Bab 98.1Lain Waktu
(TL Note: Bab ini pada dasarnya cuma Bab 97 dan 98, tetapi menggunakan sudut pandang Wataru dan bukan Kei, buat yang ingin melewatkan bab ini bisa klik di sini ya.)
Aku punya hukuman di pundakku. Ini semua dimulai saat Yamazaki terus-terusan mengirimkan pesan sampah padaku karena perjalanan gim horornya, dan untuk membalasnya, aku memberikan sedikit unsur horor pada akun perpesanan dan foto profilku. Namun masalahnya, aku lupa mengubahnya kembali dengan cukup cepat, dan membuat Natsukawa takut dalam prosesnya. Lagipula, bukannya Natsukawa, tetapi Ashida-lah yang benar-benar mengacaukan segalanya, dan memberiku banyak perhatian.
Hukuman buatku sudah diputuskan, dan aku rasa aku akan dipaksa menjalani hukuman seperti hubungan tuan dan pelayan, tetapi... ...Pada awalnya, aku pikir aku tidak bisa menghadapi kejadian yang berhubungan dengan Ichinose-san ini. Meskipun aku tidak meminta bantuan Natsukawa atau Ashida, aku perlu memikirkan hal ini dengan benar. Namun, alih-alih benar-benar memikirkan apa-apa. Aku cuma berjalan berputar-putar.
Mengesampingkan pertimbanganku, alasan mengapa Ichinose-san sampai bersujud di depanku, memohon agar dia tidak berhenti bekerja — Biasanya itu merupakan sesuatu yang cuma bisa aku tanyakan setelah kami saling mengenal satu sama lain dan aku sudah mendapatkan kepercayaannya, tetapi saat berhadapan dengan tipe cewek seperti dia, mungkin akan lebih baik kalau aku menariknya keluar dari dirinya yang biasanya secara paksa. Dan, Natsukawa memutuskan untuk memaksaku melakukan hal itu sebagai hukuman yang disebutkan di atas.
"Maaf tiba-tiba membuat suasana yang berat begini."
"Aku memang cukup terkejut, tetapi... ...kalau semuanya berhasil, maka..."
"Cuma saja, jangan membuatnya bersujud lebih dari itu, oke."
"Tolong hentikan."
"Ah..."
Ashida sangat suka menggunakan kata-kata yang benar-benar merusak kesehatan mentalku. Sungguh aku akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Memikirkan hal itu, aku melihat Airi-chan bergerak perlahan, dan menempel pada Natsukawa lagi.
"Bisakah Airi-chan tidur sekarang?"
"Sedikit lebih lama, ya. Dia tidak tidur siang hari ini..."
"Ai-chan... ...Dia benar-benar menghabiskan banyak tenaga. Kamu sungguh luar biasa. Aichi, mendapatkan kekuatan penuh itu setiap hari."
"Aku kira refleks dan kemampuan motorik Natsukawa bukanlah sekadar anugerah surgawi."
"Hentikan. Aku mulai merasa lebih buruk pada diriku sendiri."
Ashida mengeluh.
Aku sudah dengar banyak dari Ashida kalau dia merasa sedikit khawatir mengetahui bahwa Natsukawa mengalami refleks yang lebih baik meskipun tidak jadi bagian dari ekskul.
"Iya... itu benar-benar jenis latihan yang bagus."
"Kalau memang benar begitu, telepon aku lagi! Aku akan membantumu!"
"Be-Benarkah...?"
"Apa empat kali dalam sepekan tidak masalah, nih!?"
"Kamu tidak perlu melakukannya sesering itu!"
S*alan, kalau aku juga cewek, aku bisa saja ikut serta dalam obrolan mereka...! Di saat-saat kayak gini, aku sungguh iri pada Ashida. Dia bisa mampir tanpa menimbulkan kecurigaan pada orang tua Natsukawa. Aku mau berpegangan tangan pada Natsukawa juga, sambil berkata, "Selamat pagi," loh. Bagaimana kalau aku melakukan itu? Ah, aku barusan dengar bunyi klik dari borgol.
"Aku rasa ada baiknya kalau Sajocchi sering datang ke sini juga!"
"Eh!? I-Itu..."
