorokanku.

Ekspresi Asatani-san kehilangan sifat aslinya – Namun, itu hanya sebentar.

Segera saat dia kembali ke ekspresi cerianya yang biasa, Asatani-san dengan lembut menarik diri dari lenganku.

"Kalau begitu... Aku rasa aku bisa mengatasinya sekarang. Aku akan meminta ibuku untuk menjemputku. Bisakah kita pergi ke bundaran di depan stasiun?"

"Iya... Bisakah aku berjalan bersamamu sampai sana?"

"Iya. Tetapi akan lebih baik jika ibuku tidak melihatmu. Aku tidak ingin dia salah paham."

"Tentu, aku akan berhati-hati."

Kali ini, saat kami berjalan bersama, Asatani-san berjalan sedikit di depanku jadi kami tidak akan menonjol di jalan, dan aku menyusul di belakang.

Dalam perjalanan ke bundaran, Asatani-san berhenti di depan mesin penjual otomatis. Dia mengeluarkan tiket (kartu) komuternya. Tampaknya dia mencoba untuk membeli minuman menggunakan uang elektronik.

"Apakah kamu ingin minum sesuatu, Nagi-kun? Kamu pasti haus setelah semua pelarian itu."

"Tidak, jika kita hanya menunggu sebentar–"

"Apakah kopi dingin tidak masalah?"

"... Te-Terima kasih..."

Aku menerima sekaleng kopi dingin. Di saat seperti ini, minuman manis akan membuatku haus, tetapi aku tidak begitu peduli.

–Namun, aku merasa aneh.

Aku sangat yakin kalau aku belum pernah memberi tahu Asatani-san minuman macam apa yang aku suka atau apapun semacam itu. Saat SMP, ketika kami pergi keluar bersama untuk membeli sesuatu untuk pertemuan pertukaran antara klub membaca dan klub astronomi, aku bahkan memberi tahunya bahwa aku tidak peduli apakah itu teh, jus, atau apapun yang lainnya.

Kopi kaleng ini hanya dijual di stasiun kereta api. Tanpa bertanya padaku apakah aku ingin sesuatu yang lain, Asatani-san memiliki satu pilihan dan memilih minuman ini.

"...Kamu tidak ingin minum?"

"Oh, iya... Terima kasih, Asatani-san."

Aku membuka tutup kopi kaleng itu dan menyesapnya. Itu terasa persis seperti kopi yang Takane telah berikan padaku – Tentu saja iya, produknya saja sama.

Tetapi aku tidak dapat menelan paksa semua itu karena aku khawatir akan ditatap olehnya. Aku bahkan tidak ingin minum semua itu sekaligus, aku ingin menunggu sebentar.

– Dan aku seharusnya tidak membiarkan diriku terganggu untuk beberapa saat seperti itu.

"Bukankah kamu menyukainya?"

"...Ah...!"

Asatani-san mengambil kaleng yang ada di tanganku dengan kedua tangannya. Kemudian, tepat di depan mataku, dia menyesap minuman itu. (TL Note: Indirect Kiss?)

Tenggorokan putihnya sedikit tergerak. Kemudian dia mengembalikan kaleng itu padaku.

"...Itu sedikit pahit. Jadi Nagi-kun suka minuman yang seperti ini?"

Dia bahkan tidak memiliki tampang pahit di wajahnya. Dan mata Asatani-san menatapku.

"Aku tahu juga, kamu tahu? Sisi baik Nagi-kun."

Aku tidak mengerti harus bilang apa sekarang setelah dia bilang begitu.

Itu dikatakan sebagai seorang teman. Tetapi jika dia telah mengatakan itu padaku saat kami masih pacaran, aku mungkin akan memaknainya secara berbeda.

Aku harus menyingkirkan "bagaimana jika" itu. Aku datang ke sini untuk menghapus itu sepenuhnya dari benakku.

"...Terima kasih karena telah datang hari ini. Aku senang kamu di sini, Nagi-kun. Itu membuatku ingin bekerja lebih keras."

Apa yang kamu ingin aku bilang, dengan tampang itu di wajahmu?

Dia tampak seperti dia sedang jatuh cinta, meskipun kesalahpahaman itu sudah lama tertunda.

"Ah... Aku rasa mobilnya hampir sampai. Ibu bilang kalau dia hampir menuju ke sini."

"...Baiklah. Kalau begitu, sampai jumpa... di sekolah."

"Iya. Sampaikan salamku ke Takane-san. Ke Yui-chan juga."

Asatani-san memberikanku lambaian tangan kecil. Aku meninggalkan bundaran dan berjalan menuju arah rumahku.

Sebuah mobil putih meluncur ke bundaran, dan Asatani-san masuk ke dalamnya. Mobil itu segera pergi dan menghilang dari pandanganku.

Coba saja mobil itu sudah datang menjemputnya sedikit lebih awal. Tetapi aku tidak seharusnya memikirkan tentang itu.

Di saat kesulitan, itu memang menguntungkan. Tetap saja, aku merasa – bukankah itu konyol bahwa aku, yang sudah dicampakkan begitu mudahnya, masih berada di sini mengatakan bahwa aku mengkhawatirkan Asatani-san.

Kaleng kopi ini dan ekspresi Asatani-san menepis pemikiran itu.

Bahkan jika itu hanyalah akting, aku tidak bisa mengetahui apa yang dia pikirkan ketika dia menatapku seperti itu.


←Sebelumnya            Daftar Isi         Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama