[Peringatan 15+ Ke Atas!]
Prolog
Jilid 2
Saat itu bulan Juni, dan pagi hari terasa panas dan lembab. Aku benci bangun di pagi hari dan mendapati piyamaku yang basah oleh keringatku masih menempel di badanku. Namun, hari ini itu lain. Aku disambut oleh aroma susu yang manis, dan perasaan tubuhku diayun-ayun dengan lembut.
"...Bangun. Bangunlah..."
Sebuah suara lembut kayak suara seorang ibu memanggilku. Suara itu menarik kesadaranku ke permukaan dengan sangat lembut.
"Hei, kamu. Kamu akhirnya bangun."
Aku membuka mataku dan mendapati seorang cewek sedang tersenyum manis padaku. Rambutnya yang pendek dan berwarna keperakan, dan pada awalnya aku mengira kalau dia itu seorang peri yang cantik. Dia mengenakan celemek dengan bordiran bintang laut yang imut. Aku mengenalinya.
"Mashiro?"
Tsukinomori Mashiro. Sepupuku, sekaligus pacar palsuku. Berperan sebagai pacar Mashiro merupakan tugas yang diberikan oleh ayahnya, pamanku, Tsukinomori Makoto, sebagai syarat buat mempekerjakan Aliansi Lantai 05 di perusahaan Paman, Honeyplace Works.
Hanya saja Mashiro itu bukan sekadar pacar palsuku lagi.
"Aku mencintaimu. Lebih dari siapapun di dunia ini."
Sejak Mashiro mengirimkan pernyataan cintanya padaku yang memalukan itu lewat LIME, hubungan kami berubah.
Mashiro biasanya menyindir setiap kali aku berada dalam jarak tertentu darinya. Mashiro biasanya bersembunyi di dalam cangkangnya, tidak pernah berani keluar ke dalam sinar mentari. Tetapi sekarang, Mashiro... ...dia...
Sesuatu menekan pipiku, mengganggu pikiranku. Itulah sebuah mangkuk porselen, terasa dingin di kulitku. Semangkuk nasi dan ikan.
"Ini dia."
"Apa ini?"
"Sarapan. Lezat sekali!" Mashiro memberikan jawabannya tanpa sedikitpun kebencian, sambil mendorong mangkuk itu ke pipiku.
Aku melihat isinya. Belut, telur, dan nasi, segalanya bergoyang-goyang di dalam mangkuk. Kelihatannya sangat lezat dan mewah sampai-sampai aku mesti menahan diri buat tidak mengiler.
"Tunggu. Apa ini?" Tanyaku lagi.
"Semangkuk nasi yang kaya purin."
"Semangkuk nasi yang kaya purin," aku mendapati diriku mengulanginya.
"Semangkuk nasi kaya purin. Ini lezat."
"Dan ini yang kamu sebut... ...sarapan?"
Kelihatannya memang lezat, tetapi buat makanan pertama pada hari ini, itu agak berlebihan. Mashiro terdiam, wajahnya berkerut jadi cemberut.
S*alan. Apa aku membuat Mashiro kesal?
Aku memang selalu kesulitan memutuskan bagaimana aku mesti memperlakukan cewek-cewek di sekitarku, tetapi Mashiro itu sangat sulit. Aku membuat Mashiro kesal berkali-kali sejak kami bertemu, dan membuatnya terlibat dalam berbagai masalah. Mashiro berusaha keras demi memasak sarapan ini buatku, dan yang aku lakukan cuma mengeluh. Aku mempersiapkan diriku buat menghadapi badai pelecehan yang akan datang. Aku melihat bagaikan rusa yang ketakutan saat Mashiro perlahan membuka mulutnya dan berbicara.
"Maafkan aku. Aku cuma tahu caranya memasak boga bahari..." Kata Mashiro dengan lemah lembut.
Tunggu. Jadi Mashiro tidak akan menyiksaku? Aku membuat catatan mental buat memeriksa dengan ibl*s nanti buat melihat suhu kayak apa yang mereka dapatkan di sana.
"Apa kepalamu terbentur atau semacamnya? Kamu itu bersikap agak... ...bukan kayak dirimu sendiri."
"Tidak, bukan kepalaku... ...Melainkan hatiku..."
"Puisi, ya? Tunggu sebentar..."