Dasar bodoh! Jangan seenaknya menambahkan aku ke dalam persamaan ini! Bagaimana kalau kamu jadi aku dan dengan santai mengunjungi rumah Natsukawa, hah!? Bayangkan kalau ayahnya Natsukawa yang terhormat bertanya padamu "Apa hubunganmu dengan putri Om?", hah!? Itu akan mengurangi usiaku, aku bisa bilang padamu begitu...!
"Ah..."
"Ah..."
Natsukawa kayaknya mau bilang sesuatu, dan Ashida menyeringai saat dia membalas pertanyaan. Biasanya, aku akan melontarkan keluhan di sana-sini, tetapi diriku secara keseluruhan tetap diam di sini.
"Kamu mesti bisa... ...menggendong Airi dengan benar..."
"..."
Hah... ...Eh? Hah? Tunggu apa? Keadaan macam apa itu? Apa kalian bercanda? Dia bilang begitu, tetapi dia tidak punya perasaan padaku? Itu terlalu kejam, sebenarnya. Aku bahkan tidak bisa melihat Natsukawa dengan baik karena dia sangat imut. Bagaimana bisa aku menahan diri saat ini, dengan kata-kata darinya, dan aromanya yang menggelitik hidungku...
"..."
"...Tunggu."
"A-Ada apa...?"
Ashida menggerakkan tangannya di sekitar sofa, mencongkel bagian samping tubuhku. Belum lagi tampang yang bilang 'Cepatlah' yang dia berikan padaku. Karena Natsukawa duduk di antara kami, dia mungkin bersikap perhatian dan tidak bicara lebih dari itu... ...Kayaknya aku tidak memerlukan pertimbangan apa-apa...
"A-Aku mengerti... ...aku akan menggendongnya."
Aku terlalu terguncang pada situasi ini. Aku memilih cara yang salah untuk mengungkapkan diriku sendiri. Apa aku ini, seorang playboy? Perlahan tetapi pasti, aku melihat ke kanan, lalu Ashida menatapku dengan jijik. Bahkan lebih dari saat aku menceritakan soal kisah Ichinose-san. Aku cuma memilih kata-kata yang salah, oke.
Di saat yang sama, Natsukawa menatapku dengan tajam. Ka-Kamu salah, oke, aku tidak bermaksud aneh kayak gitu.
"...Memangnya kamu bisa melakukan itu?"
Untungnya, Natsukawa tidak menganggap ini aneh. Namun, dia pasti menganggap remeh motivasiku, karena dia menatapku dengan agak jengkel. Dia benar-benar tidak menahan diri kalau menyangkut Airi-chan. Yang lebih penting lagi, bisakah kamu agak menjauh? Aku mungkin akan melamarmu kalau kamu terus begini.
"...Keren juga, bukan? Aku dari tadi sudah memperhatikan Natsukawa sambil menggendong Airi-chan."
"..."
"Jadi— —Natsukawa?"
"Bu-Bukan apa-apa..., ...bukan apa-apa, kok!"
"O-Oh...!"
Aku cuma mencoba meyakinkannya dengan beberapa kata, tetapi entah mengapa dia memalingkan wajahnya. Apa ini yang kamu sebut permen dan cambuk? Aku mungkin tidak akan pernah bisa melupakan Natsukawa. Dan juga, berhentilah memelototiku, Ashida.
"Ka-Kalau begitu... ...Oke."
"Eh, apa, terlalu cepat...!"
Natsukawa segera bergerak ke arahku, mengarahkan tubuh kecil Airi-chan. Disodorkan ke arahku, Airi-chan terbangun dengan kebingungan, "Mmm?". Eh, memangnya sesederhana itu? Aku rasa dia akan lebih waspada soal itu...
"...—joc... ...hmm..."
"Hmmm..."
"..."
Menurutku, aku melakukannya dengan cukup bagus. Aku diajari tips dan trik kecilnya, jadi tidak ada masalah di sana. Menggendong Airi-chan sambil duduk mungkin terasa terlalu berat, jadi aku berdiri dan memperbaiki postur tubuhku. Hah... ...apa dia tumbuh sejak terakhir kali aku bertemu dengannya? Aku dengar kalau yang penting yaitu tipe tubuhnya ketimbang usianya.
Aku penasaran apa aku tidak apa-apa, jadi aku mengangkat kepalaku, dan langsung melihat Ashida memegang kamera ponselnya ke arahku.
"Hei, Ashida— Natsukawa, juga?"
Tepat saat aku mau protes, Natsukawa juga ikut-ikutan. Hei, hei, bagaimana dengan penilaianku? Bukannya ini harusnya jadi sebuah tes? Mengapa ini malah berubah jadi sesi pemotretan?
"Ah..."
Airi-chan perlahan menggerakkan tubuhnya, jadi mungkin aku tidak menggendongnya dengan benar.
"...Elus Airi lagi."
"O-Oh..."
Dibilang begitu, aku teringat pemandangan di masa lalu saat Natsukawa menggendongnya. Kalau dipikir-pikir, Natsukawa akan menggoyangkannya perlahan ke kiri dan ke kanan, atau mengelus kepala dan rambutnya. Namun, mencoba merasakan hal itu tampaknya agak sulit. Melangkah terlalu jauh akan menjadikan hal ini bagaikan atraksi dari taman hiburan, bukan gendongan.
"Iya, kayak begitu."
"Jadi begitu— Eh?"
"Eh?"
Baik Ashida maupun aku mengeluarkan suara pada saat yang bersamaan. Bersamaan dengan aroma harus yang menjangkau hidungku, Natsukawa mendekatiku. Dia berhenti tepat di depanku, dan mulai mengelus rambut Airi-chan seakan-akan dia sedang menggendongnya sendiri. Dijepit oleh Natsukawa memang terlalu berat bagiku. Bukannya kamu... ...terlalu dekat... ...Eum, Natsukawa-san...?
Dia bahkan tidak tampak terganggu sama sekali, bersikap seakan-akan jarak kayak gini merupakan hal yang wajar. Tangan Natsukawa yang bergerak di antara dadaku dan kepala Airi-chan membuatku merasa gatal di sekujur tubuhku. Dalam upaya untuk meminta bantuan, aku melihat ke arah Ashida, tetapi dia menggigit kuku jarinya. Apa dia benar-benar cemburu saat ini?
Ashida menangkap tatapanku, menggerakkan jarinya ke bawah, dan menunjukkan tawa yang canggung padaku. Kayaknya dia tidak berencana untuk membantuku sama sekali, ya. Kalau aku menunjukkan gerakan yang ceroboh, itu akan berakhir dengan aku menyentuh tubuh Natsukawa. Jadi, aku mesti menahan diri. Aku penasaran apa yang menungguku setelah menahan diri kayak Proyek X ini!
"Hei Aichi, jangan tinggalkan aku sendirian!"
"Eh—Eh!? Eh!? A-Aku..."
"Sajocchi sudah mencapai batasnya, jadi mengapa kamu tidak kembali ke posisi semula, oke?"
"—!!? Ah... ...Ah..."
Di sana, mataku bertemu dengan mata Natsukawa. Iris matanya yang berkilauan dan kulitnya yang mulus membuatku merasa kayak aku jatuh cinta lagi padanya. Aku mungkin baru saja melihat salah satu harta terbesar yang ditawarkan oleh umat manusia. Aku bisa melihat ini selamanya! Atau begitulah yang aku nyatakan dengan bangga di dalam diriku, tetapi ketegangan itu lenyap saat aku melihat ekspresi kaget Natsukawa.
"Tendangan kaki telanjang!"
Mengapa, Ashida!?
(TL Note: Buat yang udah baca Bab 97, tahu kan alasannya, hehe.)
♦
Setelah momen yang penuh gejolak ini, aku berhasil mendapatkan kembali ritme pernapasan yang stabil. Namun, Natsukawa masih melirik ke arahku, yang duduk agak jauh. Karena ini berlanjut selama beberapa menit, aku memutuskan untuk mengabaikan semua itu. Sedangkan Ashida masih sibuk memotretku dari berbagai sudut.
Natsukawa melihat gelas kosong di atas meja, dan menuju ke dapur. Menggunakan itu sebagai celah. Ashida melontarkan keluhan padaku.
"...Hei, tunggu sebentar."
"Maafkan aku."
Ayolah, aku sedang menikmati puncak hidupku, menerima perhatian dari Natsukawa dan Airi-chan, apa kamu mau menyuruhku membuangnya begitu saja?
"Aku kira dia tertidur lebih awal, tetapi saat aku melihat ke jam tanganku, ternyata tidak seperti itu."
"Oh, benar juga, ya? Dari pukul 3 ke pukul 4 itu jaraknya cukup jauh, loh."
"Rasanya sudah kayak malam hari saja."
Melihat ke luar, langit sudah mulai berubah warna jadi jingga. Cahaya yang dipantulkan pada pipi tembam Airi-chan sudah jelas berubah. Aku merasakan keinginan untuk mencongkelnya dengan jariku, tetapi aku takut Natsukawa melihatku saat melakukannya.
"Eum, bisakah kamu membangunkan Airi? Kalau dia terlalu banyak tidur, aku khawatir dia tidak akan bisa tidur di malam hari."
"Hmm? Ah!"
Natsukawa kembali ke kami yang sedang duduk di sofa, dan memintaku membangunkan Airi-chan. Aku tidak yakin apa yang mesti aku lakukan, jadi aku cuma mencoba menanganinya secara wajar.
"Ayolah, Airi-chan, bangunlah!"
"...Hmm..."
"Kalau kamu kelamaan tidur, nanti kamu tidak akan bisa tidur di malam hari, loh."
"..."
"Eh, apa ini masih sulit buatmu?"
"Mungkin begitu."
Ashida dan aku saling memandang, dan menunjukkan senyuman masam. Sejauh ini, aku berhati-hati agar tidak membangunkan Airi-chan, tetapi aku merasa bisa lebih santai lagi. Melihat ke arah Natsukawa, dia berkata dengan singkat, "Mau bagaimana lagi..." dan mendekatiku dengan senyuman tipis. Momen singkat itu membuatku jadi cowok yang paling bahagia.
"Sini, serahkan dia padaku."
"Okeh."
"Sajocchi, wajahmu."
Natsukawa segera menyempilkan jarinya di antara dadaku dan Airi-chan, yang membuatku melupakan alasanku sejenak. Bahkan keluh kesah Ashida pun nyaris tidak terdengar. Aku sangat senang karena Airi-chan tetap tertidur...
"Euh."
Baru saat ini aku sadar kalau Airi-chan memegangi pakaianku. Karena Natsukawa menerimanya dengan cukup kuat, dia hampir mencekikku, yang membuatku mengeluarkan suara aneh. Ashida, mengapa kamu memotret itu saat ini? Begitulah tepatnya yang aku maksud, loh?
Natsukawa mengajak Airi-chan, dan menyuruhnya duduk di kursi ruang makan. Bukannya itu... ...agak berbahaya...?
"Apa itu aman?"
"Kursi ini terlalu keras. Aku yakin dia akan segera bangun karena dia merasa tidak nyaman."
"Seperti yang diharapkan dari rumah tangga Aichi."
"Apa maksudmu "rumah tangga Aichi"?"
Efeknya tampak cukup cepat setelah itu, karena Airi-chan mengeluarkan suara kesal, dan mulai menggeliat di kursi. Dia mungkin akan bangun sebentar lagi.
"Haruskah kita pulang, saat Airi-chan terbangun?"
"Itu benar. Pasti dia akan sedih kalau kita berpamitan padanya saat dia sedang tidur."
"Ah... ...eum."
Aku pikir aku sudah bekerja keras hari ini, aku mesti melakukan ini. Aku tahu kalau ini aneh buatku untuk bilang begitu, tetapi menurutku aku memang pantas mendapatkan itu. Jadi, aku akan pamit sebelum orang tuanya pulang. Bertemu dengan keluarganya masih merupakan rintangan yang terlalu besar untuk diselesaikan. Aku mesti bersiap sebelum menantang istana Raja Iblis.
"Iya..., ...terima kasih, kalian berdua."
"Tidak usah khawatir soal itu! Bolehkah aku menginap di sini lain kali?"
"A-Apa itu boleh...?
"Eh? Iya. Memangnya kamu mau ikut menginap juga? Berchanda, berchanda."
Ahh, iri sekali. Aku benar-benar iri pada Ashida. Dia menunjukkan ekspresi mau tertidur di antara Natsukawa dan Airi-chan. Dia bisa main mata dengan Natsukawa tanpa rasa khawatir... S*alan, coba saja aku terlahir sebagai seorang cewek...
"Sajocchi boleh menginap di sini juga?"
"Aku akan mati."
"Tidak, kamu tidak akan mati."
Dia mungkin bermaksud untuk menggodaku, tetapi aku jelas tidak bisa menertawakan hal ini. Aku pasti akan mati. Maksudku, ayahnya Natsukawa akan berjalan melewati kamar, bahkan mungkin mengikatku? Aku mesti tidur di samping ranjang ayahnya Natsukawa. Lalu, dia bertanya padaku tentang segala macam hal yang memalukan. Aku mungkin akan tertidur di tengah jalan dan tidak pernah bangun.
"Iya, kamu benar..., tetapi kalau kamu merasa kayak akan menyerah dengan kekuatan Airi-chan, panggil saja aku. Aku akan jadi mainannya lagi."
"Ka-Kamu tidak mesti jadi mainannya."
"Aku sudah terbiasa dijadikan mainan oleh Kakak."
"Fufu..., ...apa-apaan itu?"
"...!"
Senyuman tiba-tiba itu mengganggu detak jantungku. Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar ketimbang membuat Natsukawa tersenyum. Apa itu karena topik soal Kakak? Pasti begitu, bukan? Apa itu cukup membuat Natsukawa tertawa? Mungkin aku mesti mendapatkan lebih banyak materi... ...Oh tunggu, ada lebih banyak materi ketimbang yang aku ingat. Aku punya banyak cerita dengan Kakak. Memang masuk akal kalau aku punya trauma.
"—Mmm... ...Kakak..."
"Ah."
"Ah! Ai-chan, kamu sudah bangun."
Seperti yang dibilang oleh Natsukawa, Airi-chan pasti merasa tidak nyaman duduk di kursi keras di dapur itu. Dia mencari Natsukawa, saat matanya menjamah tempat itu, digosok oleh tangan kecilnya. Tepat saat Natsukawa hendak menuju ke arahnya sambil tersenyum, Ashida bergerak lebih dulu.
"Aku berangkat!"
"Ah! Kei!"
Karena kecepatan Ashida, Natsukawa tidak bisa bereaksi tepat waktu. Di saat yang sama, aku teringat saat Ashida menggigit jarinya. Ashida, kamu... ...mau menggendongnya juga, ya? Sejak aku datang, dia lebih banyak ada di luar.
"Ai-chan!!"
"Hmm...!?"
Airi-chan diangkat tinggi-tinggi oleh Ashida dan mengeluarkan suara ketakutan. Baik Natsukawa maupun Ashida sama sekali tidak waspada... ...Meskipun Natsukawa sudah terbiasa, tetapi Ashida tidak terbiasa.
"Ini aku! Ini Kei-chan loh!"
"Kakak..."
"Ya ampun, Kei, sih..."
"Ayolah! Ini terlalu tinggi, loh!"
"Kamu agak terlalu bersemangat!"
Diangkat ke atas dan ke bawah, Airi-chan tidak yakin atas apa yang sedang terjadi, jadi dia cuma mengedipkan mata ke arah Ashida dengan bingung. Iya, pasti membingungkan melakukan hal itu padamu segera setelah bangun tidur... ...Pasti berdampak buruk buat jantung.
"Pelukan erat untuk yang terakhir kalinya."
"Hmm..."
Ashida umumnya menahan keinginan dan kemauannya sendiri saat berhadapan dengan orang-orang di sekitarnya, jadi jarang melihatnya sejujur itu. Natsukawa kayaknya tidak melihat ini sebagai bahaya, karena dia tidak mendekati Ashida sama sekali.
"Aku sudah mengambil alih dirimu, bukan?"
"Kita selalu bersama sepanjang waktu, jadi..."
"Iya, aku rasa begitu."
Aku tidak bisa melihat Ashida buruk dalam berurusan dengan balita. Karena dia sudah mengenal Airi-chan bahkan sebelum aku, dia harusnya jadi sosok kakak yang baik buatnya. Meskipun begitu, membiarkan segalanya berakhir seperti inilah sesuatu yang tidak dia mau, jadi dia paling tidak dia mau menunjukkan wajahnya untuk yang terakhir kalinya. Saat aku mendekati mereka, dia menatapku dengan tatapan terancam.
"Dadah, Airi-chan. Sampai jumpa lagi nanti."
"Fueh...?"
"Sajocchi, bukannya kamu pulang terlalu awal?"
"...Tidak, begini, nanti akan canggung kalau orang tua mereka sudah pulang."
"Penakut."
"Berisik."
