Yumemiru Danshi wa Genjitsushugisha [WN] - Seri 4 Bab 111 - Lintas Ninja Translation

baca-yumemiru-danshi-wa-genjitsushugisha-ch-111-di-lintas-ninja-translation

Bab 111
Apa yang Aku Lihat

"—Tidak, itu bukan cuma kedok, maka dari itu. Tidak ada yang salah soal itu, sama sekali tidak ada."

"...Eh?"

"Eh...?"

Semua mata tertuju pada si cowok yang lagi-lagi menyatakan hal itu dengan tegas. Cowok itu menyatakan hal itu seakan-akan itu merupakan hal yang wajar. Mereka bertiga penasaran apa maksud dari yang dikatakan oleh si cowok, dan memintanya untuk melanjutkan pernyataannya.

"Dia cemburu karena Yuri-senpai merebut abang tercintanya, jadi dia mulai bekerja paruh waktu untuk melarikan diri dari suasana yang canggung itu — Aku cuma mau bilang, memangnya ada yang salah dari tujuan ini? Bukannya itu hal yang wajar? Fakta bahwa kalian berdua mulai pacaran dan mengabaikan adik kalian, dan fakta bahwa si adik berusaha melepaskan dari abangnya karena hal itu, kedua hal itu merupakan hal yang wajar di dunia ini."

"Tetapi..., itu tidak ada hubungannya dengan perasaan kami."

"I-Itu benar. Kami sangat peduli padamu, Mina-san.—"

"Senpai, memangnya menurut kalian, berapa usia Ichinose-san sekarang?"

"Eh...?"

Suaranya itu agak tidak senang. Mina sudah tahu soal ini. Meskipun mereka tidak bisa memahami maksud yang sebenarnya, suara itu jelas sesuatu yang sudah mengubah arah yang dia ambil di masa lalu. Kalau bukan karena suara itu, dia mungkin masih melenceng ke manapun dia berada. Namun, hal itu masih membuatnya takut.

"Dia itu sudah jadi siswi SMA. Bukannya Ichinose-san punya hak untuk jadi dewasa?"

"De-Dewasa...?"

"Memangnya bisa dia bekerja keras cuma untuk sekadar melarikan diri? Tidak peduli apa abang kesayangannya sudah direbut darinya, tidak peduli apa itu didorong oleh rasa cemburu, Ichinose-san berusaha untuk menahan dirinya sendiri dan memotivasi dirinya, tidak peduli betapa sulitnya itu buatnya yang tidak jago dalam hal itu, dia menempuh jalan ini untuk merestui hubungan kalian berdua dalam artian semestinya. Apa kalian berniat untuk menghilangkan kesempatan itu dari Ichinose-san?"

"A-Aku tidak bermaksud begitu..."

"Senpai..., ...aku memang tidak bisa memintamu, abangnya untuk menjauh darinya. Namun, aku pikir itu salah untuk menganggap kalau itu "wajar buat seorang abang untuk selalu ada di samping adiknya." Walaupun kamu, abangnya meninggalkan adiknya..., Tidak bisakah kita semua tertawa bersama lagi...? Tentu saja, menurutku, bukan begitu."

"..."

Kata-kata itu pun menusuk hati Mina. Dia sendiri juga sadar akan hal itu. Memang sangatlah egois untuk berpikir bahwa abang kesayangannya mesti selalu ada di sisinya.

Tetapi dia masih tidak bisa menerima hal itu. Maka dari itu, meskipun dia tahu kalau dia memang salah, dia berpaling dari kenyataan dan mulai bekerja paruh waktu. Mana mungkin Wataru, yang berdiri di sampingnya sebagai sekutunya, tidak menyadari hal itu saat ini. Kalau memang dia salah, sudah sepatutnya dia dikoreksi, mengapa Wataru melakukan ini? Mengapa sih.—?

"Dari sudut pandangku, sebagai senpai-nya di pekerjaan paruh waktunya..., ...menurutku memang masih terlalu dini untuk memutuskan masa depan Ichinose-san di sini dan saat ini juga. Demi masa depannya yang cemerlang, menurutku Ichinose-san mesti menunggu sampai dia bisa menjelaskan dengan kata-katanya sendiri apa yang mau dia lakukan."

"..."