Mashiro membangunkanku pagi ini, dan bahkan membuatkan sarapan buatku. Kayaknya, itu berarti aku telah menerima pernyataan cinta Mashiro padaku dan kami mulai benar-benar berpacaran. Kalau tidak, aku akan punya beberapa pertanyaan serius soal situasi ini.
Satu-satunya masalah yaitu, aku tidak dapat mengingat semua itu. Yang aku ingat cuma menerima pesan dari Mashiro di LIME.
"Kamu terlalu banyak kepikiran lagi. Teruslah bermimpi, oke?"
"Bermimpi. Benar. He-Hei, apa yang sedang kamu lakukan?!"
Mashiro meletakkan mangkuk makanan di kakinya dan melepas celemeknya sebelum perlahan membuka kancing seragamnya. Blus Mashiro tersingkap di salah satu bahunya, membuatnya terbuka. Mashiro melompat ke ranjang bagaikan anak kucing yang haus akan sentuhan, lalu meletakkan cakarnya di pundakku dan mendorongku ke bawah saat bibirnya yang manis semakin mendekat.
"Kita ini sepasang kekasih, bukan? Jadi mengapa kita tidak bertingkah kayak gitu?"
Bibir Mashiro menyentuh bibirku. Aku tidak menyangka ciuman pertamaku terasa begitu dingin. Aku rasa cuma itu yang dapat aku harapkan dari Putri Salju, dan yang suka bersembunyi di dalam guanya.
"Muah!"
Tetapi mengapa Mashiro menciumku dengan penuh gairah? Lidah Mashiro menemukan jalan di antara bibirku dan mendorong dengan paksa ke dalam mulutku, membuatku sulit bernapas.
Aku merasa kayak akan pingsan. Aku hampir tidak dapat bernapas lagi, dan Mashiro begitu dingin. Bahkan, kalau aku tidak segera mendorong Mashiro, aku mungkin akan wafat...
***
"Gah!" Mataku terbelalak.
Aku menyipitkan mataku pada sinar mentari yang masuk melalui sela-sela gorden, dan ranjang berderit di bawahku. Saat itu masih bulan Juni, tetapi jangkrik sudah melengking di luar. Aku dapat merasakan sesuatu yang dingin menempel di bibirku — tetapi itu bukan ciuman Mashiro.
"Astaga, Aki-senpai, kamu tampak bagaikan gurita saat tidur! Ada apa dengan mulutmu?! Hahaha! Ah, tetapi kamu mau ini, bukan? Ayolah! Mari kita berciuman! Muah! Ayolah, kalau kamu tidak bangun, aku yang akan memakannya!"
"Apa yang kamu lakukan, Iroha?"
"Ah! Jadi kamu sudah bangun sekarang, ya?"
Aku memelototi pemilik suara menyebalkan yang telah membangunkanku dari tidurku dan menuju ke dunia nyata.
Rambut keemasannya yang cerah disisir rapi, dan dia mengenakan seragam musim panas lengan pendek. Dia mengenakan ikat rambut biru yang melingkar di pergelangan tangannya. Seorang cewek SMA yang khas, dan seseorang yang entah bagaimana berhasil mengikuti tren tanpa tampak rapi.
Dialah Kohinata Iroha, adik cewek temanku.
Karena aku tinggal sendirian, aku menitipkan sebuah kunci cadangan pada tetanggaku sekaligus temanku, Ozu. Iroha menganggapnya sebagai undangan buat menggunakan kunci itu sehingga dia dapat datang dan pergi sesuka hatinya. Baik atau buruk, aku sudah terbiasa dengan keberadaan Iroha di sini. Namun, pada pagi hari buta begini?
"Aku sedang mencoba buat tidur, Dasar Bodoh! Apa itu sebenarnya, sih?"
"Ini es krim loli!"
"Jadi, mencoba membekap orang yang sedang tidur dengan es krim loli merupakan hal yang lumrah sekarang?"
"Hei, aku cuma mencoba membantu! Kamu tampak kayak sedang mengalami mimpi buruk, jadi aku memutuskan buat mendinginkanmu! Sih!" Sekali lagi Iroha mendorong es krim loli ke bibirku.
Beri aku kekuatan...
Paling tidak aku tahu mengapa bibirku terasa begitu dingin. Bukan berarti itu menghibur.