Kami bertukar beberapa patah kata dengan suara pelan. Tidak peduli apa yang Ashida bilang, bertemu dengan orang tua Natsukawa itu sebuah kesalahan besar. Apa sebenarnya yang membuat canggung? Fakta kalau Natsukawa mengajak seorang cowok ke rumahnya saat orang tuanya tidak ada. Canggung sekali. Kalau aku itu ayahnya Natsukawa, aku akan mencatat segala informasi pribadiku, hingga alamat rumahku dan riwayatku bersamanya.
"Hmm, Sajou."
"Iya?"
"Eum..."
"Sampai jumpa lagi."
Saat masih digendong oleh Ashida, Airi-chan mengulurkan tangannya ke arahku. Saat aku berpamitan, dia tiba-tiba tampak tidak puas, betapa imutnya. Aku sendiri mau menggendongnya lagi. Tetapi, aku cuma meninggalkannya setelah berjabat tangan.
"Jadi... ...apa kamu akan pulang...?"
"Airi-chan sudah bangun. Iya, Natsukawa, tadi itu menyenangkan."
"Iya..., ...begini, maafkan aku? Padahal kamu baru pulang dari pekerjaan paruh waktumu..."
"Tidak, tidak, itu bukan masalah besar, kok."
"Tetapi, kamu ingat, bukan? Dengan rekan cewek di tempat kerja paruh waktumu itu—"
"Ah—... ...Iya. Itu "hukuman" buatku. Suasananya memang canggung kalau terus begitu, makanya aku akan menghadapinya besok."
"Baiklah... ...kalau begitu, akan baik-baik saja."
Saat aku meyakinkan Natsukawa kalau aku akan menepati janjiku, dia menunjukkan senyuman yang hangat. Sekali lagi, aku tidak pernah menyangka kalau aku akan menerima senyuman macam itu dari Natsukawa. Mungkin karena perubahan lingkungan, atau mungkin pertemuan dengan Ashida, tetapi banyak hal yang terjadi bersamaan. Meskipun perasaan cintaku sudah berakhir, aku tetap merasa mendapatkan anugerah.
Ashida kayaknya juga akan pulang saat ini. Tidak kayak aku, dia tidak punya alasan untuk merasa gugup di depan orang tuanya Natsukawa, jadi ada baiknya kalau dia menetap lebih lama, tetapi...
Saat kami menuju pintu masuk, Airi-chan berlari mengejar kami sambil tangannya dipegang oleh tangan Natsukawa. Dia berkedip, sadar sepenuhnya. Tampaknya usaha Ashida untuk membangunkannya berhasil dengan baik. Padahal aku yakin itu tidak bagus buat tubuhnya.
"Baiklah, kalau begitu.—"
"Ah..."
"Hmm? Ada apa?"
"Ah, itu—"
"Sajou—!"
"Oh!? Airi-chan!?"
Airi-chan berjalan menjauh dari Natsukawa, memeluk kakiku. Imut sekali... Ahh, aku memang tidak tahan... ...tetapi aku mesti melakukan ini...! Kalau terus begini, aku akan membawa pulang Airi-chan...! Ahh, wajahku pasti aneh saat ini...!
"Astaga..., ...ayolah, Airi."
"Euh~"
Natsukawa menggendong Airi-chan, dan menutup matanya dengan ekspresi menyesal. Tidak aku sangka dia akan enggan berpisah. Ini mungkin reaksiku saat tiba waktunya meninggalkan taman hiburan. Aku cuma tahu kalau aku sangat kesepian dan sedih.
"Jadi, sampai jumpa lagi di aplikasi perpesanan?"
"Benar. Mari kita mengobrol lagi."
"Kamu juga, Airi-chan."
"Ah... ...Iya."
Melalui Natsukawa, aku bisa bicara pada Airi-chan lagi... Tidak, tunggu. Itu akan membuatku dan Natsukawa saling bertukar pikiran secara konsisten, bukan? Bukannya itu sendiri agak sulit. Aku penasaran, mengapa aku jadi lebih dekat pada Natsukawa dibandingkan saat aku dulu bersikap terus terang? Mungkin agak terlambat untuk memikirkan hal itu, dan aku senang. Meskipun begitu, ini merupakan kenyataan aneh yang aku jalani. Saat aku berbalik untuk pergi, aku melihat Ashida membuka tangannya.
"—Oke! Sekarang giliranku buat melompat!?"
"Fueh...?"
"Eh?"
Kita harus pulang, Ashida.
Support kami: https://trakteer.id/lintasninja/