Sebuah kompromi. Wataru, yang cuma merupakan pihak ketiga, mengusulkan sebuah kompromi. Paling tidak, kata-kata terakhirnya itu bagaikan bahu untuk disandarkan dan bahu untuk tidak disandarkan. Singkatnya, ia membuang kata-kata itu ke saluran pembuangan. Karena memang begitulah semestinya. Pertama-tama, kalau dia berhenti begitu saja, toko buku bekas itu juga akan mengalami kesulitan dalam mencari pekerja paruh waktu yang baru.

Kedua orang senpai itu mampu mencerna maksud dari kata-kata itu. Mereka pada akhirnya berpikir, bahwa situasi ini mungkin bukan cuma sekadar pertengkaran yang kekanak-kanakan.

"Mina sedang berusaha untuk jadi dewasa". Paling tidak, kata-kata ini sangat kuat dan berarti. Baik itu buat abangnya, maupun untuk pacar abangnya yang ingin jadi sosok kakak buat sang adik dari pacarnya itu.

"Mina, mari kita pulang hari ini. Yuri-chan, maafkan aku karena sudah membuatmu jauh-jauh datang ke mari, oke?"

"Tidak, tidak apa-apa kok."

Mereka berdua perlahan bersandar satu sama lain, dan berjalan berdampingan. Mina tidak mau mengikuti mereka berdua. Selain itu, masih ada hal-hal yang menyangkut dalam benaknya.

"...Pu-Pulanglah saja duluan."

"Eh...?"

Saat dia menyuruh mereka pulang duluan, abangnya menoleh ke belakang dengan sedih. Melihat hal tersebut, Mina merasakan ada rasa sakit yang menusuk-nusuk di dadanya. Namun tidak sebanyak sebelumnya. Karena dia tahu, abangnya punya seseorang yang akan mendukungnya bahkan dia saat ia merasa sedih.

Abangnya sudah berdiri di ujung garis pandang. Cewek itu menarik lengan abangnya dan menuju ke tangga seakan-akan dia sudah menebak apa yang dimaksud oleh Mina. Dia juga punya sesuatu yang dia pikirkan. Mina merasa berterima kasih padanya karena sudah mengajak abangnya pergi tanpa ragu-ragu.

"...Iya, menurutku mustahil buatmu mau menyusul mereka."

"Euh... ...Iya."

Dia tidak menyusul mereka karena dua alasan. Pertama, dia tidak mau mengganggu mereka, dan kedua, dia mau mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sudah menumpuk di dalam hatinya pada cowok yang duduk di sampingnya dengan raut wajahnya yang lelah.

Cowok itu tidak bertanya mengapa Mina tetap tinggal di sini. Kalau dipikir-pikir lagi, cowok itu tampaknya peka pada hal-hal kecil, dan memahami niatnya yang sebenarnya saat Mina sedang kebingungan. Entah apa itu karena hubungan mereka dalam pekerjaan paruh waktu atau bukan. Namun, mengapa cowok itu tidak menyalahkannya padahal ia bisa melihat rasa bersalah berkecamuk di dalam hatinya?

"E-Eum..."

"Iya?"

"Mengapa...?"

Dia penasaran mengapa cowok itu berada di pihaknya.

Dia memang salah dalam hal ini, dia yakin itu. Meskipun dia punya rasa bersalah, namun dia tidak punya keberanian untuk bicara dan dia cuma bisa mengancam mereka seperti binatang kecil. Biasanya, dia akan mengikuti kata-kata abangnya dan menerima omelannya.

Tidak semua kata-kata Sajou Wataru mewakili apa yang ingin dikatakan oleh Mina. Dia tidak pernah memikirkan bagaimana dia mengucapkan selamat pada mereka berdua dalam artian yang sebenarnya. Sebaliknya, dia memang penasaran ke mana dia mesti pergi setelah bekerja paruh waktu dan melarikan diri dari abangnya dan pacarnya. Tampaknya cowok itu mengangkat kartu baru yang tidak ada di tangannya, dan kartu itu seakan-akan jadi penunjuk jalan buatnya.

"A-Aku... ...Aku pasti telah melakukan kesalahan, bukan?"

"Tidak, karena kita sedang tidak bekerja paruh waktu saat ini. Aku tidak peduli apa kamu benar atau salah. Tidak apa-apa asalkan kamu tahu apa yang telah kamu lakukan, bukan?"

"Eh...?"

Bukan urusan cowok itu kalau dia melakukan kesalahan. Dia terkejut karena dia tidak menyangka kalau cowok itu mendengarkan apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan. Dia tidak percaya kalau itu kata-kata seorang cowok yang sudah memberinya peringatan terus-menerus saat dia bekerja paruh waktu. Dia penasaran apa yang sebenarnya terjadi, dan matanya menyiratkan hal itu.