"Apa kamu pernah kepikiran buat menggunakan goyangan bahu klasik buat membangunkanku?"
"Klasik? Lebih kayak membosankan!"
"Jadi membangunkanku merupakan sebuah gim buatmu, ya?"
"Kamu terbangun, dan aku dapat bersenang-senang! Sama-sama menguntungkan, bukan? Sekarang kamu mau es krim loli ini atau tidak? Aku bahkan akan menyuapimu dari mulut ke mulut kalau kamu memintanya!"
"Ini bukan masalah sama-sama menguntungkan, ini sudah melampaui batas. Dan aku tidak mau es krim loli bodoh bekasmu itu." Aku mendorongnya menjauh.
Iroha cemberut. "Menurutmu kamu akan jauh lebih bahagia dengan seorang cewek imut yang datang membangunkanmu, ya?"
"Cuma seorang m*sokis yang akan senang mendapat perlakuan buruk kayak gitu."
"Ah, benarkah? Kalau begitu, apa yang akan membuatmu bahagia?" Seringai Iroha, membungkuk sedikit padaku.
Dengan kancing kedua yang terbuka, aku dapat melihat belahan gunung Iroha. Aku segera mengalihkan pandanganku, yang tidak luput dari perhatian Iroha.
"Ada apa, Aki-senpai? Tidak sopan kalau tidak melihat orang lain saat mereka berbicara padamu, loh!"
"Milikilah kesopanan, Dasar Bodoh."
"Ah? Jadi kamu sedang melihat?"
Aku memutuskan buat tidak menjawab.
"Ayolah, tidak perlu tampak begitu pemarah soal itu! Mereka bagus, bukan, jadi tentu saja kamu akan menyukainya! Wajar saja kalau kepalamu yang satu lagi yang bertanggung jawab sekarang!"
Kalau begini cara Iroha menggertak cowok-cowok, dia akan mendapat masalah besar suatu hari nanti. Aku baru saja bangun tidur, dan kesabaranku sangat tipis. Aku dapat merasakan amarah yang mendidih di dalam diriku.
"Apa kamu tahu jam berapa sekarang? Sejak kapan kamu mulai datang ke sini di pagi hari buta?"
"Hari ini merupakan hari pengecualian. Kamu tidak menyadarinya? Mestinya kamu berterima kasih padaku, loh." Iroha meraih jam weker di samping bantalku, dan memegangnya di depan dadanya. Jam weker dengan layar digital ini menerima pukulan kasar dariku setiap pagi saat aku mencoba buat mematikannya. Aku baru menyadari apa yang salah saat aku mendapati bahwa angka "7" yang biasa aku lihat saat bangun tidur, ternyata merupakan angka "8". Dan dua angka di sebelahnya jelas bukan angka nol...
"A-Apa?!"
"Kamu selalu bangun jam 7 pagi, bukan? Tetapi kamu meninggalkan pesan LIME kami tanpa dibaca. Jadi, Abang mengutusku buat memeriksamu!"
"Mustahil. Mustahil ini sudah lewat jam 8 pagi! Kamu mengacaukan jam wekernya, bukan?"
"Bahkan aku tidak akan sejahat itu! Berhentilah panik. Kamu cuma kesiangan, itu saja."
"Aku kehilangan satu jam penuh?! Mustahil! Mus-Mustahil!"
Tidak ada yang lebih berharga buatku selain efisiensi. Setiap detik terakhir dalam kehidupanku berada di bawah kendali penuhku. Waktu belajarku, bekerjaku dengan Aliansi, memperdalam ikatanku dengan orang-orang di sekitarku, waktu makanku, waktu perjalananku dan, tentu saja, waktu tidurku. Lima menit yang terbuang di sana-sini tidak masalah; Aku cuma manusia biasa. Tetapi sejam penuh?!
Kepalaku, yang bergerak-gerak bagaikan robot karena terkejut, menoleh ke arah Iroha. Aku mengajukan pertanyaan terakhir, dan menggantungkan seluruh harapanku pada jawaban Iroha.
"I-Ini hari libur, bukan? Hari libur?"
"Tidak! Hari masuk sekolah biasa!"
"Oke, aku akan berangkat ke rumah sakit. Aku pasti sakit atau semacamnya..."
"Kalau kamu pergi ke dokter karena kesiangan, mereka cuma akan mengirimmu ke rumah sakit jiwa."
Iroha terkadang dapat jadi sangat masuk akal. Aku rasa bahkan orang yang paling tepat waktu di duniapun pasti pernah ketiduran paling tidak sekali. Tetapi, fakta bahwa aku mempertimbangkan buat pergi ke rumah sakit mestinya menunjukkan betapa terkejutnya aku. Mengapa aku dapat bangun kesiangan?
"Kita akan khawatirkan mengapa nanti saja, ya? Ada baiknya kamu bergegas, atau kamu akan terlambat!" Kata Iroha.
"S*alan! Mengapa kamu tidak bilang kalau aku kesiangan, bukannya omong kosong soal es krim loli itu?!"
"Di mana letak keasyikannya?" Kata Iroha, tetapi aku melompat dari ranjang dan bergegas melewatinya, tanpa menghiraukan kata-katanya.
Mustahil aku terlambat cuma karena kesiangan. Aku mendengar Iroha mengucapkan "Semoga beruntung" padaku beberapa saat sebelum aku melangkahkan kakiku ke kamar mandi.
"Seriusan, Iroha, kalau kamu mau membangunkanku, jangan biarkan aku terbaring begitu saja!" Gerutuku sambil menyiram wajahku dengan air dan menyekanya dengan handuk.
Hari ini tidak terlalu asyik. Aku bermimpi yang sangat aneh, terbangun karena Iroha melakukan triknya yang biasa, dan sekarang aku terlambat. Paling tidak dengan air dingin di wajahku, aku mendapatkan kembali kewarasanku. Aku teringat kembali pada mimpiku.
Kalau aku ingat-ingat dengan benar, aku dan Mashiro tinggal bersama sebagai pasangan muda. Saat ini, aku tidak dapat mengingat berapa banyak dari hal itu yang benar. Aku sudah tahu pasti kalau Mashiro memang menyatakan cintanya padaku, tetapi aku tidak ingat bagaimana aku menanggapinya atau bagaimana hubungan kami sekarang. Aku mengeluarkan ponsel pintarku saat aku menggosok gigiku, dan memeriksa LIME.
Mashiro: Aku mencintaimu. Lebih dari siapapun di dunia ini.
Aki: Apa maksudmu?
Mashiro: Maksudku sama kayak apa yang aku bilang barusan.
Aki: Maksudmu cinta sungguhan, bukan?
Mashiro: Iya. Cinta sungguhan. Aku mau kamu jadi pacarku ♥
Aki: Oke. Biarkan aku pikirkan soal ini.
Mashiro: Tentu saja ♥ Beri tahu aku kalau kamu sudah memutuskannya ♥♥♥♥♥
"Aku masih tidak dapat mempercayainya."
Aku tidak dapat membayangkan Mashiro mengucapkan kata-kata yang ada di layar. Belum lagi segala emotikon hati itu. Namun aku tidak dapat menyangkal kebenaran yang Mashiro bilang padaku. Paling tidak aku tahu di mana aku berdiri sekarang: Aku masih "memikirkan soal itu."
Aku berkumur-kumur dan menatap diriku di cermin, mengatur napasku. Lihatlah apa yang telah Paman lakukan sekarang. Berkat hubungan palsu yang Paman buat, putri Paman akhirnya menyatakan cintanya padaku. Apa Paman belum pernah menonton film komedi romantis?
Tidak, aku mesti berhenti. Tidak adil buat menebak-nebak Mashiro. Kalau itu memang sebuah kesalahan atau semacam lelucon, maka aku yang mesti menanggung akibatnya. Tetapi kalau Mashiro memang benar-benar mencintaiku, akan sangat kejam buat mengabaikan perasaannya. Aku mesti menghadapi Mashiro secara langsung.
"Oke." Puas dengan penampilanku, aku menarik napas dalam-dalam.
Hari ini, aku akan menemui Mashiro dan memastikan kalau perasaannya padaku itu nyata. Lalu, aku akan memberikan jawabanku pada Mashiro.
***
"Sungguh mengagumkan kalau kamu bersedia menghadapinya secara langsung, Aki. Meskipun aku rasa itu sama kayak kamu yang biasanya."
"Iya, bukan sifatku buat bertele-tele."
***