"Seperti yang aku katakan barusan, aku sudah memikirkan hal ini sejak kita datang ke sini. Menurutku, wajar saja kalau seorang abang sudah punya pacar dan adik ceweknya melepaskan diri darinya. Jadi menurutku, aku akan mengambil keputusan berdasarkan apa yang sudah aku lihat sebagai senpai-mu di pekerjaan paruh waktu."

Memangnya apa yang sudah cowok itu lihat? Seperti apa persisnya? Apa fakta bahwa suatu hari dia bergabung dengan pekerjaan paruh waktu, dia sudah menyebabkan banyak masalah karena ketidakmampuannya sendiri, membuat dirinya tampak seperti orang bodoh, dan menyeret cowok itu ke semua masalah ini, sampai akhirnya cowok itu sampai di titiknya saat ini?

"Kata-kata yang tadi keluar dari mulut si bodoh ini cuma omong kosong belaka. Aku berhasil membujuknya dan meluangkan waktu untukmu. Tentu saja, aku cuma bilang apa yang menurutku itu benar, namun bukan itu yang ingin aku sampaikan."

Kalau memang benar begitu, apa itu? Jauh di lubuk hati Ichinose Mina, "harapan" yang sudah dia tepis, muncul lagi ke permukaan. Di saat yang sama, dia merasa takut untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya, namun dia sangat ingin mengetahui hal itu. Perasaan sebenarnya dari senpai-nya di pekerjaan paruh waktu, yang menganggapnya payah dalam beberapa hal, namun pada akhirnya tetap dia andalkan.

"Ichinose-san datang ke toko buku bekas ini dengan niat untuk "terus melanjutkan pekerjaan paruh waktumu dengan baik", bukan? Aku pun terkejut saat aku belum mengetahui hal itu... ...tetapi sekarang setelah aku mengetahui hal itu, setiap gerakan Ichinose-san, membuatku menyadari setiap tindakan Ichinose-san. Dan aku merasa kalau hal itu punya bobot tertentu."

Mustahil.

Dia tidak pernah menyangka kalau cowok itu akan berpikir begitu. Dia masih merasa seperti ada gangguan. Dia berpikir kalau dia sedang dibodohi di dalam hatinya. Dia tidak menyangka kalau cowok itu memikirkan kenyamanannya kayak gitu.

"Senpai datang ke toko buku itu untuk menjemput Ichinose-san kembali. Aku memang pernah bilang padamu kalau kamu mesti berhenti dari pekerjaan paruh waktumu. Mungkin saja itu memang hal yang benar buat dilakukan. Kalau begitu, buat apa Ichinose-san bekerja begitu keras di toko buku bekas itu selama ini? Kamu paham maksudku, bukan?"

"Ah..."

Itu benar sekali, kalau dia menerima kata-kata manis abangnya dari obrolan itu, semua yang telah dia lakukan itu akan sia-sia. Kalau dia merasa ingin dimanjakan, dia akan kembali seperti semula. Dia akan tetap gundah gulana, dan hubungan di antara abangnya dan pacarnya juga akan terus berlanjut.

"Kamu merasa ingin marah. Kamu mesti meminta maaf. Kamu sudah diomeli. Meskipun semua hal itu tidak selalu menyenangkan, Ichinose-san mampu untuk melakukan kontak mata dengan pelanggan dan memberikan saran padaku dari waktu ke waktu. Aku sudah menyaksikanmu dari sampingku. Ichinose-san pasti sudah bekerja keras selama ini."

"Ah.—"

Cowok itu melanjutkan ceritanya. Cowok itu bilang kalau ia cuma menyela obrolan mereka karena ia merasa tidak setuju. Cowok itu bilang kalau dia menyerah pada emosinya dan berdiri di sisinya untuk mengklaim identitasnya sebagai "Ichinose Mina". Waktu satu bulan terakhir ini pun tidak berakhir sia-sia.

Cowok itu tidak mau kehilangan kouhai yang sudah ia awasi dengan cara kayak gini dengan begitu mudahnya.

"Mana mungkin aku bisa menerima hal itu kalau semua ini akan berakhir sia-sia, bukan?"

Bagaimanapun juga, cowok itu telah membuatnya menangis sekali lagi.

Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/

Baca juga dalam bahasa lain:

Bahasa Inggris / English

←Sebelumnya           Daftar Isi          Selanjutnya→

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama